Oleh Irman Abdurrahman
Jauh
sebelum sejarahwan dan filosof Inggris, John Emerich Edward Dalberg Acton,
terkenal dengan pernyataannya, “Power tends to corrupt, absolute power
corrupts absolutely,” Imam Ali, dalam peringatannya kepada salah seorang
gubernurnya, telah menyatakan kekhawatirannya akan potensi koruptif kekuasaan.
Potensi itu akan semakin terasah ketika kekuasaan bersinggungan dengan
kemewahan. Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi
Thalib diriwayatkan telah memperoleh informasi bahwa seorang gubernurnya di
Basrah, Usman bin Hunaif al-Ansyari, menghadiri pesta seorang hartawan Basrah.
Fenomena yang mungkin kini sepele bagi kita tetapi tidak bagi Ali saat itu.
Sang Khalifah segera menyampaikan pesan: “Dengan
Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Ibnu Hunaif! Telah
sampai ke pendengaranku sebuah kabar, bahwa seorang hartawan kota Basrah mengundangmu
ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka
hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian… Sungguh aku
tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu
tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.”
Jauh sebelum sejarahwan dan filosof Inggris, John Emerich Edward
Dalberg Acton, terkenal dengan pernyataannya, “Power tends to corrupt,
absolute power corrupts absolutely,” Ali, dalam peringatannya di atas,
telah menyatakan kekhawatirannya akan potensi koruptif kekuasaan. Potensi itu
akan semakin terasah ketika kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan. Ibarat
jalan bebas hambatan yang supercepat sehingga mengaburkan pandangan si
pengendara dari segala sesuatu di kiri-kanan jalan (wajah lokal, kontur
pemandangan, dan wajah regional kehidupan sehari-hari –meminjam ekspresi
provokatif Slouka, Ruang yang Hilang: 1999), maka kemewahan dengan
“nampan-nampan yang datang bergantian” akan berpotensi menelan habis kesadaran
si pemilik kekuasaan terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat
yang memberinya kuasa. Bukankah kemewahan adalah “tempat yang orang-orang
miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang”?
Kemewahan adalah sejenis simulasi, representasi tanpa asal-usul
realitas. Kemewahan tidaklah diprakondisikan oleh kebutuhan, yang acuannya
nyata di dalam realitas, tetapi oleh keinginan: citra, status, simbol, dan gaya
sebagai “penanda-penanda” murni yang sudah tidak memiliki “petanda-petanda”
(realitas). Bagi kemewahan, tidak ada yang tidak dapat dimiliki karena mewah
tidak berbicara tentang “kutahu apa yang kubutuhkan” tetapi “kutahu apa yang
kumau”.
Karena tidak berpijak realitas, maka kemewahan
tidaklah terbatas. Satu hal yang mungkin mengendalikannya hanyalah logika
hasrat (logic of desire): fantasi, ilusi, dan halusinasi. Jika sudah
demikian, sebagaimana simulasi adalah hiperrealitas (Baudrillard, Simulations:
1983) karena tampak lebih “nyata” daripada kenyataan, maka mewah adalah
“hiperkaya” karena bukan hanya kaya tetapi juga rakus.
Oleh sebab itu, alih-alih ingin menjadi seperti Tuhan Yang
Mahakaya, para pemuja kemewahan justru ibarat —meminjam ungkapan Goenawan
Mohammad— “katak yang hendak menjadi lembu” karena ‘kaya’ (al-ghani)
dalam realitas Ilahiah adalah identik dengan ‘sederhana’ (al-basîth):
kondisi ketakbergantungan. Bukankah semakin sederhana suatu entitas, semakin ia
tidak bergantung kepada selainnya. Sementara itu, para pemuja kemewahan, dalam
serba “ketakterbatasannya”, adalah pecandu-pecandu citra, simbol, ilusi,
fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas-diri mereka amatlah bergantung
kepada semua hal tersebut.Maka, jika para pecandu narkoba harus direhabilitasi
karena dipastikan mengalami disorientasi-diri (perasaan tidak percaya diri,
tidak berguna, tidak berdaya, dan sebagainya) ketika tidak mengonsumsi zat
adiktif itu, para penguasa dan politisi, atau siapa pun, yang menyatakan
dirinya tak bermartabat karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan
yang lebih sedikit adalah sama buruknya dan harus menjalani rehabilitasi yang
tampaknya jauh lebih sulit.
Dalam pelukan mesra kemewahan, kekuasaan mengalami proses
transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”: kuantitas yang menggilas
kualitas [naik gaji identik dengan kinerja yang makin baik]; kecepatan yang
mengebiri substansi [krisis komunikasi antara masyarakat dengan penguasa
dijawab dengan SMS]; citra yang tampak lebih penting dibandingkan realitas
[adakah anggota DPR yang menolak kenaikan gaji? Ada, tetapi maaf, bukan dalam
rapat-rapat tetapi di koran-koran dan teve-teve]. Apa
yang bisa kita harapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah
merapat ke dermaga kemewahan? Mungkin tidak ada—untuk tidak mengatakan “sama
sekali” tidak ada. Simpati dan empati, sesuatu yang mungkin paling minim
diharapkan dari seorang penguasa, hanya akan kita temui dalam citraan-citraan
itu sendiri: iklan, retorika politik di media-media, seremoni-seremoni, atau
kunjungan-kunjungan kerja “sesaat”.
Sementara itu, yang akan kita saksikan dari kekuasaan jenis ini,
di antaranya, adalah pertama, kebijakan simplistik yang mengarah kepada
pengabdian yang minimalis. Para penguasa jenis ini pada hakikatnya merupakan
korban dari lalu-lintas perburuan hasrat yang tak kunjung henti dan bergerak
dalam kecepatan tinggi. Akibatnya, mereka benar-benar lumpuh—terutama secara
paradigmatik— untuk menetapkan kebijakan yang radikal, revolutif, dan solutif.
Mereka terjebak di dalam kebijakan-kebijakan yang simpilstik: sekedar mengikuti
prosedur, reaktif terhadap segala fenomena yang terjadi, dan—bahkan
celakanya—miskin alternatif sekaligus larut ke dalam fenomena-fenomena
globalisasi ekonomi, politik, dan budaya yang selalu saja diasosiasikan dengan
realitas “di luar sana”, seraya seringkali berkhotbah, “Tidak ada alternatif
bagi sistem pasar.”
Bagi Imam Ali, penguasa seperti itu adalah mereka yang
menganggap bahwa segala sesuatu telah selesai ketika suatu pekerjaan ‘besar’
(undang-undang, keppres, kepmen, permen, perpu, dan “tetek bengek” produk hukum
positif lainnya, peresmian proyek, pencanangan program, serta berbagai kegiatan
seremonial lainnya) telah dilaksanakan padahal, “Jangan beranggapan bahwa
kau tidak akan dituntut akibat melalaikan yang remeh semata-mata disebabkan kau
telah menyelesaikan berbagai urusan yang besar…”
Yang kedua adalah—meminjam istilah Yasraf Amir
Piliang—hiper-kriminalitas, yakni ketika kedegilan dan kebejatan perilaku
justru dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya. Akal sehat kita,
misalnya, seakan-akan tak kunjung mengerti bagaimana mungkin belasan perwira
polisi diduga melakukan tindakan pencucian uang atau bagaimana mungkin para
pejabat—yang notabene berpenghasilan lebih daripada cukup dan telah
berulangkali naik haji—tanpa adanya sebuah resistensi moral berhaji atas biaya
rakyat sementara jutaan orang Indonesia harus bersusah payah menabung
seperak-duaperak demi menjadi tamu Allah itu—apatah lagi ketika diduga bahwa
sebagian dari “para haji” itu bahkan mengorupsi dana haji.
Sungguh, jawaban itu tidak akan kita temukan, baik dalam logika
hukum ataupun moral. Logika hasratlah yang telah mencabik-cabik kesadaran-diri
mereka akan moralitas dan realitas sosial. Karena berpacu bersama hasrat akan
kemewahan: simbol dan status—haji kini telah hanya menjadi simbol dari status
kelas tertentu di dalam masyarakat, apalagi jika dilakukan berkali-kali—mereka
melakukan “justifikasi” hak-hak orang banyak sebagai hak-hak khusus mereka
[sebagian pejabat yang naik haji dengan Dana Abadi Umat berargumen bahwa hal
itu sudah menjadi hak mereka karena menjalankan tugas negara] padahal, “Jangan
mengkhususkan dirimu dengan sesuatu yang menjadi hak bersama orang banyak,”
kata Ali lagi.
Yang berikutnya adalah ketakberpihakan. Para penguasa yang telah
mempersembahkan martabat dan kehormatan dirinya kepada buaian kemewahan adalah
mereka yang bukan saja abai tetapi berupaya lari dari [tidak berpihak kepada]
realitas—kebenaran dan keadilan; karena yang terakhir itu terlalu getir, pahit,
dan berat untuk dihadapi; karena perlu keringat, air mata, dan darah untuk
memperjuangkannya. Mereka lebih memilih menikmati beragam ilusi dan halusinasi
yang disajikan kemewahan yang celakanya—karena wataknya yang manipulatif—sangatlah
membenci realitas.
Konsekuensinya: (1) mereka lebih mementingkan kepuasan kaum elit
ketimbang rakyat kebanyakan; (2) mereka memanipulasi realitas (melalui iklan,
retorika, seremoni-seremoni, dan lain sebagainya) sehingga seolah-olah tampak
seperti realitas karena bukankah lebih mudah mengubah persepsi orang akan
realitas daripada mengubah realitas itu sendiri; dan (3) “menutupi” diri
terhadap rakyat kebanyakan—bukan hanya dengan menetapkan urusan protokoler yang
njelimet—dengan menyelubungi diri dan keluarga mereka dengan simbol-simbol yang
tak akan pernah terraih oleh tangan-tangan hina kaum papa.
Maka, janganlah pernah berharap mereka melakukan
perubahan-perubahan yang radikal bagi kepentingan orang-orang lemah karena
bukankah, “Pohon-pohon di padang tandus lebih kuat batangnya sedangkan yang
hijau menawan jauh lebih lunak. Demikian pula kayu pepohonan di tempat-tempat
gersang lebih kuat nyala apinya dan lebih lambat padamnya,” atau “Bukankah.
unta akan hidup tenang beristirahat bila telah penuh perutnya? Demikian pula
domba bila merasa kenyang setelah makan rerumputan?” ungkap Ali, Sang
Putra Ka’bah.
Ada yang unik dari ucapan Imam Ali di dalam Nahj al-Balâghah
(‘puncak kefasihan’ —suatu bunga rampai yang dipandang sarat nilai-nilai
kehidupan sekaligus diekspresikan dengan kata-kata indah). Di situ, Ali
menyebut dunia, dalam struktur negasi, dengan istilah qalib-an hissiyyan
‘sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi seperti halnya sesuatu yang bersifat
sensual’, mirip dengan simulasi sebagai ‘peniruan yang tanpa asal-usul
realitas’. Jelaslah bahwa yang dikecam Ali bukanlah dunia fisik: jasad tempat
ruh kita bersemayam, bumi tempat kita berpijak, dan lingkungan sosial tempat
kita berinteraksi, tetapi dunia hasrat yang kemilaunya mampu mengalienasi
manusia bukan saja dari persoalan-persoalan masyarakatnya tetapi juga dari
kesadaran-diri.
“Dunia kemilau” inilah yang, dalam realitas kita, telah
mampu mengalienasi seseorang dari perannya sebagai penegak hukum, pengemban
amanah rakyat, mahasiswa/pelajar, guru besar, agamawan, aktivis pro-demokrasi,
dan—terlebih lagi—dari eksistensi dirinya sebagai manusia. Karena itulah, kini,
kita kian sulit membedakan antara “penegak hukum dengan pelaku kriminal”,
“politikus dengan preman”, “guru besar dengan pelacur intelektual”,
“mahasiswa/pelajar dengan tukang pukul”, “agamawan dengan penghasut”, “aktivis
pro-demokrasi dengan penyuap”, dan bahkan antara “manusia dengan monster”.
Kini tampaknya kita harus mulai melakukan penjarakan dari dunia
hasrat dan pengakraban dengan realitas—bukan sebaliknya seperti yang sering
disalahtafsirkan orang dari istilah self-denial ‘penyangkalan-diri’.
Namun tentu saja, kita tak mungkin memaksa para “bapak-bapak” kita itu untuk
melakukan self-denial ala Imam Ali yang, “Tiada secuil emas atau
perak dari dunia kalian ini pernah kusimpan. Tiada harta apa pun darinya pernah
kutabung. Tiada sepotong baju pun telah kusiapkan sebagai pengganti pakaianku
yang lusuh. Tiada sejengkal tanah pun yang kumiliki. Tiada kuambil bagi diriku
lebih daripada makanan seekor keledai yang renta.”
Yang kita minta mungkin hanyalah hal-hal sepele seperti,
“Kadang-kadang dapatkah Bapak keluar dari rumah dan istana Bapak yang megah itu
lalu memperhatikan adakah di sekitarnya gubuk-gubuk liar yang setiap harinya
selalu diliputi kecemasan dan ketakutan tentang: tempat berteduh yang mungkin
digusur, makanan yang habis, uang yang menipis, anak yang menangis karena belum
membayar uang sekolah atau pungutan lainnya; atau sesekali relakah Bapak
meninggalkan mobil-mobil mewah Bapak lalu menaiki bus-bus umum atau
kereta-kereta api yang penuh sesak dan sumpek, yang para penumpangnya
seringkali harus cemas: apakah ongkos mereka cukup atau—jika cukup—masihkah ada
pada tempatnya, yang kondekturnya menghitung keping demi keping uang recehan
sembari bertanya dalam hati: adakah ini cukup untuk membayar setoran, seraya
berharap semoga tidak ada pungli atau tidak kena tilang yang berbuntut ‘uang
damai’.
”Hal-hal di atas mungkin sesuatu yang remeh, yang
tidak akan berbuah kompensasi seperti jika anggota parlemen “berstudi banding”
ke luar negeri, bukan pula berbuah “surga” seperti yang dijanjikan dari haji
yang berbiaya dinas tersebut. Yang dapat mereka peroleh, paling tidak, adalah
kesempatan untuk mengetahui siapakah mereka (dan siapakah yang bukan mereka)
dan siapa yang mesti mereka penuhi haknya lebih daripada yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar