(Makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur. Foto: Sri Mulyani)
Inilah catatan dan
riwayat Kesultanan Pertama Syi’ah di dunia. “Pada waktu musafir Venesia, Marco
Polo, singgah di Sumatra dalam perjalanan pulangnya dari Cina tahun 1292, ia
mengenal Perlak sebagai Kota Islam pertama di Indonesia” (M. C. Ricklefs 2008:
4)
oleh Amin
Farazala Al-Malaya
Kerajaan
Perlak didirikan oleh Sultan Alaidin Sayid Maulana yang bermazhab Syi’ah pada
tanggal 1 Muharram 225 H atau 840 Masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau
Mataram Hindu di Jawa masih berjaya. Sebagai gebrakan mula-mula, Sultan
Alaiddin mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah.
Sementara itu,
pengaruh Iran terhadap Indonesia kebanyakan dalam bidang kebudayaan,
kesusastraan, pemikiran, dan tasawuf. Pada kenyataannya, kebudayaan bangsa Iran
cukup berpengaruh terhadap seluruh dunia. Masyarakat Iran, setelah menerima
agama Islam, banyak menemukan keahlian dalam semua bidang ilmu keislaman, yang
tidak satu pun dari bangsa lainnya yang sampai kepada derajat tersebut.
Secara khusus,
kecintaan bangsa Iran kepada Ahlulbait tidak ada bandingannya. Melalui tasawuf
dan kebudayaan Islam, kecintaan tersebut menyebar ke negeri-negeri Islam
lainnya, dan karena itulah kebudayaan Iran pun dikenal. Mengenai Ahlubait,
orang-orang Iran memiliki cara khusus untuk mengenang peristiwa pembantaian
Imam Husain as pada bulan Muharram. Peristiwa ini, atau yang dikenal sebagai Tragedi
Karbala, adalah sebuah pentas kepahlawanan dunia, yang telah mempengaruhi
kebudayaan bangsa-bangsa non-Muslim.
Kisah kepahlawanan ini
sudah berabad-abad selalu menjadi inspirasi dan tema penting bagi para penyair
dan pemikir Iran. Ia juga merupakan episode sejarah yang penting dalam khazanah
ajaran Syi’ah dan Sunni, dan bahkan kesusastraan dunia.
Dalam Syi’ah,
kecintaan kepada Ahlulbait merupakan kecenderungan yang abadi. Tanpa kecintaan
ini, agama akan kosong dari ruh cinta. Bahkan, sebagian orang berkeyakinan
bahwa apabila tidak memiliki rasa cinta kepada Ahlulbait, maka seseorang telah
keluar dari Islam. Budaya cinta kepada Ahlulbait, yang merupakan bagian dari pemikiran
dan tradisi bangsa Iran, telah membekas di seluruh negeri Islam. Hal ini
terkadang juga disebut sebagai pengaruh Mazhab Syi’ah yang tampak pada
kebudayaan Indonesia dan kaum Muslim dunia.
Kebudayaan Iran
memiliki pengaruh yang cukup penting terhadap kebudayaan Indonesia. Hal itu
menunjukkan bahwa sejak dahulu telah terjalin hubungan antara Iran dan
Indonesia sehingga berpengaruh sangat kuat terhadap kebudayaan, tasawuf, dan
kesusastraan. Meskipun mayoritas Muslim di Indonesia bermazhab Syafi’i, penelitian
menunjukan bahwa kecintaan Muslim Indonesia kepada Ahlulbait karena pengaruh
orang-orang Iran.
Pengaruh Iran terhadap
Indonesia kebanyakannya tampak dalam bentuk kebudayaan dan kesusastraan.
Sejarah mencatat bahwa, di samping orang-orang Arab dan orang-orang Islam dari
India, orng-orang Iran memiliki peran yang penting dalam perkembangan Islam di
Indonesia dan negeri-negeri Timur Jauh lainnya.
Ada dugaan bahwa
sebagian besar raja di Aceh bermazhab Syi’ah. Dimungkinkan pada masa awal
perkembangan Islam di sini, fikih Syi’ah-lah yang berlaku. Catatan sejarah
tertua adalah berdirinya Kerajaan Perlak I (Aceh Timur) pada tanggal 1 Muharram
225 H (840 M). Hanya 2 abad setelah wafat Rasulullah, salah seorang
keturunannya yaitu Sayyid Ali bin Muhammad Dibaj bin Ja’far As-Shadiq hijrah ke
Kerajaan Perlak. Ia kemudian menikah dengan adik kandung Raja Perlak Syahir
Nuwi. Dari pernikahan ini lahirlah Abdul Aziz Syah sebagai Sultan (Raja Islam)
Perlak I. Catatan sejarah ini resmi dimiliki Majelis Ulama Kabupaten Aceh Timur
dan dikuatkan dalam seminar sebagai makalah ‘Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Aceh’ 10 Juli 1978 oleh (Alm) Professor Ali Hasymi.
Untuk menggenapi
informasi makalah ini, saya membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh
penulis dalam dan luar negeri.
Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah sangat menentang Syi’ah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abi
Thalib yang juga menantu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak mengherankan Syi’ah
pada era dua dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya
minoritas, banyak penganut Syi’ah terpaksa harus menyingkir dan wilayah yang
dikuasai oleh dua dinasti tersebut.
Kesultanan Perlak
merupakan kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara yang berdiri pada tanggal 1
Muharam 225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh
Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia. Kesultanan Peureulak adalah kerajaan
Islam di Asia Tenggara yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur,
Aceh sekarang antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.
Perlak atau Peureulak
terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat
bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama
Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak
berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh
kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat
berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat
perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Ada banyak kerajaan
Islam di Indonesia. Tentu ini adalah salah satu faktor yang menjadikan Islam
sebagai agama mayoritas di Indonesia. Dari sekian banyak kerajaan, kerajaan
Islam yang pertama di Indonesia adalah Kerajaan Perlak yang berlokasi di Aceh
Timur, daerah Perlak di Aceh sekarang. Ada sedikit yang ganjil di sini. Dalam
buku-buku teks pelajaran di sekolah, disebutkan kerajaan Islam pertama di
Indonesia adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kesultanan Perlak adalah kerajaan
Islam pertama di Nusantara, kerajaan ini berkuasa pada tahun 840 hingga 1292
Masehi di sekitar wilayah Peureulak atau Perlak. Kini wilayah tersebut masuk
dalam wilayah Aceh Timur, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Perlak merupakan
suatu daerah penghasil kayu perlak, adalah kayu yang digunakan sebagai bahan
dasar kapal. Posisi strategis dan hasil alam yang melimpah membuat perlak
berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad VIII hingga XII.
Sehingga, Perlak sering disinggahi oleh jutaan kapal dari Arab, Persia,
Gujarat, Malaka, Cina, serta dari seluruh kepulauan Nusantara.
Karena singgahannya
kapal-kapal asing itulah masyarakat Islam berkembang, melalui perkawinan campur
antara saudagar muslim dengan perempuan setempat. Kerajaan Perlak merupakan
negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang berkualitas
bagus untuk kapal. Tak heran kalau para pedagang dari Gujarat, Arab, dan India
tertarik untuk datang ke sini.
Pada awal abad ke-8,
Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Kondisi ini
membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan
penduduk setempat. Efeknya adalah perkembangan Islam yang pesat dan pada
akhirnya munculnya Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Asia
Tenggara.
Fakta menyebutkan
Perlak lebih dulu ada daripada Samudera Pasai. Kerajaan Perlak muncul mulai
tahu 840 M sampai tahun 1292 M. Bandingkan dengan kerajaan Samudera Pasai yang
sama-sama mengambil lokasi di Aceh. Berdiri tahun 1267, Kerajaan ini akhirnya
lenyap tahun 1521. Entah mengapa dalam buku-buku pelajaran, tertulis secara
jelas kerajaan Samudera Pasai-lah kerajaan Islam yang pertama di Indonesia.
Sebuah kesengajaan?
Telah menjadi catatan
para ahli sejarah dan ilmuwan terutama Abu Ishak Al-Makarany Pasy bahwa
kerajaan Islam pertama Asia Tenggara adalah di Peureulak dengan ibukotanya
Bandar Khalifah.
Menurut penelitian
para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke 7
M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang
erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan
dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan Persia,
India dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera.
Letak geografis daerah
Aceh sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh
sebagai kota pelabuhan persinggahan yang berkembang pesat, terutama untuk
mempersiapkan logistik pelayaran berikutnya dari Cina menuju Persia ataupun
Arab dengan menempuh samudra luas. Salah satu kota perdagangan pada jalur
tersebut adalah Jeumpa dengan komuditas unggulan seperti Kafur, yang memiliki
banyak manfaat dan kegunaan.
Jeumpa Aceh adalah
sebuah wilayah yang keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang terletak
di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat
sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana penguasa Jeumpa terletak
di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot
Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang
padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak
di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang
besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari
Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong
atau ke “Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Menurut legenda yang
berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah
berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh
seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai
hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya.
SEBELUM ISLAM, ACEH
BERADA DALAM KEKUASAAN ORANG ORANG HINDU DARI GUJARAT, BEGITU JUGA MEURAH
PERLAK (YANG TIDAK PUNYA KETURUNAN) JUGA BERAGAMA HINDU.
Adapun catatan-catatan
berkaitan menyebut Maharaja Salman datang ke Aceh atau lebih tepat ke wilayah
Jeumpa dianggarkan pada tahun 777 Masehi. Kedatangan rombongan 100 orang
pendakwah ke Perlak yang diketuai Nakhoda Khalifah pula dikatakan berlaku
sekitar 804 Masehi. Catatan turut menyebut Maharaja Salman telah berkahwin
dengan Puteri Mayang Seludang dari Jeumpa. Datanglah rombongan dakwah dari
Persia yang salah satu anggotanya adalah pemuda tampan yang dikenal dengan
Maharaj Syahriar Salman Al-Farisi atau Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana
disebut dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu Mindanao. Seorang Putra dari
Dinasti Sasanid (Persia) Pangeran Salman meninggalkan Tanah Airnya menuju Timur
Jauh dan Asia Tenggara untuk berniaga dan berdakwah dengan kapal dagangnya.
Maharaja Salman
dikatakan mendapat 4 orang putera – Syahir Nuwi, Syahir Tanwi, Syahir Pauli,
Syahir Dauli – dan seorang puteri, Tansyir Dewi yang juga dikenal sebagai
Makhdum Tansyuri. Puteri inilah yang kemudian kawin (menikah) dengan Ali bin
Muhammad dari rombongan Nakhhoda Khalifah. Anak dari hasil perkawinan ini
diangkat menjadi Sultan Sayyid Maulana Abdul Aziz yang diisytiharkan sebagai
Sultan pertama kerajaan Islam Perlak pada tahun sekitar 840 Masehi.
Ada pihak membuat telaah
bahwa Maharaja Salman adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan Sayidina Hussein
as, cucu lelaki kedua Nabi Muhammad SAW. Alasan yang digunakan adalah kerana
anak-anak Salman memakai gelaran Syahir atau Syahri di pangkal nama dan ini
bersamaan dengan gelaran Syahri yang ada pada Puteri Syahribanun, isteri Sayidina
Hussein, puteri raja terakhir Persia (dimasukkan ke dalam wilayah jajahan Islam
selepas dikalahkan oleh angkatan tentara yang dikirim oleh Umar).
Ini tidak mustahil mengingat
pada tahun 777 Masihi, sudah ada 4 generasi keturunan Sayidina Hussein. Ketika
itu sudah hidup seorang Ahlul Bait terkenal, Imam Musa Al-Kazhim bin Ja’afar As-Shadiq
bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayidina Hussein sebagai
bandingan. Namun menyatakan seseorang itu sebagai Ahlul Bait hanya berdasarkan
pangkal nama Syahir atau Syahri terasa begitu dangkal. Lagipula ia memang satu
gelaran kebesaran yang digunakan bangsawan berketurunan Persia sejak
turun-temurun.
Sebagian ahli sejarah
menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayidina Hussein cucunda
Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia
bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan
Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di dunia
Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei
sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku.
Kisah kedatangan satu
delegasi dagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang
ketika itu masih menganut Hindu Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama
Maharaj Syahriar Salman. Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia
yang pernah berjaya antara 224 – 651 Masehi. Saat pertama adalah tiba dan
berlabuh di Bandar Jeumpa (Aceh Jeumpa) sekarang. Setelah kapal kembali pulang,
Pangeran tidak ikut pulang dan terakhir terpikat dan kawin dengan Putri Jeumpa
bernama Putri Mayang Seuleudang, Puteri dari penguasa Jeumpa.
Jeumpa, ketika itu
dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri
istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Menurut Silsilah Sultan Melayu dan
Silsilah Raja Aceh, Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan
Dewi Ratna Keumala adalah istri dari pangeran Salman, anak Meurah Jeumpa yang
cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah
mendukung karir dan perjuangan suaminya.
Dikisahkan Pangeran
Salman memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga
dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari
Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam. Dia
memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran
sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya.
Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang
telah menjadi anutan nenek moyangnya di Persia. Rakyat di negeri tersebut
dengan mudah menerima ajaran Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya
yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara
maju Persia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.
Keutamaan dan
kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat
pendidikan terbaik di Persia negeri asalnya, sangat menarik perhatian Meurah
Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan kerajaan. Karena
keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman
dinikahkan dengan puteri penguasa jeumpa.
Salman beserta
rombongan melakukan perjalanan ke Asia Tenggara untuk menuju ke Selat Malaka,
namun sebelum sampai ke sana, Pangeran Salman singgah di negeri Jeumpa dan
akhirnya menikah dengan puteri Istana Jeumpa yang bernama Mayang Seludang.
Pangeran Salman pun tidak meneruskan perjalanan dengan rombongannya ke Selat
Malaka, malah sebaliknya ia hijrah ke Perlak setelah mendapat izin dari
mertuanya Meurah Jeumpa.
Akibat dari perkawinan
itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan
pelayaran ke Selat Malaka. Pasangan ini memilih “hijrah” ke Perlak (sekarang
Peureulak), sebuah kawasan kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak. Tiada berapa
lama, atas restu Meurah Jeumpa, Pangeran Salman dan Puteri Mayang Seuleudang
berangkat ke Negeri Peureulak, kedatangannya adalah diterima oleh Meurah
Peureulak. Setelah baginda Meurah Peureulak berpulang ke rahmatullah, Baginda
tidak mempunyai anak laki-laki. Meurah Perlak tak punya keturunan dan
memperlakukan “pengantin baru” itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak
meninggal, wilayah Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai
penguasa Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang
Seludang dianugerahi empat putra dan seorang putri; Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir
Pauli, Syahir Tanwi, dan Putri Tansyir Dewi.
Atas mufakat
Pembesar-pembesar Negeri Peureulak serta rakyat, diangkatlah Pangeran Salman
menjadi penguasa Peureulak yang baru. Dalam masa Baginda menjadi penguasa
Peureulak, negeri menjadi makmur-rakyat sejahtera, ekonomi maju pesat karena
hubungan perdagangan dan kapal-kapal asing ramai berdagang ke negeri Peureulak,
terutama membeli hasil bumi dan rempah-rempah.
Rombongan dakwah yang
terdiri dari pedagang dan keturunan raja-raja Sasanid yang berdakwah datang
dari Persia meneruskan perjalanan mereka ke Selat Malaka, akan tetapi seorang
anggota rombongan bernama MAHARAJ SYAHRIAR SALMAN yang menikahi puteri PENGUASA
JEUMPA yaitu Mayang Seludang memilih menetap di Perlak. Pangeran Salman dan
Puteri Mayang Seuleudang mempunyai 4 orang putra dan 1 putri, masing-masing
adalah: Syahir Nuwi, kemudian menggantikan ayahnya jadi penguasa Peureulak.
Syahir Tanwi (Puri), kemudian pulang ke negeri Ibunya Jeumpa dan diangkat
menjadi penguasa Jeumpa, menggantikan kakeknya yang telah meninggal dunia.
Syahir Puli, merantau
ke Barat (Pidie, sekarang) kemudian di negeri itu diangkat menjadi penguasa
Negeri Sama Indra (Pidie). Syahir Duli, setelah dewasa merantau ke daerah
negeri barat paling ujung (Banda Aceh, sekarang), karena kecakapannya diangkat
menjadi penguasa Negeri Indra Pura (Aceh Besar, sekarang). Putri Maghdum
Tansyuri Mayang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya
tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik yang baik bagi anak-anaknya yang
melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah ajaran Islam. Ratu dikaruniai
beberapa putra putri yang dikemudian hari menjadi tokoh yang sangat berpengaruh
dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam di Asia Tenggara.
Menurut Silsilah
Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, beliau tidak lain adalah Putro Mayang
Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala, anak penguasa
Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang
telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga keturunan nya berhasil
mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang selanjutnya telah
melahirkan Kerajaan Islam di Perlak,Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam.
Kerajaan Perlak
didirikan oleh Sultan Alaidin Sayid Maulana yang bermazhab Syiah pada tanggal 1
Muharram 225 H atau 840 Masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu
di Jawa masih berjaya. Sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah
nama ibu kota kerajaan dari bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah.
Tidak semua Puteri
Raja menjadi pendukung keberhasilan suaminya, bahkan ada yang menjadi penyebab
kehancurannya. Ingatlah sosok Cleopatra, Sang Maha Ratu Mesir yang penuh intrik
dan telah menghancurkan karir Penakluk Agung Yulius Caesar. Karena Yulius
menikahi Cleopatra, maka karirnya sebagai Penguasa Agung atau Kaisar Agung
Romawi hancur, dia dikhianati oleh pendukung dan pemujanya, bahkan rakyatnya
sendiri melecehkannya karena membawa Cleopatra ke Romawi. Akhirnya Yulius yang
diagungkan dipecat senat Romawi bahkan dibantai oleh anggota Senat di hadapan
dewan terhormat tersebut tanpa pembelaaan. Demikian pula yang telah menimpa
Anthony, pengganti Yulius karena nekad menikahi Cleopatra, karirnya hancur dan
bunuh diri di Mesir akibat intrik Cleopatra yang penuh tipu daya.
Putro Manyang
Seuludong bukanlah Cleopatra yang penuh intrik dan tipudaya. Anak beliau
bernama Syahri Poli adalah pendiri dari wilayah Poli yang selanjutnya
berkembang menjadi wilayah Pidier di wilayah Pidie sekarang yang wilayah
kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Syahri Tanti mengembangkan kerajaan
yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Samudra-Pasai. Syahri
Dito, yang melanjutkan mengembangkan Jeumpa. Syahri Nuwi menjadi penguasa dan
pendiri dari wilayah Perlak. Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu
dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana Abdul Aziz Syah yang
diangkat pada tahun 840 Masehi.
Kecerdasan dan
kecantikan Putro Jeumpa yang diwariskan kepada keturunannya menjadi lambang
keagungan putri-putri Islam yang berjiwa penakluk dalam memperjuangkan tegaknya
Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putro Manyang Seuludong telah
menjadi inspirasi bagi perjuangan para gadis dan putro-putro Jeumpa sesudahnya.
Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para wanita Islam di
istana-istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai Majapahit sekalipun.
Pangeran Salman dan
puteri Mayang Selundang dianugerahi empat orang putera dan seorang puteri.
Mereka adalah Syahir Nuwi (Meurah Fu) yang menggantikan ayahnya menjadi
penguasa Perlak dengan gelar Meurah Syahir Nuwi, kemudian Syahir Dauli pergi
merantau ke negeri Indra Purba (Aceh Besar), sedangkan Syahir Pauli menrantau
ke negeri Samaindera (Pidie) dan Syahir Tanwi kembali ke negeri ibunya di
Jeumpa dan kemudian di angkat menjadi Meurah Negeri Jeumpa menggantikan
kakeknya. Keempat putera Maharaj Syahrian Salman sering dikenal dengan kaum
imam empat (kawom imum peuet) atau penguasa empat.
Sementara puteri
mereka Tansyir Dewi menikah dengan seorang sayid keturunan Arab yang bernama
Sayid Maulana Ali al-Muktabar. Sayid Ali Muktabar sendiri kemudian menikah
dengan adik Syahir Nuwi yang bernama puteri Tansyir Dewi yang kemudian mereka
dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Saat Sayid
Maulana Abdul Aziz Syah dewasa, akhirnya dinobatkan menjadi Sultan Pertama
Kerajaan Islam Perlak dengan gelarnya Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah yang silsilahnya sebagai berikut seperti yang ditulis oleh T. Syahbuddin
Razi: Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Ali al-Muktabar
bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Asshadiq bin Imam Muhammad al-Baqir
bin Sayidina Ali Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin
Sayidina Ali bin Abu Thalib.
Sayid Ali Muktabar bin
Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq merupakan salah satu keturunan dari
Ali bin Abi Thalib, Muhammad bin Jakfar al-Shadiq adalah imam Syiah ke-6 yang
juga masih keturunan Rasulullah SAW melalui anaknya Nabi bernama Siti Fatimah yang
memegang pemerintahan pusat di Baghdad. Adapun silsilahnya sampai ke Rasulullah
yaitu: Muhammad bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Muhammad
Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad
Rasulullah SAW.
Itulah sebabnya dalam
perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi dengan wanita-wanita agung yang
berjiwa patriotik dan penakluk serta membuat sejarah kegemilangannya
masing-masing yang tidak pernah dicapai oleh wanita-wanita lainnya di
Nusantara, bahkan di negeri Arab sekalipun. Dalam sejarah Aceh selanjutnya,
tidak diragukan Putro Jeumpa Mayang Seuludong telah memberikan inspirasi kepada
anak keturunannya, dan telah melahirkan wanita-wanita agung yang sangat
berpengaruh dan memiliki kharisma serta kecantikan. Di antaranya adalah “ratu”
Perlak bernama Makhdum Tansyuri (ibunda Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak
pertama), Maha Ratu Kerajaan Pasai bernama Nahrishah, Maha Ratu Darwati
(Dhawarawati) yang menjadi Maha Ratu Majapahit (ibunda Raden Fatah, Sultan Kerajaan
Islam pertama di tanah Jawa bernama Demak), Maha Ratu Tajul Alam Safiatuddin
yang menjadi Maha Ratu Kerajaan Aceh Darussalam. Di samping itu ada yang
menjadi panglima agung yang ditakuti musuh, seperti Laksamana Malahayati, Tjut
Nyak Dhien, Tjut Meutia dan lain-lainnya.
Sepatutnya
wanita-wanita agung inilah yang menjadi teladan bagi mereka yang memperjuangkan
emansipasi wanita di Serambi Mekah ini. Bahwa kenyataannya, sebelum Barat
melaungkan emansipasi, wanita-wanita Aceh telah menikmati kesetaraannya secara
maksimal. Sebelumnya, dinasti Umayah dan Abasiyah sangat menentang aliran Syiah
yang dipimpin oleh Ali bin Ali Abu Thalib, tidak heran pada masa dua dinasti
tersebut tidak mendapatkan tempat yang aman dan selalu di ditindas karena
jumlah minoritas, sehingga banyak dari penganut Syiah menyingkir dari wilayah
yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut.
Pada masa pemerintahan
Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (167-219 H/813-833 M)
Dicatat dalam sejarah,
pada awal abad ke-9 Masehi telah datang rombongan 100 orang pendakwah dari
Timur Tengah berlabuh di Perlak, diketuai seseorang yang dikenali sebagai
Nakhoda Khalifah. Mereka ini dikatakan telah melarikan diri daripada buruan
kerajaan selepas gagal dalam percobaan menggulingkan pemerintahan Bani
Abbasiyah. Ahli rombongan ini dikatakan terdiri daripada keturunan Rasulullah
SAW melalui puteri baginda Fatimah az Zahrah dan suaminya, Saidina Ali bin Abi
Talib Karamallahu Wajhah, juga para penyokong yang ingin berada di bawah
kepimpinan anak cucu Nabi. Termasuk di kalangan mereka adalah seseorang bernama
Ali bin Muhammad bin Jaafar Al-Sadiq.
Ada catatan lama
menyebut Merah Syahir Nuwi berasal dari keturunan seorang bangsawan Persia
bernama Salman yang telah berhijrah ke bumi Serambi Mekah beberapa kurun
terdahulu. Pelabuhan Perlak pula dikenali sebagai Bandar Khalifah sejak
kedatangan rombongan 100 orang pendakwah itu, sempena nama ketua mereka Nakhoda
Khalifah. Ketika itu, Perlak sedang diperintah raja berketurunan Persia, Merah
Syahir Nuwi. Raja dan rakyat Perlak tertarik dengan akhlak ahli rombongan lalu
menganut Islam, rombongan itu dimuliakan dan Sayid Ali dikahwinkan dengan adik
perempuan penguasa Perlak yang bernama Makhdum Tansyuri. Atas dasar itulah,
sebuah Armada Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang dibawah pimpinan Nahkoda
Khalifah (turunan Qatar) memasuki Bandar Peureulak. maka berangkatlah satu
kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah yang di kemudian hari dikenal di
Aceh dengan Nahkoda Khalifah dengan misi menyebarkan Islam. Salah satu anggota
dan Nahkoda Khalifah itu adalah Sayid Ali al Muktabar bin Muhammad Dibai bin
Imam Jakfar al-Shadiq.
Dari hijrah tersebut,
berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah termasuk di
dalamnya Sayid Ali Muktabar. Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang
membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dari orang-orang Arab suku
Qurasy, Palestina, Persia dan India dibawah Nakhoda Khalifah dengan menyamar
menjadi pedagang. Rombongan Nakhoda Khalifah ini disambut oleh penduduk dan
penguasa negeri Perlak yakni pada masa Meurah Syahir Nuwi.
Mereka merapat di
pelabuhan Perlak sebagai akibat dan kekalahan golongan Syi’ah oleh dinasti
Abbasiyah. Dinasi Abbasiyah yang pada saat itu dipimpin Khalifah Al-Makmun
(813-833) sehingga rombongan kaum Syi’ah yang berhijrah itu adalah rombongan
Nahkoda Khalifah. Pemerintahan Perlak sendiri pada saat itu masih berupa
pelabuhan yang dikelilingi pemukiman dan dibawah kontrol penguasa Syahir Nuwi.
Syahir Nuwi penguasa
Perlak yang baru menggantikan ayahandanya. Dia bergelar Meurah Syahir Nuwi.
Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purba (sekarang Aceh
Besar). Syahir Pauli menjadi Meurah di Negeri Samaindera (sekarang Pidie), dan
si bungsu Syahir Tanwi kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan
kakeknya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa
yang empat). Dengan demikian, kawasan-kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai
oleh darah keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan
bercampur dengan darah pribumi Jeumpa (sekarang Bireuen).
Kemudian datanglah
rombongan berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah. Tujuan
mereka adalah berdagang sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam di Perlak.
Pemimpin dan para penduduk Negeri Perlak pun akhirnya meninggalkan agama lama
mereka untuk berpindah ke agama Islam. Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal
yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dan orang-orang Arab dan
suku Quraish. Palestina. Persia, dan India di bawah pimpinan Nahkoda Khalifah
sambil berdagang sekaligus berdakwah. Setiap orang mempunyai keterampilan
khusus terutama di bidang pertanian, kesehatan. pemerintahan, strategi, dan
taktik perang serta keahlian-keahlian lainnya.
Ketika sampai di
Perlak, rombongan Nahkoda Khalifah disambut dengan damai oleh penduduk dan
penguasa Perlak yang berkuasa saat itu yakni Meurah Syahir Nuwi. Pemerintahan
Perlak sendiri pada saat itu masih berupa pelabuhan yang dikelilingi pemukiman
dan dibawah kontrol penguasa Syahr Nuwi. Sayid Maulana Ali al Muktabar dalam
rombongan pendakwah yang menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan
kawasan-kawasan lainnya setelah Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam
”pemberontakan” kaun Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja’far
Ashhadiq.
Berikut Silsilah
Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah yang dikutip dan Silsilah
Raja-raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-raja Islam di Nusantara
yang ditulis oleh T. Syahbuddin Razi. “Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz
Syah bin Sayid Ali Al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja ‘far
Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Saiyidina Ali Muhammad Zainal Abidin
bin Saidina Hussin Assysyahid bin Saidina Ali bin Abi Thalib”. Sebagian dan
anggota rombongan itu menikah dengan penduduk lokal termasuk Sayid Ali al
Muktabar kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama Puteri Tansyir
Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar ini dianugerahi seorang putra bernama
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini setelah dewasa
dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak.
Adik bungsu Syahir
Nuwi yaitu Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al Muktabar,
anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di
bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar
sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina,
Persia dan India.. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali
al-Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah,
yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul
Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak Sayid Maulana Ali al Muktabar
berfaham Syiah, merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba’i anak Imam Jakfar
Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5),
anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra
Syaidina Husen, putra Syaidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti
Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah:
Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana Ali-al Muktabar
bin Sayid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir
bin Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin Sayidina Husin Assyahid bin Sayidina
Alin bin Abu Thalib (menikah dengan Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah
saw).
Selanjutnya, salah
satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq dinikahkan
dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi. Dari perkawinan mereka inilah
lahir kemudian Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan
Perlak. Sultan kemudian mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar
Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah.
Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo,
Perlak, Aceh Timur. Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan
sultan yang beralirah paham Syiah. Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para
pedagang dari Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak.
Kerajaan Perlak berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama, Sultan Alaidin
Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, memang sudah ada Negeri Perlak yang
pemimpinnya merupakan keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja
Pho He La. Pendiri kesultanan Perlak adalah Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul
Azis Shah yang menganut aliran atau Mahzab Syiah. Ia merupakan keturunan
pendakwah Arab dengan perempuan setempat.
Kerajaan Perlak
didirikan olehSultan Alaidin Sayid Maulana yang bermazhab Syiah pada tanggal 1
Muharram 225 H atau 840 Masehi, saat kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu
di Jawa masih berjaya. Sebagai gebrakan mula-mula, sultan Alaiddin mengubah
nama ibu kota kerajaan dari bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan
pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang
beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang
mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M).
Sultan pertama Perlak
adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan
merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan
Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari
Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri
Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh
Timur. Kini jelaslah kepada kita bahwa – Kerajaan Islam Pertama Asia Tenggara
(Peureulak) dimulai pada 840 M sampai dengan Sulthan Maghdum Alaiddin Malik
Abdul Aziz Shah Johan berdaulat adalah terakhir tahun 1292 M. Artinya, Dinasti
Islamiyah di Peureulak telah Berjaya selama 452 tahun lamanya. Disini dapat
kita simpulkan bahwa ada dua tokoh penyebar Islam ke Aceh yang berasal dari
tanah Persia : 1. Maharaj Syahriar Salman: seorang pangeran keturunan Dinasti
Sasanid Persia, 2. Sayid Maulana Ali al-Muktabar keturunan Rasulullah SAW.
ISLAM YANG MASUK KE INDONESIA MASIH 'MURNI'-KAH ATAU PEMAHAMAN ISLAM YANG SUDAH TERGRADASI?
BalasHapusKalau kita kembali merujuk pemahaman atas paham Islam berdasarkan Al Quran maka sebenarnya terdapat benang merah yang bisa mengembalikan pemahaman itu ke arah yang sebenarnya atau murni ajaran Islam. Problema yang krusial dalam tubuh umat Muslim se dunia adalah masalah adanya 'pengakuan' kasta dimana mereka menganggap mengaku berasal dari dinasti keturunan entah mereka mengaku keturunan ahlul bait atau keturunan nabi atau pun yang mengaku keturuan rasulnya. Dan kasta keturunan ini sangat dominan membuahkan pemahaman terhadap ajaran Islam bahkan umat Muslim sangat percaya dengan ajaran mereka ini walalu pun banyak melenceng kemurniannya.
Kalau kita kembali kepada pemahaman yang hakliki yakni Al Quran sebenarnya kasus dinasti keturunan ini sudah digambarkan dengan terang benderang seperti pada kasus yang menimpa Nabi Nuh As dimana ahlul baitnya sendiri baik isteri maupun anak kandungnya sendiri pun adalah masuk kelompok pembangkang (QS. 66:10 dan 11:42-47).
Atas dasar ini bisa jadi Allah SWT menganugerahkan suatu keringan terhadap Nabi Muhammad SAW dalam mengemban misi suci yang abadi yakni Al Quran dan Islam agar tidak tergaduh dengan beban dinasti keturunannya baik terhadap ahlul bait orang tuanya dan khususnya yakni ahlul bait anak kandungnya yang 'memang' diputuskan dinasti keturunan oleh Allah SWT sehingga nasab anak kandungnya benar tidak ada lagi (QS. 33:40).
Wajar sekali jika Nabi Muhammad SAW jauh hari sudah mengingatkan pada umatnya kewaspadaan atas orang-orang yang mengaku-ngaku keturunan si fulan dsb.:
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ليس مِن رجلٍ ادَّعى لغير أبيه وهو يَعلَمه إلاَّ كفر بالله، ومَن ادَّعى قوماً ليس له فيهم نسبٌ فليتبوَّأ مقعَدَه من النار ))، رواه البخاريُّ (3508)، ومسلم (112)، واللفظ للبخاري
“Tidak ada seorangpun yang mengaku (orang lain) sebagai ayahnya, padahal dia tahu (kalau bukan ayahnya), melainkan telah kufur (nikmat) kepada Allah. Orang yang mengaku-ngaku keturunan dari sebuah kaum, padahal bukan, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Salah satu sekte yang 'ngotot' sekali bahwa mereka adalah termasuk kelompok dinasti keturunan dari Nabi Muhammad SAW itu adalah mereka yang beraliran Syiah. Aliran Syiah ini sangat menonjol pengakuannya sebagai pewaris dinasti keturunan sehingga para imamnya yang dua belas itu semua adalah keturnan nabi atau ahlul bait nabi yang suci bebas dari dosa yang kelak salah satunya akan jadi Imam Mahdi di Akhir Zaman lalu berduet dengan Isa Al Masih yang akan turun kembali. Syiah termasuk kelompok terbesar yang mengadosikan paham mesianik dari Yahudi dan Nasrani ke dalam pemahaman atas ajaran Islam. Sampai-sampai yang aliran Sunni atau As sunnah pun ikut tergoda lalu meyakini paham mesianiknya dengan versi Imam Mahdinya belum lahir baru menjelang Akhir Zaman akan lahir.
https://irwanwinardi.wordpress.com/2017/06/16/99/
https://historia.id/agama/articles/syiah-di-nusantara-D82RP
Artikel yang luar biasa....sejarah yang mencerahkan dan jarang diungkap oleh mainstream....rupanya ada yang ketakutan dengan kebenaran fakta sejarah ini...yaitu kaum peneyerobot
BalasHapusSerapat bagaimanapun kebenaran ahlul bait nabi sebagai penerus sah dakwah rasulullah akan tetap menyebar dan sampai kpd para pencari kebenaran sejati
HapusLalu menurutmu Imam Mahdi keturunan siapa?
BalasHapusLuar biasa panjang ceritanya
BalasHapusLuar biasa panjang ceritanya
BalasHapusKerajaan Islam pertama di Nusantara ya Samudera Pasee, kalau yang anda maksudkan wahai penulis itu adalah kerajaan Syi'ah. Walaupun 1 juta buku yang anda baca sebagai rujukan, anda tidak akan pernah menemukan pembenaran, karena sesungguhnya Syi'ah itu bukanlah Islam.
BalasHapus