“Ia (Ali) yang melepaskan hak-nya sebagai khalifah
demi ukhuwwah, adalah khalifah yang sesungguhnya”
Oleh
Ali
Husain
Peristiwa
Ghadir Khum merupakan mata rantai yang hilang dari sejarah Islam pada umumnya.
Padahal peristiwa ini membeberkan satu fakta yang sangat penting: bahwa Nabi
SAW pernah berpesan tentang kepemimpinan Islam setelahnya. Khutbah Nabi SAW di
Ghadir Khum pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H merupakan khutbah Nabi yang
terakhir. Lebih dari seratus ribu sahabat yang merekam peristiwa ini.
Sedemikian mutawattir dan terpercayanya laporan mereka sehingga seorang perawi
terkenal yang bernama Dhiyauddin Muqbili pernah berkata, “Seandainya kriteria
kesahihan hadits al Ghadir ditolak, niscaya tidak satu pun hadits lain yang
dapat kita kategorikan sebagai hadits shahih”.
Khutbah
al Ghadir memuat pesan-pesan universal dan kemanusiaan yang begitu agung dari
Nabi SAW. Beliau Nabi SAW merefleksikan keluasan visi dan misinya pada
kepemimpinan yang ideal pasca kenabiannya seperti yang telah Allah SWT
perintahkan. Ia menekankan kesinambungan kepemimpinan Ilahiyyah setelah periode
kenabian terakhir. Sebab, ketika wahyu tidak lagi turun dan umat manusia tidak
lagi memperoleh tuntunan langsung dari manusia-manusia Ilahi seperti Nabi, maka
sesuatu yang terlihat sangat urgen dan esensial adalah kehadiran orang yang mewakili
sosok kenabian secara utuh demi keselamatan segenap umat manusia ini.
Khutbah
Ghadir Khum menafikan seluruh pendapat yang mengatakan bahwa Nabi SAW tidak
pernah berpesan tentang kepemimpinan ummat setelahnya, atau kepemimpinan ummat
sepenuhnya diserahkan kepada umat itu sendiri untuk menentukannya. Jika masalah
kecil seperti disunahkannya memasuki kamar kecil dengan melangkah kaki kiri
terlebih dahulu dan sebaliknya keluar dengan kaki kanan, atau masalah-masalah
kecil lainnya Nabi SAW menjelaskannya kepada ummatnya, lalu bagaimana mungkin
masalah kepemimpinan sesudahnya, yang merupakan penerus misi dan visinya dalam
membimbing dan meneruskan perintah-perintah Ilahi kepada seluruh umat manusia
tidak beliau pikirkan?
Mustahil
bagi seorang Nabi SAW melupakan yang besar ini, yang jika tidak beliau katakan
besar kemungkinan umat Islam dalam kesesatan dan ketidakberdayaan. Apalagi
sebelumnya Allah SWT telah memerintahkan Nabinya dengan jelas, dalam al-Quran
surat al Maidah ayat 67, Allah berfirman: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan padamu dari Tuhanmu. Dan apabila tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan (seluruh) risalah-Nya.
Allah (akan) memelihara kamu dari (gangguan) manusia”.
Ini
berarti jika Nabi SAW mengabaikannya adalah sama halnya dengan mengabaikan
seluruh risalah-Nya. Dan apabila Nabi SAW menyampaikannya, Allah SWT berjanji
akan memeliharanya dari segala gangguan. Untuk menyampaikan perintah Tuhan yang
maha penting ini, Nabi SAW kemudian menginstruksikan seluruh sahabatnya untuk
berkumpul. Mereka yang telah melewati rombongan lain dan berada di depan,
diperintahkan untuk kembali, sementara mereka yang ketinggalan di belakang
diinstruksikan untuk berjalan lebih cepat agar bisa bergabung dengan rombongan
yang berada di sekitar sebuah kolam air yang dikenal dengan nama Ghadir Khum.
Riwayat
melaporkan bahwa sahabat yang hadir dalam pelaksanaan Haji Wada’ ada sekitar
120.000 orang. Riwayat juga menuliskan bahwa ketika itu udara padang Juhfah
sedemikian panasnya sehingga sebagian sahabat yang hadir membentangkan
pakaiannya atau membentangkan kain di atas padang pasir untuk melindungi
kakinya supaya tidak terbakar. Perintah yang harus disampaikan Nabi SAW ketika
itu adalah sebuah perintah yang maha besar, suatu perintah yang menyangkut
perjalanan masa depan agama Allah dan umat Islam. Karena itu beliau mau
berkorban segala-galanya untuk menyampaikan perintah tersebut. Bisa kita
katakan bahwa ini adalah titik yang paling menentukan bagi masa depan
perjalanan sejarah Islam serta kehidupan spiritual dan material kemanusiaan.
Menjelang
dzuhur ketika semua rombongan sudah berkumpul mengitari Nabi SAW, dan suasana
ketika itu benar-benar sepi dan mencekam. Atmosfir padang Juhfah yang panas,
kering dan keras bercampur dengan hingar-bingarnya suara ringkikan unta.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa peristiwa yang akan terjadi di sana adalah
peristiwa yang benar-benar bermakna.
Tiba-tiba
suara itu berhenti ketika sosok Nabi SAW yang mulia berdiri di atas pelana
tunggangan unta supaya terlihat oleh semua yang hadir. Seluruh pandangan
mengarah kepada wajahnya yang berusia 63 tahun itu, yang kini berwarna merah
dan bermandikan keringat. Kita tidak tahu perubahan wajah Nabi SAW itu
dikarenakan panasnya padang pasir Juhfah atau karena beratnya tugas yang beliau
emban. Bagaikan magnet wajah yang berkilauan cahaya itu menarik semua
perhatian, meredam sengatan matahari Juhfah dan menyejukkan orang-orang yang
memandangnya. Tidak hanya para sahabat yang mau mendengarkan makhluk Allah SWT
yang terbaik ini, tetapi juga seluruh entitas yang ada di saat itu siap untuk
menyaksikan penunjukkan Imam Ali Karramallahu Wajhah sebagai pengganti
kepemimpinan Nabi SAW untuk ummat.
Setelah
empat belas abad berlalu dari peristiwa al Ghadir, pesan-pesan Nabi SAW di
hadapan puluhan bahkan ratusan ribu masyarakat jazirah Arab itu masih terekam
secara akurat dalam buku-buku sejarah. Tiada seorang pun yang meragukan
kesahihannya. Sebab pesan al Ghadir tidak hanya untuk masyarakat pada saat itu
saja tapi ia adalah pesan universal yang berlaku untuk selamanya. Sebuah bimbingan
Ilahi yang pada hakikatnya adalah sebuah konsep tentang kepemimpinan yang
diinginkan oleh Allah SWT.
Seandainya
pesan Nabi ini terealisasi dan pengganti yang ditunjuknya tidak diisolasi serta
diberikan kesempatan untuk melaksanakan tugasnya, niscaya kemurnian agama Islam
akan terpelihara, sunnah nabi yang benar akan terlanjutkan, ajaran-ajaran al Quran
yang suci akan tersebarkan, dan kader-kader Islam yang berkualitas akan
terlahirkan sehingga perjalanan sejarah Islam akan tetap berada pada relnya yang
telah digariskan dan mereka yang memeluk Islam secara terpaksa tidak duduk
sebagai penguasa yang duduk sebagai penentu nasib umat Islam. Seandainya Imam
Ali tidak dihalangi untuk memimpin umat ini sepeninggal Nabi SAW oleh ummat
Muhmmad yang rapat di Saqifah (Umar, Abu Bakar dan jamaah yang bersama mereka
yang membai’at Abu Bakar dan memaksa Abu Bakar untuk menduduki kekhalifahan)
yang terbukti menelikung pesan Nabi SAW itu di saat yang berhak, yaitu Imam
Ali, tengah sibuk mengurus jasad-jenazah Rasulullah, niscaya dia akan membawa
mereka menuju kesempurnaan insaniyah.
Ketika
kita mengingat kembali peristiwa al Ghadir pada zaman ini, kita tidak bertujuan
untuk menyibak aib si fulan atau si anu. Kita hanya ingin mengungkap rasa
penyesalan yang sangat dalam akan ketertinggalan spiritual ummat manusia karena
mengabaikan pesan-pesan Ilahi yang suci ini. Dari kalangan sarjana dari
berbagai disiplin ilmu yang meriwayatkan atau menulis secara spesifik tentang
peristiwa al Ghadir ini, mulai dari ahli sejarah, hadits, tafsir, kalam, bahkan
penyair-penyairnya, sejauh ini minimal ada 26 karya ulama-ulama klasik yang
secara khusus menulis tentang peristiwa Ghadir Khum, antara lain:
1. Kitab
al-Wilayah, karya Muhammad bin Jurir al-Thabari. Seorang ulama yang sangat
terkenal dengan spesialisasinya dalam sejarah dan tafsir. Mungkin beliau adalah
sarjana Muslim pertama yang menulis secara detail peristiwa al-Ghadir dalam
bentuk sebuah buku.
2.
Al-Wilayah fi Thuruq Hadits al-Ghadir, karya Ibnu Uqdah al-Hamadani yang
meriwayatkan peristiwa al-Ghadir lewat 105 perawi.
3. Thariq
Hadits al-Ghadir, karya Abdullah bin Ahmad bin Farid al-Anbari.
4. Karya
Muhammad bin Amer bin Muhammad at-Tamimi al-Baghdadi, yang melaporkan peristiwa
al-Ghadir dengan melaporkan 125 jalur riwayat.
5. Abaqat
al-Anwar (20 jilid), karya Mir Hamid Husain al-Hindi dan putranya. Sang ayah
menulis 12 jilid, sisanya ditulis oleh sang putra.
6. Al-Ghadir,
karya Ayatullah Syaikh Abdul Husain Al-Amini.
Seperti
yang telah disebutkan di atas bahwa peristiwa al Ghadir ini telah dilaporkan
oleh 125 perawi. Kami akan sebutkan sebagian nama pelapornya dari kalangan
sahabat-sahabat Nabi terkemuka, adalah sebagai berikut: Abu Bakar bin Abi
Quhafah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Abdullah at-Tamimi,
Zubair bin Awam, Abbas bin Abdul Muthalib, Usamah bin Zaid bin Harithah, Anas
bin Malik, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Hassan bin Tsabit,
Abdullah bin Mas’ud, Salman al-Farisi, Abu Dzar al Ghiffari, Ammar bin Yasir,
Miqdad bin Aswad, Ubay bin Ka’ab dan Imam Ali bin Abi Thalib. Sedangkan dari kalangan
wanitanya adalah: Asma binti Umais, Ummu Salamah (isteri Nabi), Aisyah binti
Abubakar, Ummu Hani binti Abu Thalib, dan Fathimah az-Zahra, puteri Nabi.
Reaksi
yang sangat istimewa di mana khalifah Umar bin Khaththab mengakui superioritas
Ali bin Abi Thalib dibanding sahabat-sahabat lainnya. Bukan hanya khalifah
Umar, sahabat-sahabat lainnya seperti isteri Nabi SAW sendiri pernah berkata: “Ali
adalah orang yang paling paham tentang sunnah nabi”. Di tempat lain ia berkata:
“Akhlak Ali adalah akhlak Al Quran”. Abdullah bin Abbas seorang ahli tafsir Al Quran
dari sahabat Nabi berkata: “Perbandingan ilmuku dan ilmu sahabat lain dengan
imu Ali bin Abi Thalib bagaikan perbandingan setetes air dengan tujuh samudera
lepas”.
Abdullah
bin Mas’ud berkata: “Ilmu hikmah terbagi menjadi sepuluh bagian. Ali telah
dianugerahi oleh Allah sembilan bagiannya dan manusia lainya satu bagian saja,
dalam satu bagian yang tersisa itu Ali adalah yang paling arif”. Udai bin Hatim
berkata: “Demi Allah, adapun mengenai kitab dan sunnah, Ali adalah yang paling
mengerti dari manusia lain. Adapun tentang keislamannya, Ali adalah saudara
Nabi Allah dan lokomotif Islam, adapun tentang zuhud dan ibadah, Ali adalah
yang paling tampak zuhudnya dan paling sungguh-sungguh ibadahnya; adapun
tentang intelek dan temperamennya, Ali adalah orang yang paling jenius dan
paling pemurah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar