Ketika Sultan Maulana Hasanudin dinobatkan menjadi Sultan di Banten
(1552-1570), beliau mempunyai seorang patih yang bernama Kiayi Semar (Ki
Semar), yang berasal dari kampung Kemuning Desa Tegal Luhur. Sang patih pada
hari Jum’at selalu izin kepada sultan untuk kembali ke kampungnya karena pada
hari tersebut ia berdagang daging kerbau di pasar Balagendong, Desa Binuangeun
(Serang Timur). Pada suatu hari ketika Ki Semar sedang berjualan di lapaknya
dan tiba–tiba datanglah seseorang yang akan membeli dagangannya, orang itu
bernama Kiayi Asyraf (Ki Sarap) yang tujuannya untuk membeli limpa atau
sangket. Tapi oleh Ki Semar keinginan si pembeli disepelekan karena dianggapnya
orang miskin tak akan mampu membeli sangket yang harganya sangat mahal, padahal
Ki Sarap sebenarnya ingin membelinya. Karena Ki Sarap memaksa untuk membeli
sedangkan Ki semar tetap bertahan tidak mau menjualnya, sehingga suasana
menjadi tegang, kemudian terjadilah pertangkaran mulut, dan akhirnya terjadilah
bentrokan fisik.
Tangan Ki Sarap dikelit dan ditekuk di belakang punggung, dan
dengan angkuh serta melecehkan, Ki Semar mengatakan “tak mungkin orang miskin
seperti kamu mampu membeli barang daganganku ini”. Ki Sarap sangat marah
disebut sebagai orang miskin, namun ia diam saja menahan amarah karena kejadian
tersebut di tempat umum. Akhirnya dia pulang dengan tangan hampa tanpa membawa
sangket yang diinginkannya, sementara pikirannya dipenuhi perasaan tersinggung
oleh ucapan Ki semar yang sangat menyakitkan hatinya. Demikian, timbulah rencana
untuk menghadang Ki Semar dalam perjalanan pulang ke rumahnya.
Sekitar pukul 10.00 pagi, ketika para pedagang di pasar mulai bubar
dan Ki Semar mulai beranjak pulang pula menuju rumahnya di kampung Kemuning. Di
tempat yang sepi antara Balagendong dan kampung Kemuning, tiba–tiba muncul Ki
Sarap di tengah jalan menghadang Ki Semar, saat itu Ki Sarap yang hatinya sudah
dipenuhi kemarahan tanpa basa–basi lagi langsung menyerang Ki Semar yang
berusaha membela dirinya sehingga terjadilah adu kekuatan ilmu kemonesan alias
ilmu kesaktian atawa kanuragan bin kadigdayaan.
Begitulah, saat itu, masing–masing mengeluarkan ilmu ketangkasan
dan kehebatannya. Memang, mereka berdua sama–sama kuat, tangkas dan sakti dalam
hal kanuragan. Perkelahian antara keduanya itu berlangsung sejak jam 11.00
siang sampai jam 18.00 sore menjelang magrib. Ki Sarap telah mengeluarkan
seluruh kemampuannya, semua jurus, kelit, seliwa kurung, lima pukul, sepak
kombinasi, sodok dan seribu satu langkah telah dikeluarkannya. Tapi Ki Semar
juga sama tangguhnya, setiap kali kena benturan pukulan keras Ki Sarap, setiap
kali itu pula benturannya mengeluarkan suara seperti gendring dan juga
mengeluarkan kilatan api dari tubuh Ki Semar.
Begitu pula Ki Sarap yang tangguh, yang menguasai ilmu pencak Silat
Bandrong itu, tubuhnya sama sekali tak dapat disentuh oleh serangan–serangan Ki
Semar yang datang beruntun seperti air bah. Pencak Silat Bandrong sangat ampuh
sebab dalam langkah dan jurusnya terdapat banyak versi dan variasi pukulan,
mampu berkelit dari pukulan atau tendangan musuh, bacokan golok, tusukan pisau
atau senjata apapun. Seorang pesilat Bandrong akan dapat berkelit dengan sangat
indah, licin dan gesit luar biasa. Bahkan serangan baliknya sangat membahayakan
bagi lawan–lawanya.
Semakin keras serangan musuhnya, semakin keras pula jatuhnya,
bahkan pesilat Bandrong dapat menawarkan kepada musuhnya ingin jatuh terlentang
atau telungkup, bahkan terpelanting. Hal seperti ini akan membuat musuh–musuhnya
kewalahan.
Dan kembali kepada duel antara Ki Sarap dan Ki Semar, di mana keduanya
ternyata sama–sama sakti. Ki Semar sangat kebal pukulan, sementara Ki Sarap
sangat licin bagai belut dan tangkas menyerang seperti ikan bandrong yang
melesat terbang dan menukik. Ketika alam mulai gelap dan senja telap lenyap berganti
magrib, tiba–tiba Ki Sarap menghadapkan tubuhnya ke arah kiblat dan kepalanya
menengadah ke langit bermunajat dan melakukan istighosah kepada Allah Swt, dan setelah
selesai berdo’a terlihat kakaknya yang bernama Ki Ragil (kelak menjadi nama
Kecamatan Kragilan, Serang, Banten) sedang duduk di pelepah pohon Aren yang
tinggi, yang ternyata sudah lma memperhatikan pertarungan dua pendekar tersebut.
Melihat itu Ki Sarap pun berteriak: ”Kakak! Sudah sejak pagi hingga
sore aku bertarung melawan orang ini, tapi belum ada yang kalah” . Ki Ragil pun
bertanya: ”Apa kamu sudah lelah atau kewalahan?”, “Hai adikku, ini ambillah
golokku dan tebaslah leher musuhnmu!” ujar Ki Ragil sambil menjatuhkan
goloknya. Kemudian Ki Sarap mengambil golok itu dan menebas leher Ki Semar,
dengan sekali tebas kepala Ki Semar pun terpental puluhan meter, lalu kepala
itu berputar seperti gangsing dan kemudian menghujam ke dalam tanah. Hingga
saat ini tempat kepala terkubur itu terletak di pinggir sungai di tepi hutan
antara Balagendong dan kampung Kemuning yang kemudian menjadi tempat yang sepi
dan angker karena banyak gangguan mahluk halus hingga sekarang ini.
Maaf yg buat blog ini orang mana yh
BalasHapus??????
BalasHapus