Oleh Farida Gulmohammadi (penulis dari Republik Islam Iran)
Pada malam Asyura, Imam
Husain as telah memberitahu para sahabatnya bahwa mereka besok akan syahid.
"Kalian semua besok akan terbunuh." Ujar beliau. Saat itu, Qasim bin
Hasan bin Ali as, seorang remaja rupawan datang menghadap Imam Husain as. "Paman,"
ujar putera Imam Hasan as itu, "apakah aku juga akan terbunuh?"
Pertanyaan ini membuat sang Imam terharu dan segera memeluk erat kemenakannya
itu, lalu bertanya: "Qasim, bagaimanakah engkau memandang kematian?" Anak
yang baru beranjak usia remaja itu menjawab: "Kematian bagiku adalah lebih
manis daripada madu."[1]
Mendengar jawaban ini, Imam segera memberitahu: "Kamu akan terbunuh
setelah terjadi bencana besar, dan bahkan Ali Asghar pun juga akan
terbunuh."
Pada hari Asyura, saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah permohonan. "Paman, izinkan aku untuk ikut berperang." Namun Imam menjawab: "Kamu bagiku adalah cindera mata dari kakakku,[2] maka bagaimana aku dapat merelakan kematianmu?" Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat Qasim. Dia tetap memohon lagi agar beliau membiarkannya bertempur melawan musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini bersedih lalu terduduk seorang diri sambil berenung penuh duka cita. Di saat itu tiba-tiba dia teringat pada pesan ayahnya dulu, Imam Hasan as. Saat masih hidup, kepada Qasim, Imam Hasan pernah berpesan: "Jika nanti suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu ikatkan di lenganmu, lalu bacalah dan amalkanlah."[3]
Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah sedemikian besar yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu. Surat itu dibukanya dan di situ dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan: "Hai Qasim, aku berpesan kepadamu bahwa jika kamu mendapati pamanmu Husain di Karbala dalam keadaan terasing dan kerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, dan jangan sampai kamu enggan mengorbankan jiwamu deminya."[4] Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam Husain as. Imam Husain as terharu dan menangis begitu menyaksikan ciri khas tulisan kangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim: "Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka saudaraku Hasan itu juga pernah berwasiat suatu hal kepadaku sehingga akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu."
Pada hari Asyura, saat sudah mempersiapkan diri untuk berperang, Qasim pergi menghadap pamannya untuk mengajukan sebuah permohonan. "Paman, izinkan aku untuk ikut berperang." Namun Imam menjawab: "Kamu bagiku adalah cindera mata dari kakakku,[2] maka bagaimana aku dapat merelakan kematianmu?" Sikap Imam Husain as ini tidak memudarkan semangat Qasim. Dia tetap memohon lagi agar beliau membiarkannya bertempur melawan musuh. Namun Imam tetap menahan kepergian Qasim. Remaja tampan ini bersedih lalu terduduk seorang diri sambil berenung penuh duka cita. Di saat itu tiba-tiba dia teringat pada pesan ayahnya dulu, Imam Hasan as. Saat masih hidup, kepada Qasim, Imam Hasan pernah berpesan: "Jika nanti suatu penderitaan sedang menimpamu, maka bukalah catatan yang kamu ikatkan di lenganmu, lalu bacalah dan amalkanlah."[3]
Qasim kemudian berpikir-pikir lagi tentang musibah sedemikian besar yang belum pernah dia alami sebelumnya. Dari situ dia lantas merasa bahwa sekarang inilah saatnya dia membaca surat wasiat itu. Surat itu dibukanya dan di situ dia mendapatkan pesan ayahnya yang mengatakan: "Hai Qasim, aku berpesan kepadamu bahwa jika kamu mendapati pamanmu Husain di Karbala dalam keadaan terasing dan kerumuni oleh musuh, maka janganlah kamu tinggalkan jihad, dan jangan sampai kamu enggan mengorbankan jiwamu deminya."[4] Qasim lalu membawa pesan tertulis itu kepada Imam Husain as. Imam Husain as terharu dan menangis begitu menyaksikan ciri khas tulisan kangan kakak yang amat dicintainya itu, lalu berkata kepada Qasim: "Jika ayahmu telah berwasiat demikian kepadamu, maka saudaraku Hasan itu juga pernah berwasiat suatu hal kepadaku sehingga akupun sekarang harus menikahkan puteriku Fatimah denganmu."
Imam meraih tangan Qasim
dan membawanya ke dalam tenda. Beliau bertanya kepada semua orang dan para
pemuda yang ada di sekitarnya: "Adakah pakaian bagus untuk aku kenakan
kepada Qasim?" Semua orang menjawab tidak. Imam lalu meminta adiknya,
Hazrat Zainab, supaya mengambilkan beberapa potong pakaian peninggalan Imam
Hasan as dari sebuah peti. Setelah pakaian itu didatangkan, beliau mengenakan
serban dan gamis Imam Hasan itu kepada Qasim lalu meng-akad nikahkan Fatimah
dengannya. Begitu selesai, Imam berujar kepada Qasim: "Hai puteraku,
adakah sekarang kamu siap melangkah menuju kematian?"[5] Qasim menjawab: "Entahlah paman, bagaimana aku harus pergi
meninggalkanmu seorang diri tanpa pelindung dan kawan diantara sekian banyak
musuh. Yang pasti, jiwaku jiwaku siap berkorban untuk jiwamu, diriku siap
melindungi dirimu.[6]"
Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat sangat untuk berperang, Imam Husain as akhirnya rela melepaskan Qasim berperang melawan musuh. Beliau menyobek serbannya menjadi dua potong, satu untuk beliau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau kenakan dalam bentuk kain kafan. Setelah menyerahkan sebilah pedang kepada Qasim, Imam pun melepaskan kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar menanti korban-korban suci selanjutnya.
Di medan pertempuran, Qasim sang remaja suci itu menyorot tajam mata Umar bin Sa'ad kemudian menumbuknya dengan kata-kata: "Hai Umar, masihkan kamu tidak takut kepada Allah?! Apakah kamu tetap saja mengabaikan hak Rasulullah?! Lantas bagaimana kamu bisa mengaku sebagai seorang muslim sementara kamu memblokir sungai Eufrat agar putera dan Ahlul Bait Rasul yang berteriak-teriak kehausan itu tidak dapat meneguk airnya?!" Dengan angkuhnya Umar bin Sa'ad menjawab: "Aku hanya akan membiarkan kalian meminum airnya jika kalian menanggalkan sikap kalian." "Oh tidak, terima kasih, (kami tidak akan meminumnya)." Sergah Qasim.
Saat menatap wajah-wajah musuh yang berjajar di depannya, putera Imam Hasan as itu sempat mengucapkan sebuah syair tentang jiwanya yang sudah membaja dan tak kenal kata gentar itu. Syair itu berbunyi: "Jika kalian belum mengenalku, maka ketahuilah bahwa akulah putera Al-Hasan, cucu Nabi Al-Mustafa, manusia kepercayaan (Allah). Dan ini adalah Husain yang sedang menderita bagai tawanan yang disandera di tengah orang-orang."[7]
Meski usianya masih beliau, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu perang yang dikuasainya di atas gelanggang sejarah heroisme Karbala. Sejumlah musuh jatuh bergelimpangan setelah menikmati kerasnya sabetan pedang Qasim. Syaikh Mufid ra dalam kitabnya, Al-Irsyad, meriwayatkan dari Hamid bin Muslim yang berkata: "Saat itu aku berada di tengah pasukan Ibnu Sa'ad. Aku menyaksikan seorang remaja belia yang wajahnya sangat rupawan dan bersinar bagai purnama. Dia mengenakan pakaian dan izar (semacam sarung). Kakinya mengenakan sepasang sandal yang tali satu diantaranya sudah terputus. Menyaksikan remaja itu, Amr bin Sa'ad Al-Izadi berkata: ' Demi Allah, aku memperlakukannya dengan kasar dan membunuhnya.'[8] "Aku berseru: 'Subhanallah! Kehendak macam apakah yang kamu katakan ini?! Orang sebanyak itu dan kini sedang mengelilinginya itu sudah cukup untuk membantainya. Lantas untuk apa kamu mau ikut-ikutan menghabisinya?!'
"Saat aku masih berpikir demikian, seekor kuda tiba-tiba menerjang kemudian disusul dengan hantaman pedang yang mengena bagian kepala anak yang sedang teraniaya itu. Kepalanya terkoyak sehingga Qasim tersungkur ke tanah dan berteriak: 'Oh paman, aku haus, aku dahaga. Beri aku seteguk air minum!' "Hazrat Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat dan ketabahan hati, sementara pasukan musuh terus mengerubungi sambil menganiayanya secara bertubi-tubi. Saat mereka hendak memenggal kepalanya, remaja belia itu merintih dan meminta diberi kesempatan untuk mengucapkan suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka, ditujukan kepada kudanya itu dia berkata: "Katakanlah kepada puteri pamanku, sesungguhnya aku terbunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak mewarnai kukumu dengan sesuatu, maka warnailah dengan darahku."[9]
Dalam keadaan tak berdaya itu, Qasim dipenggal oleh musuh. Kepalanya terpisah dari badan. Menyaksikan pemandangan sedemikian biadab itu, Imam Husain as segera menerjang barisan pasukan musuh. Bagaikan elang yang menukik dari angkasa saat memburu mangsa, Imam Husain as menerobos gerombolan musuh dan mengincar manusia liar yang telah memenggal kepada kepala Qasim. Begitu manusia biadab berama Amr bin Sa’ad itu terlihat di depan beliau, Imam Husain as segera membabatkan pedangnya ke arah Amr. Amr pun mengerang kesakitan begitu melihat tangannya sudah terpisah dari pangkal lengannya akibat sabetan pedang Imam Husain as. Namun, tanpa ampun lagi, diiringi gelegar suara Imam Husain as yang menggetarkan nyali pasukan musuh yang ada di sekitarnya, Amr bin Sa’ad mendapat serangan kedua kalinya dari pedang Imam. Manusia sadis itu terhempas dari kudanya. Dalam keadaan bermandi darah dia pun sekarat dan mati.
Debu yang beterbangan pun reda. Di saat musuh tercengang, Imam mendekati dan meraih kepala Qasim dan memeluknya jasadnya yang tak bernyawa itu. Imam berucap: “Demi Allah, adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi pamanmu untuk tidak memenuhi panggilanmu jika kamu memanggilnya, atau memenuhinya tetapi tidak berguna untukmu.”[10] Hai Puteraku, orang-orang kafir telah membunuhmu. Mereka tidak tahu siapa kamu, ayahmu dan kakekmu.”[11]
Gugurnya Qasim di medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histeris isteri yang baru saja dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka melumuri wajah mereka dengan darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti hingga kemudian dengan hati pilu Imam Husain as meminta mereka untuk tabah di depan cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah suci Qasim ke dalam tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada sebelum Qasim. Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau menatap ke arah langit dan berucap: “Ya Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah mengundangku untuk mendukungku. Namun sekarang mereka telah melepaskan tangan dariku, kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit memerangiku. Ya Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasakanlah mereka, ceri beraikan mereka hingga tidak ada lagi satupun diantara mereka yang tersisa. Laknat Allah atas para pembunuh kalian (para syuhada).”
Setelah kembali mengajukan permohonan dengan amat sangat untuk berperang, Imam Husain as akhirnya rela melepaskan Qasim berperang melawan musuh. Beliau menyobek serbannya menjadi dua potong, satu untuk beliau pakai lagi untuk serban, selebihnya beliau kenakan dalam bentuk kain kafan. Setelah menyerahkan sebilah pedang kepada Qasim, Imam pun melepaskan kepergiannya ke arah musuh yang tak sabar menanti korban-korban suci selanjutnya.
Di medan pertempuran, Qasim sang remaja suci itu menyorot tajam mata Umar bin Sa'ad kemudian menumbuknya dengan kata-kata: "Hai Umar, masihkan kamu tidak takut kepada Allah?! Apakah kamu tetap saja mengabaikan hak Rasulullah?! Lantas bagaimana kamu bisa mengaku sebagai seorang muslim sementara kamu memblokir sungai Eufrat agar putera dan Ahlul Bait Rasul yang berteriak-teriak kehausan itu tidak dapat meneguk airnya?!" Dengan angkuhnya Umar bin Sa'ad menjawab: "Aku hanya akan membiarkan kalian meminum airnya jika kalian menanggalkan sikap kalian." "Oh tidak, terima kasih, (kami tidak akan meminumnya)." Sergah Qasim.
Saat menatap wajah-wajah musuh yang berjajar di depannya, putera Imam Hasan as itu sempat mengucapkan sebuah syair tentang jiwanya yang sudah membaja dan tak kenal kata gentar itu. Syair itu berbunyi: "Jika kalian belum mengenalku, maka ketahuilah bahwa akulah putera Al-Hasan, cucu Nabi Al-Mustafa, manusia kepercayaan (Allah). Dan ini adalah Husain yang sedang menderita bagai tawanan yang disandera di tengah orang-orang."[7]
Meski usianya masih beliau, Qasim akhirnya mementaskan kehebatan ilmu perang yang dikuasainya di atas gelanggang sejarah heroisme Karbala. Sejumlah musuh jatuh bergelimpangan setelah menikmati kerasnya sabetan pedang Qasim. Syaikh Mufid ra dalam kitabnya, Al-Irsyad, meriwayatkan dari Hamid bin Muslim yang berkata: "Saat itu aku berada di tengah pasukan Ibnu Sa'ad. Aku menyaksikan seorang remaja belia yang wajahnya sangat rupawan dan bersinar bagai purnama. Dia mengenakan pakaian dan izar (semacam sarung). Kakinya mengenakan sepasang sandal yang tali satu diantaranya sudah terputus. Menyaksikan remaja itu, Amr bin Sa'ad Al-Izadi berkata: ' Demi Allah, aku memperlakukannya dengan kasar dan membunuhnya.'[8] "Aku berseru: 'Subhanallah! Kehendak macam apakah yang kamu katakan ini?! Orang sebanyak itu dan kini sedang mengelilinginya itu sudah cukup untuk membantainya. Lantas untuk apa kamu mau ikut-ikutan menghabisinya?!'
"Saat aku masih berpikir demikian, seekor kuda tiba-tiba menerjang kemudian disusul dengan hantaman pedang yang mengena bagian kepala anak yang sedang teraniaya itu. Kepalanya terkoyak sehingga Qasim tersungkur ke tanah dan berteriak: 'Oh paman, aku haus, aku dahaga. Beri aku seteguk air minum!' "Hazrat Husain bin Ali dari jauh mencoba memberinya semangat dan ketabahan hati, sementara pasukan musuh terus mengerubungi sambil menganiayanya secara bertubi-tubi. Saat mereka hendak memenggal kepalanya, remaja belia itu merintih dan meminta diberi kesempatan untuk mengucapkan suatu wasiat kepada seseorang. Namun, saat dia tidak melihat siapapun di dekatnya kecuali kuda tunggangannya. Maka, ditujukan kepada kudanya itu dia berkata: "Katakanlah kepada puteri pamanku, sesungguhnya aku terbunuh dalam keadaan dahaga seorang diri. Maka, jika kamu meminum air, ingatlah aku dan ratapilah aku, dan jika (di sini) kamu hendak mewarnai kukumu dengan sesuatu, maka warnailah dengan darahku."[9]
Dalam keadaan tak berdaya itu, Qasim dipenggal oleh musuh. Kepalanya terpisah dari badan. Menyaksikan pemandangan sedemikian biadab itu, Imam Husain as segera menerjang barisan pasukan musuh. Bagaikan elang yang menukik dari angkasa saat memburu mangsa, Imam Husain as menerobos gerombolan musuh dan mengincar manusia liar yang telah memenggal kepada kepala Qasim. Begitu manusia biadab berama Amr bin Sa’ad itu terlihat di depan beliau, Imam Husain as segera membabatkan pedangnya ke arah Amr. Amr pun mengerang kesakitan begitu melihat tangannya sudah terpisah dari pangkal lengannya akibat sabetan pedang Imam Husain as. Namun, tanpa ampun lagi, diiringi gelegar suara Imam Husain as yang menggetarkan nyali pasukan musuh yang ada di sekitarnya, Amr bin Sa’ad mendapat serangan kedua kalinya dari pedang Imam. Manusia sadis itu terhempas dari kudanya. Dalam keadaan bermandi darah dia pun sekarat dan mati.
Debu yang beterbangan pun reda. Di saat musuh tercengang, Imam mendekati dan meraih kepala Qasim dan memeluknya jasadnya yang tak bernyawa itu. Imam berucap: “Demi Allah, adalah sesuatu yang tidak mungkin bagi pamanmu untuk tidak memenuhi panggilanmu jika kamu memanggilnya, atau memenuhinya tetapi tidak berguna untukmu.”[10] Hai Puteraku, orang-orang kafir telah membunuhmu. Mereka tidak tahu siapa kamu, ayahmu dan kakekmu.”[11]
Gugurnya Qasim di medan jihad tak urung disambut dengan jerit tangis histeris isteri yang baru saja dinikahinya. Ratapan histeris juga datang dari ibu Qasim. Mereka melumuri wajah mereka dengan darah suci Qasim sambil menangis tanpa henti hingga kemudian dengan hati pilu Imam Husain as meminta mereka untuk tabah di depan cobaan yang amat besar ini. Beliau kemudian membawa jenazah suci Qasim ke dalam tenda yang khusus untuk dibaringkan di sisi jenazah para syuhada sebelum Qasim. Dengan wajah yang tak dapat membendung luapan duka, beliau menatap ke arah langit dan berucap: “Ya Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Engkau tahu bahwa orang-orang (Kufah) itu telah mengundangku untuk mendukungku. Namun sekarang mereka telah melepaskan tangan dariku, kemudian menjabat tangan musuhku. Mereka membantu musuh dan bangkit memerangiku. Ya Allah Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana, binasakanlah mereka, ceri beraikan mereka hingga tidak ada lagi satupun diantara mereka yang tersisa. Laknat Allah atas para pembunuh kalian (para syuhada).”
Di Karbala, saat
putera-putera ksatria Ali bin Abi Thalib as tidak tersisa lagi kecuali Imam
Husain as dan Abu Fadl Abbas, Abul Fadhl Abbas datang menghampiri kakaknya,
Imam Husain as dan berkata:” “Turbunuhya para sahabat dan kerabatku kini telah
membuatku tak kuasa lagi menahan rasa sabar. Maka izinkan aku untuk membalas
darah mereka.” Saudara-saudara Imam Husain as yang sudah maju ke depan dan
membawa bendera perlawanan sebelum Abul Fadhl Abbas ialah Abdullah, Jakfar, dan
Ustman. Mereka sudah gugur mendahului Abul Fadhl Abbas hingga akhirnya tibalah
giliran Abul Fadhl Abbas sendiri untuk melakukan perlawanan di atas pentas
peperangan yang sebenarnya lebih merupakan panggung pembantaian itu.
Catatan:
[1] Sugand Nameh hal.284
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ramzul Mushibah juz 2 hal.190
[5] Anwar Assyahadah hal.126
[6] Ibid hal 125
[7] Ramzul Mushibah juz 2 hal.191
[8] Anwar Assyahadah hal.126
[9] Ibid hal.127
[10]Biharul Anwar juz 45 hal.35
[11] Anwar Assyahadah hal.182
[1] Sugand Nameh hal.284
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ramzul Mushibah juz 2 hal.190
[5] Anwar Assyahadah hal.126
[6] Ibid hal 125
[7] Ramzul Mushibah juz 2 hal.191
[8] Anwar Assyahadah hal.126
[9] Ibid hal.127
[10]Biharul Anwar juz 45 hal.35
[11] Anwar Assyahadah hal.182
Tidak ada komentar:
Posting Komentar