Sabtu, 10 Oktober 2015

Belajar dari Kebangkitan Rusia di Bawah Pimpinan Vladimir Putin



Setelah mengalami keterpurukan yang luar biasa pasca runtuhnya Uni Soviet, kebangkitan Rusia sungguh mencengangkan dunia. Rusia pada era Boris Yeltsin, mengalami kemunduran ekonomi akibat dominasi kaum oligarki yang merampok kekayaan negara. Skandal ini diperparah dengan indikasi keterlibatan AS, IMF, dan World Bank yang tetap memberikan pinjaman meski mengetahui bahwa pinjaman ini jatuh ke tangan kaum oligarki. Tidak hanya itu, orang-orang terdekat dan bahkan Yeltsin sendiri ditenggarai turut terlibat dalam kemunduran Rusia.

Kemunduran ini pada akhirnya membawa implikasi yang sangat buruk bagi kehidupan penduduk Rusia. Tentara Rusia bahkan pernah digaji dengan sayur-mayur karena kekosongan kas negara. Uraian mengenai kondisi Rusia setelah era jatuhnya Soviet dibahas dalam bab I hingga bab III dari buku yang sangat mudah dicerna ini. Dalam bab-bab berikutnya, Simon menceritakan bagaimana momentum untuk ‘balas dendam’ atas dominasi kaum oligarki ini akhirnya muncul dan menguat. Kemunculan Vladimir Putin dalam pangggung politik Rusia yang didukung oleh kaum siloviki membawa sebuah ‘gebrakan’ baru. Usai memegang jabatan sebagai presiden Rusia pada tahun 2000, Putin segera mengevaluasi kinerja ekonomi dan kemudian bertindak tegas terhadap kaum oligarki.

Rakyat Rusia yang sudah sangat menderita pun mendukung tindakan Putin. Nasionalisasi dilakukan dan kelembagaan pemerintah dibenahi. Mikhail Khodorkovsky, salah satu oligarki Rusia yang mencoba menentang Putin secara langsung, akhirnya dipenjara. Kremlin di bawah Putin adalah Kremlin yang total berbeda. Buku ini juga menjelaskan bahwa Putin bukanlah aktor tunggal di balik semuanya. Mesin politik Putin adalah sebuah kekuatan kelompok yang bernama siloviki. Siloviki sendiri terdiri dari sekelompok politikus Rusia yang di masa lalu adalah personel KGB dan petinggi militer. “Rusia Besar” adalah impian utama dari siloviki yang tindakannya memenjarakan oligarki ini banyak didukung rakyat. Hal unik dari siloviki adalah bahwa lembaga formal ini bukanlah kelompok nasionalis ekstrem maupun pendukung komunis.

Bab VII bercerita mengenai perjalanan Putin menuju panggung politik Rusia. Diceritakan bahwa pada usia 17 tahun, Putin sudah mencoba melamar ke KGB meski akhirnya ditolak karena belum memiliki gelar sarjana. Putin akhirnya melanjutkan pendidikannya di Universitas Leningrad jurusan hukum internasional. Usai lulus, Putin langsung masuk KGB hingga akhirnya dimasukkan ke jajaran elite di lembaga pelatihan intelijen internasional tahun 1978. Buku ini pun sedikit menuturkan keluarga Putin dan salah satu sisi gelap Putin yang menyebutkan bahwa Putin diam-diam menyimpan kekayaan 40 miliar dollar AS di luar negeri.

Meski demikian, Putin berhasil membawa Rusia keluar dari keterpurukan ekonomi dengan catatan prestasi ekonomi yang sangat gemilang. Kemiskinan berhasil dikurangi karena keberhasilannya dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Proyek pengurangan kemiskinan ini diikuti dengan baik oleh proyek nasional bidang kesehatan, perumahan, dan perlindungan sosial. Jumlah pengangguran di Rusia turun dari 8,6 juta menjadi 5 juta pada 2006. Dengan kekayaan minyaknya, cadangan devisa Rusia melonjak dari 12 miliar dollar AS pada tahun 1999 menjadi 447,9 miliar dollar AS pada Oktober 2007. Total utang luar negeri Rusia pun hanya mencapai 47,8 miliar dollar AS atau tinggal sepertiga dari total utang Rusia tahun 1999.

Dengan segudang prestasi gemilang ini, tak heran bila Rusia akhirnya memperoleh pujian dari berbagai penjuru dunia. Rusia bahkan menjadi salah satu contoh negara yang sukses tanpa menggantungkan diri pada bantuan IMF. Kesuksesan ini pun diikuti oleh pemulihan peran internasional Rusia. Rusia tidak saja sekedar bangkit tetapi berani menantang dominasi AS. Rusia menjadi anggota resmi G-8. Alhasil Rusia di bawah Putin meraih sukses dalam hubungan internasional, peran kuat yang relatif serupa dengan Uni Soviet pada masa lampau. Tak heran bila akhirnya majalah Time menobatkan Vladimir Putin sebagai Tokoh Dunia tahun 2007.


Di akhir bab, Simon mengetengahkan betapa Indonesia perlu belajar banyak dari keberhasilan Rusia. Di saat Rusia mulai curiga dengan IMF pada tahun 1998, Indonesia justru sangat antusias menerimanya. Saat Rusia menikmati kekayaan dari sektor migas, Indonesia mengalami nasib sebaliknya. Indonesia memang perlu mempelajari berbagai hal positif dari Rusia di bawah Putin. Dengan demikian, buku ini sangat baik disimak oleh siapapun yang hendak mengetahui proses di balik keberhasilan Rusia pada saat ini dan siapapun yang ingin belajar dari keberhasilan ini. Buku ini pun menjadi referensi yang baik terkait peran Rusia yang semakin menonjol dalam politik internasional terlebih setelah terjadinya kasus aktual dalam konflik di Ossetia Selatan yang melibatkan Rusia bersama tetangganya yang pro Barat, Georgia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar