Oleh “Pangeran Wangsakerta”
Kira kira 1.000.000 tahun sampai 600.000 tahun
yang silam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, hidup manusia yang masih
rendah pekertinya dan bersifat seperti hewan. Ada juga yang menyebutnya manusia
hewan (satwa purusa) dari zaman purba, karena mereka berlaku seperti setengah
hewan. Di antaranya ada yang menyerupai kera, besar dan tinggi sosok tubuhnya,
tanpa busana. Ada pula yang seperti raksasa, tubuhnya berbulu dan kejam
perangainya.
Ada jenis lain lagi di daerah hutan dan
pegunungan yang lain. Mereka mirip kera. Ada yang tinggal di atas pohon, di
lereng gunung dan tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh tanpa menggunakan
senjata, hanya menggunakan tangan. Mereka tidak berpakaian dan tidak memiliki
budi pekerti seperti manusia sekarang. Kesenangannya ialah berayun ayun pada
cabang pohon. Manusia hewan ini terdapat di hutan pulau Jawa, hutan Sumatera,
hutan Makasar, dan hutan Kalimantan (Bakulapura).
Di daerah lain di Pulau Jawa, antara 750.000
sampai 300.000 tahun yang silam, hidup manusia hewan yang berjalan tegak
seperti manusia. Kulitnya berwarna gelap, tingkah lakunya baik dan lebih cerdas
dibandingkan dengan manusia hewan yang berjalan seperti hewan. Tiap hari mereka
membuat senjata dari bahan tulang dan batu. Mereka selalu diserang oleh
sekelompok manusia hewan yang menyerupai kera. Pertempuran di antara kedua
kelompok itu selalu seru. Akan tetapi, manusia hewan yang berjalan tegak
seperti manusia itu lebih mahir dalam teknik berkelahi, sehingga akhirnya
mahluk manusia hewan yang berjalan seperti hewan itu habis terbunuh tanpa sisa
dan lenyap dari muka burni. Manusia hewan yang berjalan seperti manusia itu,
disebut juga manusia raksasa (bhutapurusa). Mereka tinggal di dalam goa di
lereng gunung.
Manusia jenis ini akhirnya punah karena sejak
600.000 tahun yang silam mereka banyak dibunuh oleh manusia pendatang dari
benua utara. Mereka berasal dari Yawana lalu menyebar ke Semenanjung Malaysia,
Sumatera, dan Pulau Jawa. Kira kira 250.000 tahun yang silam, manusia hewan
yang berjalan tegak seperti manusia itu habis binasa. Zaman ini oleh para mahakawi
dinamai masa purba yang pertama (prathama purwwayuga).
Sementara itu, antara 500.000 sampai 300.000
tahun yang silam, di Sumatera, Jawa Kulwan (Barat) dan Jawa Tengah, hidup
manusia yaksa (yaksapurusa) karena rupa mereka seperti yaksa atau danawa.
Mereka bertubuh tegap dan tinggi serta senang meminum darah manusia sesamanya,
musuh, ataupun binatang. Perangainya kejam dan bertabiat seperti binatang buas.
Mahluk jenis ini pun akhirnya punah karena banyak terbunuh dalam pertempuran
dengan kaum pendatang baru dari benua utara.
Seterusnya, antara 300.000 sampai 50.000 tahun
yang silam, di Jawa Barat dan Jawa Tengah pernah hidup manusia berwujud
setengah yaksa (manusia yaksa mantare). Kelompok manusia ini belum diketahui
asal-usulnya sebab hampir sama rupanya dengan manusia yaksa yang punah. Akan
tetapi bertubuh lebih kecil, berwarna kulit agak gelap, tidak banyak berbulu,
serta susila dan cerdas jika dibandingkan dengan manusia yaksa yang telah
punah. Kelompok inipun akhirnya punah karena didesak, diburu, dan akhirnya
dibinasakan oleh kaum pendatang dari benua utara. Periode ini oleh para
mahakawi (pujangga besar) disebut masa purba yang kedua (dwitiya purwwayuga).
Selanjutnya, pernah pula hidup manusia kerdil
(wamanapurusa) atau danawa kecil. Mereka itu berwujud yaksa kecil sehingga oleh
para mahakawi dinamakan manusia kerdil. Mereka hidup antara 50.000 sampai
25.000 tahun yang silam. Mereka tidak cerdas. Senjata dan perabotannya terbuat
dari batu, tetapi buatannya tidak bagus, mahluk jenis inipun akhimya punah.
Zaman ini oleh para mahakawi disebuf masa purba pertengahan (madya ning
purwwayuga) atau masa purba ketiga (tritiya purwwayuga).
Ke dalam zaman tersebut, termasuk pula masa
hidup jenis manusia kerdil yang bertubuh besar (wamana purusagheng) atau manusia
Jawa purba. Mereka menetap di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara 40.000 sampai
20.000 tahun yang silam. jumlahnya tidak banyak. Mereka ini pun akhirnya punah
karena bencana alam, saling bunuh di antara sesamanya, dan akhirnya seperti
juga nasib penghuni Pulau Jawa yang lain, dihabisi oleh kaum pendatang dari
benua utara.
Manusia yaksa kerdil (wamana purusa), sebagal
pribumi berperangai buas dan kejam seperti hewan. Oleh sebab itu mereka
diperangi dan dikalahkan oleh para pendatang baru.
Sementara itu, manusia purba yang hidup antara
25.000 sampal 10.000 tahun yang silam tidak punah sebab mereka berbaur menjadi
satu. Banyak wanita manusia purba itu berjodoh dengan Aria dari kaum pendatang
baru. Kerukunan, kerjasama dan perjodohan di antara kedua belah pihak, telah
menyelamatkan kelompok manusia purba dari bahaya kepunahan.
Adapun, kaum pendatang baru dari benua utara
tersebut tergolong manusia cerdas. Mereka membuat perkakas dan senjata dari
batu, kayu, tulang, bambu, serta bahan bahan lain dengan hasil yang hampir
bagus (meh wagus). Menurut para mahakawi masa kedatangan orang orang dari benua
utara tersebut, dinamakan sebagai masa purba keempat (caturtha purwwayuga).
Dari 10.000 tahun sebelum tarikh Saka, sampal
tahun pertama Saka, terjadi perpindahan secara bergelombang, kelompok pendatang
dari benua utara, yaitu:
[1] antara 10.000 sampai 5.000 tahun sebelum
tarikh Saka;
[2] antara 5.000 sampai 3.000 tahun sebelwn tarikh Saka;
[3] antara 3.000 sampai 1.500 tahun sebelum tarikh Saka;
[4] antara 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum tarikh Saka;
[5] antara 1000 sampal 600 tahun sebelwn tarikh Saka;
[6] antara 600 sampai 300 tahun sebelum tarikh Saka;
[7] antara 300 sampai 200 tahun sebelum tarikh Saka;
[8] antara 200 sampal 100 tahun sebelwn tarikh Saka;
[9] antara 100 sampai awal tarikh Saka.
[2] antara 5.000 sampai 3.000 tahun sebelwn tarikh Saka;
[3] antara 3.000 sampai 1.500 tahun sebelum tarikh Saka;
[4] antara 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum tarikh Saka;
[5] antara 1000 sampal 600 tahun sebelwn tarikh Saka;
[6] antara 600 sampai 300 tahun sebelum tarikh Saka;
[7] antara 300 sampai 200 tahun sebelum tarikh Saka;
[8] antara 200 sampal 100 tahun sebelwn tarikh Saka;
[9] antara 100 sampai awal tarikh Saka.
Adapun, panghulu atau penguasa wilayah pesisir
barat Jawa Barat sebelah barat, namanya Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya
nama lainnya.
Adapun Sang Aki Tirem, putera Ki Srengga
namanya. Ki Srengga putera Nyai Sariti Warawiri namanya. Nyai Sariti puteri
Sang Aki Bajulpakel namanya. Sang Aki Bajulpakel, putera Aki Dungkul namanya
dari Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan, kemudian berdiam di Jawa Barat
sebelah barat. Selanjutnya Aki Dungkul, putera Ki Pawang Sawer namanya, berdiam
di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan. Ki Pawang Sawer, putera Datuk Pawang
Marga namanya, berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah selatan. Datuk Pawang
Marga, putera Ki Bagang namanya berdiam di Swarnabhumi (Sumatera) sebelah
utara. Ki Bagang, putera Datuk Waling namanya, yang berdiam di pulau Hujung
Mendini. Datuk Waling putera Datuk Banda namanya, ia berdiam di dukuh di tepi
sungai. Datuk Banda putera Nesan namanya, berdiam di wilayah Langkasuka.
Sedangkan nenek moyangnya dari negeri Yawana sebelah barat.
Karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan
hidupnya bersama anak isterinya. Terutama para pendatang, banyak yang berasal
dari wangsa Salankayana dan wangsa Pallawa di bumi negeri Bharata (India). Dua
wangsa inilah, yang sangat banyak berdatangan di sini, dengan menaiki beberapa
puluh buah perahu besar kecil. Yang dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba
mula-mula di Jawa Kulwan (Barat), maka mereka bertujuan yaitu untuk berdagang
dan mengusahakan pelayanan.
Mereka senantiasa datang di sini, dan mereka
kembali membawa rempah-rempah ke negerinya. Di sini, Sang Dewawarman telah
bersahabat dengan warga masyarakat di pesisir Jawa Kulwan (Barat), Pulau Api
dan Pulau Sumatera sebelah selatan, terutama Sang Dewawarman sebagai duta dari
wangsa Pallawa.
Permulaan pertama tahun Saka, di pulau pulau
Nusantara, telah banyak golongan warga masyarakat, yang menjadi pribumi tiap
dusun. Di antaranya ada yang bermusuhan, ada juga yang berkasih kasihan
berbimbingan tangan. Dukuh itu ada yang besar, ada yang kecil. Dukuh besar ada
di tepi laut, atau tidak jauh dari muara sungai. Bukankah selalu berdatangan
orang lain atau wilayah lain. Terutama pedagang dari negeri Bharata (India),
negeri Singhala, negeri Gaudi, negeri Cina dan sebagainya.
Ramailah kemudian dukuh dukuh di tepi laut.
Dengan demikian, ramailah perdagangan antara pulau-pulau di bumi Nusantara
dengan negara lain dari benua utara sebelah barat dan timur. Tetapi, yang
banyak datang dari negeri Bharata (India), golongan pendatang dari negeri
Bharata (India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba di dukuh pesisir Jawa
Kulwan (Barat).
Para pendatang itu bersahabat dengan penghulu
dan warga masyarakat di sini. Adapun penghulu atau penguasa wilayah pesisir
Jawa Kulwan (Barat) sebelah barat, namanya terkenal, Aki Tirem atau Sang Aki
Luhur Mulya namanya yang lain. Selanjutnya, puteri Sang Aki Luhur Mulya,
namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati), diperisteri oleh Sang
Dewawarman. Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai
Dewawarman pertama.
Akhirnya semua anggota pasukan Dewawarman
menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena itu, Dewawarman dan pasukannya,
tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka menetap dan menjadi penduduk di situ,
lalu beranak pinak.
Beberapa tahun sebelumnya, Sang Dewawarman
menjadi duta keliling negaranya (Pallawa) untuk negeri negeri lain yang
bersahabat, seperti kerajaan kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana,
Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan mempererat persahabatan
dan berniaga hasil bumi, serta barang barang lainnya.
Tatkala Aki Tirem sakit, sebelum meninggal, ia
menyerahkan kekuasaannya kepada sang menantu. Dewawarman tidak menolak diserahi
kekuasaan atas daerah itu, sedangkan semua penduduk menerimanya dengan senang
hati. Demikian pula para pengikut Dewawarman, karena mereka telah menjadi
penduduk di situ, lagi pula banyak di antara mereka yang telah mempunyai anak.
Setelah Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman
menggantikannya sebagai penguasa di situ, dengan nama nobat Prabu Darmalokapala
Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya, Pohaci Larasati
menjadi permaisuri, dengan nama nobat, Dewi Dwanu Rahayu. Kerajaannya diberi
nama Salakanagara (salaka= perak).
Daerah kekuasaan Salakanagara, meliputi Jawa
Kulwan bagian barat dan semua pulau di sebelah barat Nusa Jawa. Laut di antara
Pulau Jawa dengan Sumatera, masuk pula dalam wilayahnya. Oleh karena itu,
daerah- daerah sepanjang pantainya, dijaga oleh pasukan Sang Dewawarman, sebab
jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu perahu yang berlayar dari timur ke
barat dan sebaliknya, harus berhenti dan membayar upeti kepada Sang Dewawarman.
Pelabuhan pelabuhan di pesisir barat Jawa Kulwan, Nusa Mandala (mungkin Pulau
Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian selatan, dijaga
oleh pasukan Dewawarman.
Wangsa Dewawarman memerintah Kerajaan
Salakanagara di bumi Jawa Kulwan, dengan ibukota Rajatapura (Kota Perak). Kota
besar lainnya lagi, Agrabhintapura ada di wilayah sebelah selatan.
Agrabhintapura, dipimpin oleh raja daerah bernama Sweta Limansakti, adik
Dewawarman. Sedangkan adiknya yang lain, yang bernama Senapati Bahadura
Harigana Jayasakti, diangkat menjadi raja daerah penguasa mandala Hujung Kulon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar