Radar Banten, 17 Mei 2013
“Tragedi Karbala adalah
sebuah lensa sejarah di mana ummat Islam atau masyarakat mana pun dapat melihat
pantulan kesadaran dan pelajaran tentang semangat kebebasan, kemanusiaan, dan
sejarah itu sendiri”
Menjadi pribadi yang
tegak, menyongsong kemajuan, dan memberikan kebaikan bagi semua ummat manusia,
Itulah Teladan Asyura Imam Hussain. Demikianlah kesan singkat saya saat
beberapa kali membaca ulang kisah dan peristiwa paling menyedihkan dalam sejarah,
sekelompok kecil manusia harus menemui ajalnya dalam keadaan sangat mengenaskan
dan bersimbah darah di tangan ribuan tentara, yang memang merupakan sebuah
peristiwa pembantaian oleh satu kelompok di satu sisi, sekaligus teladan
keteguhan, kesabaran, dan keberanian dalam kelompok yang lain, yaitu barisan
Imam Hussain as Syahid.
Sementara itu, menurut Ali
Syari’ati, contohnya, peristiwa Karbala sebenarnya telah memberikan kepada kita
tentang tiga gambaran dan karakter individu dan masyarakat, yang mungkin tetap
relevan di setiap masa. Kelompok pertama, adalah mereka yang menyadari sebuah
situasi yang tak hanya memerlukan kejuhudan semata untuk melakukan perubahan
masyarakat dan situasi ke arah yang lebih baik, tetapi memang harus dengan
tenaga dan jihad dalam arti fisik (yang dalam hal ini kesadaran dan perjuangan
mereka untuk melawan tirani dan rezim despotik). Kelompok pertama ini tak lain
adalah Imam Hussein dan para pengikutnya, yang memang selain merupakan
pribadi-pribadi yang juhud, juga adalah individu-individu yang telah matang di
medan laga demi mempertahankan kehormatan dan tonggak masyarakat yang berdiri
di aras kebajikan dan keadilan, keteguhan demi menegakkan diri berhadapan
dengan tirani.
Kelompok kedua, adalah
orang-orang yang cenderung mencari jalan aman dan kepentingan diri sendiri,
hingga memilih tidak berpihak kepada dua sudut yang tengah berlawanan. Dan
kelompok yang ketiga, adalah mereka yang menjadi budak tirani dan tak sanggup
melakukan kesadaran, di mana kelompok ini digambarkan lewat tokoh Syimir sang
jagal kesayangan Yazid bin Muawwiyah dan Marwan ibn Hakam sang broker politik.
Karbala Sebagai Lensa
Sejarah
Di mata Ali Syariati, sang
filsuf dan sosiolog itu, contohnya, Karbala adalah sebuah lensa sejarah di mana
ummat Islam atau masyarakat mana pun dapat melihat pantulan kesadaran dan
pelajaran tentang semangat kebebasan, kemanusiaan, dan sejarah itu sendiri dari
gambar yang ditampilkannya kepada kita saat merenungi dan membaca peristiwa dan
tragedi yang sangat keji dan berdarah tersebut. Sementara itu, Imam Hussein
sendiri tak ubahnya hanya sekedar “figur” yang dipinjam sebagai seorang saksi
(syahid = yang menyaksikan) akan pentingnya kesadaran dan perlawanan untuk
menolak tirani. Dengan demikian, secara kiasi, Peristiwa Karbala merupakan
sebuah perumpamaan yang telah ditampilkan oleh sejarah di mana kita dapat
memetik pelajaran atau pun refleksi kemanusiaan darinya, yang salah-satunya
adalah penolakan terhadap tirani dan rezim yang despotik.
Figur Imam Hussein,
demikian lanjut Ali Syariati, tak diragukan lagi merupakan figur dan contoh
seseorang yang juhud, namun sekaligus seorang yang memiliki visi politik yang
bertolak-belakang dengan tirani dan rezim despotik ala Yazid bin Muawwiyah yang
meraih kekuasaannya dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan cita-cita
etis dan politik kekuasaan itu sendiri. Bila demikian, Yazid bin Muawwiyah
adalah seorang fasis dan despotik dalam arti yang nyata, sedangkan kekuasaan
politiknya itu sendiri merupakan bentuk pengingkaran terhadap semangat keadilan
dan tujuan politik itu sendiri. Sebaliknya, Imam Hussein, adalah sebuah simbol
di mana politik dan kekuasaan tidak bisa dipaksakan tanpa kerelaan dan
persetujuan ummat.
Kita tahu, di Karbala
ribuan tahun silam itu, Imam Hussein dan para pengikutnya berjuang dengan
sekuat tenaga dalam keadaan kehausan, dikepung oleh ribuan pasukan rezim
despotik Yazid bin Muawwiyah dari segala sudut. Menurut catatan sejarah, Imam
Hussein beserta para keluarga dan pengikutnya yang hanya berjumlah puluhan
orang, itu terpaksa berjuang mempertahankan diri melawan 4.000 pasukan
Ubaydullah ibn Ziyad, Gubernur Kufah yang sangat patuh kepada Yazid demi
mempertahankan kedudukannya sendiri sebagai gubernur. Alhasil, pertempuran itu
memang lebih merupakan ladang pembantaian paling sadis dan keji dalam sejarah
yang menimpa Imam Hussein dan para pengikutnya, meski mulanya Imam Hussein dan
para pengikutnya telah membuat gugur ratusan tentara rezim tiran Yazid bin
Muawwiyah.
Karbala, demikian masih
menurut Ali Syariati, di sisi lain, juga menggambarkan sebuah situasi politik
dan kondisi masyarakat yang tengah berada dalam situasi yang sulit dan tengah
mengalami krisis kesadaran. Sebuah situasi dan kondisi ketika masyarakat
kehilangan kesadaran dan keberanian untuk melawan tirani, hingga nyaris
menganggap “wajar” despotisme Yazid bin Muawwiyah itu sendiri. Dalam situasi
seperti itulah, Imam Hussein dan para pengikutnya merupakan pengecualian. Di
mana Imam Hussein dan para pengikutnya mencerminkan individu-individu yang
memiliki kesadaran untuk mendapatkan dan meraih kondisi politik yang lebih
baik, semacam hijrah dalam arti yang sebenarnya, dari situasi politik yang
lalim dan tiranis menuju masyarakat yang menjunjung keadilan dan martabat
kemanusiaan. Yang kira-kira kalau dibahasakan dengan bahasa yang sederhana,
adalah masyarakat kreatif yang sanggup menolong dirinya sendiri.
Makna Historis Karbala
Jika demikian, Tragedi
Karbala, sebagai lensa sejarah, memiliki makna yang tidak remeh. Sejumlah ulama
dan penulis bahkan meyakini Karbala memang “rekayasa” dan “kehendak” Tuhan itu
sendiri sebagai cermin untuk direnungi, mirip sebuah ajaran kiasi, di mana
figur Imam Hussein beserta keluarga dan para pengikutnya yang setia itu sengaja
dipinjam oleh Tuhan agar menjadi contoh dan teladan agar kita menjadi individu
dan masyarakat yang kreatif, dapat menolong diri sendiri, dan sanggup melawan
situasi dan keadaan yang akan memandulkan kreativitas dan kesadaran kita.
Singkatnya, para syuhada di Karbala itu merupakan gambaran orang-orang yang
memiliki kesadaran dan menolak tunduk kepada tirani dan ketidakadilan yang
tengah menjelmakan dirinya dalam bentuk figur Yazid bin Muawwiyah, yang memang
dalam beberapa hal tak ubahnya metamorphosis Fir’aun di jaman Nabi Musa.
Begitulah, karena
koherensi dan relevansinya yang melampaui sekat-sekat dan batas-batas antara
Sunni atau Syiah, atau bahkan relevan untuk seluruh ummat manusia, Tragedi
Karbala memang merupakan peristiwa sejarah yang menjelmakan dirinya sebagai
lensa sejarah dan kiasan nyata di mana kita dapat mengambil atau “memetik”
untaian-untaian makna yang terkandung dari peristiwa nyata sejarah tersebut. Di
sana, meski terjadi ribuan tahun silam, masih tetap terpancar sebuah pesan
sekaligus kiasan dan “ibrah” bagi kita tentang nilai-nilai martabat dan
keutamaan untuk menjadi manusia yang merdeka dalam segala situasi dan kondisi,
untuk menjadi manusia yang kreatif dan senantiasa memiliki kesadaran dan
lanskap-wawasan demi terus-menerus sanggup menentukan pilihan kita sendiri agar
senantiasa menjadi individu dan masyarakat yang merdeka, secara lahir maupun
bathin, syahid dalam arti yang sesungguhnya.
Sulaiman Djaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar