Minggu, 27 Juli 2014

Khutbah Haji Wada’ dan Kepemimpinan Islam




“Ia (Ali) yang melepaskan hak-nya sebagai khalifah demi ukhuwwah, adalah khalifah yang sesungguhnya”

Oleh Ali Husain

Peristiwa Ghadir Khum merupakan mata rantai yang hilang dari sejarah Islam pada umumnya. Padahal peristiwa ini membeberkan satu fakta yang sangat penting: bahwa Nabi SAW pernah berpesan tentang kepemimpinan Islam setelahnya. Khutbah Nabi SAW di Ghadir Khum pada tanggal 18 Dzulhijjah 10 H merupakan khutbah Nabi yang terakhir. Lebih dari seratus ribu sahabat yang merekam peristiwa ini. Sedemikian mutawattir dan terpercayanya laporan mereka sehingga seorang perawi terkenal yang bernama Dhiyauddin Muqbili pernah berkata, “Seandainya kriteria kesahihan hadits al Ghadir ditolak, niscaya tidak satu pun hadits lain yang dapat kita kategorikan sebagai hadits shahih”.

Khutbah al Ghadir memuat pesan-pesan universal dan kemanusiaan yang begitu agung dari Nabi SAW. Beliau Nabi SAW merefleksikan keluasan visi dan misinya pada kepemimpinan yang ideal pasca kenabiannya seperti yang telah Allah SWT perintahkan. Ia menekankan kesinambungan kepemimpinan Ilahiyyah setelah periode kenabian terakhir. Sebab, ketika wahyu tidak lagi turun dan umat manusia tidak lagi memperoleh tuntunan langsung dari manusia-manusia Ilahi seperti Nabi, maka sesuatu yang terlihat sangat urgen dan esensial adalah kehadiran orang yang mewakili sosok kenabian secara utuh demi keselamatan segenap umat manusia ini.

Khutbah Ghadir Khum menafikan seluruh pendapat yang mengatakan bahwa Nabi SAW tidak pernah berpesan tentang kepemimpinan ummat setelahnya, atau kepemimpinan ummat sepenuhnya diserahkan kepada umat itu sendiri untuk menentukannya. Jika masalah kecil seperti disunahkannya memasuki kamar kecil dengan melangkah kaki kiri terlebih dahulu dan sebaliknya keluar dengan kaki kanan, atau masalah-masalah kecil lainnya Nabi SAW menjelaskannya kepada ummatnya, lalu bagaimana mungkin masalah kepemimpinan sesudahnya, yang merupakan penerus misi dan visinya dalam membimbing dan meneruskan perintah-perintah Ilahi kepada seluruh umat manusia tidak beliau pikirkan?

Mustahil bagi seorang Nabi SAW melupakan yang besar ini, yang jika tidak beliau katakan besar kemungkinan umat Islam dalam kesesatan dan ketidakberdayaan. Apalagi sebelumnya Allah SWT telah memerintahkan Nabinya dengan jelas, dalam al-Quran surat al Maidah ayat 67, Allah berfirman: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu. Dan apabila tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan (seluruh) risalah-Nya. Allah (akan) memelihara kamu dari (gangguan) manusia”.

Ini berarti jika Nabi SAW mengabaikannya adalah sama halnya dengan mengabaikan seluruh risalah-Nya. Dan apabila Nabi SAW menyampaikannya, Allah SWT berjanji akan memeliharanya dari segala gangguan. Untuk menyampaikan perintah Tuhan yang maha penting ini, Nabi SAW kemudian menginstruksikan seluruh sahabatnya untuk berkumpul. Mereka yang telah melewati rombongan lain dan berada di depan, diperintahkan untuk kembali, sementara mereka yang ketinggalan di belakang diinstruksikan untuk berjalan lebih cepat agar bisa bergabung dengan rombongan yang berada di sekitar sebuah kolam air yang dikenal dengan nama Ghadir Khum.

Riwayat melaporkan bahwa sahabat yang hadir dalam pelaksanaan Haji Wada’ ada sekitar 120.000 orang. Riwayat juga menuliskan bahwa ketika itu udara padang Juhfah sedemikian panasnya sehingga sebagian sahabat yang hadir membentangkan pakaiannya atau membentangkan kain di atas padang pasir untuk melindungi kakinya supaya tidak terbakar. Perintah yang harus disampaikan Nabi SAW ketika itu adalah sebuah perintah yang maha besar, suatu perintah yang menyangkut perjalanan masa depan agama Allah dan umat Islam. Karena itu beliau mau berkorban segala-galanya untuk menyampaikan perintah tersebut. Bisa kita katakan bahwa ini adalah titik yang paling menentukan bagi masa depan perjalanan sejarah Islam serta kehidupan spiritual dan material kemanusiaan.

Menjelang dzuhur ketika semua rombongan sudah berkumpul mengitari Nabi SAW, dan suasana ketika itu benar-benar sepi dan mencekam. Atmosfir padang Juhfah yang panas, kering dan keras bercampur dengan hingar-bingarnya suara ringkikan unta. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa peristiwa yang akan terjadi di sana adalah peristiwa yang benar-benar bermakna.

Tiba-tiba suara itu berhenti ketika sosok Nabi SAW yang mulia berdiri di atas pelana tunggangan unta supaya terlihat oleh semua yang hadir. Seluruh pandangan mengarah kepada wajahnya yang berusia 63 tahun itu, yang kini berwarna merah dan bermandikan keringat. Kita tidak tahu perubahan wajah Nabi SAW itu dikarenakan panasnya padang pasir Juhfah atau karena beratnya tugas yang beliau emban. Bagaikan magnet wajah yang berkilauan cahaya itu menarik semua perhatian, meredam sengatan matahari Juhfah dan menyejukkan orang-orang yang memandangnya. Tidak hanya para sahabat yang mau mendengarkan makhluk Allah SWT yang terbaik ini, tetapi juga seluruh entitas yang ada di saat itu siap untuk menyaksikan penunjukkan Imam Ali Karramallahu Wajhah sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW untuk ummat.

Setelah empat belas abad berlalu dari peristiwa al Ghadir, pesan-pesan Nabi SAW di hadapan puluhan bahkan ratusan ribu masyarakat jazirah Arab itu masih terekam secara akurat dalam buku-buku sejarah. Tiada seorang pun yang meragukan kesahihannya. Sebab pesan al Ghadir tidak hanya untuk masyarakat pada saat itu saja tapi ia adalah pesan universal yang berlaku untuk selamanya. Sebuah bimbingan Ilahi yang pada hakikatnya adalah sebuah konsep tentang kepemimpinan yang diinginkan oleh Allah SWT.

Seandainya pesan Nabi ini terealisasi dan pengganti yang ditunjuknya tidak diisolasi serta diberikan kesempatan untuk melaksanakan tugasnya, niscaya kemurnian agama Islam akan terpelihara, sunnah nabi yang benar akan terlanjutkan, ajaran-ajaran al Quran yang suci akan tersebarkan, dan kader-kader Islam yang berkualitas akan terlahirkan sehingga perjalanan sejarah Islam akan tetap berada pada relnya yang telah digariskan dan mereka yang memeluk Islam secara terpaksa tidak duduk sebagai penguasa yang duduk sebagai penentu nasib umat Islam. Seandainya Imam Ali tidak dihalangi untuk memimpin umat ini sepeninggal Nabi SAW oleh ummat Muhmmad yang rapat di Saqifah (Umar, Abu Bakar dan jamaah yang bersama mereka yang membai’at Abu Bakar dan memaksa Abu Bakar untuk menduduki kekhalifahan) yang terbukti menelikung pesan Nabi SAW itu di saat yang berhak, yaitu Imam Ali, tengah sibuk mengurus jasad-jenazah Rasulullah, niscaya dia akan membawa mereka menuju kesempurnaan insaniyah.

Ketika kita mengingat kembali peristiwa al Ghadir pada zaman ini, kita tidak bertujuan untuk menyibak aib si fulan atau si anu. Kita hanya ingin mengungkap rasa penyesalan yang sangat dalam akan ketertinggalan spiritual ummat manusia karena mengabaikan pesan-pesan Ilahi yang suci ini. Dari kalangan sarjana dari berbagai disiplin ilmu yang meriwayatkan atau menulis secara spesifik tentang peristiwa al Ghadir ini, mulai dari ahli sejarah, hadits, tafsir, kalam, bahkan penyair-penyairnya, sejauh ini minimal ada 26 karya ulama-ulama klasik yang secara khusus menulis tentang peristiwa Ghadir Khum, antara lain:

1.    Kitab al-Wilayah, karya Muhammad bin Jurir al-Thabari. Seorang ulama yang sangat terkenal dengan spesialisasinya dalam sejarah dan tafsir. Mungkin beliau adalah sarjana Muslim pertama yang menulis secara detail peristiwa al-Ghadir dalam bentuk sebuah buku.

2.     Al-Wilayah fi Thuruq Hadits al-Ghadir, karya Ibnu Uqdah al-Hamadani yang meriwayatkan peristiwa al-Ghadir lewat 105 perawi.

3.     Thariq Hadits al-Ghadir, karya Abdullah bin Ahmad bin Farid al-Anbari.

4.     Karya Muhammad bin Amer bin Muhammad at-Tamimi al-Baghdadi, yang melaporkan peristiwa al-Ghadir dengan melaporkan 125 jalur riwayat.

5.     Abaqat al-Anwar (20 jilid), karya Mir Hamid Husain al-Hindi dan putranya. Sang ayah menulis 12 jilid, sisanya ditulis oleh sang putra.

6.     Al-Ghadir, karya Ayatullah Syaikh Abdul Husain Al-Amini.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa peristiwa al Ghadir ini telah dilaporkan oleh 125 perawi. Kami akan sebutkan sebagian nama pelapornya dari kalangan sahabat-sahabat Nabi terkemuka, adalah sebagai berikut: Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Thalhah bin Abdullah at-Tamimi, Zubair bin Awam, Abbas bin Abdul Muthalib, Usamah bin Zaid bin Harithah, Anas bin Malik, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Hassan bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud, Salman al-Farisi, Abu Dzar al Ghiffari, Ammar bin Yasir, Miqdad bin Aswad, Ubay bin Ka’ab dan Imam Ali bin Abi Thalib. Sedangkan dari kalangan wanitanya adalah: Asma binti Umais, Ummu Salamah (isteri Nabi), Aisyah binti Abubakar, Ummu Hani binti Abu Thalib, dan Fathimah az-Zahra, puteri Nabi.

Reaksi yang sangat istimewa di mana khalifah Umar bin Khaththab mengakui superioritas Ali bin Abi Thalib dibanding sahabat-sahabat lainnya. Bukan hanya khalifah Umar, sahabat-sahabat lainnya seperti isteri Nabi SAW sendiri pernah berkata: “Ali adalah orang yang paling paham tentang sunnah nabi”. Di tempat lain ia berkata: “Akhlak Ali adalah akhlak Al Quran”. Abdullah bin Abbas seorang ahli tafsir Al Quran dari sahabat Nabi berkata: “Perbandingan ilmuku dan ilmu sahabat lain dengan imu Ali bin Abi Thalib bagaikan perbandingan setetes air dengan tujuh samudera lepas”.

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Ilmu hikmah terbagi menjadi sepuluh bagian. Ali telah dianugerahi oleh Allah sembilan bagiannya dan manusia lainya satu bagian saja, dalam satu bagian yang tersisa itu Ali adalah yang paling arif”. Udai bin Hatim berkata: “Demi Allah, adapun mengenai kitab dan sunnah, Ali adalah yang paling mengerti dari manusia lain. Adapun tentang keislamannya, Ali adalah saudara Nabi Allah dan lokomotif Islam, adapun tentang zuhud dan ibadah, Ali adalah yang paling tampak zuhudnya dan paling sungguh-sungguh ibadahnya; adapun tentang intelek dan temperamennya, Ali adalah orang yang paling jenius dan paling pemurah”.

Sumber:  Majalah Syi’ar Edisi Muharram 1423 H 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar