Rabu, 04 Februari 2015

Sufisme Memandang Sains [1]



Oleh Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah)

Dalam pengertiannya yang universal sufisme adalah dimensi mistis seluruh agama. Dalam konteks Islam, sufisme adalah dimensi mistis Islam. Robert Frager, Syekh Sufi dan Profesor Psikologi pada Institute of Transpersonal Psychology, California, mengatakan bahwa sufisme tidak berbeda dengan mistisisme dari semua agama. Laksana sungai yang mengalir melewati banyak negara dan yang diakui sebagai milik masing-masing negara itu, sufisme sebenarnya hanya berujung pada satu muara. Seluruh mistisisme memiliki tujuan yang sama, yakni pengalaman ketuhanan langsung.[2]

Dilihat dari pengertian ini sufisme identik dengan Islam atau agama Islam, tetapi dilihat dari pengertian lain sufisme tidak identik dengan Islam atau agama Islam dalam pandangan orang-orang Muslim yang menolak sufisme. Tidak semua orang Muslim menerima sufisme, apalagi sufisme teosofis yang mengajarkan doktrin wahhdatul-wujud. Banyak di antara orang-orang Muslim yang mengecam sufisme. Mereka memandang bahwa sufisme adalah aliran dan gerakan yang ditambahkan kepada Islam setelah periode Nabi Muhammad saw. Menurut mereka, sufisme bukan asli Islam, tidak pernah diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw. Di mata mereka, sufisme adalah aliran sesat, atau, paling tidak, merugikan umat Islam. Sebaliknya, para pendukung sufisme memandang bahwa sufisme adalah intisari Islam, yang justru mengemban pesan Islam hakiki. Sufisme bersumber dari al-Quran dan sunah. Sufisme sebagai jalan dan sikap hidup telah diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw. Di mata para pendukung sufisme, Nabi Muhammad saw adalah Manusia Sempurna (Insan Kamil) yang paling sempurna. Sufisme dan Islam hakiki adalah satu dan sama, itu-itu juga.

Jika sufisme berbeda dengan agama, pertanyaan, "Mungkinkah sains dan sufisme selaras?" tidak sama dengan pertanyaan, "Mungkinkah sains dan agama selaras?" Dua pertanyaan ini adalah sama jika yang dimaksud dengan agama di sini adalah agama mistis, atau agama sufi, yang dapat dibedakan dengan agama profetik atau agama non-mistis. Agama mistis menekankan imanensi Tuhan sedangkan agama profetik menekankan transendensi-Nya. Agama-agama mistis tumbuh subur di India dan Cina, sedangkan agama-agama profetik hidup dengan kuat di Timur Tengah dan di Barat.

Perspektif

Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya menceritakan kecaman seorang Muslim terhadap teori sains dasar yang dianggapnya telah dimasukkan ke dalam doktrin wahdatul-wujud, doktrin bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Tuhan, sedangkan alam adalah tempat penampakan diri Tuhan. Orang yang mengecam teori sains dasar itu adalah Javid Ansari, seorang pemikir Muslim revivalis asal Pakistan. Ia mengecam penelitian sains dasar yang dilakukan oleh Profesor Abdussalam, Pemenang Hadiah Nobel 1979 dalam bidang fisika. Javid Ansari mengatakan bahwa setelah suatu masa penelitian Profesor Abdussalam mendemonstrasikan bahwa tenaga-tenaga elektromagnetik dan nuklir lemah –dua dari empat tenaga "fundamental" yang dianggap ada dalam alam ini– pada dasarnya adalah identik. Percobaan berikutnya dilakukan untuk menunjukkan bahwa tenaga nuktlir kuat adalah identik dengan tenaga elektromagnetik. Profesor Abdussalam telah membuktikan bahwa "fakta yang menunjukkan bahwa kita telah mencari satu kesatuan di antara tenaga-tenaga alam yang kelihatannya terpisah adalah bagian dari iman kita sebagai fisikawan…diberi hak istimewa untuk memahami bagian disain Tuhan adalah rahmat dan hak istimewa."

Di mata Javid Ansari, tidak ada yang Islami secara esensial tentang teori Profesor Abdussalam, yang bisa ditemukan dalam karya-karya kaum materialis Yunani Kuno dan yang juga ditemukan dalam karya-karya kaum materialis modern. Konsep kesatuan wujud telah dimasukkan ke dalam doktrin wahdatul-wujud oleh banyak kelompok heterodoks yang menghadirkan Islam sebagai sebuah kombinasi sinkretik dari tema-tema metafisis Arya dan Semitik dan menolak keunikannya.

Demikianlah bagian tulisan Javid Ansari sebagai kecaman terhadap Profesor Abdussalam dalam suatu perdebatan ilmu pengetahuan di Dunia Islam 20 tahun lalu. Perdebatan itu dimuat dalam Arabia pada 1982 dan 1983.[3] Kita dapat mengambil dua kesimpulan dari kecaman Javid Ansari ini. Pertama, dalam pandangan Javid Ansari, teori sains dasar yang dianut oleh Pofesor Abdussalam sejalan dengan doktrin wahdatul-wujud, doktrin yang dianut oleh para sufi mazhab Ibnu Arabi. Kedua, dalam pandangan Javid Ansari, baik teori sains dasar itu maupun doktrin wahdatul-wujud tidak sesuai dengan Islam, alias sesat.

Sikap menentang teori sains dasar tadi dan doktrin Sufi tentang wahdatul-wujud yang mempengaruhi teori itu adalah suatu perspektif. Sikap mendukung teori sains dasar itu dan doktrin wahdatul-wujud adalah suatu persepektif. Sains adalah suatu perpspektif. Sufisme adalah suatu perspektif. Filsafat adalah suatu perspektif. Teologi adalah suatu perspektif. Fikih adalah suatu perspektif. Perspektif adalah cara memandang atau cara melihat tentang realitas, dunia, alam, atau sesuatu. Perspektif, dengan demikian, berbeda dengan realitas, dunia, alam, atau sesuatu itu.

Niels Bohr betul ketika mengatakan bahwa "Physics is not about how the world is, it is about what we can say about the world"[4] (Fisika bukanlah tentang bagaimana alam sebagaimana adanya, ia adalah tentang apa yang bisa kita katakan tentang alam). Misalnya, fisika Newton berbeda dengan fisika Einstein. Karena itu, dunia atau alam dalam fisika Newton berbeda dengan dunia atau alam dalam fisika Einstein meskipun dunia atau alam yang dilihat melalui dua perspektif itu adalah satu dan sama. Dunia dalam penglihatan suatu teori fisika tidak lagi objektif. Yang menjadi persoalan sebenarnya bukanlah realitas, dunia, alam, atau sesuatu, tetapi adalah bagaimana perspektif kita dalam melihat, memandang, atau bersikap terhadap realitas, dunia, alam, atau sesuatu itu.

Dua Cara Berpikir

Warna atau bentuk suatu perspektif ditentukan oleh cara berpikir. Secara garis besar, cara berpikir dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam: Berpikir rasional (rational thinking) dan berpikir imaginal (imaginal thinking).[5] Berpikir rasional, yang sering juga disebut berpikir diskursif, bertumpu pada penggunaan akal. Berpikir rasional menekankan kemajemukan, diversitas, perbedaan, dan keterpisahan. Ini adalah cara berpikir "entah ini atau itu." Cara berpkir ini dalam sejarah Islam digunakan oleh para fakih, mutakallim (teolog), dan filosof Peripatetik. Javid Ansari, yang menolak teori sains dasar yang dianut oleh Profesor Abdussalam dan menolak doktrin wahdatul-wujud, seperti disebut di atas, termasuk pemikir yang menggunakan cara berpikir rasional. Berpikir imaginal, yang sering juga disebut berpikir intuitif, menekankan penggunaan hati. Berpikir imaginal cenderung menekankan keesaan, keidentikan, dan pemaduan. Ini adalah cara berpikir "baik ini maupun itu," atau "kedua-duanya." Cara berikir ini menggunakan prinsip coincidentia oppositorum atau prinsip hubungan yin-yang. Cara berpikir ini dalam sejarah Islam digunakan oleh para sufi, filosof yang sufi atau filosof Iluminasionis (Isyraqi).

Tentang hubungan antara Tuhan dan alam, misalnya, para teolog dan filosof menekankan perbedaan dan keterpisahan antara Tuhan dan alam, transendensi Tuhan atas alam. Sedangkan para mistikus atau sufi menekankan kesatuan dan keidentikan Tuhan dan alam, dan pemaduan imanensi dan transendensi Tuhan.

Pertanyaan, "Mungkinkah sains dan sufisme selaras?" tidak dapat dijawab dengan sederhana karena dua alasan. Pertama, yang dimaksud sains tidak hanya sains-sains kealaman, tetapi juga sains-sains sosial. Sains-sains kealaman memiliki ciri-ciri yang bebeda dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh sains-sains sosial. Apakah keselarasan yang dipertanyakan adalah keselarasan antara sains-sains kealaman dan sufisme, atau keselarasan antara sains-sains sosial dan sufisme, atau keselarasan antara sains-sains (baik kealaman maupun sosial) dan sufisme. Kedua, ada persoalan-persoalan tertentu dalam sains yang menimbulkan perbedaan pendapat bukan hanya antara para ilmuwan dan para pemikir agama, tetapi juga antara sesama para pemikir agama. Teori evolusi, misalnya, didukung oleh banyak ilmuwan, filosof dan mistikus, tetapi juga ditolak oleh beberapa ilmuwan, filosof, dan mistikus.

Karya Fritjof Capra The Tao of Physics sering dijadikan rujukan dan sekaligus contoh yang sangat bagus oleh para sarjana dan pemikir untuk menunjukkan kesamamaan-kesamaan antara sains dan mistisisme Timur.[6] Karya ini memperlihatkan kesamaan-kesamaan antara fisika modern dan mistisisme Timur yang diwakili oleh Hinduisme, Buddhisme, dan Taoisme. Karya ini dapat mendorong dan membantu pemikir-pemikir Muslim untuk mencari kesamaan-kesamaan antara fisika modern dan sufisme karena kesamaan-kesamaan antara sufisme dan mistisisme Timur. Karya Toshihiko Izutsu Sufism and Taoisme [7] adalah contoh yang sangat bagus dari suatu kajian perbandingan yang menunjukkan kesamaan-kesamaan antara konsep-konsep filosofis kunci dalam sufisme yang diwakili oleh Ibnu Arabi, pada satu pihak, dan konsep-konsep filosofis kunci dalam Taoisme yang diwakili oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu, pada pihak lain. Jika benar Sufisme dan Taoisme memiliki kesamaan-kesamaan dalam konsep-konsep filosofis kunci, sufisme dan fisika modern juga memiliki kesamaan-kesamaan sebagaimana kesamaan-kesamaan yang dimiliki bersama oleh fisika modern dan Taoisme.

Untuk mencari kesejajaran-kesejajaran antara fisika modern dan mistisisme Timur, Fritjof Capra berangkat dari kesejajaran epistemologis. Menurut Capra, ada dua jenis pengetahuan atau kesadaran manusia: pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. (Pengetahuan rasional, seperti telah dsebutkan di atas, diperoleh melalui berpikir rasional, sedangkan pengetahuan intuitif diperoleh melalui berpikir imaginal). Meskipun fisika menekankan pengertahuan rasional dan mistisism Timur menekankan pengetahuan intuitif, kedua tipe pengetahuan ini terdapat dalam kedua bidang ini sekaligus. Ini berarti bahwa dalam fisika pengetahuan intuitif pun digunakan dan dalam mistisisme pengetahuan rasional pun ditemukan. Unsur rasional dari riset sebenarnya tidak akan berguna bila tidak dilengkapi oleh intuisi yang memberi para ilmuwan pemahaman-pemahaman baru dan membuat mereka kreatif. Pemahaman-pemahaman intuitif, bagaimana pun, tidak akan berguna bagi fisika kecuali bila pemahaman-pemahaman itu dapat dirumuskan dalam kerangka matematis yang konsisten, yang dilengkapi oleh suatu interpretasi dengan bahasa yang jelas.[8]

Fritjof Capra mengatakan bahwa para mistikus Timur mengungkapkan pengetahuan mereka dengan kata-kata dengan bantuan mitos-mitos, simbol-simbol, gambaran-gambaran puitis atau pernyataan-pernyataan paradoksikal, sedangkan para fisikawan modern mengungkapkan pengetahuan mereka dengan model-model dan teori-teori verbal. Model-model dan teori-teori verbal mestilah tidak akurat. Model-model dan teori-teori itu adalah imbangan mitos-mitos, simbol-simbol, gambaran-gambaran puitis Timur. Baik para mistikus Timur maupun para fisikawan modern menyadari benar keterbatasan bahasa dan berpikir "linear."[9] Pikiran mempunyai peranan yang amat penting dalam mengonstruksi realitas. Capra mengatakan bahwa teori kuantum menunjukkan bahwa "struktur-struktur dan fenomena-fenomena yang kita amati di alam tidak lain daripada ciptaan pikiran kita yang mengukur dan mengategorisasi."[10] Teori kuantum menjelaskan bahwa fenomena-fenomena hanya dapat dipahami sebagai hubungan-hubungan dalam suatu rantai proses, yang berujung pada kesadaran pengamat. Capra mengutip kata-kata Eugene Wigner, "Tidaklah mungkin merumuskan hukum-hukum [teori kuantum] dalam suatu cara yang sepenuhnya konsisten tanpa merujuk pada kesadaran."[11]

Karakteristk epistemologis fisika modern dan mistisisme Timur ini memiliki kesamaan dengan karakteristik epistemologis sufisme bahwa apa yang diketahui diwarnai oleh siapa yang mengetahui. Dengan mengutip kata-kata Junaid, seorang sufi besar dari Bagdad, Ibnu Arabi berkata, "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al-ma’ lawn ina’ihi).[12] Bagi Ibnu Arabi, karakteristik ini berlaku tidak hanya bagi pengetahuan tentang alam, tetapi juga, bahkan terutama, bagi pengetahuan tentang Tuhan sehingga pengetahuan tentang Tuhan lebih merupakan sangkaan (zhann) daripada pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadis Qudsi berkata, "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana ‘inda zhanni ‘abdi bi).[13] Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui. Menarik untuk memerhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadis Qudsi tadi, yaitu, "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-yazhunn bi khayran). Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.

Kesatuan segala Sesuatu

Menurut Capra, karakteristik terpenting pandangan Dunia Timur adalah kesadaran tentang kesatuan dan interrelasi timbal-balik segala sesuatu dan peristiwa, pengalaman akan semua fenomena di dunia sebagai manifestasi-manifestasi dari suatu kesatuan dasar. Segala sesuatu dilihat sebagai bagian-bagian keseluruhan kosmik yang saling tergantung dan tidak dapat dipisahkan; sebagai manifestasi-manifestasi dari realitas terakhir yang sama. Realitas terakhir ini, yang menampakkan dirinya dalam segala sesuatu, disebut Brahman dalam Hinduisme, Dharmakaya dalam Buddhisme, dan Tao dalam Taoisme.[14] Capra memandang bahwa kesatuan dasar alam semesta bukan hanya karakteristik sentral pengalaman mistis, tetapi juga adalah salah satu penyingkapan (rahasia) terpenting fisika modern. Kesatuan dasar itu menjadi jelas pada tingkat atomik dan semakin memanifestasikan dirinya ketika seseorang semakin masuk lebih dalam ke dalam materi, turun ke dalam wilayah partikel-partikel subatomik. Berbagai model fisika subatomik mengungkapkan pengetahuan yang sama: bahwa unsur-unsur pokok materi dan fenomena-fenomena dasar yang meliputi unsur-unsur pokok itu semuanya saling terkait, saling terhubung, dan saling tergantung; bahwa semuanya tidak bisa dipahami sebagai entitas-entitas yang terpisah, tetapi sebagai bagian-bagian keseluruhan yang terintegrasi.[15]

Konsep kesatuan dasar segala sesuatu dalam mistisisme Timur, pada intinya, sama dengan konsep kesatuan wujud (wahdatul-wujud) dalam sufisme Ibnu Arabi dan mazhabnya.[16] Sebagaimana mistisisme Timur, sufisme mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan; hanya ada Satu Wujud Hakiki, yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri; segala sesuatu itu hanya ada sejauh memanifestasikan wujud Tuhan. Alam adalah lokus penampakan diri Tuhan. Kesamaan kesatuan dasar segala sesuatu dalam mistisisme Timur dan wahdatul-wujud dalam sufisme dengan mudah dapat mendorong para pengkaji untuk mengambil kesimpulan bahwa wahdatul-wujud memiliki kesamaan dengan kesatuan alam semesta sebagai penyingkapan fisika modern

Capra kelihatan terlalu menekankan kesejajaran antara kesatuan segala sesuatu sebagai pengalaman mistis dan kesatuan segala sesuatu sebagai penyingkapan fisika modern sehingga mengabaikan perbedaan antara dua tipe kesatuan itu. Kesatuan segala sesuatu sebagai pengalaman mistis berawal dari realitas tertinggi, atau lebih tepat Realitas Terakhir (dengan huruf besar), yaitu Tuhan, yang menampakkan diri-Nya dalam segala sesuatu di alam semesta ini, sedangkan kesatuan segala sesuatu sebagai penyingkapan fisika tidak menyinggung Realis Terakhir, tetapi terbatas pada partikel-partikel subatomik. Capra lupa melihat perbedaan antara wilayah pengalaman mistis dan wilayah fisika modern. Wilayah pengalaman mistis adalah wilayah spiritual, sedangkan wilayah fisika adalah wilayah material empiris. Jika fisika melompat ke wilayah spiritual-metafisis, ia telah berubah menjadi pengalaman mistis. Boleh jadi, bagi Capra, memang tidak ada lagi batas yang tegas antara wilayah pengalaman mistis dan wilayah fisika.

Menarik memperhatikan cara berpikir ‘Aynul-Qudhat Hamadani, seorang sufi-filosof Persia, yang dicirikan oleh prinsip fundamental yang membedakan antara dua wilayah: "wilayah akal" (thawr al-‘aql) dan "wilayah di luar akal" (thawr wara’ al-‘aql). Masing-masing dari kedua wilayah ini harus dipahami sebagai suatu keadaan subjektif kesadaran dan suatu keadaan objektif realitas sekaligus, meskipun sebenarnya tidak ada perbedaan antara suatu keadaan subjektif kesadaran dan suatu keadaan objektif realitas. ‘Aynul-Qudhat menggambarkan "wilayah akal" dan "wilayah di luar akal" sebagai dua wilayah yang berdampingan, yang keduanya saling bertalian. Ia mengatakan bahwa "batas-batas terakhir wilayah akal berhubungan dengan batas-batas pertama wilayah di luar akal."[17] Ini berarti bahwa tingkat terakhir "wilayah akal" adalah tingkat pertama "wilayah di luar akal," sehingga orang-orang yang telah mencapai batas terjauh "wilayah akal" dengan berusaha habis-habisan menggunakan segala daya sajalah yang mampu melangkah ke dalam wilayah daya transrasional jiwa. Wilayah terakhir ini menyingkapkan dirinya kepada manusia ketika, pada ujung kekuatan rasionalnya, seberkas cahaya yang menyinari secara penuh muncul tiba-tiba di dalam batinnya.[18] Munculnya "cahaya dalam batin" (an-nur fi al-bathin) mengubah visi tentang dunia kepada sesuatu yang tidak dipikirkan oleh manusia.

"Wilayah akal" sebagai keadaan batini subjek berarti fungsi rasional dan analisis dari akal yang dilakukan atas basis bahan-bahan yang dilengkapi dengan pengalaman indera. Secara objektif, "wilayah akal" berarti dunia empiris, dimensi fenomenal realitas, yang di dalamnya akal memenuhi peranan alamiahnya. "Wilayah di luar akal," jika dilihat sebagai suatu keadaan subjektif kesadaran, berarti lapisan terdalam kesadaran, yang di dalamnya jiwa manusia yang kehilangan sifat manusiawinya sendiri mulai mengadakan kontak langsung dengan tatanan "Ilahi" segala sesuatu. "Wilayah di luar akal," jika dilihat sebagai suatu keadaan objektif realitas, berarti tatanan "Ilahi" segala sesuatu, yaitu dimensi transrasional dan suprainderawi dari realitas, yang akan menampakkan dirinya hanya kepada kesadaran seorang sufi dalam kontemplasi yang dalam.[19]

Wilayah fisika modern tidak sama dengan wilayah sufisme. Wilayah fisika adalah wilayah rasional, wilayah empiris, wilayah fenomenal, sedangkan wilayah sufisme adalah wilayah transrasional, wilayah supraindrawi, wilayah spiritual, wilayah Ilahi. Ini tidak berarti bahwa fisika modern tidak berguna bagi sufisme. Fisika modern dapat menjadi pintu gerbang kepada sufisme dan sekaligus cara untuk meningkatkan kualitas pengalaman mistis.

Tarian Kosmik

Capra mengatakan bahwa eksplorasi dunia subatomik pada abad ke-10 telah menyingkapkan natur dinamis materi. Eksplorasi itu telah menunjukkan bahwa unsur-unsur pokok dari atom-atom, partikel-partikel subatomik, adalah pola-pola dinamis yang tidak ada sebagai entitas-entitas yang terisolasi, tetapi sebagai bagian-bagian integral dari jaringan interaksi-interaksi yang tidak dapat dipisahkan. Interaksi-interaksi ini meliputi suatu aliran terus-menerus dari energi yang memanifestasikan dirinya sebagai pertukaran partikel-partikel; suatu keadaan saling mempengaruhi yang dinamis yang di dalamnya partikel-partikel diciptakan dan dihancurkan tanpa akhir dan suatu variasi berkelanjutan dari pola-pola energi. Interaksi-interaksi partikel menimbulkan struktur-struktur yang stabil yang membangun dunia material, yang tidak lagi tetap statis, tetapi berputar dalam gerakan-gerakan ritmis. Keseluruhan alam semesta terikat dalam gerak dan aktivitas yang tidak pernah berhenti; dalam sebuah tarian kosmik energi yang terus-menerus.[20]

Para mistikus Timur memiliki suatu pandangan dinamis tentang alam semesta yang serupa dengan pandangan fisika modern, dan akibatnya tidak mengejutkan bahwa mereka juga menggunakan gambaran tarian untuk memberitahukan intuisi mereka tentang alam.[21] Tarian kosmik ini disimbolkan dengan sangat indah dalam Hinduisme dengan tarian Shiva. "Menurut kepercayaan Hindu, semua kehidupan adalah bagian dari suatu proses ritmis besar dari penciptaan dan penghancuran, dari kematian dan kelahiran kembali, dan tarian Shiva menyimbolkan ritme kehidupan-kematian abadi ini yang berlangsung dalam siklus yang tidak pernah berakhir."[22]

Fisika modern telah menunjukkan bahwa ritme penciptaan dan penghancuran bukan hanya manifestasi dalam perputaran musim-musim dan dalam kematian dan kelahiran seluruh makhluk hidup, tetapi juga adalah esensi materi inorganik. Menurut teori medan kuantum, semua interaksi antara unsur-unsur pokok materi berlangsung melalui pemancaran dan penyerapan partikel-partikel yang sesungguhnya. Lebih dari itu, tarian penciptaan dan penghancuran adalah dasar eksistensi materi itu sendiri, karena semua partikel material "menginteraksikan-diri" dengan memancarakan dan menyerap partikel-partikel yang sesungguhnya. Fisika modern telah menyingkapkan bahwa setiap partikel subatomik tidak hanya melakukan suatu tarian energi, tetapi juga adalah suatu tarian energi; suatu proses yang bergetar dari penciptaan dan penghancuran.[23]

Bagi fisikawan modern, tarian Shiva adalah tarian materi subatomik. Seperti dalam mitologi Hindu, tarian itu adalah tarian terus-menerus penciptaan dan penghancuran yang meliputi keseluruhan kosmos; dasar keseluruhan eksistensi dan keseluruhan fenomena alamiah.[24]

Teori para mistikus Timur dan para fisikawan modern bahwa alam bergerak dan berubah terus-menerus, menjadi dan hancur berulang-ulang tanpa berhenti, serupa dengan teori para sufi bahwa alam sebagai penampakan diri (tajalli) Tuhan diciptakan terus-menerus. Penciptaan alam, atau proses penciptaan alam, identik dengan tajalli. Karena tajalli terjadi secara terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir, "Yang selama-lamanya ada dan akan selalu ada,"[25] maka penciptaan alam juga terjadi terus-menerus. Tuhan ber-tajalli dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk itu tidak ada yang sama dan tidak pernah dan tidak akan terulang secara persis sama. Semuanya terjadi dalam perubahan terus-menerus tanpa berhenti. Ibnu Arabi mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam alam berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Alam temporal berubah setiap kejap. Alam nafas berubah pada setiap nafas dan alam tajalli berubah pada setiap tajalli. Allah Swt berfirman, "Setiap waktu Dia dalam kesibukan" (Q 55:29). Ibnu Arabi mengutip kata-kata Abu Thalib dan Rijalullah, "Sesungguhnya Allah Swt selama-lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk bagi dua individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali."[26]

Teori penciptaan yang tak pernah berhenti ini disebut "penciptaan baru" (khalq jadid). "Penciptaan baru" mengandung arti bahwa setiap ciptaan Tuhan adalah baru setiap saat karena alam, seperti dalam konsep tarian kosmik, menjadi dan hancur, datang dan hilang, setiap saat secara terus-menerus tanpa berhenti. Ibnu Arabi menagatakan bahwa "setiap tajalli memberikan ciptaan baru dan melenyapkan ciptaan [lain yang mendahuluinya]. Kelenyapan identik dengan kemusnahan (ketiadaan) pada tajalli [baru] dan kelanjutan [bagi ciptaan lain] yang diberikan oleh tajalli lain berikutnya."[27] Ibnu Arabi melukiskan hubungan antara Tuhan dan alam seperti hubungan matahari dan cahayanya. Cahaya matahari adalah seperti nyala lilin yang seolah-olah tetap ada ketika menyala. Mata kita melihat api tetap ada. Tetapi sebenarnya mata kita tertipu. Sebenarnya nyala api muncul dan lenyap. Setiapkali muncul nyala api baru, yang kemudian menghilang, disusul oleh nyala api yang lain, yang kemudian juga menghilang, dan kemudian disusul oleh nyala api yang lain pula, dan begitu seterusnya.

Memang ada kesejajaran antara teori para sufi bahwa alam bergerak dan berubah, menjadi dan hancur, diciptakan terus-menerus tanpa berhenti, dan teori para fisikawan dan para mistikus Timur bahwa alam mengalami gerak dan perubahan, penciptaan dan penghancuran terus-menerus tanpa berhenti. Tetapi Capra, karena menekankan persamaan-persamaan, tidak melihat perbedaan antara teori para fisikawan dan teori para mistikus Timur tentang sumber gerak tarian kosmik itu. Dengan kata lain, Capra tidak melihat perbedaan antara kedua teori itu tentang "penari" kosmik itu. Dalam tradisi Hindu, hubungan antara Tuhan dan alam sering diumpamakan dengan hubungan antara penari dan tarian. Penari dan tarian bukan dua karena tidak ada tarian tanpa penari dan tidak ada penari tanpa tarian; keduanya tidak dapat dipisahkan. Tetapi penari dan tarian bukan pula satu karena penari berbeda dengan tarian. Teori fisika modern tidak menjelaskan bahwa "penari" itu adalah Tuhan. Teori fisika modern membatasi perhatiannya pada alam empiris karena wilyahnya memang itu.

Perumpamaan hubungan antara Tuhan dan alam dengan hubungan antara penari dan tarian serupa dengan perumpamaan yang dipakai oleh Hazrat Inayat Khan (1882-1927), seorang guru sufi asal India, untuk melukiskan hubungan antara Tuhan dan alam. Bagi Inayat Khan, alam adalah musik atau alat musik. Bagai musik, alam alam adalah harmoni dan keteraturan. Pepohonan melambaikan cabangnya dengan gembira mengikuti irama angin; bunyi lautan, desis angin, terpaan angin pada batu, bukit dan gunung, kilat dan gemuruh guntur, harmoni matahari dan bulan, gerakan bintang dan planet, bunga bermekaran, gugurnya dedaunan, pergantian yang teratur pagi, sore, siang dan malam – bagi orang bijak semua itu adalah musik alam. Satun-satunya pemusiknya adalah Pemusik Gaib, yaitu Tuhan.[28]

Bagaimanapun, sumbangan Capra untuk menunjukkan kesejajaran-kesejajaran antara fisika modern dan mistisisme Timur patut dihargai karena ia telah berhasil menunjukkan pada suatu tingkat tertentu kesejajaran-kesejajaran antara kedua bidang itu. Paling tidak, jarak antara fisika dan mistisisme makin dekat, bahkan berdempetan. Fisika modern telah memberikan bantuan yang luar biasa bagi pencari Tuhan untuk menajamkan dan meningkatkan kepekaannya terhadap kehadiran Sang Penari.

Catatan Akhir

Sampai batas tertentu, fisika modern dan sufisme, seperti mistisisme Timur, mempunyai kesejajaran-kesejarajan yang tidak bisa diingkari. Fisika modern dan sufisme sama-sama mengakui kesatuan alam semesta, dan gerak dan perubahan harmonis semesta, yang manjadi dan hancur, terus-menerus tanpa berhenti. Wilayah yang menjadi tempat kesejajaran-kesejajaran ini adalah "wilayah akal," wilayah rasional, wilayah fenomenal. Berbeda dengan fisika yang membatasi perhatiannya pada wilayah ini, sufisme melanjutkan perjalanannya kepada "wilayah di luar akal," wilayah transrasional, wilayah suprainderawi, wilayah spiritual, wilayah Ilahi. Sufisme melanjutkan tugas yang tidak dapat dijalankan oleh fisika.

Ketika melihat harmoni alam semesta, memerhatikan ombak yang bergulung-gulung, dan merasakan irama nafas, Capra sadar bahwa segenap lingkungannya terikat dengan tarian kosmik raksasa. Sebagai seorang fisikawan, Capra mengetahui bahwa semua yang ada dan semua yang terjadi di alam ini sesuai dengan teori fisika modern yang dianutnya. Lebih dari itu, ia merasakan kehadiran Sang Penari Hakiki. Para sufi pun selalu "melihat" Sang Penari Hakiki, atau Sang Pemusik Agung, ketika melihat tarian-Nya, atau musik-Nya, kapan saja dan di mana saja. Fisika modern dapat mengingatkan manusia pada tarian kosmik atau musik kosmik yang menunjukkan kehadiran Penarinya, atau Pemusiknya. Fisika modern dapat meningkatkan kepekaan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Fisika modern dapat membantu meningkatkan kualitas spiritual. Wallahu a‘lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Berasal dari makalah yang disampaikan pada Diskusi "Membedah Fritjof Capra: Menggali Kemungkinan Integrasi Sains, Filsafat, dan Agama," yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan PT Bogasari, pada Selasa, 13 April 2004, di Aula Madya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Ciputat.
2 Robert Frager, Heart, Self & Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance, and Harmony (Wheaton, Illinois: Theosophical Publishing House, 1999), hal.1.
3 Javid Ansari, "This is All a formula for Islamic Scientific Impotence," Arabia: The Islamic World Review, no.20 (April 1983), hal.55.
4 Paul Davis dan John Gribbin, melalui karya mereka The Matter Myth (New York: Simon & Schuster, 1992), dengan mengutip Niels Bohr.
5 Uraian ringkas tentang dua cara berpikir ini dapat dibaca dalam Toshihiko Izutsu, "Ishraqiyah," The Encyclopedia of Religion, diedit oleh Mircea Eliade, 16 volume. (New York: Macmillan, 1987), 7:296-298; William C. Chittick, "Sufi Thought and Practice," The Oxford Encyclopedia of the Modern IslamicWorld, diedit oleh John L. Esposito, 4 volume. (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998), 4:105-106; Daniel J Adams, Cross Cultural Theology: Western Reflections in Asia (New York: John Knox Press, 1987).
6 William Johnston, Mystical Theology: The Science of Love (London: Harper Collins Religious, 1995); Jusuf Sutanto, Bhinneka Tunggal Ika dalam Cahaya Falsafah Ying-Yang," dalam Daoed Joesoef dan Jusuf Sutanto, Dua Renungan tentang Manusia, Masyarakat dan Alam Semesta (Jakarta: CSIS, 1990), h. 74-107; Bede Griffiths, A New Vision of Reality: Western Science, Eastern Mysticisme and Christian Faith (Springdfield, Illinois: Templegate Publishers, 1989).
7 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comaparative Study of Key Philosophical Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983).
8 Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: New Science Library, 1995), hal.31.
9 Ibid., hal.44.
10 Ibid., hal.277.
11 Ibid., hal.300.
12 Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abul-Ala Afifi, 2 bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980), 1:225-226.
13 Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 4 volume. (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), jil.4, hal.446.
14 Capra, The Tao of Physics, hal.130-131.
15 Ibid., hal.131.
16 Uraian tentang doktrin wahdatul-wujud-nya Ibnu Arabi dapat dibaca dalam William C. Chittick, "Ebno’i-‘Arabi’s Doctrine of the Oneness of Being," Sufi, Issue 4 (Winter 189-1990): 6-14; Kausar Azhari Noer, Ibnu Arabi: Wahdatul-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995).
17 ‘Aynul-Qudhat Hamadani, Zubdat al-Haqaiq, ed. Afif Usayran (Tehran: University of Teheran, 1962), hal.35.
18 Toshihiko Izutsu, "Creation and Timeless Order of Things: A Study in the Mystical Philosophy of ‘Aynul-Qudhat," The Philosophical Forum, IV, 1 (1972): 126.
19 Izutsu, "Creation and Timeless Order of Things," hal.127.
20 Capra, The Tao of Physics, hal.225.
21 Ibid., hal.241.
22 Ibid., hal.242.
23 Ibid., hal.244.
24 Ibid., hal.245.
25 Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, jil.1, hal.49.
26 Ibid., jil.1, hal.266.
27 Ibid., jil.1, hal.126.
28 Hazrat Inayat Khan, The Mysticism of Sound and Music (Boston & London, 1996).

Sumber: Jurnal al Huda Volume VI, Nomor 15, 2008, halaman 83-97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar