Oleh Paul J. Steinhardt (Sumber: Scientific American, April 2011,
hal. 36-43)
Apakah teori
di jantung kosmologi modern mengandung cacat?
Kosmologi berdeflasi? Para kosmolog sedang
meninjau ulang apakah alam semesta betul-betul mengalami semburan pertumbuhan
dahsyat (kawasan
kekuningan) segera setelah big bang (Ilustrasi oleh Malcolm Godwin).
Tiga puluh tahun silam, Alan H. Guth, kala itu
berjuang menjalani pasca-doktoral fisika di Stanford Linear Accelerator Center,
memberi serangkaian seminar di mana dia memperkenalkan “inflasi” ke dalam
kosakata kosmologi. Istilah tersebut mengacu pada semburan singkat perluasan
hiperakselerasi yang menurutnya pernah terjadi selama jenak-jenak awal setelah
big bang. Salah satu seminar ini berlangsung di Universitas Harvard, di mana
saya sendiri menempuh pasca-doktoral. Saya segera terpikat oleh ide tersebut,
dan sejak saat itu saya memikirkannya nyaris setiap hari. Banyak kolega saya
dalam astrofisika, fisika gravitasi, dan fisika partikel turut terpikat. Sampai
hari ini, perkembangan dan ujicoba teori inflasi alam semesta merupakan salah
satu area paling aktif dan sukses dalam penyelidikan ilmiah.
Tujuannya adalah mengisi celah dalam teori
asli big bang. Ide dasar big bang adalah, alam semesta perlahan-lahan
mengembang dan mendingin sejak ia bermula sekitar 13,7 miliar tahun lampau.
Proses perluasan dan pendinginan ini menjelaskan banyak fitur detil alam
semesta yang dijumpai hari ini, tapi ada jebakannya: alam semesta harus berawal
dengan atribut tertentu. Contoh, ia harus sangat seragam, dengan variasi amat
kecil pada distribusi materi dan energi. Juga, alam semesta harus flat secara
geometris, artinya lengkungan struktur ruang tidak menekuk lintasan berkas
cahaya dan objek bergerak.
Tapi mengapa alam semesta purba mesti begitu
seragam dan flat? Secara apriori, kondisi-kondisi pemulai ini sangat tidak
mungkin. Di sinilah ide Guth masuk. Dia berargumen, sekalipun alam semesta
berawal dengan kekacauan total—distribusi energi yang sangat tak seragam dan
bentuk yang berkenjal-kenjal—semburan pertumbuhan spektakuler akan menebarkan
energi sampai tersebar merata dan meluruskan lengkungan di ruang. Ketika
periode inflasi ini berakhir, alam semesta akan terus mengembang dengan laju
yang lebih pelan daripada teori big bang semula tapi kini memiliki kondisi yang
tepat untuk berevolusinya bintang-bintang dan galaksi-galaksi ke status yang
kita saksikan hari ini.
Ide ini begitu memaksa, sampai-sampai para
kosmolog, termasuk saya, rutin mendeskripsikannya kepada mahasiswa, jurnalis,
dan publik sebagai fakta yang tidak bisa dipungkiri. Tapi hal aneh terjadi pada
teori inflasi tiga puluh tahun sejak Guth memperkenalkannya. Bukti penentang
inflasi semakin menguat, sebagaimana bukti pendukungnya. Salah satu dari
keduanya lebih dikenal: bukti pendukung inflasi sangat familiar di kalangan luas
fisikawan, astrofisikawan, dan penggila sains. Yang mengejutkan, beberapa orang
menuruti bukti penentang inflasi, kecuali sekelompok kecil dari kami yang
diam-diam berusaha mengatasi tantangan ini. Kebanyakan astrofisikawan menguji
prediksi-prediksi teori inflasi dalam buku teks tanpa merisaukan isu-isu
mendalam ini, berharap pada akhirnya bisa terpecahkan. Sialnya, persoalan ini
mengalahkan upaya terbaik kami sampai sekarang.
Sebagai orang yang telah berkontribusi pada
teori inflasi (lihat “Alam Semesta Berinflasi”, tulisan Alan H. Guth dan Paul
J. Steinhardt, Scientific American, Mei 1984) dan teori-teori pesaing, saya
merasa terkoyak, dan banyak kolega saya juga tidak yakin dengan pendapat mereka
tentang bukti penentang ini. Untuk mendramatisir keadaan aneh kami, saya akan
mengadili kosmologi inflasi, menghadirkan poin-poin dari kedua pandangan
esktrim tersebut. Pertama-tama, saya akan bertindak sebagai advokat “pendukung”
yang gigih, menyajikan keunggulan-keunggulan teori ini, lalu dengan sama
gigihnya, saya akan bertindak sebagai advokat “penentang”, menyajikan
persoalan-persoalan paling serius yang tak terpecahkan.
Singkatnya
Inflasi kosmik diterima secara luas, hingga
sering dianggap sebagai fakta. Idenya adalah, geometri dan keseragaman kosmos
terbentuk selama semburan pertumbuhan awal yang dahsyat.
Tapi sebagian pencipta teori ini, termasuk
penulis, berpikir ulang. Seraya teori asil berkembang, retak-retak muncul dalam
fondasi logisnya.
Kondisi yang amat improbabel diperlukan untuk
memulai inflasi. Yang lebih buruk, inflasi berlangsung abadi, membuahkan hasil
tak terhingga, sehingga teori ini tidak membuat prediksi observasional yang
kokoh.
Para ilmuwan berdebat di antara sesama mereka
(dan di dalam diri mereka sendiri) apakah persoalan-persoalan ini merupakan
kesulitan awal ataukah pertanda kebusukan yang lebih dalam. Beragam proposal
beredar untuk mencari cara memperbaiki inflasi atau menggantinya.
Bukti Pendukung Inflasi
Saking populernya Inflasi, bukti pendukungnya
bisa sangat ringkas. Beberapa detil lain diperlukan untuk memahami
keunggulannya secara utuh. Inflasi bersandar pada komponen khusus yang dikenal
sebagai energi inflasi, yang, berkombinasi dengan gravitasi, dapat mendorong
alam semesta untuk mengembang luar biasa dalam waktu singkat. Energi inflasi
harus amat besar, dan densitasnya harus tetap konstan selama masa inflasi.
Atributnya yang paling tak lazim adalah bahwa gravitasinya menolak bukan
menarik. Tolakan inilah yang menyebabkan ruang membengkak begitu pesat.
Yang memberi daya tarik pada ide Guth adalah
bahwa para teoris telah mengidentifikasi banyak kemungkinan sumber energi
demikian. Contoh teratas adalah kerabat medan magnet yang dikenal sebagai medan
skalar, yang, dalam kasus inflasi tertentu, dikenal sebagai medan “inflasi”.
Partikel Higgs yang masyhur, yang kini sedang diusahakan di Large Hadron
Collider milik CERN dekat Jenewa, berasal dari sebuah medan skalar lain.
Seperti semua medan lain, inflasi memiliki
kekuatan tertentu di tiap titik di ruang, yang menentukan gaya yang dikerahkannya
terhadap diri sendiri dan medan-medan lain. Selama fase inflasi, kekuatannya
nyaris konstan di setiap tempat. Tergantung seberapa kuat sebuah medan,
terdapat besaran energi tertentu di dalamnya—yang disebut fisikawan sebagai
energi potensial. Relasi antara kekuatan dan energi bisa dilambangkan dengan
kurva pada grafik di bawah. Untuk inflasi, para kosmolog berhipotesis kurvanya
mirip tampang-lintang (cross section) yang melintasi lembah dan dataran tinggi
melandai [lihat boks di bawah]. Jika medan ini berawal dengan kekuatan yang
ekuivalen dengan suatu titik di dataran tinggi, lambat-laun ia akan kehilangan
kekuatan maupun energi, seperti meluncur turun lereng. Bahkan,
persamaan-persamaannya serupa dengan persamaan bola yang menggelinding turun bukit
yang bentuknya sama dengan kurva energi potensial.
Energi potensial inflasi dapat menyebabkan
alam semesta mengembang dengan laju mencepat. Dalam prosesnya, itu bisa
menghaluskan dan memflatkan alam semesta, asalkan medannya tetap di atas
dataran tinggi cukup lama (sekitar 10-30 detik) guna meregangkan
alam semesta sebesar faktor 1026 atau lebih ke segala arah. Inflasi
berakhir ketika medan mencapai ujung dataran tinggi dan bergegas menuruni bukit
menuju lembah energi di bawah. Pada titik ini, energi potensial berkonversi ke
dalam bentuk-bentuk energi yang lebih familiar—yakni dark matter, materi panas
biasa, dan radiasi yang memenuhi alam semesta hari ini. Alam semesta memasuki
periode perluasan menengah melambat, dan selama itu material bersatu membentuk
struktur-struktur kosmik.
Inflasi menghaluskan alam semesta sebagaimana
peregangan tilam karet menghaluskan kerutan-kerutannya, tapi itu tidak
berlangsung sempurna. Ketidakteraturan kecil tersisa akibat efek quantum. Hukum
fisika quantum mendikte bahwa medan semisal inflasi tidak memiliki kekuatan
yang sama persis di setiap tempat di ruang melainkan mengalami fluktuasi acak.
Fluktuasi-fluktuasi ini menyebabkan inflasi berakhir pada waktu sedikit
berlainan di kawasan ruang berlainan, memanaskan mereka ke suhu sedikit
berlainan. Variasi spasial ini merupakan benih yang akhirnya akan tumbuh
menjadi bintang dan galaksi. Teori inflasi memprediksi variasi ini nyaris
invarian-skala. Artinya, mereka tidak bergantung pada ukuran kawasan; mereka
terjadi dengan magnitudo setara pada semua skala.
Bukti pendukung inflasi hanya dapat diringkas
dengan tiga diktum. Pertama, inflasi tidak terelakkan. Perkembangan fisika
teoritis sejak proposal Guth justru memperkuat hipotesis bahwa alam semesta
awal mengandung medan-medan yang dapat mendorong inflasi. Ratusan mereka muncul
dalam teori-teori fisika terpadu, seperti teori string. Di alam semesta purba
yang balau (chaos), pasti ada suatu petak ruang di mana salah satu dari medan
ini memenuhi kondisi untuk inflasi.
Kedua, inflasi menjelaskan mengapa hari ini
alam semesta begitu seragam dan flat. Tak ada yang tahu seberapa seragam atau
flat alam semesta kita ketika muncul dari big bang, tapi dengan inflasi, tak
ada keharusan untuk tahu sebab periode percepatan perluasan meregangkannya ke
dalam bentuk yang tepat.
Ketiga, dan mungkin paling memaksa, teori
inflasi sangat prediktif. Contoh, banyak observasi radiasi gelombang mikro
kosmik latar dan distribusi galaksi-galaksi telah mengkonfirmasi bahwa variasi
spasial pada energi di alam semesta awal nyaris invarian-skala.
Bukti Penentang Inflasi
Tanda-tanda pertama gagalnya sebuah teori
biasanya berupa diskrepansi kecil antara observasi dan prediksi. Di sini
situasinya tidak demikian: data-data justru sangat selaras dengan prediksi
inflasi yang diajukan di awal 1980-an. Tapi bukti penentang inflasi malah
menantang fondasi logis teori. Apakah teori ini betul-betul bekerja sesuai yang
digembar-gemborkan? Apakah prediksi yang dibuat di awal 1980-an merupakan
prediksi model inflasi yang kita pahami hari ini? Ada argumen bahwa jawaban
terhadap kedua pertanyaan tersebut adalah tidak.
Diktum pertama berpandangan bahwa inflasi
tidak terelakkan. Tapi jika ini benar, maka timbul akibat janggal: inflasi
buruk jauh lebih mungkin daripada inflasi baik. “Inflasi buruk” berarti periode
percepatan perluasan yang hasilnya bertentangan dengan observasi kita. Contoh,
variasi/perbedaan temperatur mungkin terlalu besar. Perbedaan antara baik dan
buruk bergantung pada bentuk presisi kurva energi potensial, yang dikendalikan
oleh parameter numeris yang dapat, secara prinsip, memikul harga berapapun.
Namun variasi temperatur yang teramati hanya bisa dihasilkan oleh kisaran harga
yang sangat sempit. Pada model inflasi tipikal, harganya harus mendekati 10-15—yakni,
15 nol desimal. Pilihan yang kurang halus, misalnya 12 atau 10 atau 8 nol
desimal, akan menghasilkan inflasi buruk: derajat percepatan perluasannya sama
(atau lebih) tapi variasi temperaturnya besar, yang mana tidak konsisten dengan
observasi.
Kita bisa abaikan inflasi buruk andai tidak
cocok dengan kehidupan. Sekalipun variasi temperatur sebesar itu bisa timbul
secara prinsip, kita takkan dapat mengobservasi mereka. Penalaran jenis ini
dikenal sebagai prinsip antropik. Tapi ini tidak berlaku di sini. Variasi
temperatur yang besar akan menghasilkan lebih banyak bintang dan galaksi—alam
semesta akan lebih ramah untuk dihuni dibanding sekarang.
Bukan hanya bahwa inflasi buruk jauh lebih
mungkin daripada inflasi baik, tapi juga bahwa tak ada inflasi yang lebih mungkin
daripada keduanya. Fisikawan Universitas Oxford, Roger Penrose, pertama kali
mengemukakan poin ini di tahun 1980-an. Dia menerapkan prinsip termodinamika,
seperti yang dipakai untuk mendeskripsikan konfigurasi atom dan molekul pada
gas, untuk menghitung kemungkinan konfigurasi awal medan-medan inflasi dan
gravitasi. Sebagian dari konfigurasi ini membawa pada inflasi dan karenanya
pada distribusi materi yang flat dan nyaris seragam serta bentuk geometris
flat. Konfigurasi lain langsung mengarah pada alam semesta flat yang
seragam—tanpa inflasi. Kedua set konfigurasi sangat langka, jadi untuk
mendapatkan alam semesta flat sangatlah tidak mungkin. Tapi, kesimpulan Penrose
yang menggemparkan adalah, memperoleh alam semesta flat tanpa inflasi jauh
lebih mungkin daripada dengan inflasi—dengan selisih faktor 10 pangkat googol
(10100)!
Resiko Inflasi Abadi
Pendekatan lain, yang mencapai kesimpulan
serupa, mengekstrapolasi sejarah alam semesta dari kondisinya yang sekarang
menuju masa lampau dengan menggunakan hukum fisika kokoh. Ekstrapolasi ini
tidaklah unik: berdasarkan kondisi hari ini yang rata-rata flat dan halus,
mungkin saja sebelumnya timbul banyak urutan peristiwa berlainan. Pada 2008,
Gary W. Gibbons dari Universitas Cambridge dan Neil G. Turok dari Perimeter
Institute for Theoretical Physics di Ontario menunjukkan bahwa banyak
ekstrapolasi memiliki jumlah inflasi yang tak signifikan. Kesimpulan ini
konsisten dengan kesimpulan Penrose. Dua-duanya kontraintuitif karena alam
semesta flat dan halus sangat tidak mungkin, dan inflasi merupakan mekanisme
kuat untuk memperoleh penghalusan dan pemflatan yang dibutuhkan. Tapi
keuntungan ini rupanya diimbangi dengan fakta bahwa kondisi untuk berawalnya
inflasi begitu improbabel. Manakala semua faktor diperhitungkan, alam semesta
jauh lebih mungkin untuk mencapai kondisinya yang sekarang tanpa inflasi,
daripada dengan inflasi.
Banyak fisikawan dan astrofisikawan merasa
argumen-argumen teoritis ini tak meyakinkan dibanding argumen pendukung inflasi
yang lebih memaksa: yakni keserasian antara prediksi awal tahun 1980-an dan
observasi kosmologis hebat yang tersedia hari ini. Eksperimen-eksperimen serasi
dengan argumen teoritis manapun. Tapi corak aneh dari kisah ini adalah,
prediksi awal 1980-an didasarkan pada pemahaman polos tentang bagaimana inflasi
bekerja—gambaran yang ternyata salah besar.
Pergeseran pandangan diawali dengan kesadaran
bahwa inflasi bersifat abadi: sekali dimulai, tak pernah berakhir [lihat “Alam
Semesta Berinflasi yang Mereproduksi Diri”, tulisan Andrei Linde, Scientific
American, November 1994]. Sifat inflasi yang mengekalkan diri merupakan akibat
langsung dari kombinasi fisika quantum dan percepatan perluasan. Ingat,
fluktuasi-fluktuasi quantum dapat tertunda sedikit ketika inflasi berakhir. [Di
kawasan] di mana fluktuasi ini kecil, maka begitu pulalah efeknya. Tapi
fluktuasi-fluktuasi acak tak terkendali. Di kawasan ruang tertentu, mereka
sangat besar, mengakibatkan penundaan yang substansial.
Kawasan-kawasan jahat penangguh semacam itu
amat langka. Anda mungkin merasa aman untuk mengabaikan mereka. Jangan berpikir
begitu, sebab mereka berinflasi. Mereka terus tumbuh dan, dalam hitungan jenak,
mengerdilkan kawasan bertingkah baik, sampai mengakhiri inflasi tepat pada
waktunya. Hasilnya, lautan ruang berinflasi mengepung sebuah pulau kecil yang
dipenuhi materi panas dan radiasi. Lebih dari itu, kawasan-kawasan jahat
menelurkan kawasan jahat baru, serta pulau materi baru—masing-masing merupakan
alam semesta yang berdiri sendiri. Proses ini berlanjut tanpa akhir,
menciptakan pulau-pulau dalam jumlah tak terbatas yang dikelilingi ruang yang
semakin berinflasi. Jika Anda tak gelisah dengan gambaran ini, jangan
cemas—sewajarnya demikian. Kabar menggelisahkan datang berikutnya.
Pulau-pulau tersebut tidak semuanya sama.
Sifat acak fisika quantum menjamin bahwa sebagian sangat tidak seragam atau
sangat lengkung. Ketidakseragaman mereka terdengar seperti persoalan inflasi
buruk yang tadi dibahas, tapi penyebabnya lain. Inflasi buruk terjadi karena
parameter pengendali bentuk kurva energi potensial kemungkinan terlampau besar.
Di sini ketidakseragaman bisa diakibatkan oleh inflasi abadi dan fluktuasi
quantum acak, tak peduli berapapun harga parameternya.
Persisnya, secara kuantitatif, kata “sebagian”
di atas mesti diganti dengan “sejumlah tak terhingga”. Di alam semesta yang
berinflasi abadi, sejumlah tak terhingga pulau-pulau akan mempunyai atribut
seperti pulau-pulau yang kita amati, tapi sejumlah tak terhingga [lainnya]
tidak. Hasil inflasi diringkas dengan baik oleh Guth: “Di alam semesta yang
berinflasi abadi, apapun yang dapat terjadi akan terjadi; bahkan, akan terjadi
tak terhingga kali.”
Jadi, apakah alam semesta kita merupakan
pengecualian atau pembatasan? Di sekumpulan pulau tak terhingga, ini sulit
dipastikan. Sebagai analogi, asumsikan Anda punya sebuah karung berisi kwarter
dan péni dalam jumlah terhingga (kwarter dan péni adalah jenis uang
receh—penj). Jika Anda merogoh dan memungut satu koin secara sembarang, Anda
bisa membuat prediksi pasti tentang koin mana yang kemungkinan besar terpilih.
Tapi jika karung menampung kwarter dan péni dalam jumlah tak terhingga, Anda
tidak bisa [memprediksi]. Untuk menaksir probabilitas, Anda menyortir koin-koin
ke dalam tumpukan. Anda mulai dengan meletakkan satu kwarter ke tumpukan, lalu
satu péni, lalu kwarter kedua, lalu péni kedua, dan seterusnya. Prosedur ini
memberi Anda kesan bahwa masing-masing denominasi memiliki jumlah setara. Tapi,
cobalah sistem lain, pertama-tama tumpuk sepuluh kwarter, lalu satu péni, lalu
sepuluh kwarter, lalu satu péni lagi, dan seterusnya. Sekarang Anda mendapat
kesan ada seratus kwarter untuk setiap péni.
Manakah metode penghitungan koin yang benar?
Jawabannya, bukan dua-duanya. Untuk sekumpulan koin tak terhingga, ada jumlah
cara penyortiran tak terhingga yang menghasilkan rentang probabilitas tak
terhingga. Jadi tak ada cara sah untuk menilai koin mana yang lebih mungkin.
Dengan pertimbangan yang sama, tak ada cara untuk menilai jenis pulau mana yang
lebih mungkin di sebuah alam semesta yang berinflasi abadi.
Nah, Anda pasti bingung. Kalau begitu untuk
apa menyebut inflasi menghasilkan prediksi-prediksi pasti—bahwa, contoh, alam
semesta adalah seragam atau mempunyai fluktuasi-fluktuasi invarian-skala—jika
apapun yang dapat terjadi akan terjadi tak terhingga kali? Dan jika teori tidak
menghasilkan prediksi yang bisa diuji, bagaimana mungkin kosmolog mengklaim
teori ini selaras dengan observasi, sebagaimana rutin mereka lakukan?
Takaran Kegagalan Kita
Para teoris tidak lalai akan persoalan ini,
tapi mereka yakin dapat memecahkannya dan memulihkan gambaran inflasi naif di
awal 1980-an yang telah menarik mereka pada teori ini. Banyak teoris tetap
menyimpan asa, meskipun sudah bergulat dengan isu ini selama 25 tahun terakhir
dan masih harus menghasilkan solusi masuk akal.
Sebagian mengusulkan mengkonstruksi
teori-teori inflasi yang tak abadi, untuk memberangus ketakterhinggaan alam
semesta. Tapi keabadian merupakan konsekuensi alami inflasi plus fisika
quantum. Untuk menghindarinya, alam semesta harus bermula dalam status awal
yang sangat istimewa dan dengan bentuk energi inflasi yang istimewa, agar
inflasi berakhir di mana-mana di ruang sebelum fluktuasi-fluktuasi quantum
sempat membakarnya kembali. Tapi, dalam skenario ini, hasil yang teramati
bergantung pada status awal tadi. Itu menggagalkan seluruh tujuan inflasi:
yakni menjelaskan hasilnya, tak peduli bagaimanapun kondisi yang ada
sebelumnya.
Sebuah strategi alternatif berasumsi
pulau-pulau seperti alam semesta teramati yang kita miliki merupakan hasil
inflasi yang paling mungkin. Para pendukung pendekatan ini memberlakukan apa
yang disebut takaran, sebuah batasan spesifik untuk menimbang jenis-jenis pulau
mana yang paling mungkin—analogis dengan menyatakan kita harus mengambil tiga
kwarter untuk setiap lima péni ketika menarik koin dari karung. Gagasan
takaran, sebagai penambahan ad hoc, merupakan pengakuan terbuka bahwa teori
inflasi sendiri tidak menjelaskan atau memprediksi apa-apa.
Yang lebih parah, para teoris sudah
menghasilkan banyak takaran yang sama-sama masuk akal, yang membawa pada
kesimpulan berbeda-beda. Contohnya adalah takaran volume, yang menyatakan
pulau-pulau mesti ditimbang berdasarkan ukuran mereka. Sepintas, pilihan ini
masuk akal. Ide intuitif yang mendasari inflasi adalah bahwa ia menjelaskan
keseragaman dan keflatan yang kita amati dengan menciptakan volume-volume ruang
besar beratribut tersebut. Sayangnya, takaran volume gagal. Alasannya, ini
lebih mengkonfirmasi penangguhan/penundaan (procrastination). Pikirkan
dua jenis kawasan: pulau-pulau seperti pulau kita dan pulau lainnya yang
terbentuk kemudian, setelah lebih banyak inflasi. Berdasarkan pangkat
pertumbuhan eksponensial, kawasan-kawasan terakhir akan menempati volume total
yang jauh lebih luas. Karenanya, kawasan-kawasan yang lebih muda daripada kita
akan jauh lebih lazim. Menurut takaran ini, kita bahkan tak mungkin eksis.
Para penggemar takaran mengambil pendekatan
trial-and-error di mana mereka menemukan dan menguji takaran-takaran sampai,
mereka harap, menghasilkan jawaban yang diinginkan: bahwa alam semesta kita
sangat probabel. Anggap saja kelak mereka akan berhasil. Maka mereka akan butuh
prinsip lain untuk menjustifikasi penggunaan takaran tersebut ketimbang takaran
lain, bahkan prinsip lain untuk memilih prinsip tersebut, dan seterusnya.
Pendekatan alternatif yang lain lagi
melibatkan prinsip antropik. Sementara konsep takaran berpandangan kita hidup
di pulau tipikal, pinsip antropik berasumsi kita hidup di pulau non-tipikal
dengan kondisi-kondisi minimal yang tepat yang diperlukan untuk menopang
kehidupan. Ia mengklaim, kondisi-kondisi di pulau-pulau yang lebih tipikal
tidak cocok dengan galaksi atau bintang atau prasyarat lain untuk kehidupan
yang kita kenal sekarang. Meskipun pulau-pulau tipikal menempati lebih banyak
ruang daripada pulau-pulau seperti kita, mereka dapat diabaikan karena kita
hanya tertarik pada kawasan yang berpotensi dihuni manusia.
Sial bagi ide ini, kondisi-kondisi di alam
semesta kita tidaklah minimal—alam semesta lebih flat, lebih halus, dan lebih
invarian-skala daripada yang semestinya untuk menopang kehidupan. Pulau-pulau
yang lebih tipikal, seperti pulau-pulau muda itu, hampir sama-sama dapat dihuni
tapi jauh lebih banyak.
Menagih Para Penangguh
Berdasarkan argumen ini, klaim yang sering
dikutip bahwa data kosmologi sudah memverifikasi prediksi-prediksi sentral
teori inflasi ternyata menyesatkan. Boleh dibilang, data sudah mengkonfirmasi
prediksi teori inflasi naif yang kita pahami sebelum 1983, tapi teori ini bukan
kosmologi inflasi yang dipahami hari ini. Teori naif itu menduga, inflasi
membuahkan hasil yang dapat diprediksi yang diatur oleh hukum fisika klasik.
Kenyataannya, fisika quantumlah yang mengatur inflasi, dan apapun yang dapat
terjadi akan terjadi. Lantas, jika teori inflasi tidak membuat prediksi tegas,
apa gunanya?
Masalah dasarnya adalah, penangguhan tidak
memikul hukuman—sebaliknya, ia diberi ganjaran positif. Kawasan-kawasan jahat
yang menunda penghentian inflasi terus tumbuh dengan laju mencepat, sehingga
mereka mengambil alih tanpa kecuali. Dalam situasi ideal, kawasan jahat manapun
akan mengembang lebih pelan—atau, yang lebih baik, menyusut. Sebagian besar
semesta akan terdiri dari kawasan-kawasan bertingkah baik yang mengakhiri fase
penghalusan tepat pada waktunya, dan alam semesta teramati milik kita akan
sangat normal.
Sebuah alternatif untuk kosmologi inflasi yang
diusulkan saya dan kolega, dikenal sebagai teori siklik, persis mempunyai
atribut ini. Menurut gambaran ini, big bang bukanlah permulaan ruang dan waktu
[lihat Mitos Permulaan Waktu, tulisan Gabriele Veneziano, Scientific American,
Mei 2004], melainkan “lambungan” dari fase penyusutan terdahulu menuju fase
perluasan baru, diiringi pembentukan materi dan radiasi. Teori ini siklik
karena, setelah setriliun tahun, perluasan beralih ke penyusutan, dan lambungan
baru menuju perluasan lagi. Poin kuncinya adalah, penghalusan alam semesta
berlangsung sebelum bang, selama periode penyusutan. Kawasan penangguh jahat manapun
terus menyusut sedangkan kawasan bertingkah baik melambung tepat waktu dan
mulai mengembang, sehingga kawasan jahat tetap tergolong kecil dan tak berarti.
Penghalusan selama penyusutan memiliki
konsekuensi yang nyata. Selama fase penghalusan, entah dalam teori inflasi
ataupun teori siklik, fluktuasi-fluktuasi quantum menghasilkan
distorsi-distorsi kecil acak yang menjalar di ruangwaktu, dikenal sebagai
gelombang gravitasi, yang meninggalkan jejak khas pada radiasi gelombang mikro
latar. Amplitudo gelombang-gelombang ini berbanding dengan densitas energi.
Inflasi akan terjadi ketika alam semesta amat padat/rapat, sedangkan proses
sepadan dalam model siklik akan terjadi ketika alam semesta nyaris hampa,
sehingga jejak-jejaknya akan sangat berbeda. Tentu saja, teori siklik relatif
baru dan mungkin mengandung masalah, tapi ia mengilustrasikan adanya
alternatif-alternatif masuk akal yang tidak didera inflasi abadi tak
terkendali. Penelitian pendahuluan kami menyiratkan model siklik juga
menghindari masalah-masalah lain yang dikemukakan di awal.
Saya sudah menyajikan bukti pendukung dan
penentang inflasi sebagai dua ekstrim tanpa kemungkinan pemeriksaan silang atau
sedikit perbedaan. Dalam sebuah pertemuan yang diadakan bulan Januari di
Princeton Center for Theoretical Science untuk mendiskusikan isu-isu ini,
banyak teoris terkemuka berargumen bahwa persoalan-persoalan inflasi hanyalah
kesulitan awal dan tidak boleh menggoyahkan keyakinan kita terhadap ide
dasarnya. Yang lain (termasuk saya) berpendapat persoalan ini menusuk inti
teori, dan [teori ini] perlu perbaikan besar atau harus diganti.
Pada akhirnya, perkara ini akan diputuskan
dengan data. Observasi mendatang terhadap radiasi gelombang mikro latar akan
bicara. Eksperimen untuk mencari jejak gelombang gravitasi sedang dijalankan di
puncak-puncak gunung, pada balon-balon tinggi, dan satelit-satelit onboard, dan
hasilnya semestinya muncul dalam dua sampai tiga tahun ke depan. Terdeteksinya
jejak gelombang gravitasi akan mendukung inflasi; kegagalan mendeteksinya akan
menjadi langkah mundur besar. Agar inflasi masuk akal, terlepas dari hasil
nihilnya, kosmolog harus menduga bahwa medan inflasi memiliki tenaga amat
ganjil dengan bentuk yang tepat untuk memberangus gelombang gravitasi yang
bekerja keras. Banyak periset akan condong pada alternatif-alternatif, seperti
teori alam semesta siklik, yang secara alami memprediksi sinyal gelombang
gravitasi kecil dan tak teramati. Hasilnya akan menjadi momen kritis dalam
upaya kita untuk menentukan bagaimana alam semesta menjadi seperti sekarang dan
apa yang akan terjadi padanya di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar