Senin, 14 Desember 2015

Syi'ah dalam Debat


Oleh Al-Asytar Ali

“Abu Dzar Al-Ghifari (muslim yang sangat dicintai Rasulullah saww) tetapi mati kelaparan akibat dibuang Usman bin Affan ke Rawadhah bersama isteri dan putri kesayangannya”

Pertanyaan yang saya angkat sebagai judul kali ini merupakan persoalan realita yang sangat perlu kita kaji agar kita tidak selalu terbentur dan terhampar pada kesimpulan yang salah dalam menapaki jalan hidup di dunia ini (beragama). Satu sisi memang kita telah menemukan jalan yang haq via ayat Allah swt: "Innad dina 'indallahil Islam" tetapi saat perusak Islam itu bermunculan mulai zaman Rasulullah sendiri kita kehilangan jalan yang murni itu hingga "yang salah kita pikir murni dan yang murni kita pikir salah".

Pertama sekali kita harus meneliti kata Syi'ah itu sendiri via (lewat) Al-Qur’an dan Hadist sahih: apa itu Syi'ah. Hal ini sama juga saat kita berbicara orang Islam (Muslim), muslim yang bagaimana yang kita maksudkan? Dalam sejarah Islam banyak tipe orang Islam yang berbeda, diantaranya muslim macam Marwan bin Hakam (menantu Usman bin Affan), muslim juga, tetapi berbeda dengan Muhammad bin Abubakar (korban fitnah dari Marwan bin Hakam).

Abu Dzar Ghifari (muslim yang sangat dicintai Rasulullah saww) tetapi mati kelaparan akibat dibuang Usman bin Affan ke Rawadhah bersama isteri dan putri kesayangannya.

Apabila kita memahami "esensi Islam" pasti mengenal tipe Muslim “yang utuh” walaupun kita memiliki pengetahuan yang sederhana saja, melalui kajian kita antara muslim menantu Usman bin Affan dan Abu Dzar Ghifari serta Muhammad bin Abubakar.

Saat Usman berkuasa semua jabatan penting negara diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengannya, termasuk Marwan bin Hakam disebabkan telah menjadi menantunya. Dapat dibayangkan bagaimana suatu negara yang dikuasai oleh orang-orang yang tidak cakap dan presiden pun (khalifah) tidak berani memecatnya saat mereka melakukan kesalahan fatal sekalipun.

Sesungguhnya kejatuhan Usman bin Affan dan kematiannya adalah akibat dari kesalahan fatal yang dilakukan menantunya sendiri (Marwan bin Hakam). Marwan-lah yang membuat surat palsu (atas nama Usman) untuk membunuh semua iring-iringan yang menghantar Muhammad bin Abubakar manakala tiba di pendopo gubernur Mesir, yang mana Muhammad bin Abubakar (putra Abu Bakar) dan anak didikan Imam Ali bin Abi Thalib. Pertanyaannya adalah: “Mengapa orang non Syi'ah tidak mau mempelajari sejarah ini agar tersingkap kepalsuan hingga mereka dapat menemukan kebenaran?”

Ketika Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb berfoya-foya dengan istana yang megah dan fasilitas gemerlap negara lainnya, rakyat kebanyakan hidup dalam keadaan menderita. Tidak ada yang berani menentang penguasa kala itu kecuali Abu Dzar Al-Ghifari, hingga membuat Muawwiyah macam cacing kepanasan. Dan akhirnya Abu Dzar diadukan kepada Usman bin Affan untuk "dipeti-eskan" (dibuang ke Rawadhah setelah diajak tinggal di istana Usman tetapi Abu Dzar menolak tinggal di "Istana Celaka").

Saat Abu Dzar dibuang, Usman tidak membenarkan seorangpun bercakap dengan Abu Dzar walaupun sekedar ucapan pamitan. Tetapi keluarga Imam Ali tidak pernah peduli larangan yang bertentangan dengan petunjuk Allah dan RasulNya. Marwan bin Hakam datang dan menghardik Imam: "Hei tidak dengarkah kalian, Amirul mu'minin melarang berbicara dengan orang itu?". "Gedegap", Imam langsung menampar unta tunggangan Marwan bin Hakam hingga berputar-putar dan jatuh terjerembab. Marwan bangun, langsung mengadu ke Usman bin Affan. Ketika Usman menanyakan Imam kenapa menampar unta Marwan, Imam menjawab bolehlah dia menampar untaku tetapi kalau dia memakiku, engkau sendiri yang akan kumaki. Usman bertanya "Apakah engkau lebih baik dari dia?". Imam menjawab: "Malah aku lebih baik dari kamu". Tetapi akhirnya Usman mengalah dan memaafkan walaupun sesungguhnya Imam tidak pernah salah.

Ketika Usman bin Affan mengangkat saudaranya menjadi gubernur Mesir, Imam 'Ali memprotesnya sampai Usman sendiri terpaksa menggantikan dengan Muhammad bin Abu Bakar (secara darah Muhammad adalah anak Abu Bakar (khalifah pertama) tetapi secara ideologi beliau anak didikan Imam 'Ali bin Abi Thalib).

KEMBALI KE PERSOALAN POKOK
Perlu digarisbawahi bahwa banyak orang menamakan diri Muslim tetapi sepak terjangnya tidak Islami. Demikian juga ada kaum yang menamakan diri "Syi'ah Alawi" tetapi sepak terjangnya tidak Alawi. Dari itu diperlukan sikap kritis dan ketelitian saat melihat suatu fenomena agar kita tidak salah paham terhadap fenomena tersebut.

Syi'ah revolusioner inilah yang dibenci kebanyakan manusia dari dulu hingga zaman kita sekarang ini, kenapa? Sebabnya saat Syi'ah Revolusioner exist (hidup) di suatu negara/kawasan, akan terungkap semua kepalsuan-kepalsuan keyakinan mayoritas penduduk Bumi ini.  

Apabila pembaca termasuk tipe manusia yang kritis saat berhadapan dengan hal-hal yang baru Anda hadapi dan bersungguh-sungguh mencari kebenaran serta tidak pernah lupa meminta hidayah Allah (berdo'a) agar mampu memahami walau persoalan yang sangat jelimet sekalipun, insya Allah Anda akan menemukan kebenaran yang sebelumnya terhambat dengan tabir-tabir yang sukar untuk ditembusi.

Apabila kita katakan bagaimana Nabi Ibrahim menemukan kebenaran, itu adalah manusia khusus (Nabi Allah) tetapi pernahkan Anda mempelajari bagaimana Abu Dzar Al-Ghifari menemukan kebenaran Islam?

Silakan Anda cari literatur tersebut hingga anda terkesima bagaimana seriusnya Abu Dzar Al-Ghifari mencari kebenaran saat kebanyakan orang tenggelam dalam perangkap bermacam fitnah yang dimainkan oleh "Khannas" sejak dulu hingga kini. "Man jadda wajada", kata Nabi Suci (Siapa yang bersungguh-sungguh/serius pasti dapat). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar