Oleh
PRUDENSIUS MARING (Mahasiswa S-3
Antropologi UI; Aktif di Multi-Stakeholders Forestry Programme 2002- 2006 (Kerja Sama UK-Indonesia)
Negosiasi
dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali diwarnai adu cara pandang
terhadap kerusakan lingkungan. Cara pandang dan asumsi kerusakan lingkungan
menentukan langkah dan aksi pemulihan lingkungan. Ia menentukan cara para pihak
membangun komitmen, kontribusi, dan melakukan aksi riil di tingkat lokal hingga
global.
Tanpa visi pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Negara maju cukup membayar uang, setelah itu terus merusak lingkungan. Negara miskin merebut uang, setelah itu habis dikorupsi.
Cara melihat krisis
Situasi itu mengingatkan pada artikel Betsy Hartmann dalam buku Violent Environments (ed. Peluso and Watts, 2001). Ia menyetir dua cara pandang atas kerusakan lingkungan. Pertama, perspektif environmental scarcity (kelangkaan), yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik penguasaan sumber daya (khususnya yang terbarukan, renewable resources) sebagai akibat pertambahan penduduk dan permintaan.
Akibat meningkatnya permintaan, kualitas dan kuantitas sumber daya menurun. Situasi ini mengakibatkan kerusakan, kelangkaan sumber daya, dan melahirkan konflik sosial. Konflik potensial mengacaukan keamanan, ketidakstabilan, dan kemiskinan sehingga Negara diperingatkan memperkuat pengamanan lingkungan.
Kedua, berkembangnya perspektif politik ekologi, yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik dengan memperhitungkan aspek politik-ekonomi. Cara pandang ini berusaha menjelaskan masalah kerusakan lingkungan dengan memperhitungkan aspek kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal-nasional-global, kesejarahan, gender, dan peran aktor (Peluso dan Watts, 2001).
Ketajaman perspektif politik ekologi terlihat dalam cara memahami kerusakan lingkungan sebagai akibat praktik kekuasaan dan pasar. Kerusakan di suatu wilayah mikro bisa karena kekuatan pasar global yang tidak terlibat langsung. Kasus konflik dan kebakaran hutan, misalnya, selalu terkait dengan kepentingan politik, ekonomi, pasar, dan cara pengontrolan sumber daya, bukan karena kelangkaan.
Terlihat, perspektif "kelangkaan" mendorong isu kerusakan lingkungan sebagai hubungan "sebab-akibat" yang wajar antara jumlah penduduk, permintaan, dan kelangkaan. Sebaliknya, perspektif politik ekologi menegaskan isu kerusakan lingkungan terletak pada "kesalahan cara urus" yang dijalankan pihak "berkuasa". Pertanyaannya, apa jadinya jika perspektif "kelangkaan" merajai kerangka pikir dunia dalam melihat krisis lingkungan?
Secara mikro, perspektif "kelangkaan" akan menjauhkan akurasi penjelasan kerusakan lingkungan. Di Indonesia, misalnya, negara akan terus menguatkan kontrol atas sumber daya alam dan konflik akan dihadapi melalui cara-cara represif. Sebaliknya, penjelasan atas dampak otoritas negara, kekuasaan, dan pasar tidak mendapat tempat. Keadilan dan hak akses bagi rakyat tersendat dan kemiskinan kian nyata.
Secara makro, perspektif kelangkaan membuat nyaman negara maju menghadapi tekanan negara miskin yang bersandar pada sumber daya alam/hutan. Kita ditarik masuk dalam isu pengendalian penduduk dan permintaan. Pengaruh pasar global dan perilaku negara maju terlindungi. Negara yang menghabiskan hutan dan menyumbang polusi bisa tampil percaya diri menyerukan kesadaran moral, "krisis lingkungan adalah masalah bersama".
Moral dan uang
Kita bisa menyimak seruan moral yang gencar dilakukan banyak pihak menjelang pertemuan di Bali. Pascapertemuan pendahuluan di Bogor, banyak pihak, termasuk tokoh negara "asing" rajin melayangkan opini di media nasional. Intinya, menjelaskan komitmen negaranya dan "merayu" negara berkembang untuk mulai bergerak. Kita mengapresiasinya, tetapi perhitungan yang terlampau berwajah "uang" perlu dikritisi.
Kita cermati pula seruan Al Gore, "Krisis iklim bukan isu politik, melainkan tantangan moral dan spiritual bagi seluruh umat manusia yang harus dihadapi bersama-sama" (Kompas, 15/10). Seruan ini strategis karena keluar dari pemenang Nobel perdamaian. Namun, ia mengingatkan dukungan politik Al Gore, saat ia menjabat Wakil Presiden AS, terhadap populernya perspektif environmental scarcity. Apalagi, teringat posisi AS yang tidak ikut Protokol Kyoto.
Apakah ini cara pengalihan agar kita mengarahkan perhatian pada pengendalian penduduk dan permintaan? Seperti seru Clinton, jika Anda menyaksikan kerusakan dan konflik sumber daya alam, "...You must reduce the rate of population growth", (Hartmann, 2001).
Aksi negara maju, mendahului kampanye kesadaran moral dan mengunjuk diri melalui "uang" yang banyak, bisa menjauhkan kita dari "krisis" sesungguhnya. Situasi ini diperkuat dengan perilaku negara miskin dan berkembang yang memosisikan diri sebagai "pengeruk" kocek negara maju. Kita bisa terjerat pada pilihan menyesatkan, cara mudah meraup "uang" adalah melestarikan krisis.
Gagasan ini menegaskan, penyelamatan lingkungan tidak bisa dilepas dari perbaikan praktik kekuasaan dan politik yang mengabaikan hak dan keadilan. Jika tidak arif melangkah, kita mewariskan krisis lebih parah di masa depan.
Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0712/07/opini/4034201.htm
Tanpa visi pemulihan lingkungan, kita bisa terjebak dalam negosiasi berwajah ekonomis yang menggadaikan lingkungan dengan uang. Negara maju cukup membayar uang, setelah itu terus merusak lingkungan. Negara miskin merebut uang, setelah itu habis dikorupsi.
Cara melihat krisis
Situasi itu mengingatkan pada artikel Betsy Hartmann dalam buku Violent Environments (ed. Peluso and Watts, 2001). Ia menyetir dua cara pandang atas kerusakan lingkungan. Pertama, perspektif environmental scarcity (kelangkaan), yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik penguasaan sumber daya (khususnya yang terbarukan, renewable resources) sebagai akibat pertambahan penduduk dan permintaan.
Akibat meningkatnya permintaan, kualitas dan kuantitas sumber daya menurun. Situasi ini mengakibatkan kerusakan, kelangkaan sumber daya, dan melahirkan konflik sosial. Konflik potensial mengacaukan keamanan, ketidakstabilan, dan kemiskinan sehingga Negara diperingatkan memperkuat pengamanan lingkungan.
Kedua, berkembangnya perspektif politik ekologi, yang menjelaskan kerusakan lingkungan dan konflik dengan memperhitungkan aspek politik-ekonomi. Cara pandang ini berusaha menjelaskan masalah kerusakan lingkungan dengan memperhitungkan aspek kekuasaan, keadilan distribusi, cara pengontrolan, kepentingan jejaring lokal-nasional-global, kesejarahan, gender, dan peran aktor (Peluso dan Watts, 2001).
Ketajaman perspektif politik ekologi terlihat dalam cara memahami kerusakan lingkungan sebagai akibat praktik kekuasaan dan pasar. Kerusakan di suatu wilayah mikro bisa karena kekuatan pasar global yang tidak terlibat langsung. Kasus konflik dan kebakaran hutan, misalnya, selalu terkait dengan kepentingan politik, ekonomi, pasar, dan cara pengontrolan sumber daya, bukan karena kelangkaan.
Terlihat, perspektif "kelangkaan" mendorong isu kerusakan lingkungan sebagai hubungan "sebab-akibat" yang wajar antara jumlah penduduk, permintaan, dan kelangkaan. Sebaliknya, perspektif politik ekologi menegaskan isu kerusakan lingkungan terletak pada "kesalahan cara urus" yang dijalankan pihak "berkuasa". Pertanyaannya, apa jadinya jika perspektif "kelangkaan" merajai kerangka pikir dunia dalam melihat krisis lingkungan?
Secara mikro, perspektif "kelangkaan" akan menjauhkan akurasi penjelasan kerusakan lingkungan. Di Indonesia, misalnya, negara akan terus menguatkan kontrol atas sumber daya alam dan konflik akan dihadapi melalui cara-cara represif. Sebaliknya, penjelasan atas dampak otoritas negara, kekuasaan, dan pasar tidak mendapat tempat. Keadilan dan hak akses bagi rakyat tersendat dan kemiskinan kian nyata.
Secara makro, perspektif kelangkaan membuat nyaman negara maju menghadapi tekanan negara miskin yang bersandar pada sumber daya alam/hutan. Kita ditarik masuk dalam isu pengendalian penduduk dan permintaan. Pengaruh pasar global dan perilaku negara maju terlindungi. Negara yang menghabiskan hutan dan menyumbang polusi bisa tampil percaya diri menyerukan kesadaran moral, "krisis lingkungan adalah masalah bersama".
Moral dan uang
Kita bisa menyimak seruan moral yang gencar dilakukan banyak pihak menjelang pertemuan di Bali. Pascapertemuan pendahuluan di Bogor, banyak pihak, termasuk tokoh negara "asing" rajin melayangkan opini di media nasional. Intinya, menjelaskan komitmen negaranya dan "merayu" negara berkembang untuk mulai bergerak. Kita mengapresiasinya, tetapi perhitungan yang terlampau berwajah "uang" perlu dikritisi.
Kita cermati pula seruan Al Gore, "Krisis iklim bukan isu politik, melainkan tantangan moral dan spiritual bagi seluruh umat manusia yang harus dihadapi bersama-sama" (Kompas, 15/10). Seruan ini strategis karena keluar dari pemenang Nobel perdamaian. Namun, ia mengingatkan dukungan politik Al Gore, saat ia menjabat Wakil Presiden AS, terhadap populernya perspektif environmental scarcity. Apalagi, teringat posisi AS yang tidak ikut Protokol Kyoto.
Apakah ini cara pengalihan agar kita mengarahkan perhatian pada pengendalian penduduk dan permintaan? Seperti seru Clinton, jika Anda menyaksikan kerusakan dan konflik sumber daya alam, "...You must reduce the rate of population growth", (Hartmann, 2001).
Aksi negara maju, mendahului kampanye kesadaran moral dan mengunjuk diri melalui "uang" yang banyak, bisa menjauhkan kita dari "krisis" sesungguhnya. Situasi ini diperkuat dengan perilaku negara miskin dan berkembang yang memosisikan diri sebagai "pengeruk" kocek negara maju. Kita bisa terjerat pada pilihan menyesatkan, cara mudah meraup "uang" adalah melestarikan krisis.
Gagasan ini menegaskan, penyelamatan lingkungan tidak bisa dilepas dari perbaikan praktik kekuasaan dan politik yang mengabaikan hak dan keadilan. Jika tidak arif melangkah, kita mewariskan krisis lebih parah di masa depan.
Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0712/07/opini/4034201.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar