Sabtu, 26 April 2014

Hikayat Ki Ragil dan Silat Bandrong Banten

Ketika Sultan Maulana Hasanudin dinobatkan menjadi Sultan di Banten (1552-1570), beliau mempunyai seorang patih yang bernama Kiayi Semar (Ki Semar), yang berasal dari kampung Kemuning Desa Tegal Luhur. Sang patih pada hari Jum’at selalu izin kepada sultan untuk kembali ke kampungnya karena pada hari tersebut ia berdagang daging kerbau di pasar Balagendong, Desa Binuangeun (Serang Timur). Pada suatu hari ketika Ki Semar sedang berjualan di lapaknya dan tiba–tiba datanglah seseorang yang akan membeli dagangannya, orang itu bernama Kiayi Asyraf (Ki Sarap) yang tujuannya untuk membeli limpa atau sangket. Tapi oleh Ki Semar keinginan si pembeli disepelekan karena dianggapnya orang miskin tak akan mampu membeli sangket yang harganya sangat mahal, padahal Ki Sarap sebenarnya ingin membelinya. Karena Ki Sarap memaksa untuk membeli sedangkan Ki semar tetap bertahan tidak mau menjualnya, sehingga suasana menjadi tegang, kemudian terjadilah pertangkaran mulut, dan akhirnya terjadilah bentrokan fisik.

Tangan Ki Sarap dikelit dan ditekuk di belakang punggung, dan dengan angkuh serta melecehkan, Ki Semar mengatakan “tak mungkin orang miskin seperti kamu mampu membeli barang daganganku ini”. Ki Sarap sangat marah disebut sebagai orang miskin, namun ia diam saja menahan amarah karena kejadian tersebut di tempat umum. Akhirnya dia pulang dengan tangan hampa tanpa membawa sangket yang diinginkannya, sementara pikirannya dipenuhi perasaan tersinggung oleh ucapan Ki semar yang sangat menyakitkan hatinya. Demikian, timbulah rencana untuk menghadang Ki Semar dalam perjalanan pulang ke rumahnya.

Sekitar pukul 10.00 pagi, ketika para pedagang di pasar mulai bubar dan Ki Semar mulai beranjak pulang pula menuju rumahnya di kampung Kemuning. Di tempat yang sepi antara Balagendong dan kampung Kemuning, tiba–tiba muncul Ki Sarap di tengah jalan menghadang Ki Semar, saat itu Ki Sarap yang hatinya sudah dipenuhi kemarahan tanpa basa–basi lagi langsung menyerang Ki Semar yang berusaha membela dirinya sehingga terjadilah adu kekuatan ilmu kemonesan alias ilmu kesaktian atawa kanuragan bin kadigdayaan.

Begitulah, saat itu, masing–masing mengeluarkan ilmu ketangkasan dan kehebatannya. Memang, mereka berdua sama–sama kuat, tangkas dan sakti dalam hal kanuragan. Perkelahian antara keduanya itu berlangsung sejak jam 11.00 siang sampai jam 18.00 sore menjelang magrib. Ki Sarap telah mengeluarkan seluruh kemampuannya, semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak kombinasi, sodok dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar juga sama tangguhnya, setiap kali kena benturan pukulan keras Ki Sarap, setiap kali itu pula benturannya mengeluarkan suara seperti gendring dan juga mengeluarkan kilatan api dari tubuh Ki Semar.

Begitu pula Ki Sarap yang tangguh, yang menguasai ilmu pencak Silat Bandrong itu, tubuhnya sama sekali tak dapat disentuh oleh serangan–serangan Ki Semar yang datang beruntun seperti air bah. Pencak Silat Bandrong sangat ampuh sebab dalam langkah dan jurusnya terdapat banyak versi dan variasi pukulan, mampu berkelit dari pukulan atau tendangan musuh, bacokan golok, tusukan pisau atau senjata apapun. Seorang pesilat Bandrong akan dapat berkelit dengan sangat indah, licin dan gesit luar biasa. Bahkan serangan baliknya sangat membahayakan bagi lawan–lawanya.

Semakin keras serangan musuhnya, semakin keras pula jatuhnya, bahkan pesilat Bandrong dapat menawarkan kepada musuhnya ingin jatuh terlentang atau telungkup, bahkan terpelanting. Hal seperti ini akan membuat musuh–musuhnya kewalahan.

Dan kembali kepada duel antara Ki Sarap dan Ki Semar, di mana keduanya ternyata sama–sama sakti. Ki Semar sangat kebal pukulan, sementara Ki Sarap sangat licin bagai belut dan tangkas menyerang seperti ikan bandrong yang melesat terbang dan menukik. Ketika alam mulai gelap dan senja telap lenyap berganti magrib, tiba–tiba Ki Sarap menghadapkan tubuhnya ke arah kiblat dan kepalanya menengadah ke langit bermunajat dan melakukan istighosah kepada Allah Swt, dan setelah selesai berdo’a terlihat kakaknya yang bernama Ki Ragil (kelak menjadi nama Kecamatan Kragilan, Serang, Banten) sedang duduk di pelepah pohon Aren yang tinggi, yang ternyata sudah lma memperhatikan pertarungan dua pendekar tersebut.


Melihat itu Ki Sarap pun berteriak: ”Kakak! Sudah sejak pagi hingga sore aku bertarung melawan orang ini, tapi belum ada yang kalah” . Ki Ragil pun bertanya: ”Apa kamu sudah lelah atau kewalahan?”, “Hai adikku, ini ambillah golokku dan tebaslah leher musuhnmu!” ujar Ki Ragil sambil menjatuhkan goloknya. Kemudian Ki Sarap mengambil golok itu dan menebas leher Ki Semar, dengan sekali tebas kepala Ki Semar pun terpental puluhan meter, lalu kepala itu berputar seperti gangsing dan kemudian menghujam ke dalam tanah. Hingga saat ini tempat kepala terkubur itu terletak di pinggir sungai di tepi hutan antara Balagendong dan kampung Kemuning yang kemudian menjadi tempat yang sepi dan angker karena banyak gangguan mahluk halus hingga sekarang ini. 

2 komentar: