Jumat, 28 Mei 2021

Masalahnya Adalah Imperialisme


 

oleh Fariduddin Fansuri Al-Bantani

Cerita tentang Palestina adalah paradoks terakhir yang kita saksikan. Sejak awal hingga kini ia adalah kisah sederhana tentang kolonialisme dan disposesi, namun kaum imperialis menjadikannya kisah berwajah banyak dan rumit yang sukar dipahami dan sulit pula diselesaikan (Noam Chomsky).

Dan sayangnya, sejumlah intelektual partisan di negeri kita sampai jualan isu sektarian hingga membenturkan Sunni dan Syi’ah, semisal mengutip  teori Bulan Sabit Syi’ah yang rapuh  dan tak berdasar, bahkan mempropagandakan ‘Bahaya Iran’ persis seperti bagaimana PM Israel mempropagandakan ‘Bahaya Iran’ demi membela negara-negara Arab yang pro koloanialis Israel, jika bukan sebagai kaum yang mempropagandakan kepentingan Israel-Amerika dkk. Mungkin kita perlu sekalian menghadirkan sekilas gambaran bagaimana ‘martabat’ dan ‘harga diri’ Iran sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan merdeka di Timur Tengah selain sebagai negara utama yang menyumbang uang dan senjata untuk perjuangan Palestina.  

Tahun 1983 adalah tahun kemenangan Israel yang sangat gemilang. Menyusul invasinya terhadap Lebanon tahun 1982, Israel sukses mengusir musuh yang memusingkannya dengan berbagai serangan ke Israel, gerilyawan PLO, dari Lebanon. Tidak hanya itu, Israel juga sukses memaksa pemerintah Lebanon yang dipimpin pemimpin oportunis, Presiden Amin Gemayel, menandatangani perjanjian damai yang memberi hadiah Israel sebagian besar wilayah Lebanon sebagai wilayah pendudukan. Dan selanjutnya, demi menjaga kemenangan itu, Amerika dan Perancis mengirimkan pasukannya dengan kedok "penjaga perdamaian PBB".

Namun kemenangan itu buyar seketika setelah Amin Gemayel dibom oleh rakyatnya sendiri yang kecewa kepadanya. Hancurnya kemenangan Israel itu semakin besar setelah barak pasukan Amerika dan Perancis dibom oleh pejuang Lebanon yang menimbulkan korban militer sangat besar sehingga memaksa kedua negara menarik pasukannya dari Libanon. Dan seolah kesialan yang terus menimpa, para pejuang Libanon di bawah "kepemimpinan" Hizbullah berhasil mengusir Israel dari sebagian besar wilayah Lebanon yang diduduki.

Pemboman barak pasukan Amerika dan Perancis di Beirut, Lebanon, terjadi tgl 23 Oktober 1983, saat dua buah truk bermuatan bom menerobos barak kedua pasukan yang berada di tempat terpisah. Serangan beruntun itu menewaskan 299 pasukan Amerika dan Perancis. Organisasi Jihad Islam mengklaim sebagai pelaku pemboman.

Korban di barak militer Amerika adalah 220 marinir, 18 personil AL dan 3 pasukan Angkatan Darat, ditambah 50 pasukan lainnya mengalami luka-luka. Sejak perang Iwo Jima dalam Perang Dunia II, serangan itu menjadikan korban terbesar korps Marinir Amerika dalam sehari operasi militer dan menjadi serangan mematikan terbesar terhadap pasukan Amerika sejak Perang Dunia II. Kekuatan ledakan yang menghancurkan barak militer Amerika itu setara dengan kekuatan ledakan 5.400 kilo-gram TNT.

Sementara dalam serangan terhadap barak pasukan Perancis, dua menit setelah serangan di barak militer Amerika, 58 pasukan payung Perancis tewas dan 15 lainnya mengalami luka-luka, menjadikannya serangan paling mematikan terhadap pasukan Perancis sejak Perang Kemerdekaan Aljazair.

Meski dibantah oleh pemerintah Amerika dan Perancis, tidak bisa dipungkiri serangan itu menjadi penyebab ditariknya pasukan kedua negara di Lebanon.

Para pengamat percaya, serangan tersebut disebabkan oleh kebencian rakyat Lebanon kepada pasukan asing Amerika dan Perancis. Kebencian itu terutama melanda kaum Muslim dan Druze (satu sekte agama yang menggabungkan keyakinan Islam dan Kristen, banyak terdapat di Lebanon), terlebih lagi kaum Muslim Syi’ah yang kebanyakan tinggal di daerah Beirut Barat dan sekitar airport tempat di mana markas pasukan asing itu berada.

Mereka melihat dengan jelas "pasukan perdamaian" itu sama sekali tidak membawa perdamaian. Mereka turut campur dalam pertempuran dalam Perang Sipil yang tengah berkecamuk di Lebanon, dengan memihak kepada kelompok-kelompok pasukan pro-Israel, seperti milisi Maronit Katholik. Kebencian itu semakin memuncak setelah pasukan Armada VI Amerika menembakkan bom-bomnya ke kawasan-kawasan milisi anti-Israel di pegunungan Shuf, menewaskan banyak warga sipil Lebanon. Pasukan Perancis juga tidak kalah agresif. Sebulan sebelum serangan atas barak militer Amerika dan Perancis, pasukan Perancis melakukan serangan udara besar-besaran atas kawasan Lembah Bekaa.

Hal ini sebenarnya menimbulkan kekhawatiran di kalangan perwira Amerika yang berpikir sportif, bahwa Amerika tidak lagi dipercaya sebagai "pasukan perdamaian" dan lebih berperan sebagai "pasukan pendudukan", sehingga memicu serangan balasan.

Pemimpin gerakan Amal Syi’ah, Nabih Berri, yang awalnya mendukung kehadiran pasukan perdamaian asing, meminta Amerika dan Perancis meninggalkan Lebanon dan menuduh mereka telah melakukan pembantaian terhadap warga sipil Lebanon serta menciptakan "iklim kekerasan" terhadap warga Syi’ah. Kelompok Jihad Islam mengancam pasukan keamanan internasional, bahwa "bumi akan bergetar kecuali pasukan asing meninggalkan Lebanon pada tahun baru 1984."

Dibutuhkan waktu berhari-hari bagi upaya evakuasi korban pemboman, karena para pekerja penyelamat terus mendapat serangan dari penembak-penembak jitu lokal. Seorang penembak jitu itu di antaranya adalah seorang gadis remaja berumur 18 tahun yang akhirnya tewas ditembak pasukan keamanan. Para korban pemboman selanjutnya diterbangkan ke kapal USS Iwo Jima yang berlabuh di lepas pantai Lebanon. Sebagian lainnya diterbangkan ke rumah sakit militer Inggris di Cyprus dan rumah sakit militer Amerika di Jerman.

Setelah pemboman itu, beberapa kelompok Muslim Syi’ah mengklaim sebagai pelaku serangan. Salah satunya, Free Islamic Revolutionary Movement, bahkan memberikan identitas pelaku serangan, yaitu Abu Mazen dan Abu Sijaan.

Setelah bertahun-tahun penyidikan, Amerika menyimpulkan serangan tersebut dilakukan oleh kelompok Hizbullah yang kala itu masih berupa gerakan bawah tanah. Hizbullah dengan dukungan Syria (Suriah) dan Iran juga dianggap bertanggungjawab atas serangan terhadap kedubes AS di Beirut, bulan April 1983. Hizbullah baru mendeklarasikan diri sebagai sebuah organisasi pada tahun 1985. Baik Hizbullah maupun Iran serta Syria (Suriah) menolak tuduhan itu.

Pada tahun 1985 sebuah pengadilan Amerika secara diam-diam menjatuhkan hukuman kepada Imad Mughniyah, pemimpin Hizbullah, sebagai dalang serangan atas barak militer Amerika dan Perancis. Mughniyah meninggal tahun 2008 di Damaskus dalam sebuah serangan bom mobil yang dilakukan Mossad dan CIA.

Penulis Lebanon, Hala Jaber mengklaim Iran dan Syria (Suriah) terlibat dalam serangan dengan memberikan bantuan kepada tersangka, Imad Mughniyeh dan Mustapha Badredeen. Jaber menulis:

"Imad Mughniyeh dan Mustapha Badredeen menjadi pelaku operasi yang didukung Syria (Suriah) dan Iran. Mughniyeh adalah orang yang pernah mendapat latihan dari satuan Force 17 PLO. Misi mereka adalah mengumpulkan informasi dan rincian tentang kedubes Amerika dan merancang sebuah rencana untuk menjamin maksimalnya dampak serangan tanpa meninggalkan jejak. Pertemuan-pertemuan digelar di Kedubes Iran di Damaskus. Mereka terkadang ditemui oleh Dubes Iran untuk Syria (Suriah), Hojatoleslam Ali-Akbar Mohtashemi, yang memainkan peran penting dalam pembiayaan Hizbullah. Dengan bantuan beberapa pejabat senior intelijen Syria (Suriah), rencana akhir disiapkan. Kendaraan dan bahan peledak disiapkan di Lembah Bekaa yang berada di bawah pengawasan pasukan Syria (Suriah)."

Banyak analis yang percaya Iran memegang peran kunci dalam serangan tersebut. Motivasinya adalah balasan terhadap dukungan Amerika kepada Irak dalam Perang Iran-Irak yang berlangsung sejak tahun 1980 hingga 1988. Kala itu Amerika baru saja memberikan kredit pembelian senjata kepada Irak senilai $2.5 miliar, dan pada saat yang sama membekukan penjualan senjata ke Iran. Beberapa minggu sebelum serangan, Iran memperingatkan Amerika bahwa tindakan mempersenjatai musuh Iran akan mendapat balasan setimpal.

Respon Amerika

Amerika telah melakukan tindakan "pengecut" dengan membunuhi warga sipil Lebanon hingga menyebabkan serangan terhadap pasukannya yang mematikan. Namun menanggapi serangan itu, Amerika melakukan tindakan tidak kalah "pengecut". Setidaknya para pejuang Libanon telah melakukan serangan terhadap sasaran militer, tidak seperti Amerika dan Perancis.

Sebagai respon atas serangan tersebut, Angkatan Laut Amerika melakukan pemboman besar-besaran ke wilayah Pegunungan Shauf pada 9 Januari 1984, termasuk dengan menggunakan kapal penjelajah terbesar di dunia kala itu, USS New Jersey. Pada 8 Februari, USS New Jersey menembakkan hampir 300 bom ke posisi milisi Druze dan tentara Syria (Suriah) di Lembah Bekaa, Beirut Timur. Ini adalah pemboman laut besar-besaran Amerika sejak Perang Korea, menewaskan ratusan warga Lebanon, kebanyakan Muslim Syi’ah dan Druze.

Perancis juga melakukan serangan terhadap posisi yang dicurigai sebagai lokasi pasukan Pengawal Revolusi Iran di Lembah Bekaa. Pasukan elit Iran itu memang secara diam-diam diterjunkan ke Lebanon, terutama membantu milisi Hizbullah dan Amal Syi’ah, sekutu Iran. Presiden Amerika dan Perancis juga telah menyetujui serangan terhadap kediaman tokoh Syi’ah Sheik Abdullah di Baalbek serta lokasi-lokasi milisi Syi’ah dan Pengawal Revolusi Iran. Namun Menteri Pertahanan Casper Weinberger berhasil mencegah keputusan itu, khawatir dengan pembalasan Iran dan Syria (Suriah) mengingat keterlibatan mereka atas serangan barak militer Amerika-Perancis masih belum bisa dipastikan.

Sebelumnya, pada bulan Desember 1983, pesawat-pesawat tempur Amerika dari kapal induk USS John F. Kennedy dan USS Independence melakukan serangan terhadap posisi pasukan Syria (Suriah).

Selain itu, Dinas Intelijen Amerika, CIA, juga melakukan aksi balas dendam sendiri. Pada 8 Maret 1985, sebuah truk berisi bom meledak di Beirut, membunuh lebih dari 80 orang dan melukai lebih dari 200 lainnya, hampir semuanya warga sipil. Ledakan terjadi di dekat blok apartemen tempat tinggal Sheikh Mohammad Hussein Fadlallah, seorang ulama Syi’ah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual Hizbullah. Meski dibantah Amerika, serangan itu diyakini publik sebagai serangan terorisme CIA.

Fadhlallah mengatakan, "Mereka mengirimi saya surat dan saya mendapatkan pesan mereka, dan sebuah tanda di bekas bangunan yang hancur bertuliskan: buatan Amerika." Robert Fisk, seorang wartawan senior, juga mengklaim agen CIA-lah yang telah meletakkan bom dan bukti-bukti keterlibatan itu dituliskannya di sebuah artikel di koran Washington Post.

Penarikan Pasukan Amerika

Takut menghadapi serangan susulan terhadap pasukannya, Amerika segera menarik pasukannya dari Beirut dan memindahkannya ke atas kapal-kapal perang di lepas Pantai Lebanon. Pada 7 Februari 1984, Presiden Ronald Reagan memerintahkan pasukan Marinir memulai penarikan dari Lebanon yang selesai dilakukan pada 26 Februari 1984. Empat bulan kemudian seluruh pasukan perdamaian internasional ditarik dari Libanon.

Di sisi lain, mundurnya Amerika dari Lebanon setelah serangan atas barak militernya justru melambungkan citra Hizbullah. Meski Hizbullah secara resmi menolak terkait serangan tersebut, namun tampak di mata publik sebagai pelakunya, setidaknya setelah kelompok ini memuji-muji "dua martir mujahidin yang telah menimbulkan kerugian hebat bagi Amerika, yang tidak pernah dialami Amerika sejak Perang Vietnam". Hizbullah dianggap sebagai "ujung tombak perjuangan jihad muslim menentang pendudukan asing."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar