Minggu, 08 Juni 2014

Kekuasaan Tanpa Kemewahan




Oleh Irman Abdurrahman

Jauh sebelum sejarahwan dan filosof Inggris, John Emerich Edward Dalberg Acton, terkenal dengan pernyataannya, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” Imam Ali, dalam peringatannya kepada salah seorang gubernurnya, telah menyatakan kekhawatirannya akan potensi koruptif kekuasaan. Potensi itu akan semakin terasah ketika kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan.  Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib diriwayatkan telah memperoleh informasi bahwa seorang gubernurnya di Basrah, Usman bin Hunaif al-Ansyari, menghadiri pesta seorang hartawan Basrah. Fenomena yang mungkin kini sepele bagi kita tetapi tidak bagi Ali saat itu. Sang Khalifah segera menyampaikan pesan:  “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Ibnu Hunaif! Telah sampai ke pendengaranku sebuah kabar, bahwa seorang hartawan kota Basrah mengundangmu ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian… Sungguh aku tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.”

Jauh sebelum sejarahwan dan filosof Inggris, John Emerich Edward Dalberg Acton, terkenal dengan pernyataannya, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” Ali, dalam peringatannya di atas, telah menyatakan kekhawatirannya akan potensi koruptif kekuasaan. Potensi itu akan semakin terasah ketika kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan. Ibarat jalan bebas hambatan yang supercepat sehingga mengaburkan pandangan si pengendara dari segala sesuatu di kiri-kanan jalan (wajah lokal, kontur pemandangan, dan wajah regional kehidupan sehari-hari –meminjam ekspresi provokatif Slouka, Ruang yang Hilang: 1999), maka kemewahan dengan “nampan-nampan yang datang bergantian” akan berpotensi menelan habis kesadaran si pemilik kekuasaan terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat yang memberinya kuasa. Bukankah kemewahan adalah “tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang”?

Kemewahan adalah sejenis simulasi, representasi tanpa asal-usul realitas. Kemewahan tidaklah diprakondisikan oleh kebutuhan, yang acuannya nyata di dalam realitas, tetapi oleh keinginan: citra, status, simbol, dan gaya sebagai “penanda-penanda” murni yang sudah tidak memiliki “petanda-petanda” (realitas). Bagi kemewahan, tidak ada yang tidak dapat dimiliki karena mewah tidak berbicara tentang “kutahu apa yang kubutuhkan” tetapi “kutahu apa yang kumau”. Karena tidak berpijak realitas, maka kemewahan tidaklah terbatas. Satu hal yang mungkin mengendalikannya hanyalah logika hasrat (logic of desire): fantasi, ilusi, dan halusinasi. Jika sudah demikian, sebagaimana simulasi adalah hiperrealitas (Baudrillard, Simulations: 1983) karena tampak lebih “nyata” daripada kenyataan, maka mewah adalah “hiperkaya” karena bukan hanya kaya tetapi juga rakus.  

Oleh sebab itu, alih-alih ingin menjadi seperti Tuhan Yang Mahakaya, para pemuja kemewahan justru ibarat —meminjam ungkapan Goenawan Mohammad— “katak yang hendak menjadi lembu” karena ‘kaya’ (al-ghani) dalam realitas Ilahiah adalah identik dengan ‘sederhana’ (al-basîth): kondisi ketakbergantungan. Bukankah semakin sederhana suatu entitas, semakin ia tidak bergantung kepada selainnya. Sementara itu, para pemuja kemewahan, dalam serba “ketakterbatasannya”, adalah pecandu-pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas-diri mereka amatlah bergantung kepada semua hal tersebut.Maka, jika para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena dipastikan mengalami disorientasi-diri (perasaan tidak percaya diri, tidak berguna, tidak berdaya, dan sebagainya) ketika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, para penguasa dan politisi, atau siapa pun, yang menyatakan dirinya tak bermartabat karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dan harus menjalani rehabilitasi yang tampaknya jauh lebih sulit.

Dalam pelukan mesra kemewahan, kekuasaan mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”: kuantitas yang menggilas kualitas [naik gaji identik dengan kinerja yang makin baik]; kecepatan yang mengebiri substansi [krisis komunikasi antara masyarakat dengan penguasa dijawab dengan SMS]; citra yang tampak lebih penting dibandingkan realitas [adakah anggota DPR yang menolak kenaikan gaji? Ada, tetapi maaf, bukan dalam rapat-rapat tetapi di koran-koran dan teve-teve]. Apa yang bisa kita harapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan? Mungkin tidak ada—untuk tidak mengatakan “sama sekali” tidak ada. Simpati dan empati, sesuatu yang mungkin paling minim diharapkan dari seorang penguasa, hanya akan kita temui dalam citraan-citraan itu sendiri: iklan, retorika politik di media-media, seremoni-seremoni, atau kunjungan-kunjungan kerja “sesaat”.

Sementara itu, yang akan kita saksikan dari kekuasaan jenis ini, di antaranya, adalah pertama, kebijakan simplistik yang mengarah kepada pengabdian yang minimalis. Para penguasa jenis ini pada hakikatnya merupakan korban dari lalu-lintas perburuan hasrat yang tak kunjung henti dan bergerak dalam kecepatan tinggi. Akibatnya, mereka benar-benar lumpuh—terutama secara paradigmatik— untuk menetapkan kebijakan yang radikal, revolutif, dan solutif. Mereka terjebak di dalam kebijakan-kebijakan yang simpilstik: sekedar mengikuti prosedur, reaktif terhadap segala fenomena yang terjadi, dan—bahkan celakanya—miskin alternatif sekaligus larut ke dalam fenomena-fenomena globalisasi ekonomi, politik, dan budaya yang selalu saja diasosiasikan dengan realitas “di luar sana”, seraya seringkali berkhotbah, “Tidak ada alternatif bagi sistem pasar.”

 Bagi Imam Ali, penguasa seperti itu adalah mereka yang menganggap bahwa segala sesuatu telah selesai ketika suatu pekerjaan ‘besar’ (undang-undang, keppres, kepmen, permen, perpu, dan “tetek bengek” produk hukum positif lainnya, peresmian proyek, pencanangan program, serta berbagai kegiatan seremonial lainnya) telah dilaksanakan padahal, “Jangan beranggapan bahwa kau tidak akan dituntut akibat melalaikan yang remeh semata-mata disebabkan kau telah menyelesaikan berbagai urusan yang besar…”  

Yang kedua adalah—meminjam istilah Yasraf Amir Piliang—hiper-kriminalitas, yakni ketika kedegilan dan kebejatan perilaku justru dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya. Akal sehat kita, misalnya, seakan-akan tak kunjung mengerti bagaimana mungkin belasan perwira polisi diduga melakukan tindakan pencucian uang atau bagaimana mungkin para pejabat—yang notabene berpenghasilan lebih daripada cukup dan telah berulangkali naik haji—tanpa adanya sebuah resistensi moral berhaji atas biaya rakyat sementara jutaan orang Indonesia harus bersusah payah menabung seperak-duaperak demi menjadi tamu Allah itu—apatah lagi ketika diduga bahwa sebagian dari “para haji” itu bahkan mengorupsi dana haji.

Sungguh, jawaban itu tidak akan kita temukan, baik dalam logika hukum ataupun moral. Logika hasratlah yang telah mencabik-cabik kesadaran-diri mereka akan moralitas dan realitas sosial. Karena berpacu bersama hasrat akan kemewahan: simbol dan status—haji kini telah hanya menjadi simbol dari status kelas tertentu di dalam masyarakat, apalagi jika dilakukan berkali-kali—mereka melakukan “justifikasi” hak-hak orang banyak sebagai hak-hak khusus mereka [sebagian pejabat yang naik haji dengan Dana Abadi Umat berargumen bahwa hal itu sudah menjadi hak mereka karena menjalankan tugas negara] padahal, “Jangan mengkhususkan dirimu dengan sesuatu yang menjadi hak bersama orang banyak,”  kata Ali lagi.

Yang berikutnya adalah ketakberpihakan. Para penguasa yang telah mempersembahkan martabat dan kehormatan dirinya kepada buaian kemewahan adalah mereka yang bukan saja abai tetapi berupaya lari dari [tidak berpihak kepada] realitas—kebenaran dan keadilan; karena yang terakhir itu terlalu getir, pahit, dan berat untuk dihadapi; karena perlu keringat, air mata, dan darah untuk memperjuangkannya. Mereka lebih memilih menikmati beragam ilusi dan halusinasi yang disajikan kemewahan yang celakanya—karena wataknya yang manipulatif—sangatlah membenci realitas.

Konsekuensinya: (1) mereka lebih mementingkan kepuasan kaum elit ketimbang rakyat kebanyakan; (2) mereka memanipulasi realitas (melalui iklan, retorika, seremoni-seremoni, dan lain sebagainya) sehingga seolah-olah tampak seperti realitas karena bukankah lebih mudah mengubah persepsi orang akan realitas daripada mengubah realitas itu sendiri; dan (3) “menutupi” diri terhadap rakyat kebanyakan—bukan hanya dengan menetapkan urusan protokoler yang njelimet—dengan menyelubungi diri dan keluarga mereka dengan simbol-simbol yang tak akan pernah terraih oleh tangan-tangan hina kaum papa.

 Maka, janganlah pernah berharap mereka melakukan perubahan-perubahan yang radikal bagi kepentingan orang-orang lemah karena bukankah, “Pohon-pohon di padang tandus lebih kuat batangnya sedangkan yang hijau menawan jauh lebih lunak. Demikian pula kayu pepohonan di tempat-tempat gersang lebih kuat nyala apinya dan lebih lambat padamnya,” atau “Bukankah. unta akan hidup tenang beristirahat bila telah penuh perutnya? Demikian pula domba bila merasa kenyang setelah makan rerumputan?” ungkap Ali, Sang Putra Ka’bah.

Ada yang unik dari ucapan Imam Ali di dalam Nahj al-Balâghah (‘puncak kefasihan’ —suatu bunga rampai yang dipandang sarat nilai-nilai kehidupan sekaligus diekspresikan dengan kata-kata indah). Di situ, Ali menyebut dunia, dalam struktur negasi, dengan istilah qalib-an hissiyyan ‘sesuatu yang tidak dapat diidentifikasi seperti halnya sesuatu yang bersifat sensual’, mirip dengan simulasi sebagai ‘peniruan yang tanpa asal-usul realitas’. Jelaslah bahwa yang dikecam Ali bukanlah dunia fisik: jasad tempat ruh kita bersemayam, bumi tempat kita berpijak, dan lingkungan sosial tempat kita berinteraksi, tetapi dunia hasrat yang kemilaunya mampu mengalienasi manusia bukan saja dari persoalan-persoalan masyarakatnya tetapi juga dari kesadaran-diri.

 “Dunia kemilau” inilah yang, dalam realitas kita, telah mampu mengalienasi seseorang dari perannya sebagai penegak hukum, pengemban amanah rakyat, mahasiswa/pelajar, guru besar, agamawan, aktivis pro-demokrasi, dan—terlebih lagi—dari eksistensi dirinya sebagai manusia. Karena itulah, kini, kita kian sulit membedakan antara “penegak hukum dengan pelaku kriminal”, “politikus dengan preman”, “guru besar dengan pelacur intelektual”, “mahasiswa/pelajar dengan tukang pukul”, “agamawan dengan penghasut”, “aktivis pro-demokrasi dengan penyuap”, dan bahkan antara “manusia dengan monster”.

Kini tampaknya kita harus mulai melakukan penjarakan dari dunia hasrat dan pengakraban dengan realitas—bukan sebaliknya seperti yang sering disalahtafsirkan orang dari istilah self-denial ‘penyangkalan-diri’. Namun tentu saja, kita tak mungkin memaksa para “bapak-bapak” kita itu untuk melakukan self-denial ala Imam Ali yang, “Tiada secuil emas atau perak dari dunia kalian ini pernah kusimpan. Tiada harta apa pun darinya pernah kutabung. Tiada sepotong baju pun telah kusiapkan sebagai pengganti pakaianku yang lusuh. Tiada sejengkal tanah pun yang kumiliki. Tiada kuambil bagi diriku lebih daripada makanan seekor keledai yang renta.”

 Yang kita minta mungkin hanyalah hal-hal sepele seperti, “Kadang-kadang dapatkah Bapak keluar dari rumah dan istana Bapak yang megah itu lalu memperhatikan adakah di sekitarnya gubuk-gubuk liar yang setiap harinya selalu diliputi kecemasan dan ketakutan tentang: tempat berteduh yang mungkin digusur, makanan yang habis, uang yang menipis, anak yang menangis karena belum membayar uang sekolah atau pungutan lainnya; atau sesekali relakah Bapak meninggalkan mobil-mobil mewah Bapak lalu menaiki bus-bus umum atau kereta-kereta api yang penuh sesak dan sumpek, yang para penumpangnya seringkali harus cemas: apakah ongkos mereka cukup atau—jika cukup—masihkah ada pada tempatnya, yang kondekturnya menghitung keping demi keping uang recehan sembari bertanya dalam hati: adakah ini cukup untuk membayar setoran, seraya berharap semoga tidak ada pungli atau tidak kena tilang yang berbuntut ‘uang damai’. ”Hal-hal di atas mungkin sesuatu yang remeh, yang tidak akan berbuah kompensasi seperti jika anggota parlemen “berstudi banding” ke luar negeri, bukan pula berbuah “surga” seperti yang dijanjikan dari haji yang berbiaya dinas tersebut. Yang dapat mereka peroleh, paling tidak, adalah kesempatan untuk mengetahui siapakah mereka (dan siapakah yang bukan mereka) dan siapa yang mesti mereka penuhi haknya lebih daripada yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar