Oleh
Sayid Hasan Qazwini
Tidak
seorangpun dari kita bisa membayangkan ke mana jalan akan membawa kita dalam
kehidupan. Kisah pribadi saya dimulai dari leluhur saya, sebagaimana tercermin
dalam empat bagian nama saya: Imam Hassan Sayid Al-Qazwini. Imam, merupakan
istilah bahasa Arab yang berarti “pemimpin”. Dalam kasus saya, saya seorang
pemimpin agama dari salah satu masjid tertua di Amerika Utara.
Bagian
kedua nama saya, Sayid, adalah sebuah gelar kehormatan yang diberikan kepada
mereka yang silsilahnya dapat ditelusuri kembali ke Muhammad, nabi umat Islam,
yang juga kita sebut sebagai Rasulullah. Hari ini, ratusan ribu umat muslim
seluruh dunia memiliki garis keluarga yang kembali kepada Nabi Muhammad saw.
Tidak semuanya ulama. Seorang sayid(ah) bisa dari jenis kelamin, warna, atau
budaya yang berbeda di seluruh dunia.
Hassan,
bagian ketiga nama saya, adalah nama cucu tertua Nabi Muhammad saw., salah
seorang tokoh Islam paling dihormati. Beliau juga menyandang gelar kehormatan,
“Pemuda Surga”.
Nama
terakhir saya, Qazwini, sebenarnya adalah nama Arab untuk sebuah kota yang
disebut Kaspia di Persia. Tiga ratus tahun yang lalu, datuk saya, Abdul Karim,
pindah ke “Qazwin” dari provinsi Hijaz di bagian barat Arab, melarikan diri
karena penganiyaan agama. Sebagai keturunan nabi, dia diterima dengan hormat di
Qazwin. Di sana dia bertemu istrinya dan memiliki dua anak. Dia meninggal tak
lama setelah itu. Masyarakat Qazwin sangat mencintainya, menangisi
kepergiannya, dan membangun makam sebagai bentuk penghormatan. Kemudian, kedua
anaknya pindah ke kota Karbala, Irak. Mereka adalah ulama dan Karbala adalah
salah satu pusat pembelajaran dan pengetahuan terbesar di Irak. Di sana nama
Qazwini berakar, menunjukkan seseorang yang pindah dari Qazwin.
Saya
lahir di Karbala pada bulan Oktober 1964. Hari ini—sama seperti dulu—jutaan
orang mengunjungi kota itu setiap tahun untuk menghormati keluarga Muhammad
saw., karena keluarga terdekat dan keturunannya yang tak terhitung dimakamkan
di sana. Karena pengunjung datang dari seluruh dunia, sejak kecil saya
mempelajari keragaman umat manusia. Seperti dikatakan Alquran, Allah
menciptakan kita dari berbagai bangsa dan suku, agar dapat saling mengenal.
Saya
dibesarkan dalam sebuah keluarga ulama terkemuka, beberapa dari mereka sangat
dikenal di dunia Islam. Sejumlah pendahulu, termasuk ayah dan beberapa paman,
mencapai status keilmuan dan keunggulan dalam bidang seperti filsafat, fikih,
dan tafsir Alquran.
Di
Timur Tengah, tidak jarang orang menggunakan atas rumahnya untuk menikmati
malam. Saya ingat pernah tidur di beranda rumah orang tua sewaktu malam musim
panas di Karbala. Sebelum fajar, saya terbangun karena suara azan di seberang
jalan. Memori tentang menara emas tinggi dan bendera merah di
atasnya—melambangkan pengorbanan heroik Imam Husain—terkunci dengan jelas dalam
pikiran saya.
Tahun
terakhir kami di Karbala adalah masa yang paling saya ingat. Saya berusia tujuh
tahun dan itu di bulan Ramadan. Saya sangat ingat bangunnya keluarga karena
ritme gendang tradisional di jalan-jalan, membangunkan orang-orang untuk makan
sebelum puasa. Kemudian, satu jam sebelum salat fajar, kota akan bergema dengan
munajat indah memohon rahmat Allah bagi bulan Ramadan.
Tahun
1971, keluarga saya dipaksa meninggalkan Irak. Ini adalah masa-masa pahit bagi
kehidupan saya. Kami tidak pindah karena keinginan; keselamatan kami
dipertaruhkan. Partai Baath pimpinan Saddam Hussein berkuasa saat itu, dan
kekerasan di mulai terhadap pusat keagamaan, keulamaan dan pimpinannya. Masjid
dan universitas sebagai pusat pembelajaran intelektual bangsa dikuasai partai
untuk mengontrol masyarakat. Mereka memenjarakan para intelektual dan ulama,
membunuh dan menyiksa ribuan orang. Ayah saya adalah ulama dan berbicara
menentang rezim kejam ini. Pada suatu malam yang dingin pada bulan Februari
1971, ayah menerima telepon dari gubernur Karbala. Sebelum fajar, sebuah taksi
datang. Orang tua memberi tahu bahwa kami akan pergi ke Kuwait untuk satu
minggu, dan kemudian kembali ke Karbala. Satu minggu menjadi 32 tahun. Tidak
satupun dari keluarga yang kembali. Kami tinggalkan barang-barang kami,
pakaian, perabotan, dan semuanya. Beberapa tahun kemudian, saya paham maksud
telepon gubernur. Itu adalah pemberitahuan untuknya tentang rencana pembunuhan.
Pada
tahun 1977, seorang ulama terkemuka datang ke Kuwait untuk menyampaikan
ceramah. Ceramahnya tentang Islam di Amerika. Saya berusia tiga belas tahun
saat itu. Ulama itu berkata bahwa Islam di Amerika berada dalam tahap merangkak
untuk bangun, seperti bayi. Maksudnya, ketika seluruh dunia tahu tentang
Islam—dan kontribusi besarnya selama berabad-abad bagi sains, medis, dan
matematika—Amerika tidak tahu. Ulama ini berbicara dengan kagum tentang seorang
pria Amerika bernama Mohammed Jawad Chirri, yang disebutnya pelopor Islam di
Amerika Utara, karena dia mendirikan apa yang sekarang menjadi salah satu
Islamic Center tertua di Amerika Utara.
Kemudian,
ulama itu datang mengunjungi ayah saya. Beliau adalah teman pribadi keluarga
dan sangat menawan bagi anak-anak. Beliau memberi saya buku karya Imam Chirri,
The Brother of the Prophet, judul (buku) yang sebenarnya nabi berikan kepada
sepupu dan menantunya, Ali. Saya buka buku itu dan membaca biografi Imam Chirri
dengan antusias. Saya benar-benar tertarik dengan pengalamannya di Amerika;
meskipun saya tidak memahami fakta selama bertahun-tahun, takdir sudah
memanggil saya. Siapa yang bisa membayangkan seorang anak dari Karbala yang
diperkenalkan oleh seseorang, melalui sebuah buku, yang posisinya saya jabat
beberapa tahun kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar