Sayyid Muhammad Baqir Shadr
Suatu penyelidikan mengenai sistem hukum yang mengatur proses sejarah dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peristwa peristiwa sejarah terhadap kehidupan masyarakat, merupakan salah satu kebutuhan masyarakat kita di masa sekarang ini. Pemilikan atas sistem ini sangat penting bagi vitalitas berkelanjutan dari revolusi budaya kita, serta perluasannya kepada semua bangsa di dunia. Tidak diragukan lagi bahwa jika suatu masyarakat ingin membebaskan diri dari pembatasan-pembatasan lingkungannya, atmosfir yang mencekik dan kondisi-kondisi yang memberati, maka ia harus mengetahui sejauh mana masyarakat dikendalikan secara paksa oleh lingkungannya dan situasi-kondisinya, serta bagaimana ia bisa mengatasi pembatasan-pembatasan tersebut.
Yang terpenting hanyalah menemukan cara-cara dan sarana-sarana untuk mengatasi pembatasan-pembatasan serta rintangan-rintangan tersebut. Tidaklah penting bagi kita apakah penemuan ini dinamakan penemuan ilmiah ataukah diberi nama yang bercorak religius, filosofis, gnostik, atau apa pun yang lain. Marilah sekarang kita lihat apa yang dikatakan oleh Ayatullah Baqir Shadr mengenai masalah ini dari sudut pandang Al-Quran dalam kuliah-kuliahnya yang terakhir di Hawzah ‘Ilmiyah (Pusat Keagamaan) di Najaf al-Asyraf (Irak).
Kajian ini sangat penting
sebab ia berkaitan dengan Hawzah ‘Ilmiyah dan Ayatullah Shadr. Dalam
lembaga-lembaga keilmuan kita, kajian-kajian kebanyakan didasarkan pada keempat
sumber hukum, yaitu Al-Quran, Sunnah, akal, dan ijma’. Wajar jika di
lembaga-lembaga keilmuan ini Al-Quran dikaji entah dari sudut pandang hukum
ataukah dengan rujukan kepada masalah-masalah filsafat skolastik dan moral yang
mendasar, yang semuanya tercakup dalam istilah tafsir Al-Quran.
Di Hawzah ‘Ilmiyah
digunakan dua metode pengajaran tafsir. Yang pertama adalah metode yang lama
dan konvensional, dan yang kedua adalah metode tematis (maudhu’iy). Dalam
kuliahnya yang pertama, Ayatullah Shadr menjelaskan secara rinci perbedaan
antara kedua metode ini. Dalam metode yang pertama, Al-Quran dibaca dan ditafsirkan
dari awal hingga akhir, atau diambil satu surat tertentu saja dan ditafsirkan
ayat demi ayat dan kata demi kata. Mula-mula dibahas segi-segi bahasa,
gramatika, dan sastra dari setiap ayat, kemudian diterangkan hal-hal yang pelik
mengenai artinya. Selanjutnya dijelaskan latar belakang riwayat dan sebab
turunnya ayat atau surat. Pada saat yang sama, hadis-hadis yang relevan serta
masalah-masalah lain yang serupa dibicarakan. Dengan cara ini seluruh isi
Al-Quran dijelaskan. Jenis tafsir seperti ini bisa disebut tafsir tajzi’ah
(tafsir dengan cara memilah-milah dalam bagian-bagian).
Metode yang kedua adalah
metode tafsir maudhu’iy (tematis). Dalam metode ini, sebuah pokok masalah
dipilih, kemudian dikaji dari berbagai sudut. Mula-mula ditetapkan satu gagasan
yang dirasa cocok untuk dibahas, kemudian dilakukan rujukan kepada Al-Quran
untuk melihat ketetapan Al-Quran mengenai masalah tersebut. Metode ini lebih
disukai di kalangan Ahlul Bait daripada metode yang disebut pertama. Imam Ali
a.s. berkata: “Inilah Al-Quran. Marilah kita ungkap apa pendapatnya.”
Kenyataannya adalah bahwa Al-Quran mampu mengungkapkan setiap kebenaran.
Terserah kepada manusialah untuk merujukkan persoalan-persoalan mereka kepada
Al-Quran agar dijawab olehnya.
Jika kita merujukkan sebuah
gagasan yang telah dikaji oleh berbagai aliran masyarakat manusia kepada
Al-Quran dalam bentuk sebuah pertanyaan, niscaya kita akan dibimbing oleh
Al-Quran kepada jawaban yang paling baik. Untuk mempersiapkan landasan bagi
tafsir semacam ini, lebih dahulu kita harus mengkaji seluruh isi Al-Quran
dengan metode tafsir yang pertama. Dengan kata lain, untuk mampu melakukan
kajian tematis, orang sejauh tertentu harus akrab dengan ayat-ayat yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan Islam atau Al-Quran, dan mampu
mengemukakan semua ayat yang menyangkut masalah yang dibicarakan.
Pekerjaan seperti ini
telah dilaksanakan dalam kaitan dengan hukum Islam manakala semua hadis yang
berkaitan dengan setiap masalah telah dikumpulkan dan diulas.
Ayatullah Baqir Shadr
ingin melakukan kajian tematis mengenai beberapa masalah dan menyimpulkan
pandangan Al-Quran mengenainya, namun sayangnya beliau hanya sempat
menyelesaikan kajian mengenai satu masalah saja, yaitu metodologi sejarah atau
filsafat sejarah. Apa yang penting bagi kita adalah bahwa masalah ini telah
dikaji untuk pertama kalinya dari sudut keagamaan dan Qurani. Kajian ini telah
diberi nama “Kecenderungan Sejarah dalam Al-Quran”. Marilah sekarang kita lihat
apa makna judul dan pokok-pokok masalah apa yang dicakupnya.
Di sini patut ditunjukkan
bahwa sejarah mempunyai beberapa konotasi. Salah satunya adalah sejarah yang
diriwayatkan, yaitu tuturan mengenai kejadian-kejadian di masa lampau. Konotasi
lainnya adalah kajian peristiwa-peristiwa sejarah menyangkut suatu masyarakat
tertentu. Konotasi ketiga adalah pandangan luas tentang sejarah, yang terlepas
dari batasan waktu dan tempat. Sejauh ini kita telah mengkaji Al-Quran dari
sudut pandang sejarah yang diriwayatkan, atau kadang-kadang mengkaji suatu
masyarakat masa lampau dalam lingkup yang dikatakan Al-Quran tentangnya. Dalam
kaitan ini kita dihadapkan pada beberapa kesulitan. Sebagai contoh, kita
temukan bahwa dalam menuturkan cerita-cerita masa lampau, Al-Quran tidak
memaparkannya dalam batasan-batasan fakta numerik. Bukan karena Al-Quran
mempunyai keraguan mengenai angka-angka, melainkan memang ia sengaja
mengabaikannya. Sebagai contoh, dalam cerita tentang Penghuni Gua (Ashabul
Kahfi) Al-Quran mengatakan: “Sebagian orang akan mengatakan (bahwa jumlah
mereka adalah) tiga orang, yang keempatnya adalah anjing mereka; dan (yang
lain) mengatakan bahwa (jumlah mereka adalah) lima orang, yang keenamnya adalah
anjingnya, sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi)
mengatakan bahwa (jumlah mereka adalah) tujuh orang, yang kedelapan anjingnya.
Katakanlah: ‘Tuhanku lebih
mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka
kecuali sedikit.’ Karena itu janganlah kamu bertengkar tentang mereka.” (QS.
18: 22).
Cara pengungkapan ini menunjukkan
bahwa Al-Quran dengan sengaja tidak memberikan banyak perhatian kepada sejarah
yang diriwayatkan. Demi mengambil manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah,
Al-Quran tidak mau menjadikan kita terperangkap oleh bentuk-bentuk konvensional
apa pun. Sebaliknya, ia menginginkan kita agar menghancurkan kekakuan
bentuk-bentuk seperti itu. Dalam hal ini Al-Quran mempunyai sikap yang sama
terhadap semua cerita sejarah. Ia tidak membedakan apakah kejadian yang
dituturkan menyangkut manusia terhormat seperti Nabi-nabi, tiran-tiran yang
kejam, ataukah manusia-manusia luar biasa lainnya. Dengan demikian, kita tak
punya hak untuk mengisi kekosongan apa pun dalam cerita-cerita Al-Quran dengan
dongeng mitos, terkaan, ataupun opini pribadi kita sendiri. Kita hanya wajib
menemukan apa tujuan Al-Quran menuturkan cerita-cerita tersebut. Kenyataannya,
Islam memiliki filsafat khusus berkenaan dengan bangsa-bangsa dan
komunitas-komunitas. Sama halnya, ia juga mempunyai sosiologinya sendiri. Ia
tidak ingin hanya semata-mata menuturkan kembali kejadian-kejadian, tidak pula
ia tertarik dengan suatu periode tertentu dalam sejarah, atau sosiologi
masyarakat tertentu, Jika Islam memang merujuk kepada hal-hal seperti itu, ia
melakukannya dengan tujuan semata-mata untuk menyimpulkan hukum-hukum universal
tertentu yang mengatur semua masyarakat dan menentukan arah perjalanannya,
apakah menuju ke arah yang baik ataukah buruk.
Karenanya, sangat penting
bagi kita untuk menemukan hukum-hukum sejarah apa yang dikemukakan Al-Quran
kita bisa memahami masyarakat kita maupun masyarakat-masyarakat di masa lampau,
agar kita mampu memastikan arah perjalanan kita di masa mendatang dan
membedakan mana arah yang benar dan mana yang salah. Tidak diragukan lagi,
untuk tujuan ini Al-Quran adalah satu-satunya sumber yang handal yang bisa kita
andalkan. Jika kita ingin mengetahui apakah telah ada suatu preseden bagi
penyimpulan seperti itu atas hukum-hukum sejarah, maka kita lihat bahwa seorang
filosof besar, Ibnu Khaldun, telah melakukan penyimpulan-penyimpulan seperti
itu delapan abad sesudah diwahyukannya Al-Quran. Untuk pertama kalinya beliau,
dalam Muqaddimah-nya, memalingkan perhatian kepada masalah perkembangan
masyarakat dan hukum-hukum dasar sejarah. Sayangnya, sepeninggal beliau
gagasan-gagasannya digali lebih lanjut dan hampir-hampir sama sekali dilupakan.
Empat abad sesudah Ibnu Khaldun, apa yang disebut sebagai unsur-unsur kemajuan Eropa yang mendakwakan diri sebagai perintis semua ilmu pengetahuan serta ahli-ahli di setiap bidang, menyadari bahwa masyarakat manusia diatur oleh hukum-hukum dan norma-norma tertentu. Mereka menamakan hukum-hukum tersebut “filsafat sejarah”. Dengan berlalunya waktu, setiap sarjana mulai menafsirkan hukum-hukum tersebut sesuai dengan pemikirannya sendiri, latar belakang mental, dan selera pribadinya. Konsekuensinya, kita sekarang dihadapkan pada berbagai filsafat sejarah, yang terkenal di antaranya adalah filsafat sejarahnya Hegel, Toynbee, dan Marx, Masing-masing filsafat mereka ini mempunyai metodenya sendiri. Mengenai masyarakat kita sendiri, diperlukan waktu delapan abad untuk memalingkan perhatiannya kepada masalah ini, namun kemudian ia pun segera ditinggalkan. Masyarakat-masyarakat lain memberikan perhatian kepadanya, tetapi mereka terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan besar, yang sebagian di antaranya akan kita tunjukkan nanti.
Empat abad sesudah Ibnu Khaldun, apa yang disebut sebagai unsur-unsur kemajuan Eropa yang mendakwakan diri sebagai perintis semua ilmu pengetahuan serta ahli-ahli di setiap bidang, menyadari bahwa masyarakat manusia diatur oleh hukum-hukum dan norma-norma tertentu. Mereka menamakan hukum-hukum tersebut “filsafat sejarah”. Dengan berlalunya waktu, setiap sarjana mulai menafsirkan hukum-hukum tersebut sesuai dengan pemikirannya sendiri, latar belakang mental, dan selera pribadinya. Konsekuensinya, kita sekarang dihadapkan pada berbagai filsafat sejarah, yang terkenal di antaranya adalah filsafat sejarahnya Hegel, Toynbee, dan Marx, Masing-masing filsafat mereka ini mempunyai metodenya sendiri. Mengenai masyarakat kita sendiri, diperlukan waktu delapan abad untuk memalingkan perhatiannya kepada masalah ini, namun kemudian ia pun segera ditinggalkan. Masyarakat-masyarakat lain memberikan perhatian kepadanya, tetapi mereka terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan besar, yang sebagian di antaranya akan kita tunjukkan nanti.
Masalah lain yang perlu
dijelaskan sebelum kita memasuki pokok bahasan utama kita adalah, apakah
Al-Quran berhak campur tangan dalam pembahasan tentang norma-norma sejarah?
Apakah termasuk dalam lingkupnya untuk membahas suatu masalah ilmiah? Jika
diakui bahwa Al-Quran mampu mengemukakan hukum-hukum sejarah, maka masalah ini
menjadi sangat penting bagi kita dalam situasi dan kondisi kita sekarang ini.
Kita punya banyak masalah tentang fisika, kimia, teknologi nuklir, matematika,
dan lain-lain. Dapatkah kita berpaling kepada Al-Quran untuk mencari
pemecahannya? Apakah Al-Quran telah berurusan dengan masalah-masalah ilmiah?
Jika memang demikian, mengapa kemajuan ilmiah kaum Muslimin tertunda begitu
jauh? Mengapa kita bahkan berada pada tingkat peradaban kita yang sekarang ini,
paling tidak seribu tahun setelah diwahyukannya Al-Quran? Tidakkah kita
seharusnya berada pada tingkat ini ketika Al-Quran diwahyukan? Dan jika
Al-Quran tidak berurusan dengan masalah ilmiah, mengapa kita sekarang harus
mencari solusi di dalamnya?
Adalah kenyataan bahwa
Al-Quran bukanlah buku ilmu pengetahuan. Tetapi pertanyaannya adalah: Mengapa
ia bukan buku ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuanlah yang menyelesaikan
begitu banyak persoalan masyarakat? Jawabannya: bahwa ilmu pengetahuan tidak
mampu menyelesaikan masalah apa pun kecuali jika ia berjalan sejajar dengan
arah hidayah. Jika tidak, maka ia hanya akan menambah persoalan dan membuatnya
semakin pelik. Bagaimanapun, ini adalah masalah sosial dan berada di luar
lingkup pembahasan kita.
Secara ringkas bisa
dikatakan bahwa Al-Quran adalah Kitab bimbingan Ilahi. Ia mengatakan kepada
umat manusia apa yang akan terjadi kelak, sebagai konsekuensi amal perbuatan
mereka. Tidak ada jasa informasi mana pun di dunia ini yang bisa mengatakan
kepada kita apa konsekuensi atas perbuatan-perbuatan kita pada saat segera
sesudah perbuatan-perbuatan tersebut dikerjakan. Pengetahuan yang diberikan
oleh ilmu pengetahuan secara keseluruhannya didasarkan pada sistem kausatif,
tetapi ia tidak bisa menggambarkan kaitan masa depan dari suatu sebab dengan
efek-efeknya. Ia tidak bisa mengatakan dengan cara bagaimana efek yang
dihasilkan oleh suatu sebab akan bermanfaat bagi manusia, dan dengan cara
bagaimana ia akan merugikannya, tidak pula sains bisa menunjukkan ke arah mana
manusia harus dipandu agar ia bisa menikmati hasil-hasil yang menguntungkan
dari suatu sebab. Fungsi ilmu pengetahuan terbatas pada menunjukkan kaitan yang
sangat lemah dan dangkal antara sebab dan akibat. Bahkan untuk menemukan kaitan
semacam ini, manusia harus melakukan upaya dan mengkaji alam hingga akalnya
bisa memahami kaitan ini. Dia bisa memanfaatkan kaitan ini hanya dengan upaya
dan pengalamannya.
Semua kesusahan dan
penderitaan di dunia, termasuk peperangan, penyakit, kecelakaan tragis dan
semua masalah serta kesulitan lain yang harus dihadapi oleh manusia,
dimaksudkan untuk memberikan kepadanya pantikan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan tersebut dan menemukan jalan untuk menerobosnya. Sekalipun
demikian, persoalan tentang bimbingan Ilahi merupakan sesuatu yang berbeda.
Jika seseorang tidak terbimbing secara religius, dia pasti akan
terombang-ambing oleh gagasan-gagasan yang pada akhirnya akan menyimpangkan
jalannya. Adalah rahmat Allah bahwa Dia membimbing manusia dan mengirimkan
kepada mereka Kitab-Kitab Suci dan petunjuk yang jelas. Para rasul diutus agar
umat manusia tidak mengalami kebingungan dan menyimpang dari jalan yang lurus.
Jadi, adalah suatu hak istimewa Al-Quran untuk membimbing manusia. Juga adalah
fakta bahwa perhatian yang selayaknya terhadap hukum-hukum serta kecenderungan-
kecenderungan sejarah merupakan bagian penting dari bimbingan, sebab ia
melindungi manusia dari kejahatan-kejahatan penyimpangan.
Ada perbedaan penting
antara hukum-hukum sejarah di satu pihak dengan hukum-hukum fisika dan kimia di
pihak lain. Hukum-hukum fisika dan kimia, yang didasarkan pada sistem kausatif
alam, berlaku bagi benda-benda mati yang tak mampu menerima bimbingan. Di lain
pihak, hukum-hukum masyarakat, meskipun sama kokoh dan pastinya dengan hukum
ilmiah mana pun, hanya berlaku pada manusia. Adalah kekhususan manusia bahwa
dia bisa menempatkan dirinya di luar jangkauan suatu hukum yang dipandangnya
merugikan dirinya dan menempatkan dirinya di dalam jangkauan hukum lain yang
dipandangnya menguntungkan. Dengan kata lain, dia bisa memutuskan bagi dirinya
hukum mana yang akan berlaku bagi dirinya, baik hukum yang akan membawanya
kepada kebahagiaan ataukah yang akan membawanya kepada kesengsaraan. Pilihan
ada di tangannya sendiri.
Akan tetapi, ini tidak
berarti bahwa manusia bisa melanggar hukum mana pun. Apa yang bisa
dikerjakannya adalah, menempatkan diri dalam lingkup suatu hukum, atau
menempatkan diri dalam lingkup hukum lainnya. Dia bisa berbuat demikian karena
dia bisa mengusahakan keberhasilan ataupun kegagalan bagi dirinya. Karena
alasan inilah Al-Quran memberikan perhatian khusus kepada sejarah bangsa-bangsa
dan masyarakat-masyarakat manusia. Ia telah melakukannya terutama dengan maksud
untuk memberikan kesempatan kepada manusia untuk mengambil pelajaran dari
hukum-hukum sejarah dan menciptakan sistem yang paling baik bagi mereka.
Sejarah membantu manusia menyimpulkan hukum-hukum umum. Jika Al-Quran hanya
merujuk kepada beberapa hukum sejarah saja, itu dikarenakan ia tidak ingin
memasung peran manusia. Tidak ada alasan untuk beranggapan bahwa hanya
hukum-hukum yang telah disebutkan oleh Al-Quran sajalah yang mengatur kehidupan
umat manusia dan masyarakat manusia.
Menurut Al-Quran, adalah
kewajiban manusia sendiri untuk menemukan kecenderungan-kecenderungan sejarah
dan menyimpulkan hukum-hukumnya. Manusia harus menanggapi masalah ini dengan
serius, berbuat sebaik-baiknya untuk menemukan hukum-hukum sejarah, dan
menerima ketetapan-ketetapannya. Sebagai contoh, ayat-ayat yang menerangkan
hukum-hukum sejarah manusia, kita dapati dalam Al-Quran sebuah ayat yang
berkaitan dengan Perang Uhud: “Jika kamu mendapat luka, maka sesungguhya kaum
(kafir) itu pun mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran)
itu Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS. 3: 140).
Tak ada satu kaum pun yang
bisa mengatakan bahwa mereka akan selalu memperoleh kemenangan, tidak pula ada
satu kaum yang ditakdirkan untuk selalu kalah. Kemenangan dan kekalahan
bergantung pada kondisi-kondisi sosial tertentu dan tunduk pada hukum-hukum
sejarah. Bangsa atau komunitas mana pun yang mematuhi hukum-hukum tersebut akan
memperoleh kemenangan, lepas dari kenyataan apakah ada orang-orang saleh di
dalamnya, atau tidak. Dalam kenyataannya, yang penting adalah sistem yang
menguasai keseluruhan masyarakat. Kehadiran segelintir individu tidaklah
berarti apa-apa. Itulah sebabnya mengapa tak perlu diherankan jika dalam suatu
masyarakat yang buruk orang-orang yang baik juga ikut terpengaruh oleh hukum
sosial yang menyusahkan, sebab nasib suatu masyarakat ditentukan oleh perilaku
mayoritas anggotanya. Jika suatu masyarakat secara keseluruhan menyimpang, maka
seorang yang baik, betapapun sempurna keteladanan perilaku pribadinya, pasti
akan menderita akibat buruk dari perilaku buruk masyarakamya. Al-Quran
mengatakan: “Dan peliharalah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang lalim saja di antara kamu.” (QS. 8: 25).
Ayat ini mengandung
gagasan yang sama dengan yang telah dikemukakan di atas. Perilaku masyarakat
berbeda dari perilaku individu- individu. Meskipun individu-individulah yang
membentuk masyarakat, namun individu-individu yang saleh secara sendiri-sendiri
tidaklah bisa melepaskan diri dari perilaku buruk masyarakat mereka secara
keseluruhan, kecuali jika mereka mampu mengubah kondisi umumnya. Bukti terbaik
mengenai benarnya aturan ini diberikan oleh kisah Nabi Musa dan kaumnya
sebagaimana yang dituturkan dalam Al-Quran. Kaum Nabi Musa ingin mencapai tanah
yang dijanjikan dan bermukim di sana. Tetapi mereka meminta kepada Nabi Musa
untuk membebaskan tanah itu terlebih dahulu dari para penindas dengan bantuan
Tuhannya, Allah, baru kemudian mengajak mereka untuk memasukinya. Mereka
mengatakan kepada Nabi Musa: “Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan
berperanglah kamu berdua, kami akan duduk-duduk saja menunggu di sini.” (QS. 5
:24).
Al-Quran mengatakan bahwa
sikap mereka yang seperti ini membuktikan bahwa mereka tidak patut memperoleh
kemenangan. “Allah berfirman: ‘(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu
diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun. (Selama itu) mereka akan
berputar-putar kebingungan di bumi.’” (QS. 5: 26).
Maka begitulah yang
terjadi. Nabi Musa, tak diragukan, memiliki iman yang sejati kepada Allah,
tulus dalam tujuannya, dan dengan penuh kepahlawanan telah melakukan perjuangan
yang berhasil melawan Fir’aun. Tetapi karena masyarakatnya tidak berdisiplin
dan kurang memiliki ketabahan dan semangat berkurban, maka beliau bersama yang
lain terpaksa berkelana di padang pasir dan mengalami kesukaran-kesukaran.
Dalam kaitan ini, penafsiran yang menarik mengenai tragedi Karbala yang
diberikan oleh Ayatullah Shadr patut dikemukakan dan sangat menggugah pikiran.
Beliau mengatakan bahwa rakyat Kufah mempunyai sifat pengecut dan lemah,
sementara orang-orang Syam penyimpang dan pendengki. Orang-orang Kufah
mentolerir penguasa Bani Umayyah yang despotik dan haus darah. Ini berarti
bahwa perilaku sosial mereka akan menyebabkan kekacauan dan membawa bencana.
Sesuai dengan itu, orang-orang Kufah lalu ditimpa kesengsaraan, bencana
kelaparan, dan pertumpahan darah. Insiden Karbala di mana Imam Husain dan
anggota keluarganya mengalami bencana besar, adalah salah satu rangkaian
malapetaka tersebut. Proses seperti itu tidak bisa dihentikan kecuali jika
dilakukan sesuatu untuk mengubah arahnya. Jika kita berhasil melakukannya, kita
dapat menyelamatkan diri kita dari dampak hukum yang menyusahkan, dan
menempatkan diri kita dalam lingkup hukum yang berbeda.
Masalah lain adalah, bahwa
menurut Al-Quran masyarakat diatur oleh hukum-hukum yang pasti dan tak bisa
diubah. Al-Quran telah memberikan tekanan yang kuat terhadap masalah ini.
Ayat-ayat yang relevan dengan masalah ini bisa dibagi dalam beberapa kategori:
1. Ayat-ayat yang
meletakkan aturan umum. Al-Quran mengatakan: “Setiap umat mempunyai batas waktu
(ajal); manakala ia telah tiba, mereka tidak akan bisa mengundurkannya sesaat
pun, tidak pula mereka bisa memajukannya.” (QS. 7: 34). Ini adalah hukum
universal sejarah.
2. Ada ayat-ayat lain yang
merujuk kepada konsekuensi-konsekuensi ketidakadilan dan penindasan. Salah
satunya berbunyi: “Dan sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya,
niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi satu makhluk melata
pun; akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang
tertentu.” (QS. 35: 45).
Tak syak lagi, Allah
berkuasa menghukum dan menghancurkan dengan segera masyarakat-masyarakat yang
lalim dan menyimpang, tetapi Dia telah memberikan kepada mereka penangguhan
waktu. Di sini bisa ditunjukkan bahwa berkenaan dengan waktu, hukum masyarakat
berbeda dengan hukum individu. Seorang individu mungkin akan dihukum atau
diberi pahala segera sesudah ia melakukan kejahatan atau kebaikan. Tetapi
sebagaimana yang bisa dibaca dari sejumlah ayat Al-Quran, perubahan-perubahan
sosial mungkin memakan waktu ratusan, bahkan ribuan tahun. Dalam kasus berbagai
masyarakat, waktu bersifat relatif dan hanya kesegeraan relatif sajalah yang
diambil dalam perhitungan. Dari sini, orang tidak boleh mengharapkan perubahan
yang cepat di masyarakat, karena perubahan sosial memiliki waktunya sendiri
dalam hukum-hukum yang mengaturnya.
3. Beberapa ayat Al-Quran
menyertakan kepada manusia agar mengkaji peristiwa-peristiwa sejarah dan
melakukan penyelidikan-penyelidikan atasnya. Dalam kaitan ini ada beberapa ayat
yang mempunyai makna yang sama. Salah satunya berbunyi: “Maka apakah mereka
tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan
bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allah telah menimpakan
kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat)
seperti itu.” (QS. 47: 10).
Allah bertanya kepada
manusia, yang kepada mereka ayat ini ditujukan: Mengapa mereka tidak melakukan
penelitian dan mengadakan perjalanan di muka bumi untuk melihat perbuatan
kaum-kaum di masa lampau dan akibat-akibat perbuatan mereka itu? Mengapa mereka
tidak memperhatikan bagaimana Allah telah menghancurkan kaum-kaum yang kafir
dan lalim di masa lampau, dan bagaimana Dia telah menghinakan mereka?
Dari ayat-ayat ini jelas
bahwa masyarakat diatur oleh hukum-hukum dan norma-norma yang pasti, tak bisa
diubah. Marilah kita kembali kepada topik pembicaraan kita dan melihat
bagaimana bunyi hukum-hukum itu, dan bagaimana bekerjanya. Tetapi, sebelum
mengemukakan contoh-contoh hukum tersebut, perlu disebutkan di sini beberapa
karakteristik hukum-hukum itu, sebab karakteristik tersebut menggariskan batas
demarkasi antara pandangan kita tentang norma-norma sejarah dengan pandangan
orang lain yang tertarik dengan masalah ini.
Kami meyakini tiga
karakteristik dasar norma-norma tersebut, yang dengannya dimungkinkan untuk
mengenali arah perjalanan sejarah.
Karakteristik yang pertama
dari norma-norma sejarah ini adalah universalitas. Norma-norma tersebut tidak
mempunyai kekecualian. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan tegas. Manakala
ia menyebutkan nasib suatu kaum, ia menambahkan bahwa yang demikian itu adalah
metode atau hukum Ilahi. Dengan tegas ia mengatakan: “Maka sekali-kali engkau
tidak akan menemukan pengganti bagi sunnah Allah, tidak pula engkau akan
mendapati bahwa sunnah Allah itu menyimpang.” (QS. 35: 43).
Tak seorang pun yang bisa
mengubah norma-norma atau melanggar hukum-hukum tersebut. Mereka bersifat pasti
dan tak bisa diubah. Posisi ini tidak terbatas pada masalah-masalah material
kehidupan saja, tetapi juga berlaku bagi masalah pertolongan Tuhan, yang
menurut Al-Quran juga beroperasi sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma
sejarah. Dengan demikian, hukum-hukum masyarakat tidak mempunyai kekecualian.
Karakteristik kedua adalah
hukum-hukum masyarakat mempunyai segi Ilahiah atau ciri Ketuhanan. Pandangan
ini agak menentang pikiran. Semua kaitan fisik di alam semesta ini didasarkan
pada sistem sebab-akibat. Jika kita mengabaikan sistem ini dan menganggap
segala sesuatu bersifat spontan, penuh mukjizat dan merupakan hasil langsung
kehendak Allah, maka kita akan harus menafikan semua cabang ilmu pengetahuan
dan menggugurkan seluruh sistem sebab-akibat. Akibatnya, pandangan kita tentang
ilmu pengetahuan akan berubah secara total, dan akan menyerupai pandangan
Kristen terhadap sejarah sebagaimana yang bisa kita baca dari ucapan-ucapan St.
Agustinus. Menurutnya, penyucian sesuatu berarti penafian urutan sebab-akibat.
Dengan kata lain, jika sesuatu memiliki aspek kesucian berarti ia diatur secara
langsung oleh kehendak Tuhan. Dapatkah kita menerima pandangan ini? Tidak!
Pandangan ini tidak rasional dan bertentangan dengan semua prinsip ilmu
pengetahuan. Pandangan yang kita anut mengenai metode dan praktik Ilahi, persis
sejalan dengan sistem sebab-akibat. Satu-satunya perbedaan adalah, bahwa
sementara kita menerima apa yang dikatakan oleh ilmu pengetahuan mengenai
sistem sebab-akibat, kita juga meyakini bahwa pada akhirnya semua sistem
bergantung pada Allah.
Ambillah contoh yang
sederhana. Kita tahu bahwa hujan turun dengan kehendak Allah. Tetapi kita tidak
mengingkari bahwa proses turunnya hujan bermula dengan penguapan air laut dan
naiknya uap air. Kemudian dengan berubahnya suhu udara, uap itu berubah lagi
menjadi air; dan karena daya tarik bumi ia lalu jatuh dalam bentuk titik-titik
air. Kita mengakui semua ini, tetapi kita juga mengatakan bahwa pada setiap
tahap segala sesuatu bergantung pada Allah, dan tak ada satu tahap pun di mana
sebab beroperasi atau berfungsi secara mandiri, lepas dari Allah. Inilah
keyakinan serta pengamatan kita. Ini bukan masalah teori fiktif. Ia adalah
realitas yang menunjukkan bahwa dalam semua proses dan gerakan kausatifnya,
seluruh alam semesta bergantung pada Allah. Meskipun ilmu pengetahuan bekerja
pada basis sistem sebab-akibat, namun ia mengingkari bahwa ada realitas yang
mendasari sistem ini. Adalah penting menyadari bahwa segala sesuatu bergantung
pada Allah, agar manusia tidak lupa diri dan menjadi congkak.
Semua kesulitan dan
kekeliruan yang disebabkan oleh pandangan Barat tentang ilmu pengetahuan
disebabkan oleh pemikiran lancang bahwa manusia tidak membutuhkan Penciptanya.
Pemikiran seperti itu membuat manusia menjadi angkuh dan congkak. Karenanya
orang harus membuang jauh-jauh pemikiran seperti itu dan menemukan arah yang
telah digariskan baginya oleh Tuhan, sebab arah tersebut itulah yang
sesungguhnya merupakan arah beroperasinya alam semesta. Dari sini jelaslah
bahwa terdapat perbedaan mendasar antara aspek Keilahian yang kita berikan
kepada sejarah, dengan aspek Keilahian yang diberikan Kristen kepadanya.
Karakteristik ketiga yang
penting bagi kita adalah hukum-hukum sejarah bukanlah tak konsisten dengan
kebebasan manusia. Kita telah merujuk kepada pokok ini sebelumnya. Sekarang
kita kutip beberapa ayat untuk mendukung pandangan kita ini. Al-Quran
mengatakan: “Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka
mengubah apa yang ada dalam jiwa mereka.” (QS. 13: 11)
Dalam ayat ini Allah tidak
bermaksud mengatakan bahwa Dia akan menggugurkan hukum-Nya jika suatu kaum
mengubah kondisi mereka. Bukan itu inti masalahnya. Intinya adalah: hukum
Ilahi, menyatakan bahwa manusia akan memperoleh suatu kondisi tertentu jika
mereka mengubah kondisi mereka, dan akan memperoleh kondisi yang lain jika
mereka tidak mengubahnya dan berpegang erat pada kebiasaan dan adat istiadat
mereka. Dengan demikian, sementara ayat ini menekankan keberadaan sebuah hukum,
pada saat yang sama ia mengukuhkan kebebasan manusia. Di tempat lain Al-Quran
mengatakan: “Dan (penduduk) negeri itu telah Kami binasakan karena mereka
berbuat lalim.” (QS. 18: 59).
Dalam ayat ini, sebuah
hukum yang sama telah dinyatakan, sebab di sini jelas dinyatakan bahwa tak
seorang pun yang dipaksa untuk berbuat lalim.
“Dan bahwasanya jikalau
mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan
memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS. 72: 16).
“Jikalau penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu.” (QS. 7: 96).
Anda bisa melihat
bagaimana manusia telah diberi pilihan untuk menempatkan dirinya pada salah
satu di antara dua hukum alternatif. Kepadanya dikatakan bahwa dia bisa
menempatkan dirinya pada salah satu di antara kedua hukum tersebut sehingga dia
bisa dihakimi menurut ketentuan-ketentuan pasti dari hukum yang dipilihnya.
Kita telah mengisyaratkan
suatu masalah penting menyangkut pertolongan Ilahi. Di sini akan kita jelaskan
lebih jauh. Biasanya orang beranggapan bahwa pertolongan Tuhan merupakan sebuah
konsesi dan anugerah yang diberikan kepada sebagian manusia yang dipilih-Nya.
Sebenarnya tidaklah demikian. Pertolongan Tuhan diberikan sesuai dengan
hukumnya yang relevan, dan dalam hal ini kebebasan manusia juga telah
dipastikan. Bahkan, soal masuk surga dan penerimaan pertolongan Tuhan, juga
diatur oleh hukum tertentu. Pertolongan Allah datang pada puncak upaya manusia
sendiri yang terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa seluruh alam semesta dan
semua sistemnya diatur oleh hukum-hukum tertentu.
Meringkas pembahasan kita,
dapat kita katakan bahwa norma-norma sejarah memiliki tiga karakteristik.
Jumlah ayat yang menerangkan hukum-hukum tersebut cukup banyak. Kita telah
mengutip hanya sedikit di antaranya. Merujuk kepada klasifikasi ayat-ayat
tersebut, kita katakan bahwa sekelompok di antaranya menyatakan universalitas
hukum-hukum sejarah. Dalam kaitan ini kita kutip ayat yang mengatakan: “Setiap
kaum mempunyai batas waktu; jika ia telah datang, maka mereka tidak dapat
mengundurkannya sesaat pun, tidak pula mereka dapat memajukannya.”
Kelompok yang kedua
menyertakan manusia agar mengkaji apa yang terjadi atas kaum-kaum di masa
lampau. Salah satu dari ayat-ayat tersebut mengatakan: “Mengapakah mereka tidak
melakukan perjalanan di muka bumi untuk melihat bagaimana akibat orang-orang
yang sebelum mereka?”
Kelompok yang ketiga dari
ayat-ayat tersebut menceritakan kisah para Nabi. Al-Quran hanya peduli dengan
pelajaran-pelajaran yang dikandung oleh kisah-kisah tersebut dan moralitas yang
bisa ditarik darinya. Ia tidak tertarik dengan aspek-aspek lahiriahnya. Karena,
ditinjau dari segi ini, semua kisah tersebut sama saja, maka ia bisa dipandang
sebagai lembaran-lembaran ilmu pengetahuan Qurani yang berurusan dengan
norma-norma sejarah. Seperti telah kami tekankan, tiga kualitas dari hukum
sejarah tersebut tidak boleh dilupakan. Ketiga kualitas itu adalah:
1. Universalitas:
Ayat-ayat Al-Quran dengan jelas menunjukkan bahwa norma-norma sejarah bersifat
tetap dan tak berubah-ubah. Al-Quran dengan penuh tekanan telah mengindikasikan
bahwa bahkan dalam hal pertolongan Tuhan pun tidak ada kekecualian. Pertolongan
Tuhan yang tak terbatas tidak bisa diharapkan. Al-Quran mengatakan: “Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana (yang menimpa) orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. 2: 214).
Seakan-akan Allah
mengatakan: “Janganlah kamu mengira bahwa kamu merupakan kekecualian dalam hal
pertolongan Tuhan. Peraturan mengenai hal itu adalah ketat dan ia berlaku
terhadapmu sama seperti ia berlaku terhadap orang-orang lain. Orang-orang di
masa lampau juga harus menghadapi kesukaran dan kemunduran, tetapi mereka terus
berjuang dan tetap tabah. Kamu juga harus melanjutkan perjuanganmu. Dalam kasus
mereka, landasan untuk perubahan hanya dipersiapkan manakala mereka telah
hampir-hampir bosan menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Baru ketika itulah
buah dari kesabaran dan ketabahan dipersiapkan bagi mereka untuk dipetik.
Ingatlah, bahwa pertolongan Allah itu sangat dekat!”
Dengan sendirinya,
pertolongan Tuhan tunduk kepada hukum-hukum yang telah diperhitungkan dengan
cermat sama halnya perjuangan melawan kebatilan juga diatur oleh hukum-hukum
sejarah. Semata-mata keinginan saja tidak dapat menggerakkan suatu gerakan
dalam lingkup hukum-hukum sejarah, tidak pula keinginan itu bisa mencapai suatu
tujuan. Allah berfirman: “(Pahala dari Allah itu) bukanlah menurut
angan-anganmu yang kosong, dan tidak pula menurut angan-angan Ahli Kitab.” (QS.
4: 123).
2. Kualitas kedua dari
norma-norma sejarah adalah aspek Ketuhanannya. Seperti telah kita sebutkan, apa
yang kita yakini dalam hal ini adalah sangat berbeda dengan keyakinan agama
Kristen mengenai masalah Ketuhanan. Kita tidak pernah melanggar batas-batas
doktrin bahwa segala sesuatu mempunyai sebab, dan kita menyatakan bahwa semua
hal terjadi menurut jalurnya yang normal. Satu-satunya perbedaan adalah, bahwa
di samping meyakini hubungan sebab-akibat dan saluran-saluran ilmiah, kita juga
meyakini bahwa segala sesuatu bergantung pada sebab pertamanya. Keyakinan ini
perlu agar manusia tidak lepas dari asal-usulnya, dan tidak menjadi korban
keras kepala dan hidup dalam kehampaan.
3. Pokok atau kualitas
ketiga dari norma-norma sejarah yang ingin kami tekankan adalah masalah
kebebasan manusia. Norma-norma sejarah, meskipun demikian kokohnya, sama sekali
tidak memasung kebebasan manusia. Dalam kaitan ini kita telah mengutip beberapa
ayat dan nanti juga kita akan mengutip ayat-ayat lainnya lagi. Ayat terpenting
yang menjadi landasan masalah ini adalah: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada dalam jiwa
mereka.”
Adalah norma sejarah bahwa
perkembangan yang dialami suatu bangsa haruslah bersumber dari dalam, dan tidak
dipaksakan dari luar. Ini adalah pokok masalah yang telah kami kemukakan. Pokok
masalah selanjutnya yang ingin kami terangkan adalah tentang bidang-bidang yang
di dalamnya norma-norma sejarah bekerja.
Ini merupakan masalah yang
sangat penting. Di dunia ini banyak terjadi kejadian yang dihasilkan oleh
hubungan material sebab-akibat, tetapi norma-norma sejarah sama sekali tidak
berlaku pada mereka. Manusia diatur oleh hubungan-hubungan fisik, kejiwaan, dan
biologis. Seseorang jatuh sakit. Seseorang terlihat dalam kecelakaan.
Kejadian-kejadian seperti itu kadang-kadang dapat mengubah jalannya sejarah
suatu bangsa, namun kejadian-kejadian tersebut tetap saja tidak punya kaitan
dengan norma-norma sejarah. Dalam sejarah, beberapa kejadian yang sangat remeh
telah menjadi peristiwa sangat penting. Dalam kaitan dengan Kekhalifahan Bani
Marwan, dikatakan bahwa sebuah dinasti telah hancur binasa gara-gara air seni.
Adalah suatu kebetulan semata-mata bahwa khalifah Marwan II merasa ingin buang
air seni. Dan ketika dia sedang melaksanakan hajatnya tersebut, dia ditangkap
oleh musuh dan dibunuh. Bersamanya, runtuhlah dinasti Marwan. Kejadian-kejadian
seperti itu tidaklah diatur oleh hukum sejarah yang mana pun. Dengan kata lain,
kejadian-kejadian kecil seperti itu sendiri tidak mengubah nasib bangsa-bangsa.
Ayatullah Shadr telah mengutip sebuah contoh lain. Beliau mengatakan:
Seandainya Utsman tidak dibunuh orang, apakah jalannya sejarah akan seperti apa
yang telah terjadi, yaitu orang banyak berbondong-bondong dan penuh semangat menemui
Imam Ali untuk menyatakan baiat kepada beliau, ataukah sejarah akan menempuh
jalan yang berbeda? Hal yang sama bisa ditanyakan mengenai Rasulullah sendiri.
Seandainya pada tahun
ke-10 kenabian, tahun duka cita, yakni wafatnya isteri Rasulullah Saaw. dan
paman beliau Abu Thalib tidak terjadi, apakah sejarah akan menempuh jalan
seperti yang telah ditempuhnya, dan apakah Rasulullah Saaw. akan berhijrah?
Kedua kejadian itu bisa dipandang sebagai hasil dari faktor-faktor biologis,
kejiwaan, dan temperamental menyangkut ibunda Khadijah dan Abu Thalib, dan
dengan demikian mereka tidak punya kaitan apa pun dengan norma-norma sejarah.
Jadi marilah kita coba mencari bidang yang sesungguhnya dari norma-norma
tersebut.
Kita tahu bahwa di samping
terhadap manusia, hubungan sebab-akibat juga berlaku pada bidang ilmiah.
Sebagai contoh, air mendidih pada temperatur tertentu (100 derajat Celcius)
kecuali di atas permukaan laut. Sama halnya, pada suatu derajat panas tertentu,
gas berubah menjadi zat cair. Sifat-sifat ini bersifat tetap dan tak
berubah-ubah. Tetapi kita tidak bisa memandangnya sebagai norma-norma sejarah
manusia, sebab kehendak manusia tidak terlihat di dalamnya dengan cara
bagaimanapun. Sama halnya, untuk bisa dimasukkan ke dalam lingkup norma-norma sejarah,
suatu perbuatan tidak cukup hanya memiliki rangkaian kausatif. Rangkaian
tersebut haruslah juga mempunyai tujuan. Dengan kata lain, ia juga harus
mempunyai sasaran. Sasaran ini bisa saja hanya memiliki eksistensi mental. Bisa
disebutkan bahwa, manakala kita berpikir tentang sebab, kita melihat ke
belakang dari akibatnya. Sejauh menyangkut sasaran tersebut, rangkaian tersebut
tidak mempunyai kontrol arasnya. Ia tidak bisa yakin apakah ia akan mampu
mencapainya. Ia hanya bisa memiliki kehendak dan hasrat batin untuk
mencapainya. Untuk bisa diterapkannya norma-norma sejarah, eksistensi hasrat
dan kehendak ini ―yang semata-mata merupakan proses mental― sangatlah penting.
Singkatnya, norma-norma sejarah berlaku pada tindakan-tindakan manusia yang
mempunyai tujuan. Tindakan-tindakan yang tidak bertujuan dan hanya terajadi
sebagia akibat hubungan sebab-akibat semata-mata, berada di luar lingkup
norma-norma tersebut.
Selanjutnya, jika kita
melangkah lebih jauh, kita akan menemukan bahwa, ada kalanya perbuatan-perbuatan
yang dilaksanakan manusia dengan suatu tujuan, tidak termasuk dalam lingkup
norma-norma sejarah. Misalkan seorang laki-laki membutuhkan sebuah rumah untuk
tempat tinggalnya. Dia membuat rencana rumah tersebut, membeli sebidang tanah
dan mempekerjakan beberapa orang insinyur dan arsitek. Kemudian dia mulai
membangun rumah tersebut. Dia melakukan semua itu dengan tujuan untuk tinggal
di dalamnya. Tetapi selama dia memerlukan rumah itu untuk kegunaan pribadinya,
tindakannya tidak punya dampak terhadap sejarah. Manakala kita merasa lapar,
kita mencari makanan. Jika kita merasa haus, kita mencari air. Untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pribadi kita, kita melakukan sesuatu yang bertujuan. Kita
melakukan gerakan-gerakan yang disengaja. Dalam setiap kasus kita punya
sasaran. Tetapi tindakan-tindakan seperti itu secara pasti tidaklah termasuk
dalam lingkup norma-norma sejarah. Akan tetapi, ada beberapa tindakan massa
bertujuan lainnya yang mengawali gelombang sosial. Semua tindakan sosial yang
mempunyai tujuan dan menciptakan gelombang di masyarakat bisa menjadi historis.
Tindakan- tindakan seperti itu mencakup bahkan kegiatan dagang yang luas dan
penemuan ilmiah, yang mengubah masyarakat dari dalam. Tindakan- tindakan
seperti itulah yang padanya berlaku norma-norma sejarah.
Dengan demikian, lingkup
norma-norma sejarah menjadi jelas. Sekarang kita tahu bahwa hukum-hukum, dan
norma-norma sejarah bisa diharapkan untuk berlaku pada tindakan-tindakan yang
memiliki tiga dimensi: dimensi kausatif, dimensi tujuan, dan dimensi populer.
Dimensi populer berarti
bahwa tindakan yang bersangkutan harus memiliki dukungan masyarakat sebagai
suatu keseluruhan. Tak perlu ditambahkan lagi bahwa untuk tindakan-tindakan
seperti itu seluruh masyarakat akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah, dan
akan diberi kitab catatan amal kolektif.
Dengan kata lain, orang
banyak bertanggung jawab atas tindakan- tindakan kolektif maupun individual
mereka. Suatu tindakan individual bisa mempengaruhi individu yang bersangkutan
ataupun masyarakat secara keseluruhan. Tindakan-tindakan kolektif adalah
tindakan-tindakan suatu bangsa atau masyarakat sebagai keseluruhan. Al-Quran
mengatakan: “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya
(sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada
hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. ‘Bacalah kitabmu, cukuplah
dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.’” (QS. 17: 13-14).
Kitab yang disebutkan
dalam ayat ini adalah kitab catatan amal individual. Setiap individu akan
dimintai pertanggungjawaban atas amal-amalnya, baik amal-amalnya itu hanya
mempengaruhi dirinya sendiri ataukah juga mempengaruhi orang lain. Kitab
catatan amal kolektif disebutkan dalam ayat selanjumya: “Dan (pada hari itu)
kamu lihat tiap- tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat)
buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah
kamu kerjakan. (Allah berfirman): ‘Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan
terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang
telah kamu kerjakan.’” (QS. 45: 28-29).
Dalam konteks ini, suatu
perbuatan kolektif tidak berarti bahwa seluruh anggota komunitas atau bangsa
yang terkait berperan serta dalam pelaksanaannya. Dukungan moril atau bahkan
persetujuan diam-diam saja sudah cukup. Dalam kitab Nahjul Balaghah, Imam Ali
Amirul Mukminin mengatakan: “Orang yang rela dengan apa yang dilakukan oleh
suatu kaum, berarti termasuk salah seorang dari mereka.”
Dalam kaitan ini, contoh
kaum Tsamud dan pembunuh unta betina Nabi Saleh bisa dikemukakan. Ketika itu
hanya satu orang saja dari kaum Tsamud yang benar-benar membunuh unta betina
itu. Tetapi karena semua anggota kaum itu setuju dengan tindakan tersebut, maka
semuanya dikenai hukuman Tuhan. Ini menunjukkan bahwa kehendak dan keinginan
suatu bangsa saja sudah cukup bagi diterapkannya hukum-hukum sejarah
terhadapnya.
Untuk perbuatan-perbuatan
individual, maka individu-individu yang bersangkutan akan dibawa ke hadapan
Allah secara sendiri-sendiri. Al-Quran mengatakan: “Tidak ada seorang pun di
langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku
seorang hamba. Sesungguhnya Allah mengetahui dengan pasti jumlah mereka dan
menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang
kepada Allah pada Hari Kiamat dengan sendiri-sendiri.” (QS. 19: 93-95). Untuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan secara kolektif oleh suatu bangsa atau
masyarakat, akan ada acara terpisah menghadap kepada Allah.
“Dan (pada hari itu) kamu
lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku
catatan amalnya. Pada Hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu
kerjakan.” (QS. 45: 28).
Sekarang kita tahu lingkup
norma-norma sejarah, Kita lihat bahwa semua bangsa akan dipanggil menghadap
Tuhan agar kitab-kitab catatan amal mereka bisa diperiksa. Ini berarti
bangsa-bangsa, secara kolektif bertanggung jawab.
Sekarang marilah kita
bahas masalah yang utama. Kita temukan bahwa dalam Al-Quran norma-norma sejarah
telah dipaparkan dalam tiga cara yang berbeda:
1. Sebagian dari
norma-norma sejarah telah dipaparkan dalam bentuk anak kalimat bersyarat. Sifat
kebersyaratan ini harus kita catat, Hasil dari bentuk pengungkapan ini adalah
bahwa ayat-ayat yang relevan menekankan kebebasan manusia. Sebagai contoh,
seseorang mengatakan kepada Anda: “Jika Anda datang ke pertemuan itu tepat pada
waktunya, niscaya Anda akan bisa ikut serta di dalamnya.” Dengan sendirinya,
jika Anda tidak datang, maka Anda tidak akan bisa ikut serta di dalamnya. Ini
menunjukkan adanya pilihan. Terserah kepada Anda, apakah Anda mau datang dan
ikut serta di dalamnya, atau tidak datang dan tidak ikut serta. Posisi ini
sangat berbeda dengan posisi air yang harus mendidih pada temperatur tertentu.
Tentu saja kita bisa mengatakan: “Jika Anda memberikan panas yang diperlukan
kepadanya, air akan mendidih.” Di sini Anda bebas untuk memberikan atau tidak
memberikan panas yang diperlukan, sebab dalam hal ini pernyataannya adalah bersyarat.
Sebagai penguasa dari nasibnya sendiri, terserah kepada manusia apakah dia mau
mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya.
Sebuah contoh ayat
kondisional adalah ayat yang telah kami sebutkan dan sekarang kita kutip lagi.
Ini adalah ayat yang patut diingat: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
kondisi suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada dalam jiwa mereka.”
Dengan kata lain, jika
suatu bangsa ingin mengubah kondisi sosial- nya, ia harus melaksanakan
perubahan dari dalam dirinya sendiri. Ayat ini memiliki bentuk pernyataan
kondisional.
Berikut ini adalah sebuah
ayat yang lain: “Jika mereka terus berjalan pada jalan yang lurus, niscaya Kami
akan memberi mereka air untuk minum secara berlimpah.”
Di sini jalan yang lurus
berarti jalan keadilan. Allah mengatakan bahwa jika terdapat distribusi yang
adil dari barang-barang kebutuhan pokok dan tidak ada kemubaziran, penumpukan
harta kekayaan, kecerobohan, maka Dia akan menganugerahkan kepada mereka hasil
yang melimpah.
Secara prinsipil kita bisa
menyimpulkan sebuah aturan umum dari Al-Quran. Hasil yang melimpah bergantung
pada distribusi yang adil. Ini adalah norma sejarah. Kita tidak bisa menemukan
satu contoh pun mengenai kegagalan aturan ini. Semua kasus kekurangan dan
kelangkaan disebabkan oleh kemubaziran atau kemalasan manusia sendiri. Manusia
bisa menggunakan kebebasannya untuk meningkatkan produksi asalkan dia menaati
distribusi yang adil. Dia juga bisa menciptakan bencana kelaparan jika
tenggelam dalam ketidakadilan dan merongrong hak-hak orang lain.
Ambillah ayat kondisional
lainnya dari Al-Quran: “Dan apabila kami hendak membinasakan suatu negeri, maka
kami perintahkan kapada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya
menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami
hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. 17: 16).
Dengan kata lain, adalah
praktik Ilahi bahwa jika suatu bangsa atau rakyat sebuah negeri membangkang
terhadap perintah-perintah Allah, maka mereka akan dihancurkan. Sebab
penghancuran mereka bukanlah semata-mata karena kekuasaan mutlak Allah. Mereka
dihancurkan karena perbuatan-perbuatan mereka sendiri. Allah telah
menganugerahkan kebebasan kepada manusia. Manusia mempunyai pilihan. Dia bisa
mematuhi Allah ataupun membangkang terhadap-Nya. Jika dia memilih untuk
kejahatan, maka kehancurannya menjadi tak bisa dihindarkan. Dari sini jelaslah,
sejauh mana kehendak manusia sendiri menentukan nasibnya. Keindahan dan
keanggunan ayat ini terletak pada kenyataan bahwa ia dimulai dengan kata idza
(apabila), terdiri dari kalimat induk dan anak kalimat, dan menyiratkan bahwa
manusia berada di tangannya sendiri.
Ini adalah bentuk pertama
dari berbagai bentuk pernyataan di mana norma-norma sejarah disebutkan dalam
Al-Quran.
2. Bentuk kedua adalah
bentuk pernyataan yang pasti. Pernyataan- pernyataan ini sama kokohnya dengan
pernyataan kita ketika kita mengatakan, misalnya, bahwa suatu gerhana bulan
akan terjadi di tempat anu, pada tanggal sekian dan pada jam sekian.
Perbedaannya adalah, gerhana bukan merupakan perbuatan manusia. Akan tetapi,
kita menemukan contoh-contoh bentuk ini dalam Al-Quran dalam kaitannya dengan
norma-norma sejarah. Pernyataan-pernyataan yang pasti ini menimbulkan
kecurigaan bahwa norma-norma sejarah yang dikemukakannya dipaksakan terhadap
manusia, yang sama artinya dengan predeterminasi dan pemaksaan sejarah. Jadi
bagaimana kita bisa merujukkan kebebasan manusia dengan pemaksaan sejarah?
Sebagian orang telah
mengingkari kebebasan manusia. Mereka berpandangan bahwa hukum-hukum sejarah
bersifat pasti dan tak bisa ditolak. Sebagian yang lain, dengan tujuan
mengamankan kebebasan manusia, mengingkari sama sekali eksistensi norma sejarah
apa pun. Sebagian lainnya lagi mengatakan bahwa norma-norma sejarah memang ada,
tetapi norma-norma tersebut tunduk kepada kehendak manusia. Semua orang ini
telah gagal menyelesaikan masalah dengan cara yang memuaskan tetapi kita tidak
membutuhkan penjelasan-penjelasan seperti itu, sebab kita telah menunjukkan
bahwa anak-anak kalimat dalam ayat-ayat yang dikemukakan di atas, telah
menjamin kebebasan manusia. Manusialah yang dalam semua hal menentukan nasib
masyarakat dan norma-norma sejarah.
Kita akan memberikan
contoh-contoh jenis norma yang ini ketika kita mcmbahas unsur-unsur yang
membentuk masyarakat.
3. Bentuk ketiga dari
norma-norma sejarah adalah sebuah jendela yang melalui itu kita dapat melihat
norma-norma yang paling penting, dan memahami sifat penting sejarah. Bentuk ini
menyatakan dirinya dalam wujud kecenderungan-kecenderungan, kehendak-kehendak,
dan emosi-emosi manusia yang tidak khusus terdapat pada masyarakat tertentu,
dan tidak punya warna lokal. Mereka menentukan bagaimana manusia berpikir dan
berperilaku di masyarakat. Tetapi kecenderungan-kecenderungan ini tidaklah
bersifat kaku seperti halnya peraturan bahwa air mesti mendidih pada temperatur
tertentu. Ada begitu banyak kecenderungan dan hasrat yang bisa, paling tidak
untuk sementara, ditekan, dipasung, atau dikontrol, atau disimpangkan arahnya.
Akan tetapi kecenderungan-kecenderungan dan hasrat-hasrat alamiah tidak bisa
dipasung atau disimpangkan arahnya untuk waktu yang lama, sebab dalam keadaan
begitu, sejarah sendiri akan menghukum para penyimpang, dan hukuman sejarah
adalah realitas yang tak bisa dihindari. Hasrat seksual bisa diambil sebagai
contoh hasrat alamiah yang hingga batas tertentu bisa ditekan. Hasrat seksual
mempunyai kaitan yang pasti dan langsung dengan insting berkembang biak. Dengan
demikian, apakah mungkin untuk memasung insting. tersebut dan memuaskan hasrat
seksual dengan cara lain? Tak diragukan, melalui berbagai bentuk penyimpangan
seksual, adalah mungkin untuk memuaskannya. Ada orang-orang yang memuaskan
hasrat seksual mereka melalui homoseksualitas, masturbasi, atau bentuk-bentuk
lain yang tak alami. Mungkin menarik untuk diketahui bahwa di negeri yang
berperadaban maju seperti Amerika, perkumpulan kaum homo telah melancarkan
kampanye. Mereka melakukan demonstrasi-demonstrasi massal dan telah berhasil
memperoleh dukungan, bahkan dari beberapa orang anggota kongres.
Selama perjalanan saya di
Amerika, pada suatu hari saya melihat suatu demonstrasi besar di jalan. Pada
hari yang sama, televisi Amerika menyiarkan berita tentang demonstrasi yang
sama di kota-kota di negara-negara bagian lain. Para demonstran itu
meneriakkan: “Kami manusia, dan kami ingin memuaskan kebutuhan kami dengan cara
ini.” Dalam kenyataannya, cara mereka memuaskan hasrat seksual mereka itu
bertentangan dengan norma sejarah Ilahi, yang pelanggaran terhadapnya merupakan
dosa yang patut dihukum. Satu-satunya perbedaan adalah, bahwa dalam kasus-kasus
seperti itu sejarah bersikap lunak dan memberi kesempatan kepada para pelanggar
untuk menyadari kesalahan mereka dan mengubah perilaku. Jika mereka tidak mau
insaf dan bersikeras dalam kesalahan mereka, maka mereka tidak boleh
mengharapkan apa-apa selain hukuman seperti yang ditimpakan kepada kaum Nabi
Luth. Itu adalah realitas.
Dalam lingkup keseharian
hidup, contoh-contoh lain juga bisa dikutip. Sebagai contoh, berdasarkan watak
aslinya, laki-laki dan perempuan memiliki bidang-bidang kegiatan yang terpisah.
Kaum wanita secara alamiah cenderung kepada pekerjaan-pekerjaan yang lembut dan
emosional. Mereka suka memperlihatkan keterampilannya dalam kelemah-lembutan
dan keanggunan sifat manusia. Kita bisa saja mempercayakan pekerjaan-pekerjaan
kewanitaan ini kepada laki-laki, yang merupakan lambang kekuatan dan kekerasan,
dan sebaliknya, mempercayakan pekerjaan laki-laki kepada kaum wanita. Ini bisa
saja dilaksanakan dan tampaknya tidak ada kesulitan. Tetapi pengaturan seperti
itu tidak akan lestari. Untuk seminggu, bisa saja diatur agar semua laki-laki
tinggal di rumah, memberi minum susu kepada anak-anak dengan botol, memandikan
dan mengenakan pakaian mereka, serta mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga yang lain, dan sebagai gantinya kaum wanita melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang berat. Pengaturan ini tentu saja mungkin. Tetapi hal
ini akan sama seperti memberikan pekerjaan dari satu profesi kepada orang
dengan keahlian lain. Dalam mengerjakan sebuah bangunan, misalnya memberikan
pekerjaan tukang kayu kepada tukang kebun, pekerjaan tukang batu kepada tukang
kayu, dan pekerjaan tukang kayu kepada tukang besi. Atau meminta seorang dokter
hewan untuk berbuat seperti insinyur sipil. Semua orang ini bisa saja membangun
sebuah gedung, tetapi gedung seperti itu tidak akan bisa bertahan lama. Angin
dan hujan akan segera merobohkannya. Sama halnya, jika suatu masyarakat
bergerak bertentangan dengan norma-norma sejarah, maka dengan segera ia akan
mengalami disintegrasi.
Akan tetapi kata “segera”
ini memiliki perhitungan khusus dalam terminologi norma-norma sejarah. Di sini
kesegeraan bersifat relatif. Hal inilah yang kepadanya berlaku ayat berikut:
“Satu hari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang
kamu hitung.” (QS. 22: 47).
Karena kesegeraan ini
bersifat relatif, maka untuk tujuan perubahan-perubahan dalam sejarah, satu
hari menurut Al-Quran sama dengan 1000 tahun. Dari sini, kesegeraan tidak
memiliki arti yang sama seperti yang biasanya kita pahami. Bahwa ayat di atas
berkaitan dengan norma-norma sejarah, hal ini ditunjukkan oleh kata-kata yang
mengawalinya, yang berbunyi: “Mereka meminta kepadamu agar menyegerakan azab.”
Orang-orang kafir Makkah mengatakan: “Jika memang benar bahwa mereka yang
melawan para Rasul pasti segera akan mengalami kekalahan dan hukuman, maka di
manakah kekalahan itu, dan kapan kami akan dihukum? Kami sudah siap menerima
hukuman itu.” Al-Quran mengatakan bahwa mereka yang melanggar norma-norma
sejarah, tak dapat tidak, pasti akan dihukum pada waktunya. Kesegeraan hukuman
tersebut bersifat relatif. Akan tetapi, mereka boleh merasa pasti bahwa hukuman
itu akan segera datang.
Kita juga menemukan ayat
yang lain: “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam
sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. 70: 4). Pada akhir rangkaian
ayat ini Al-Quran mengatakan: “Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan
tembaga.” Kata-kata ini menunjukkan bahwa ayat ini berkaitan dengan Hari
Kebangkitan, sebab hanya pada hari itulah langit akan menjadi seperti luluhan
tembaga. Hal seperti itu tidak akan terjadi di dunia sekarang ini. Karena itu,
jelas bahwa ayat yang sebelumnya berkaitan dengan dunia dan menyebutkan
norma-norma sejarah.
Setelah soal di atas
menjadi jelas, kita dapat mengatakan bahwa agama adalah juga salah satu norma
sejarah.
Hal ini bisa dijelaskan
lebih jauh dalam Surah Al-Baqarah ayat 30, yang menyatakan kekhalifahan manusia
di atas bumi.
Dalam setiap masyarakat
terdapat tiga unsur:
1. Unsur manusiawi, yaitu
manusia;
2. Unsur alamiah yang oleh Al-Quran diistilahkan “bumi”;
3. Ikatan yang ada antara manusia dengan unsur alam.
2. Unsur alamiah yang oleh Al-Quran diistilahkan “bumi”;
3. Ikatan yang ada antara manusia dengan unsur alam.
Kedua unsur yang pertama
bersifat tetap dan tak berganti-ganti. Tidak ada tempat di mana manusia eksis
tetapi tidak mempunyai kontak dengan lingkungannya, yaitu manusia-manusia lain
dan alam. Tidak pula kita bisa membayangkan adanya tempat di mana alam, dalam
sejarah manusia, tidak berkaitan dengan manusia. Karenanya, manusia dan alam
merupakan dua unsur yang tetap dalam semua masyarakat. Soal yang penting yang
harus dikaji adalah sifat kaitan antara kedua unsur ini.
Jika kita menganalisis
kaitan ini dari sudut pandang kekhalifahan sebagaimana yang disebut dalam
Al-Quran, kita akan menemukan bahwa proposisi ini memiliki empat aspek sebagai
berikut:
1. Otoritas yang
mengangkat khalifah, yakni Allah, yang menunjuk manusia sebagai khalifah-Nya di
muka bumi.
2. Khalifah, yaitu manusia.
3. Hal-hal yang harus diurus oleh sang khalifah. Hal-hal ini mencakup dua hal: manusia dan alam. Jadi ada empat aspek dalam kasus ini.
2. Khalifah, yaitu manusia.
3. Hal-hal yang harus diurus oleh sang khalifah. Hal-hal ini mencakup dua hal: manusia dan alam. Jadi ada empat aspek dalam kasus ini.
Jika kita mempertimbangkan
masalah kekhalifahan, kita akan menemukan bahwa manusia telah dijadikan
bertanggung jawab atas segala sesuatu di dunia ini. Tanggung jawabnya demikian
luas hingga Imam Ali mengatakan: “Engkau bertanggung jawab atas semua tempat
dan segala binatang.”
Unsur keempat, Allah,
tidak ditambahkan ke dalam daftar di atas semata-mata untuk menambah jumlah.
Dialah yang telah melimpahkan tanggung jawab ini kepada manusia. Siapa pun yang
mengabaikan kaitan ini, tak pelak lagi akan menjadi angkuh dan memandang
dirinya sebagai penguasa mutlak atas segala sesuatu yang bisa dikuasainya.
Al-Quran sendiri mengatakan: “Ketahuilah, sesungguhnya manusia itu benar-benar
melampaui batas, karena melihat dirinya serba cukup.” (QS.96: 6-7).
Jika manusia tidak beriman
kepada Allah, maka hubungannya dengan dunia menjadi didasarkan pada eksploitasi
dan despotisme. Manusia seperti itu akan memperbudak sesamanya dan
mengeksploitasi mereka untuk keuntungannya sendiri. Dia akan memaksakan
otoritas mutlaknya pada tanah-tanah dan harta kekayaan. Keangkuhannya akan
membuatnya lupa diri. Selama hubungannya dengan lingkungaannya hanya bersisi
tiga, yakni hanya terbatas pada manusia-manusia lain dan alam, dia akan
mementingkan dirinya sendiri; tetapi seluruh situasi akan berubah segera
setelah dia menyadari bahwa dia memegang amanat dan bekerja atas nama Tuhan,
Penguasa Semesta Alam. Anda bisa melihat dengan jelas perbedaan antara hubungan
tiga sisi dengan hubungan empat sisi jika Anda melihat film-film tentang
perlakuan orang-orang Amerika yang tak manusiawi terhadap orang-orang Indian
dan orang-orang kulit hitam, serta film-film tentang kejahatan orang-orang
Amerika di negeri-negeri lain seperti Vietnam dan sebagainya. Semua kekacauan
dan ketiadaan rasa bertanggung jawab serta keangkuhan hawa nafsu dan kerakusan
ini disebabkan oleh sifat manusia yang tiga dimensi.
Kita temukan ayat lain
yang menilik masalah yang sama dari sudut lain: “Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan
amat bodoh.” (QS. 33: 72).
Haruslah dipahami bahwa di
sini asumsi mengenai suatu amanat tidaklah berarti asumsi akan adanya
kewajiban, sebab manusia tak pernah berada pada posisi untuk melakukan hal itu
atau mempunyai pilihan untuk menerima atau tidak menerima tanggung jawab
seperti itu. Jadi, apa hakikat amanat yang dibebankan Allah kepada kita itu?
Kita adalah makhluk-makhluk rasional, namun kita tetap tidak mengetahui apakah
kita harus menerima amanat itu atau tidak. Lantas, apa yang harus dikatakan
tentang mereka yang bahkan tidak mempunyai kapasitas pemahaman?
Apakah gunung-gunung mampu
memahami sesuatu? Apakah langit dan bumi bisa memahami? Penawaran amanat di
atas bukanlah penawaran sesuatu kewajiban yang bisa diterima oleh seseorang dan
ditolak oleh yang lain. Di sini penerimaan tanggung jawab oleh manusia
merupakan cara yang pelik dan indah untuk mengatakan bahwa agama merupakan
pembawaan dalam watak manusia yang secara naluriah condong untuk mencarinya.
Manusia menurut watak
alamiahnya menerima keberadaan Allah. Dia secara otomatis tertarik kepada-Nya.
Langit, bumi, dan gunung-gunung, tidak mempunyai kecondongan alamiah seperti
itu. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mematuhi perintah-perintah Allah dan
menaatinya.
Dalam ayat lain di mana
keadaan yang sebenarnya dari watak manusia disebutkan, Al-Quran merujuk kepada
kecenderungan alamiah manusia ini dari sudut bahwa kecenderungan tersebut telah
dianugerahkan kepadanya oleh Allah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu.” (QS. 30: 30).
Dalam ayat Surah Al-Ahzab
yang dikutip di atas (QS. 33:72), Al- Quran merujuk kepada kualitas manusia
yang ini dari sudut bahwa manusia telah menerimanya. Penerimaan ini telah
dilakukan oleh watak asli manusia. Agama adalah amanat Ilahi dan ia telah ada
dalam pembawaan manusia. Tetapi ia merupakan jenis kecenderungan yang secara
temporer bisa diabaikan. Agama bukanlah seperti api yang selamanya menyala,
yang sifat nyala serta panasnya sedemikian rupa sehingga tidak bisa dipisahkan
darinya.
Agama juga bukan seperti
air yang selalu mendidih pada temperatur tertentu. Ia adalah salah satu norma
yang bisa diabaikan sekehendak hati, dan bahkan secara temporer bisa ditindas
dan dipasung.
Dalam hal ini agama bisa
dibandingkan dengan dorongan seks. Jika seorang laki-laki tidak menempuh jalan
yang alamiah, dia bisa menempuh jalan lain untuk memuaskan dirinya. Sama halnya
seorang wanita, alih-alih melakukan apa yang telah digariskan oleh alam
baginya, ia malah mengerjakan pekerjaan laki-laki. Tetapi mesti diingat bahwa
bertindak bertentangan dengan alam, selamanya memiliki konsekuensi yang berat.
Hal yang sama berlaku pada agama, dan kejahatan adalah akibat penentangan
terhadap agama adalah suatu nasib malang saja jika manusia bersikap memusuhi
agama secara bertentangan dengan kecenderungan alamiahnya. Sungguh, manusia
memang lalim dan bodoh.
Dia lalim terhadap dirinya
sendiri jika dia menginjak-injak agama, dan adalah ketololannya jika dia tidak
memberikan kebebasan kepada fitrahnya yang sejati dan tidak menyerahkan diri
kepada perintah-perintah Allah. Dalam hal demikian, akan berlakulah padanya
bagian selanjutnya dari ayat Al-Quran yang mengatakan: “...tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”
Banyak orang tidak
mengetahui bahwa ketaatan terhadap agama mempunyai kepentingan sosial yang
vital bagi mereka. Mereka menentang agama dan kemudian berkata: “Jika benar
bahwa agama adalah norma sejarah, bagaimana mungkin bahwa banyak orang bisa
menentangnya dengan aman?” Kita mengatakan, bahwa mereka tidak bisa
menentangnya. Para penyimpang itu hanya memiliki tenggang waktu yang singkat,
dan mereka dengan segera akan melihat konsekuensi-konsekuensi perbuatannya.
Tentu saja kata “segera “. dalam konteks ini berarti “segera” secara historis.
Dalam kenyataannya,
manusia secara pasti adalah lalim dan bodoh. Dia telah setuju menerima beban
amanat dan menjadikannya bagian dari watak pembawaannya. Tetapi dalam praktik
yang sesungguhnya dia berbuat lalim terhadap dirinya sendiri, dan dengan
kebodohannya dia bertindak bertentangan dengan fitrahnya sendiri. Kita nanti
akan membahas bagaimana agama membuat jalannya ke tengah-tengah masyarakat, dan
bagaimana pengaruh-pengaruh luar mempengaruhi lingkungan manusia. Untuk
sekarang ini, kita tunda dulu pembahasan tentang manusia dan alam.
Kini kita kembali ke pokok
pembicaraan utama kita. Seperti telah kita tunjukkan sebelumnya, Al-Quran
mengindikasikan bahwa agama adalah salah satu norma sejarah yang paling
penting. Penemuan bahwa agama adalah sebuah norma dan bukan semata-mata gagasan
Ketuhanan, adalah sangat penting dan menuntut agar persoalan ini dikaji secara
ilmiah, karena banyak masalah penting yang berkaitan dengan persoalan ini.
Mesti dicatat bahwa tahun-tahun, hari-hari dan saat-saat dari norma-norma
sejarah bersifat relatif dan lebih lama daripada yang kita perhitungkan dalam
kejadian-kejadian biasa. Kita telah menyimpulkan hal ini sebelumnya dari Al-Quran.
Sekalipun demikian, kita masih harus mengkajinya sebagai hukum ilmiah. Penemuan
bahwa agama memainkan peran penting sebagai norma sejarah, menjadikan kita
perlu menilik sekilas masalah kekhalifahan manusia dari Allah dan unsur-unsur
yang membentuk kekhalifahan ini.
Dalam kaitan ini, apa yang
disimpulkan dari Al-Quran adalah, bahwa Allah telah menunjuk manusia sebagai
khalifah-Nya dalam kaitannya dengan sesama manusia dan alam.
Dalam kaitan ini ada empat
unsur, yang masing-masing mesti dibahas secara terpisah.
Sisi yang pertama adalah
manusia, yang kedua Allah, yang ketiga hubungan manusia dengan alam, dan yang
keempat adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya. Jika kita kaji kedua
unsur yang tetap, yakni manusia dan alam, dan menempatkan manusia dalam
perspektif sejarah, maka kita akan menemukan bahwa manusia yang membuat sejarah
berbeda dari manusia yang merupakan dimensi kausatif masa lampaunya. Ada banyak
faktor yang bertanggungjawab atas munculnya manusia di dunia ini dan
ditempatkannya dia dalam kondisi-kondisi yang ada, tetapi dia harus memiliki
beberapa faktor lain dalam pikirannya untuk mendorong dia mengejar sesuatu
tujuan, dan pada akhirnya menjadi seorang makhluk pencipta masa depan.
Manusia tipe bagaimana
yang disebut pencipta masa depan? Kita menegaskan bahwa manusia menciptakan
sejarah dengan tangannya sendiri. Apakah sejarah eksis dalam bentuk material?
Apakah ia merupakan sesuatu yang bisa dipegang oleh manusia dengan tangannya?
Tidak! Apa yang bisa dimiliki manusia hanyalah konsepsi mental tentang masa
depan yang diikuti oleh keputusan mental dan suatu kehendak yang sejauh itu
tidak terlaksana. Itulah sebabnya sepanjang menyangkut gerakan sejarah, kita
menilai semua persoalan konkret dan persoalan masa lampau berdasarkan hukum
umum sebab-akibat. Tetapi kita tidak punya landasan untuk semua yang berkaitan
dengan masa depan atau dengan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran kita, kecuali
suatu konsepsi mental, dan selanjutnya keputusan mental atau keadaan kesiagaan
untuk suatu gerakan masa depan. Keadaan inilah yang disebut “kehendak”. Seluruh
struktur masyarakat dibangun dengan dua tiang utama: konsepsi mental manusia,
dan kehendak serta keputusannya untuk memberi bentuk yang konkret kepada
gagasan-gagasannya.
Jelas bahwa apa pun yang
terjadi di masyarakat adalah suatu suprastruktur yang didasarkan pada pemikiran
dan niat manusia. Itulah sebabnya mengapa Al-Quran percaya bahwa ada kaitan
erat antara infrastruktur ini dengan suprastruktur masyarakat yang didasarkan
pada infrastruktur tersebut. Apabila kita kaji ayat berikut dengan cermat, kita
akan menemukan bahwa di dalamnya terdapat rujukan langsung kepada bagian-bagian
dari struktur masyarakat yang disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah
kondisi suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada di dalam (jiwa)
mereka.”
Ini berarti bahwa
suprastruktur masyarakat hanya bisa diubah jika infrastrukturnya diubah Untuk
memunculkan perubahan di masyarakat, perlu dilakukan perubahan dalam pola dasar
pemikiran serta kemauannya. Jika cara berpikirnya diubah, masyarakat otomatis
akan berubah. Dalam kaitan ini, ada satu syarat lagi yang lebih penting. Setiap
tindakan harus merupakan cerminan dari pemikiran sosialnya. Jika suatu gagasan
menciptakan gelombang di masyarakat dan gelombang tersebut cukup kuat untuk
mengubah pemikiran sosialnya, maka kehendak masyarakat juga akan berubah.
Hasilnya, serangkaian perkembangan lahiriah akan muncul di masyarakat.
Tetapi semua perkembangan
itu haruslah merupakan hasil dari perubahan infrastruktural dan mendasar. Jika
tidak, maka perubahan- perubahan tersebut adalah palsu dan berbahaya bagi
masyarakat. Itulah sebabnya mengapa Islam menekankan bahwa jihad (perang suci)
yang dilakukan kaum Muslimin hanyalah sebuah jihad kecil. Jihad yang utama dan
yang sejati adalah yang dilakukan di dalam diri manusia sendiri. Jika pemikiran
batin dan tindakan lahiriah tidak serasi satu sama lain, maka nama yang tepat
untuk keadaan ini adalah kemunafikan. Seorang munafik dikenal dari
ketidaksesuaian antara pemikiran dengan perbuatannya. Ketika menggambarkan
orang-orang munafik, Al-Quran mengatakan: “Dan di antara manusia ada orang yang
ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada
Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling
keras.” (QS. 2: 204).
Apa yang dikatakan oleh
seorang munafik tampak menyenangkan, tetapi dia tetap munafik karena apa yang
dipikirkannya dalam hatinya tidak sejalan dengan apa yang dikatakannya: “Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak
menyukai kebinasaan.” (QS. 2: 205).
Jika tindakan-tindakan
seseorang tidak sesuai dengan pemikiran dan tujuannya, maka dia adalah seorang
munafik dan pembuat kekacauan. Dia kemungkinan besar akan menyebabkan kerusakan
dan subversi. Kewajiban kita adalah merintis jalan bagi gerak ke depan sejarah.
Roda sejarah akan bergerak ke arah yang benar manakala gerakannya diilhami oleh
cita-cita dari orang-orang yang berpikir benar.
Sesungguhnya, cita-cita
besarlah yang menggerakkan setiap orang sepanjang jalan tertentu, memberi
dorongan kepada gerakan-gerakan yang kecil, dan memberi semangat kepada
kemauan-kemauan yang lemah. Kita menemukan cita-cita kita dalam sinar pandangan
kita tentang pertanyaan-pertanyaan terpenting dalam kehidupan kita. Cita-cita
ini menjadi kekuatan yang memberikan motivasi dan menggerakkan hal-hal. Hanya
ketika itulah kita akan mampu memberikan kontribusi perkembangan masyarakat.
Suatu cita-cita adalah sesuatu yang selalu disimpan dalam pemikiran seseorang,
yang membimbingnya, dan kepadanya dia mengabdikan hidupnya secara mutlak. Dia
terus bergerak maju sepanjang garis yang ditentukan oleh cita-citanya. Ia juga
bisa disebut aspirasi dan ideologinya. Ia adalah kekuatan penggerak manusia.
Kadang-kadang terjadi bahwa seorang yang tak bermoral menjadikan kekejiannya
sebagai cita-citanya. Agama juga bisa menjadi cita-cita bagi sebagian orang.
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengatakan: “Pernahkah engkau melihat orang
yang menjadikan bawa nafsunya sebagai Tuhannya?” (QS. 25: 43).
Ada orang-orang yang
diilhami dan dimotivasi oleh nafsu-nafsu rendahnya. Cita-cita mereka adalah
hawa nafsu mereka.
Cita-cita utama seorang
manusia bisa dikaji dalam tiga kategori yang berbeda. Kategori yang pertama
dari cita-cita ini adalah yang berkaitan dengan kondisi-kondisi yang ada.
Banyak orang yang menjadi demikian tenggelam dalam masalah-masalah kehidupan
sehari-hari hingga mereka cukup puas dengan kondisi-kondisi yang ada, dan
dimotivasi hanya oleh kondisi-kondisi tersebut sepanjang hidup mereka.
Jika kita mencari
alasan-alasan mengapa mereka puas dengan status quo dan tidak tertarik untuk
bekerja demi masa depan, kita akan menemukan bahwa untuk itu ada dua alasan:
Yang pertama, adalah kemalasan. Sebagai orang-orang yang menyukai kesantaian,
mereka tidak menyadari kebutuhan untuk bergerak ke masa depan. Mereka hanya
tertarik untuk menghabiskan umur mereka dengan sesuatu cara dan tidak ingin
mengundang kesulitan atau tekanan bagi pikiran mereka.
Termasuk dalam kategori
ini adalah mereka yang memuja jejak langkah nenek-moyang mereka. Dalam Al-Quran
terdapat begitu banyak ayat yang merujuk kepada orang-orang seperti ini.
Sebagai contoh, ambillah ayat berikut: “Mereka mengatakan: ‘Cukuplah bagi kami
apa yang kami dapati dikerjakan oleh nenek-moyang kami.’” (QS. 5: 104).
Mereka ini adalah
orang-orang yang menuduh bahwa Nabi menyesatkan mereka dan menyimpangkan mereka
dari cara hidup nenek moyang mereka: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak
kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak
mereka.” (QS. 43: 23).
Mereka lupa, bahwa
mengikuti jejak nenek moyang bukanlah tujuan atau cita-cita yang bisa menjamin
masa depan mereka. Al-Quran memiliki ungkapan lain bagi sikap ini. Ia
menyebutnya sebagai “berpagut ke bumi,” artinya, mempunyai kecenderungan
materialistik untuk memuaskan hawa nafsunya, memuja kepada kondisi-kondisi yang
ada, dan menjalani kehidupan yang malas. Kecenderungan ini telah merongrong
begitu banyak orang dari dalam jiwa mereka sendiri, dan telah mencegah mereka
bergerak ke depan. Karena kemalasan mereka, mereka gagal bergabung dengan
kafilah kemajuan. Untuk memastikan kepuasan hawa nafsu mereka, orang-orang
seperti ini teguh mengikuti jejak nenek moyang mereka. Ini adalah alasan batin.
Di samping itu, juga ada alasan lahir (alasan kedua), yang memaksa sebagian
orang menganggap kondisi-kondisi yang ada sebagai cita-cita mereka, jika status
quo bisa digambarkan demikian. Alasan ini merupakan kekuatan otorita yang
dijalankan oleh Fir’aun dari masa yang bersangkutan. Fir’aun memang julukan
bagi raja-raja tertentu, tetapi kita juga bisa menggunakannya dalam pengertian
umum. Sepanjang sejarah, Fir’aun-Fir’aun telah mengikuti pola yang sama. Mereka
selalu menuntut agar kepatuhan penuh dan kepasrahan total kepada mereka
semata-mata menjadi cita-cita setiap orang yang berada di bawah kontrol mereka.
Para tiran itu ingin agar situasi yang ada diterima oleh rakyat sebagai
cita-cita mereka. Al-Quran mengatakan bahwa Fir’aun bertanya kepada Musa
bagaimana dia bisa berpikir bahwa ada tuhan lain selain dirinya, sedangkan dia
memiliki semua yang bisa diharapkan dari seorang dewa. “Fir’aun berkata: ‘Hai
pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.’” (QS. 28: 38).
Para Fir’aun memaksakan
pandangan mereka kepada orang-orang lain: “Aku tidak mengemukakan melainkan apa
yang aku pandang baik.” (QS. 40: 29).
Para tiran tidak ingin
rakyat berpikir secara mandiri, tidak pula mereka membiarkan rakyat memilih
jalan sendiri. Rakyat hanya bisa membebaskan diri dari para penindas, jika
mereka berpikir sendiri dan tidak mengikuti secara membuta mereka yang, seperti
halnya Fir’aun, mengklaim bahwa apa yang mereka katakan adalah benar. Islam menyertakan
rakyat agar mendobrak pembatasan-pembatasan yang dipaksakan kepada mereka, dan
agar menemukan jalan mereka sendiri. Satu bagian dari ayat ini merujuk kepada
masalah yang kita bahas: “Sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku,
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”
(QS. 39: 17-18).
Ayat ke-17 surah Az-Zumar
dimulai dengan kata-kata berikut: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut,
(yaitu yang) tidak menyembahnya, dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita
gembira.”
Jelas bahwa kepatuhan
tanpa syarat adalah semacam penyembahan. Al-Quran mengatakan bahwa ada kabar
gembira bagi orang-orang yang menjauhi para tiran, berperang melawan mereka,
dan berpaling kepada Allah. Al-Quran selanjutnya mengatakan bahwa ada
orang-orang yang tidak mau mengikuti perintah-perintah siapa pun secara
membuta, melakukan pertimbangan dengan cermat terhadap apa yang dikatakan orang
kepada mereka, dan memilih sendiri cita-cita mereka.
Jadi, kategori pertama
cita-cita, adalah cita-cita yang membuat orang merasa puas dengan keadaan yang
ada. Ada dua faktor yang mencegah mereka berpikir tentang cita-cita lain yang
mana pun. Yang pertama bersifat internal, dan yang kedua eksternal. Kedua
faktor ini berbahaya bagi umat manusia. Patut dicatat bahwa secara gradual
cita-cita ini kemudian diberi warna keagamaan dan diberi jubah kesucian,
pemujaan yang ditujukan kepada nenek moyang menjadi bisa dibandingkan dengan
penyembahan kepada Tuhan. Menurut Al-Quran, hal-hal ini tidak mempunyai realitas.
Mereka tidak membawakan faktor-faktor homogenitas apa pun di masyarakat.
Paling-paling mereka menciptakan beberapa harapan masa depan, tetapi manakala
harapan-harapan itu tidak terwujud, maka masyarakat menjadi lebih tenggelam
dalam kondisi-kondisi yang ada, dan kemudian akan menjadikannya sebagai
cita-cita mereka. Maka hilanglah semua harapan akan homogenitas masyarakat.
Perhatian setiap orang terpusatkan pada pemenuhan kebutuhan pribadi dan
keluarganya untuk memperoleh makanan, perumahan, dan sebagainya. Akibatnya,
meskipun anggota-anggota masyarakat tampak seperti bersatu, namun kondisi
aktual mereka mencerminkan apa yang dikatakan oleh ayat: “Permusuhan di antara
sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati
mereka berpecah belah.” (QS. 59: 14).
Orang banyak mungkin saja
berada dalam satu jajaran, namun mereka tidak memiliki homogenitas. Dalam
cita-cita mereka, tak sesuatu pun yang dimiliki oleh seluruh masyarakat.
Masing-masing individu mengejar kepentingannya sendiri. Manakal suatu bangsa
merosot kepada kondisi seperti itu, maka pengalaman masa lampau menunjukkan
bahwa ada tiga perkembangan yang mungkin timbul. Pertama, ada sebagian orang
yang mempunyai cita-cita setengah jalan, tetapi setelah mencapainya, mereka lupa
akan masa depan mereka dan menjadi puas terhadap keadaan yang ada.
Perkembangan yang disebut
tadi bisa diramalkan. Situasi menjadi sangat serius ketika suatu bangsa yang
tidak memiliki cita-cita, mendapat serbuan militer dari luar. Dalam situasi ini
setiap orang hanya berpikir tentang keselamatan diri dan harta bendanya saja.
Bangsa seperti itu tidak bisa menggalang persatuan yang menjadikan mereka mampu
menahan serbuan kekuatan-kekuatan asing, dan karenanya, perlawanannya dengan
segera bisa dipatahkan.
Dalam sejarah kita, kita
telah mengalami akibat sikap yang hanya mementingkan hal-hal yang bersifat fana
dan sementara. Serbuan Mongol terhadap Iran merupakan peristiwa yang masih
memerlukan penyelidikan. Pada saat penyerbuan tersebut, minat masyarakat yang
hanya tertuju pada hal-hal yang bersifat material serta kehidupan sehari-hari,
telah menyimpangkan perhatian mereka dari cita-cita mereka yang sejati.
Kekacauan dan perpecahan menguasai segala sesuatu di masa itu. Karena
masyarakat tidak memiliki konsepsi tentang tindakan yang serius dan historis,
mereka sama sekali diporakporandakan oleh serbuan Mongol itu. Dalam situasi dan
kondisi yang ada di masa itu, wajar saja jika suatu kekuatan asing datang dan
memusnahkan bangsa yang tengah runtuh dan dimakan rayap itu.
Perkembangan kedua, yang
mungkin terjadi manakala suatu bangsa tidak mempunyai cita-cita sendiri, adalah
bahwa mereka mungkin mengambil cita-cita dari luar (import). Dewasa ini banyak
bangsa di dunia sedang menghadapi situasi ini. Kita melihat contoh yang sangat
mencolok dari situasi ini ketika raja-raja Iran, Reza dan Muhammad Reza,
mencoba memaksakan kepada kita kebudayaan Barat seolah-olah kita adalah bangsa
yang tidak punya apa-apa sendiri dan harus mengemis gagasan-gagasan Barat.
Attaturk juga melakukan hal yang sama di Turki. Contoh-contoh lain bisa dilihat
di berbagai negeri.
Kemungkinan perkembangan
yang ketiga adalah, bahwa suatu bangsa akan menemukan cita-citanya yang sejati
dan memulai suatu gerakan untuk merekonstrtaksi dirinya sendiri. Hal ini
terjadi dalam kasus kita ketika kita melancarkan gerakan revolusioner kita pada
tahun-tahun menjelang 1963. Gerakan ini memperoleh kekuatan hari demi hari
hingga kita berhasil menimbulkan suatu revolusi; dan ini adalah kategori
cita-cita yang ketiga. Kita akan mengkajinya lebih jauh pada tempat yang
selayaknya, nanti.
Jika kita melakukan kajian
yang cermat mengenai kategori cita-cita yang kedua, kita bisa mengatakan bahwa
kategori ini tidak memberikan cita-cita mutlak apa pun. Akan tetapi, sebagian
dari cita-cita ini bisa dipandang sebagai tahap yang harus dilewati.
Kita tidak boleh berhenti
pada tabap cita-cita ini. Cita-cita ini mungkin sesuatu yang sangat baik bagi
suatu bangsa, tetapi tidak mencukupi, baik secara horizontal maupun vertikal.
Dengan kata lain, ia harus berkembang lebih lanjut sejalan dengan berlalunya
waktu. Sebagai contoh, marilah kita ambil gagasan tentang kebebasan. Kebebasan
adalah cita-cita yang baik. Ia dibutuhkan. Tetapi pertanyaannya adalah: apakah
ia merupakan isi ataukah hanya suatu bentuk yang kita lewati untuk mencapai
isi?
Ada suatu masa ketika
Eropa berada di bawah tindasan gereja yang memonopoli ilmu pengetahuan, dan
dengan itu menggariskan pembatasan-pembatasan bagi masyarakat umum. Masyarakat
merintih di bawah belenggu kaum feodal. Perdagangan, industri, dan
urusan-urusan kehidupan yang lain dikontrol oleh kelompok kaum bangsawan yang
kejam dan menindas. Pada masa itu persoalan terbesar bagi rakyat Eropa adalah
kebebasan. Mereka beranggapan bahwa jika mereka memperoleh kebebasan maka
mereka akan bisa memperoleh semua yang mereka inginkan. Mereka menjadikan
kebebasan sebagai cita-cita mereka.
Tetapi kebebasan hanyalah
satu tahap menuju gerakan sejarah. Ia bukan sesuatu yang dengannya orang boleh
merasa puas. Langkah-langkah lain harus dilakukan untuk menyusulnya. Orang
harus melihat untuk apa kebebasan dibutuhkan. Kita menginginkan kebebasan pergi
ke pasar untuk bisa membeli sesuatu. Jika kita mempunyai kebebasan untuk
bergerak, kita harus tahu untuk apa kita bergerak. Jika kita bebas tetapi tidak
tahu apa yang harus dilakukan dengan kebebasan itu, kita akan menjadi seperti
sebuah perahu yang dilepaskan terombang-ambing tanpa tujuan di tengah laut.
Kebebasan sangat penting untuk bergerak ke arah cita-cita yang utama, tetapi
adalah berbahaya sekali memandangnya sebagai tujuan hidup. Terutama dengan
adanya kemajuan teknologi dan industri sekarang ini, kebebasan bisa berpuncak
pada permainan senjata-senjata atom dan menyeret dunia ke kubangan darah dan
kehancuran. Sarana pemusnah di tangan seorang yang bebas tetapi tidak
bertanggungjawab adalah bagaikan korek api, kapas, mesiu, dan bahan-bahan mudah
terbakar lainnya di tangan anak-anak yang bermain-main dengannya.
Dari sudut pandang
vertikal ―yakni dari sudut pandang jangka panjang― cita-cita setengah jalan
relatif baik, tetapi ia tidak berguna jika kemajuan lebih lanjut tidak
dilakukan menuju cita-cita yang mutlak. Suatu cita-cita setengah jalan hanya
cocok sebagai tahapan atau sarana saja. Contoh lain dari cita-cita jenis ini
adalah unit yang terdiri dari anggota-anggota keluarga. Sejumlah keluarga
membentuk satu suku, beberapa suku membentuk satu dan, dan sejumlah dan
membentuk satu komunitas, dan beberapa komunitas membentuk satu bangsa.
Alih-alih memperluas pandangan kita ke tingkatan dunia, kita malah sering
menjadikan keluarga sebagai cita-cita dalam melakukan pengorbanan-pengorbanan
untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya. Ini adalah contoh lain dari
memberikan kepentingan yang tak selayaknya kepada suatu cita-cita yang relatif.
Al-Quran mengatakan: “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang
dahaga, tetapi manakala didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa
pun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan
kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup.” (QS. 24: 39).
Perbuatan orang-orang yang
tidak mempunyai tujuan yang layak dan tak mempunyai pandangan ketuhanan adalah
bagaikan fatamorgana. Mereka mengejar sesuatu yang tak mempunyai wujud nyata.
Mereka menemukan Allah di hadapan mereka sebab Allah ada di mana-mana. Ke mana
pun seseorang pergi, Allah ada di situ. Jika Al-Quran mengatakan bahwa dia
menemukan Allah di hadapannya, artinya adalah bahwa Allah ada sejak awal,
pertengahan, hingga akhir segala sesuatu. Manakala orang-orang yang tidak
mempunyai pandangan ketuhanan mencapai akhir perjalanan mereka menuju cita-cita
mereka, mereka tidak menemukan satu jejak pun darinya. Sebaliknya, mereka
menemukan Allah di mana-mana. Karena semua cita-cita mereka adalah cita-cita
setengah jalan, maka mereka mesti bergerak ke depan dari satu tahap ke tahap
berikutnya dari cita-cita ini. Jika tidak, maka akan lagi-lagi menemukan
cita-cita membosankan yang sama yang menyebabkan masyarakat mengalami
degenerasi, dan meruntuhkannya dari dalam.
Singkatnya,
masyarakat-masyarakat yang runtuh itu menemukan diri mereka berhadapan dengan
salah satu dari empat situasi. Dalam salah satu situasi mereka mungkin akan memiliki
suatu cita-cita relatif. Al-Quran mengakui bahwa suatu masyarakat yang memiliki
cita-cita relatif mungkin memperoleh beberapa hasil positif sejauh menyangkut
kehidupan materialnya. Al-Quran mengatakan: “Barangsiapa menghendaki kehidupan
sekarang (duniawi) maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami
kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. 17: 18).
Perbedaannya, di akhirat
dia mungkin akan menghadapi kesulitan- kesulitan. Mengenai mereka yang mencari
keuntungan akhirat, Al-Quran mengatakan: “Dan barangsiapa yang menghendaki
kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia
adalah Mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan
baik.” (QS. 17: 19).
Ini berarti bahwa mereka
yang mampu memandang ke ufuk yang lebih jauh, keinginan mereka juga akan
dipenuhi. Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa kedua kelompok ini dibantu dalam
mencapai tujuan mereka masing-masing: “Kepada masing-masing golongan, baik
golongan ini maupun golongan itu; Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu.
Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (QS.17: 20).
Mereka yang hanya
mempunyai cita-cita relatif, bekerja untuk mencapainya. Itulah tahapan yang
pertama. Setelah mereka mencapai tujuan mereka, tibalah tahap yang kedua, yang
merupakan tahap perhentian. Tetapi karena manusia tidak bisa diam lama tanpa
suatu cita-cita, maka pada tahap yang ketiga, mereka memilih beberapa pribadi
yang terkemuka dari kalangan mereka sebagai idola-idola mereka. Itulah sebabnya
mengapa Al-Quran mengatakan: “Dan mereka berkata: ‘Wahai Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah menaati, pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami,
lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. 33: 67).
Mereka mengikuti
pemimpin-pemimpin mereka sebab mereka telah mencapai tahap perhentian. Pada
tahap inilah manusia mulai memuja manusia lainnya, sebab dia tidak bisa tinggal
diam dan harus memiliki sesuatu atau seseorang sebagai idolanya. Hasilnya, para
pemimpin dan pemuka ini lalu membentuk kelas bangsawan dan mulai menjalani
kehidupan yang mewah. Untuk mempertahankan kedudukan yang mereka peroleh itu,
orang-orang yang hidup mewah ini menentang setiap perubahan. Al-Quran
mengatakan: “Dan demikianlah, Kami tidak pernah mengutus sebelum kamu seorang
pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu berkata...” (QS. 43: 23).
Manakala datang seorang
rasul, pertama-tama dia akan ditentang oleh kelompok yang sangat kaya ini, yang
anggota-anggotanya dihormati dan ditakuti oleh orang-orang yang, setelah
terputus dari cita-cita mereka, tidak mampu berpikir tentang apa pun selain
mempertahankan posisi yang ada. Sekali memperoleh kekuasaan, kelompok yang
mewah dan menindas itu tak pernah bersedia melepaskan cengkeramannya atas
masyarakat. Selanjutnya tibalah tahap keempat, ketika kelompok ini
memperlakukan masyarakat dengan demikian buruknya hingga rakyat jelata
kehilangan semua buah peradaban mereka, dan sumber daya mereka pun dirampas
serta dihancurkan. Kita menemukan banyak contoh seperti itu di masa lampau dan
dalam sejarah masa kini. Hitler dan kaum Nazi Jerman-nya, memusnahkan
hasil-hasil peradaban yang telah dikumpulkan oleh begitu banyak negeri selama
masa yang panjang, melalui segala macam tipu muslihat. Manakala kelas yang kaya
muncul, muncul pulalah di sisi mereka kelompok yang pada akhirnya akan
memusnahkan mereka. Al-Quran mengatakan: “Dan demikianlah Kami adakan pada
tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu
daya dalam negeri itu. Tetapi mereka tidak memperdayakan selain diri mereka
sendiri.” (QS. 6: 123).
Mereka berkomplot untuk
melakukan kekacauan yang memuncak pada kehancuran diri mereka sendiri serta
peradaban mereka. Meskipun tak satu pun dari cita-cita mereka yang sejauh ini
kita sebutkan adalah cita-cita yang sejati, namun dalam kenyataannya masyarakat
memandang setiap cita-cita itu sebagai agama. Stalinisme adalah agama. Naziisme
adalah agama. Despotisme dan bahkan kebebasan moral adalah agama. Sebagaimana telah
kita katakan, salah satu dari jenis cita-cita adalah kondisi yang ada. Ia
diterima begitu saja sebagai baik karena kemalasan ataupun sebagai akibat
penindasan oleh suatu kekuatan penindas cita-cita yang lain adalah gerakan yang
setengah jalan cita-cita ini dalam jangka panjang juga akan membawa kepada
hasil yang sama dengan jenis yang pertama. Dengan dipegangnya cita-cita ini
masyarakat melewati berbagai pergantian nasib untung dan malang, dan pada
akhirnya hancur. Dengan demikian, kita harus menemukan cita-cita lain yang
konsisten dengan watak manusia yang suka melihat ke depan. Karena dia bisa
memuaskan kerinduannya ini dengan mengarahkan perhatiannya kepada Allah, maka
kita usulkan Allah sebagai cita-cita yang ketiga.
Ada dua keuntungan dari
usulan kita ini. Yang pertama bersifat kuantitatif, sebab dengan mengikuti
saran kita ini manusia akan bisa terus bergerak ke depan menuju tujuannya yang
tak terbatas. Gerakannya tidak akan berhenti pada tahap apa pun, tidak pula dia
akan mencapai jalan buntu. Tidak ada batas bagi capaiannya. Masyarakat tidak
akan pernah sampai pada keadaan diam. Jalan selalu terbuka bagi masyarakat
untuk bergerak ke depan. Dari sudut ini, keuntungan tersebut bersifat
kuantitatif. Kita telah melihat bahwa dalam kasus semua cita-cita yang lain,
kemajuan manusia dengan segera akan berhenti, dan akibatnya, masyarakat mulai
mengalami pengeroposan. Karena itu suatu gerakan masyarakat yang kontinyu dan
konstrtaktif menuju kepada Allah, adalah satu-satunya alternatif alamiah.
Keuntungan lain dari
usulan kita bersifat kualitatif. Dengan mengikuti saran kita manusia akan bisa
menemukan jalan untuk menyelesaikan pertentangan batin yang ada di dalam
dirinya. Pertama-tama marilah kita melihat: apa pertentangan itu. Kita bisa
mengkaji masalah ini dalam konteks pandangan-pandangan yang independen, maupun
dari sudut pandang Al-Quran. Dari Al-Quran kita tahu bahwa manusia memiliki dua
kecenderungan. Dia memiliki kecenderungan-kecenderungan material yang meliputi
kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan fisik maupun mentalnya. Secara
alamiah dia cenderung ingin menjamin kepentingan-kepentingan dirinya sendiri.
Dia sangat ingin menjadi kaya dan merasa didorong untuk memenuhi kebutuhan
seksual dan kebutuhan-kebutuhan biologisnya yang lain. Dia ingin hidup nyaman
dan mewah.
Pada saat yang sama,
manusia juga memiliki dorongan yang berbeda jenisnya. Sebagai makhluk yang
dibuat dari tanah, dia memiliki kecenderungan-kecenderungan material. Tetapi
dia juga mempunyai ruh yang ditiupkan Tuhan di dalam dirinya. Allah berfirman:
“Kutiupkan ke dalamnya ruh-Ku.” Hasilnya, manusia mempunyai dua jenis
kecenderungan. Ada pertentangan antara kebenaran dan kebatilan, antara keadilan
dan kelaliman, antara kebaikan dan kejahatan, antara yang benar dan yang salah.
Ini adalah problema batin manusia. Kajian-kajian sosial tidak memberikan solusi
apa pun terhadap masalah ini. Kajian-kajian tersebut hanya mengukuhkan
keberadaannya. Manusia selalu berada dalam keragu-raguan tentang ke mana dia
harus melangkah. Dia tampak tidak mempunyai sarana untuk menyelesaikan
pertentangan ini.
Oleh karenanya, harus ada
suatu kekuatan luar yang bisa menariknya ke salah satu dari dua sisi yang
bertentangan tersebut. Secara alamiah kita tahu perlunya manusia ditarik ke
sisi yang mencerminkan keadilan dan kebajikan. Karena sumber tarikan tersebut
adalah Allah, maka jelas kita harus memiliki-Nya sebagai cita-cita. Jika
masyarakat mengorganisasi dirinya dengan cara demikian hingga mereka bergerak
maju ke arah-Nya, maka dua pembaharuan besar akan terjadi secara serentak.
Pertama, masyarakat akan terbaharui, dan kedua, manusia sendiri berubah menjadi
lebih baik. Cita-cita yang lain tidak bisa melakukan hal ini, sebab mereka
tidak bisa menanamkan ke dalam diri manusia rasa tanggung jawab. Manusia memandang
cita-cita lain sebagai entah setara dengan dirinya ataupun sebagai eksistensi
yang berada di bawah dirinya.
Allah adalah jauh di atas
manusia. Dia adalah Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya. Dia tidak termasuk dalam satu kategori yang sama dengan
manusia. Manusia tidak bisa menentang-Nya, tidak pula dia bisa menjadi
saingan-Nya. Allah Maha Tahu, Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dia Maha Adil;
Dia mencatat perhitungan segala sesuatu dan memberi balasan kepada kebaikan
maupun kejahatan. Dalam Allah, manusia bisa menemukan semua kekuatan yang bisa
mendorong seorang individu ataupun masyarakat untuk melakukan sesuatu.
Konsekuensinya, agama
Allah adalah faktor yang paling penting yang bisa membujuk masyarakat, untuk
memperbaharui diri. Dalam kaitan ini, perlu dijelaskan bagaimana mungkin Allah
bisa berperan dalam kaitan dengan masyarakat-masyarakat manusia yang di satu
pihak berkepedulian dengan masalah-masalah semacam teknologi, industri,
pertanian, serta peternakan; dan di lain pihak, dengan hubungan-hubungan antar
manusia. Sebelum memberikan penjelasan dalam hal ini, marilah kita lihat apa
yang dikatakan oleh para penganjur materialisme dialektik dan historis, yang
membosankan kita dengan kuliah-kuliah mereka mengenai filsafat sejarah.
Orang-orang ini, yang mau
memerosotkan manusia menjadi binatang, bersikeras bahwa manusia tidak boleh
punya hubungan dengan Tuhan. Mereka mengatakan bahwa agama adalah candu
masyarakat. Pernyataan ini memang sangat patut dalam kaitannya dengan
agama-agama yang kita sebutkan di atas ― agama-agama yang mendewakan keadaan
yang ada dan memuja para pemimpinnya, agama-agama yang memandang kondisi
material keluarga mereka atau kemerdekaan yang setengah-setengah sebagai
cita-cita mereka. Tak diragukan, hal-hal ini mempunyai efek narkotik dan
merupakan candu bagi masyarakat. Kita ingin agar manusia membebaskan diri dari
narkotika-narkotika semacam ini, tetapi kita tidak ingin menjadikan dia korban
dari candu yang lebih berbahaya lagi. Jika Anda berpikir untuk membebaskan
manusia secara total dari agama, kepada apa lagi Anda akan menyerahkan dia demi
masa depannya?
Sementara memegang
erat-erat realitas cita-cita ketuhanan ini, kita harus menerima kelima prinsip
Islam yang menjadi landasan idealitas Allah. Kelima prinsip tersebut adalah: 1.
Tauhid; 2. Kenabian, yang membentuk kaitan antara Allah dengan manusia; 3.
Umat, yang merupakan kristalisasi lahiriah dari kenabian; 4. Akhirat, yang
berlaku sebagai insentif bagi upaya-upaya manusia; dan yang terakhir, 5.
Keadilan Ilahi. Apabila kita mencoba merinci prinsip-prinsip ini, kita akan
harus membahas hubungan antara agama dengan masyarakat dan sejarah, dan harus
membahas pula norma-norma sejarah. Karena itu kita lewati saja aspek-aspek
ideologis dan intelektual masalah ini, dan kita bahas tema masyarakat.
Jika masyarakat punya
kaitan dengan Allah, maka hubungan ganda yang ada dalam setiap masyarakat akan
bekerja lebih baik. Ada dua unsur tetap dalam setiap masyarakat, yakni manusia
dan alam. Hubungan manusia dengan kedua unsur ini adalah penting, yaitu
hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam. Kita ingin
mengkaji hubungan dari sudut pandang agama, dan menilik apa yang harus
dilakukan jika kita ingin meningkatkan hubungan antara manusia dengan manusia.
Di sini Marx mengemukakan
analisisnya tentang masalah-masalah sosial. Dia mengatakan bahwa, masyarakat
selamanya terbagi menjadi kelas yang memiliki hak-hak istimewa dan kelas yang
terampas hak-haknya. Untuk membebaskan diri dari deprivasinya, kelas yang
terampas hak-haknya, dalam sejarah, senantiasa melakukan perang kelas.
Pergumulan antara dua kelas ini akan terus berlanjut sampai semua perbedaan
kelas lenyap, dan suatu masyarakat ideal yang tanpa kelas, muncul. Ini harus dianggap
sebagai proses sejarah yang tak bisa dihindarkan. Marx mengatakan bahwa, semua
kegiatan revolusioner yang ingin dilaksanakannya hanya ditujukan untuk
mendorong gerakan sejarah ini ke depan, meskipun tanpa kegiatan tersebut proses
itu akan tetap berlanjut. Jika kita melihatkan diri dalam diskusi tentang teori
yang kontroversial ini, kita khawatir bahwa rencana dan tujuan kita dalam
pembahasan sekarang ini akan terabaikan. Karena itu, kita lewati saja
kritik-kritik yang telah dilancarkan terhadap teori yang lancung ini. Misalnya,
orang telah melontarkan pertanyaan mengapa teori proses revolusi ini telah
gagal dalam kasus negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris,
Prancis dan Jerman? Mengapa kita lihat bahwa di negeri-negeri tertentu kaum kaya
dan miskin telah hidup berdampingan, dan alih-alih berperang, mereka justru
telah bekerja sama tanpa adanya pertentangan sama sekali? Apakah pertentangan
kelas ini hanya berlaku dalam kasus masyarakat-masyarakat tertentu saja,
ataukah ada kontradiksi antara kesejahteraan material beberapa masyarakat
dengan kemiskinan masyarakat-masyarakat lain? Jika teori pertentangan kelas
benar-benar sahih, maka pertentangan ini harusnya bersifat universal, lepas
dari masa dan tempat. Tetapi kita lihat bahwa, bahkan kaum Marxis sendiri
mengakui, kondisi-kondisi yang berbeda di masing-masing negara, menimbulkan
banyak perbedaan.
Secara kebetulan bisa
dikatakan, tampaknya ada kesepakatan pendapat antara kaum pekerja Amerika
dengan majikan-majikan mereka, bahwa Amerika mesti merebut sumber-sumber daya
dari negeri-negeri yang ada di bawah pengaruhnya, dan membaginya di antara kaum
pekerja dan kaum majikan. Keseluruhan kasus ini tampak bagaikan ayam jantan
yang memakan sepuas-puasnya persediaan makanan seekor kuda. Seluruh rakyat
Amerika memasang mata terhadap minyak di Timur Tengah, permata di Tanzania,
kapas di Mesir, dan tembakau serta anggur di Aljazair. Ada lagi sektor-sektor
lain di mana kaum pekerja dan kaum majikan Amerika mempunyai kesepakatan.
Karena kita tidak bisa menerima landasan pertentangan yang dikemukakan oleh
Marx, maka kita harus mencari landasan lain dari pertentangan tersebut.
Meskipun dengan adanya
orisinalitas, kecerdasan, dan kajian sejarahnya, pemikiran Marx bersifat
terbatas. Jangkauan pemikirannya hanya bisa mencapai segi yang kecil saja dari
pertentangan yang sesungguhnya. Dia menemukan bahwa hubungan-hubungan antar
manusia berpusat pada suatu pertentangan antara kaum kuat dengan kaum lemah.
Kaum kuat mungkin memperoleh kekuatannya dari kekayaan, kedudukan, ataupun segi
kekuatan dan pengaruh lainnya. Bahkan ilmu pengetahuan adalah kejahatan yang
bisa memberikan kepada seseorang kekuatan untuk menginjak-injak kaum lemah.
Pertentangan bukan hanya tersumber pada kapital saja. Dalam kenyataannya, akar
fenomena ini menancap jauh lebih dalam. Karena itu haruslah dicari akar yang
sebenarnya dari pertentangan dan konflik yang ada di masyarakat manusia.
Persoalan utamanya adalah, apakah manusia harus mengikuti kecenderungan
material ataukah condong kepada cahaya kebenaran Ilahi? Karena ini adalah
persoalan perasaan batin manusia, maka pertentangan ini hanya bisa diselesikan
jika semua masyarakat dan manusia mengikuti arah yang dituntut oleh fungsi
manusia sebagai khalifah Tuhan.
Sebagaimana kita ketahui,
Allah telah menempatkan segala sesuatu di dunia ini kepada manusia sebagai
amanat. Semua masalah otomatis akan terselesaikan jika manusia mengikuti arah
ini. Kita lihat bahwa manusia yang mengakui Allah dan mengikuti arah yang
digariskan oleh-Nya, mempunyai hati yang penuh kasih sayang dan budi baik. Dia
menunjukkan penghormatan kepada sesama manusia, dan tidak menganggap mereka
sebagai alat untuk mencapai kepuasan hawa nafsunya sendiri. Sejauh menyangkut
pergumulan kelas, mesti dicatat bahwa ada kasus-kasus yang di dalamnya seluruh
kelas masyarakat dalam suatu bangsa, bersatu untuk menghancurkan bangsa lain.
Karenanya, pergumulan kelas tidaklah memiliki akar di masyarakat dalam seluruh
sejarah, tidak pula pasang naik dan turunnya sejarah masyarakat selamanya ditentukan
oleh masalah ekonomi dan materi.
Masalahnya berakar jauh
lebih dalam. Manusia memiliki dua unsur yang saling bertentangan dalam dirinya.
Masalahnya adalah, kepada unsur yang mana dia harus condong. Di dalam dirinya,
manusia tidak punya kekuatan untuk mengendalikan secara pasti salah satu dari
kedua kecenderungan tersebut. Oleh karena itu harus ada satu kekuatan luar
untuk mengarahkannya, dan kekuatan itu tidak bisa lain kecuali berpaling dan
bersandarnya dia kepada Allah. Ini adalah menyangkut hubungan antara manusia
dengan manusia. Dalam kenyataannya, masalah kita bersisi ganda: hubungan
manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan
dengan Allah dan agama akan menyelesaikan kedua persoalan ini. Mengenai
hubungan manusia dengan sesamanya, masalahnya adalah, bahwa dalam berurusan
dengan orang lain, manusia berpaling kepada kepentingan dirinya sendiri dan
mengabaikan kepentingan orang lain. Ini tidak hanya menciptakan konflik
kepentingan, tetapi juga bertentangan dengan kecenderungan alamiah manusia
kepada Allah. Pemecahan masalah ini terletak pada keyakinan kita terhadap Allah
dan agama.
Masalah kedua adalah,
bagaimana menundukkan sifat galak dan kaku tersebut, dan membawanya ke bawah
kendali kita sendiri agar kita bisa memperoleh semua yang kita butuhkan dalam
kehidupan. Masalah ini bisa diselesaikan jika kita makin banyak bekerja dengan
alam. Dengan demikian kita akan memperoleh pengalaman yang perlu untuk membawa
alam ke bawah kendali kita. Sesungguhnya ini adalah proses dua arah. Makin
banyak kita bekerja dengan alam, makin mampu kita mengendalikannya; dan makin
mampu kita mengendalikannya, makin banyak pengalaman yang kita peroleh; dan
konsekuensinya, lapangan-lapangan baru akan terbuka bagi kita.
Tetapi masalahnya adalah,
manakala manusia telah mulai mengendalikan alam dan menjadi mampu
memanfaatkannya secara lebih baik, dia akan memperbudak orang lain, dan
kemampuannya untuk mengeksploitasi juga akan semakin meningkat. Kita tidak
mempunyai kekuasaan untuk menindas orang lain ketika kita hanya bergantung pada
pekerjaan berburu untuk mencari penghidupan kita, dan mempertahankan diri hanya
dengan senjata-senjata yang terbuat dari kayu dan batu. Tetapi dengan
diperolehnya peralatan indusrri yang besar dan sarana-sarana pertanian modern,
manusia memperoleh kekuatan umtak juga mengeksploitasi sesamanya. Ini dikuatkan
oleh Al-Quran ketika ia mengatakan: “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia itu
benar-benar melampaui batas, manakala dia melihat dirinya serba cukup.” (QS.
96: 6-7).
Ketika manusia hanya mampu
menanami tanahnya sendiri dan hanya bisa menghasilkan jumlah bahan makanan yang
cukup untuk dirinya saja, dia tidak bisa berpikir untuk merampas tanah orang
lain. Pada waktu itu, dia hampir-hampir tidak mempunyai sarana untuk mengeksploitasi
orang lain. Tetapi, di masa kini, dia mempunyai cukup kekuasaan untuk
mengeksploitasi.
Sekarang, apa yang harus
dilakukan untuk memastikan agar manusia bisa menundukkan alam, memperoleh
manfaat maksimal darinya, dan pada saat yang sama, tidak mengeksploitasi sesama
manusia? Menurut pendapat kami, penyelesaian masalah ini terletak pada hubungan
antara kerja dan pengalaman. Semakin banyak manusia bekerja, makin banyak
pengalaman yang diperolehnya. Satu-satunya prasyarat adalah, dia tidak boleh memutuskan
hubungannya dengan Allah. Dia harus melihat semua sumber daya alam sebagai
amanat Ilahi, dirinya sendiri sebagai khalifah Allah, dan manusia-manusia lain
sebagai saudaranya. Jika dia bersikap demikian, niscaya kemakmuran akan tumbuh
berlipat ganda, dan rahmat serta berkat Allah akan tercurah dari langit dan
bumi. Tidak akan ada kekurangan keburuhan apa pun di masyarakat manusia. Ada
cara lain untuk mengatakan hal yang sama. Jika terjadi distribusi yang adil,
produksi akan meningkat hingga tingkat yang diburuhkan. Ini adalah keyakinan
yang berakar dalam Al-Quran. Banyak ayat lain yang menekankannya. Pandangan ini
juga disokong oleh norma-norma sejarah. Mengenai Al-Quran, kita bisa mengutip
ayat berikut ini sebagai contoh: “Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), niscaya benar-benar kami akan memberi minum kepada
mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (QS. 72: 16).
Tentu saja, pandangan ini
hanya bisa diterima oleh mereka yang beriman kepada Al-Quran. Tetapi kita dapat
mengamati kemungkinan diterapkannya rumusan ini dalam kehidupan sehari-hari.
Jika di masyarakat keadilan kebajikan dan kesalehan merata luas maka
faktor-faktor yang mempersatukannya akan menjadi kuat. Homogenitasnya yang
diperlukan untuk memutar roda raksasa industri dan pertanian akan
tergalvanisasi. Disebabkan oleh kesaruan dan kepaduannya, masyarakat seperti
itu mampu mengatasi kesulitan-kesulitannya dan tak pernah menghadapi
perpecahan. Masyarakat-masyarakat yang tak memiliki kekuatan pemersatu seperti
ini, tak pelak lagi, akan mengalami kelayuan dan disintegrasi. Lembaga-lembaga
yang menguasai masyarakat sendiri menciptakan perpecahan dan pertentangan.
Orang mungkin menganggap masyarakat tersebut berperadaban dan memiliki
persatuan dan solidaritas, namun biasanya solidaritas mereka itu bersifat
artifisial. Mereka akan terpecah manakala dihadapkan pada masalah-masalah yang
menunrut solidaritas kemanusiaan.
Adalah menarik untuk
dicatat bahwa, istilah-istilah seperti arrogan, tiran, dan penindas, yang kita
gunakan, berasal dari cerita tentang Fir’aun dalam Al-Quran. Sebagian orang
mungkin mengira bahwa Al-Quran menururkan cerita-cerita historis semacam cerita
tentang Fir’aun dan Nabi Musa itu, sekadar untuk menuturkan sejarah saja.
Sekarang kita dapat mengatakan bahwa anggapan seperti itu keliru. Al-Quran
ingin menunjukkan bahwa faktor-faktor perpecahan dan kehancuran adalah inheren
dalam masyarakat-masyarakat despotik. Kita bisa meramalkan nasib mereka. Di
lain pihak, suatu masyarakat yang berorientasi ketuhanan, memiliki kualitas
kebersamaan dan kesatuan.
“Sesungguhnya umat ini
adalah umatmu, umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
(QS. 21: 92).
Allah mengatakan bahwa Dia
telah menjadikan kaum Muslimin sebagai satu formasi yang tunggal. Karena itu
mereka wajib bergerak ke depan dan membuka jalan-jalan baru. Di lain pihak,
posisi masyarakat Fir’aunis, sama sekali berbeda. Perpecahan anggota-anggota
masyarakat ini secara tak terhindarkan akan membagi mereka ke dalam enam kelas.
Kelas yang pertama kita sebut kelas mustadh’afin (kaum yang lemah). Kelas ini
bergantung pada para despot dan Fir’aun, dan bekerja sama dengan mereka.
Mengenai mereka, Al-Quran berkata: “Dan seandainya engkau lihat ketika
orang-orang yang lalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, maka sebagian dari
mereka akan menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang
lemah akan berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: ‘Kalaulah tidak
karena kamu, tentulah kami telah menjadi orang-orang yang beriman.’” (QS. 34:
31).
Ayat ini melukiskan
pemandangan pada Hari Kiamat. Pada Hari itu, sebagian dari orang-orang yang
lalim akan menyalahkan sebagian yang lain. Ayat ini menjelaskan bahwa, tidak
semua yang termasuk dalam kelas mustadh’afin dan tertindas itu adalah
orang-orang saleh. Sebagian dari mereka juga orang-orang lalim. Allah
mengatakan bahwa ketika orang-orang lalim itu dihadapkan kepada-Nya, sebagian
dari mereka akan termasuk ke dalam kelas mustadh’afin, dan mereka akan
berbantah-bantahan dengan orang-orang yang mustakbarin (orang-orang yang
angkuh).
Kelas kedua terdiri dari
orang-orang kesayangan para Fir’aun dan para penasihatnya. Mereka mendorong dan
membimbing para Fir’aun itu. Seringkali, perilaku mereka itu melebihi
Fir’aun-Fir’aun itu sendiri.
Al-Quran mengatakan:
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun): ‘Apakah kamu
membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir), dan
meninggalkan kamu serta Tuhan-Tuhanmu?’” (QS. 7: 127).
Para kesayangan Fir’aun
ini mendorongnya dengan mengatakan: “Kami heran, mengapa engkau membiarkan Musa
dan kaumnya begitu saja. Mereka akan berbuat kerusakan dan tidak mengakui
ketuhananmu.” Para pemuka ini menghasut Fir’aun agar segera membunuh anak-anak
Bani Israil dan memperbudak kaum wanita mereka.
Jadi, kelas kedua ini
terdiri dari orang-orang kesayangan Fir’aun dan para penasihatnya.
Kelas ketiga terdiri dari
mereka yang tidak mempunyai tujuan atau cita-cita. Kelas ini kebanyakan terdiri
dari orang-orang awam, tak berpendidikan, dan miskin, yang selalu terseret dari
satu pihak ke pihak lainnya. Menurut Al-Quran, pada Hari Kiamat mereka akan
mengatakan: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin
dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang
benar).” (QS. 33: 67).
Dapat ditunjukkan di sini
bahwa, orang-orang awam dan bertelanjang kaki ini mempunyai peranan yang sangat
besar di masyarakat. Adalah kewajiban kita untuk membujuk mereka agar tidak
mengikuti pemimpin-pemimpin mereka yang jahat, dan membimbing mereka kepada
para pemimpin yang saleh. Imam Ali telah menyebutkan adanya kelompok ini.
Beliau mengelompokkan orang banyak ke dalam tiga kelompok: orang-orang yang
suci, orang-orang yang menerima pendidikan untuk keselamatan diri mereka, dan
orang-orang tolol yang tak memiliki tujuan. Kelompok terakhir ini selalu siap
mengikuti kebatilan apa pun yang menyeru mereka.
Dalam Al-Quran terdapat
rujukan kepada orang-orang yang mengikuti orang-orang suci. Al-Quran
menyebutkan para sahabat Nabi yang bajik dan menambahkan: “... dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan sepenuh hati.” (dalam fiqh Islam, para pengikut
orang-orang suci disebut kaum muqallid, atau para pengikut seorang
mujtahid).Adalah kewajiban kita untuk membujuk orang banyak agar mengikuti para
ulama mereka, dan menjauhkan mereka dari mengikuti gagasan-gagasan lancung atau
tidak berpegang pada cita-cita apa pun, agar mereka dapat termasuk ke dalam
kelompok orang-orang yang mengikuti para ulama dengan sepenuh hati, atau ―dalam
kata-kata Imam Ali― termasuk dalam kelompok orang-orang yang “menerima
pendidikan untuk memperoleh keselamatan.” Singkatnya, orang-orang ini merupakan
kelompok terbesar masyarakat.
Dalam masyarakat yang
despotik, juga terdapat kelas keempat. Kelas ini terdiri dari orang-orang yang
sepenuhnya memahami sifat tak adil dan lalim dari kebijakan-kebijakan yang
ditempuh oleh para penguasa mereka, tetapi mereka berdiam diri berkenaan dengan
kebijakan-kebijakan tersebut. Menunjuk mereka, Al-Quran mengarakan:
“Seungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan
menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan
bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas
di negeri.’” (QS. 4: 97).
Maksudnya, mereka
mengatakan bahwa mereka dikontrol oleh para despot dan mereka tidak bebas untuk
mengambil keputusan. Tetapi kenyataannya, dalam situasi seperti itu orang tidak
boleh berdiam diri. Al-Quran mengutip para malaikat mengatakan kepada mereka:
“Bukankah bumi Allah itu luas?” Maksudnya, mengapa mereka tidak berhijrah ke
negeri yang aman dan menyelamatkan diri mereka dari para tiran? Jadi, dalam
kekuasaan pemerintahan yang tiranik dan despotik, terdapat kelompok kategori
keempat yang terdiri dari orang-orang yang berdiam diri dan tidak melakukan
gerakan apa-apa. Sekalipun mereka tidak bekerja sama dengan kaum lalim, namun
mereka hidup dalam iklim yang despotik, dan tidak bertindak untuk mengubah
situasi.
Kelas kelima terdiri dari
sejumlah kecil orang yang mengasingkan diri dari masyarakat. Mereka
sesungguhnya tidak berhak mengucilkan diri. Masyarakat membutuhkan orang-orang
untuk bekerja membangun masyarakat, bukan orang-orang yang menolak untuk
berurusan dengannya. Allah menegur Nabi Yunus a.s. ketika beliau meninggalkan
kaumnya, dan memerintahkan kepada beliau untuk tinggal bersama mereka. Nabi
Yunus a.s. lalu bertobat kepada Allah.
Al-Quran mengatakan:
“Sesungguhnya sebagian besar dari orang- orang alim Yahudi dan rahib-rahib
Nasrani, benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (QS. 9: 34).
Dewasa ini ada orang-orang
yang mengatakan, bahwa para ulama tidak berhak ikut campur dalam politik, sebab
agama dan politik adalah dua bidang yang terpisah. Mereka yang mengikuti logika
ini, dalam istilah Al-Quran, adalah orang-orang yang “menghalang-halangi
manusia dari jalan Allah.”
Kelas keenam mencakup
orang-orang yang, meskipun terampas hak-haknya dan tertindas, namun mereka berusaha
sekuat tenaga untuk mengubah kondisi yang ada. Dalam kaitan ini, ada hukum
Ilahi dan norma sejarah ,yang niscaya akan kami bahas secara terinci seandainya
terdapat ruang yang mencukupi. Bagaimanapun, menurut hukum ini, jika seluruh
kelas yang terampas hak-haknya, tertindas, dan hidup dalam sistem yang korup,
mau berjuang melawannya, maka mereka akan memperoleh kemenangan. Di masa
sekarang, masalah ini merupakan masalah penting di dunia kita. Bangsa-bangsa
tertindas yang sedang berjuang merebut kemerdekaan harus tahu bahwa norma
sejarah ini selalu terwujud. Al-Quran mengatakan: “Dan Kami hendak memberi
karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka
pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. 28: 5).
Ayat ini merujuk kepada
aturan yang sama. Cerita Nabi Musa dan Fir’aun membuktikan kebenarannya:
“Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika Kami selamatkan kalian semua dari
kaum Fir’aun.” Tetapi jika tidak ada perlawanan efektif yang dilakukan, maka
para Fir’aun dan tiran akan berhasil menghancurkan kekuatan-kekuatan sosial
tersebut dengan menciptakan perpecahan di kalangan mereka. Manakala
kekuatan-kekuatan sosial telah terpecah belah, maka kekuatan-kekuatan industri
dan ilmiah tidak akan berdaya, atau paling tidak, tak akan memberikan hasil
yang diinginkan. Sekalipun ada yang dihasilkan, namun hasil itu tidak akan
menguntungkan masyarakat banyak, dan tidak akan membawa kemakmuran kepada
mereka. Akibatnya, masyarakat akan ditimpa kekacauan.
Dalam situasi dan kondisi
ini, bagaimana masyarakat dapat diperbaharui? Masyarakat hanya bisa
diperbaharui jika semua orang menaruh kepercayaan kepada Allah, percaya kepada
kekuatan-kekuatan gaib yang mengatur mereka, dan mengikuti jalan keadilan.
Ketika itulah semua khazanah bumi akan terbuka, semua potensi akan menjadi
efektif, dan semua yang tersimpan di dalam bumi dan di langit ―yang disediakan
bagi kesejahteraan umat manusia― akan dapat diperoleh. Semua ini akan terjadi
pada masa ketika Al-Mahdi (semoga Allah menyegerakan kemunculannya) menegakkan
pemerintahannya. Ketika itulah umat Islam akan memegang kendali keadilan di
tangannya. Seluruh dunia akan mengikuti suatu garis tindakan.
Akibatnya, semua kemampuan
laten akan terungkap. Semua ini sesuai dengan hukum-hukum sejarah yang
menunjukkan arah perkembangan manusia. Manakala manusia telah mengalami semua
cita-cita rendah dan tak lagi tertarik dengannya, dengan sendirinya mereka akan
bergerak ke arah yang benar dan akan membuang jauh-jauh stagnasi, kemalasan
mental, dan ketiadaan gairah. Hasilnya, mereka akan tertarik ke arah yang akan
membawa mereka kepada perkembangan sejarah. Masalah ini mempunyai lingkup yang
sangat luas, dan pembahasannya akan memerlukan lebih banyak waktu dan ruang.
Sumber: Sejarah Dalam Perspektif Al-Qur'an;
Penerjemah : M.S Nasrulloh; Penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta; Shafar 1414 H-
Agustus 1993 M.; Hal. 11 – 54.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar