Berdasarkan riset
tekstual dan penelitian arkeologis, dapat dipastikan toponimi Sunda pada
mulanya digunakan untuk menyebut wilayah dan kawasan yang kini disebut Banten.
Oleh
Claude Guillot, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, Daniel Perret, Sumarah
Adhyatman, Rokhus Due Awe, Marie-France Dupoizat, Naniek Harkantiningsih, dan
Francois Thierry
Tidak
ditemukannya satu pun peninggalan dari abad ke-10 di sekitar Bogor atau di
seluruh Jawa Barat, selain peninggalan-peninggalan yang ditemukan di wilayah
Banten, merupakan sebuah fakta yang mencolok dan tidak dapat diabaikan. Selain
itu, tidak lama setelah pendiriannya, kerajaan Sunda mungkin sekali meluaskan
wilayahnya ke Sumatera Selatan. Kebijakan ini lebih dapat dipahami bila datang
dari sebuah kerajaan pantai atau pesisir, apalagi di pantai Selat Sunda, bukan
dari sebuah kerajaan yang ibukotanya terletak di pedalaman. Dengan demikian,
Kerajaan Sunda adalah sebuah negara yang berwawasan maritim, sebelum bangsawan
Galuh menjadikannya sebagai Kerajaan Pedalaman di abad ke-14.
Bangsa Cina dan
Negeri Banten Girang
Dalam
hal ini Cina lah yang tampil sebagai rekan dagang utama Kerajaan Sunda Banten
Girang, dan sekaligus sebagai penggerak utama cara hidup setempat. Kebanyakan
keramik yang ditemukan di Situs Banten Girang berasal dari dua propinsi
pesisir, yaitu Guangdong dan Fujian. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Banten
atau Kerajaan Sunda dengan Cina melalui Cina Selatan, yang rupa-rupanya, baik
Kerajaan Sunda atau pun Bangsa Cina sama-sama bergiat dalam niaga dan dunia
maritim pada masa-masa itu. Keterangan mengenai Banten yang diberikan oleh Chau
Jukua membuktikan bahwa sebagian perdagangan itu terlaksana di Quangzhou,
pelabuhan terbesar di Fujian, tempat penulis tersebut menangani perdagangan
internasional.
Berkat
temuan-temuan keramik itu juga dapat dipastikan bahwa hubungan Cina dengan
Kerajaan Sunda Banten Girang sangat intensif dan tidak pernah terhenti, kecuali
mungkin pada abad ke-15.
Mulai
akhir abad ke-12, ketika lada untuk pertamakali disebut di Negeri Sunda Banten
Girang, rempah itulah yang terutama dicari bangsa Cina di “Sunta Wantan
Girang”. Bahkan dapat dikatakan bahwa penanaman lada di Banten dikembangkan
justru untuk memenuhi permintaan Cina. Itulah misalnya yang agaknya terjadi
pada awal abad ke-17, jung-jung Cina mendatangi Banten secara berkala untuk
mencari lada. Lebih awal lagi, diketahui dari sumber Portugis bahwa pada
tahun-tahun terakhir Banten Girang, orang Cina masih datang membeli lada, dan
pergantian wangsa tidak merubah pandangan tersebut. Kedatangan orang Eropa pada
awal abad ke-16 sama sekali tidak mengganggu pasaran lada, karena orang
Portugis langsung mengekspor ke Eropa lada yang dihasilkan India. Peranan orang
Portugis sebenarnya penting, namun terarah pada pasaran Cina saja: buat mereka lada
Banten rupanya merupakan barang tukaran untuk memperoleh barang dagangan Cina.
Artinya, bila masuk pasar lada di Banten, orang Portugis memang bersaing dengan
pedagang yang sudah biasa mengekspor lada ke Cina, namun mereka tidak mengubah
permintaan, sebab rempah itu tetap dibawa mereka ke Cina.
Keadaan
itu dikacaubalaukan oleh orang Eropa Utara, yang datang dengan tujuan memasok
pasaran Eropa, sebab permintaan lada pada saat itu sedang melonjak. Banten
ternyata tidak mampu memenuhi pasaran baru tersebut, barangkali karena
penduduknya terlalu sedikit untuk memperbanyak produksi lada. Akibatnya harga
membubung tinggi dan pertentangan antara orang Eropa dan Cina makin lama makin
seru. Orang Cina, yang sudah lama berdagang dengan “Sunta Wantan Girang”, mempunyai
dukungan kuat dari instansi pemerintah dan dari para pedagang di Kerajaan Sunda
Banten Girang, yang seringkali orang Cina juga. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar