Oleh
Husein Ja’far al Hadar (Direktur
Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta.
Dalam
pengantarnya untuk buku Our Philosophy (terjemahan dari Falsafatuna) karya
Baqir Shadr yang terbit pada 1987, Seyyed Hussein Nashr menyatakan sesuatu yang
penting tentang bahasa. Ia menulis bahwa jika kita melihat kelemahan-kelemahan
dalam menginterpretasi dan memahami sumber-sumber dari Barat, hal itu karena
lemah dan tak sempurnanya terjemahan-terjemahan teks filsafat Barat ke bahasa
Arab dan Persia yang diakses oleh Baqir Shadr.
Apa
yang diungkapkan Nashr merupakan salah satu problem dasar (yaitu problem
penerjemahan) yang menjadikan diskursus dalam ranah filsafat, khususnya
filsafat Islam vis a vis Barat, relatif terganggu. Gangguan tersebut disebabkan
oleh kesalahan pemahaman pembaca saat membaca sebuah teks filsafat terjemahan,
bukan bahasa asli dari teks tersebut. Akibatnya, terjadi kesalahan dalam
memahami maksud sebuah teks yang telah diterjemahkan. Karena kesalahpahaman
ini, tanggapan atau kritik yang dilayangkan terhadap pemikiran filsafat kerap
tidak tepat, sehingga diskursus dalam ranah filsafat menjadi timpang.
Itulah
yang dikhawatirkan oleh Nashr dan para peminat studi filsafat- terhadap kritik
yang disampaikan oleh berbagai filsuf Islam kontemporer terhadap berbagai
aliran filsafat- Barat dengan bermodalkan bacaan mereka terhadap teks-teks
terjemahan- filsafat Barat, termasuk Baqir Shadr dalam Falsafatuna. Problem itu
pula yang kerap dikhawatirkan dan dikeluhkan oleh para peminat studi filsafat
di Indonesia, termasuk penulis, ketika membaca teks-teks filsafat-baik Barat
maupun-Islam terjemahan.
Dalam
buku Heidegger dan Mistik Keseharian, Budi Hardiman, dosen STF Driyarkara
(2008), menyebut soal sulitnya peminat studi filsafat di Indonesia untuk
menerjemahkan kata seiendes dalam bahasa Jerman. Beberapa terjemahan-seperti
pengada atau adaan-dinilai justru melenyapkan makna aktivitas yang terkandung
dalam Partizip I dalam bahasa Jerman. Budi memilih untuk menerjemahkannya
sebagai mengada, untuk menyelamatkan makna aktivitas itu dalam bentuk kata
benda. Begitu pula terjemahan dari bahasa Arab ke Inggris sebagaimana yang
diungkapkan Nashr. Kata aql dalam bahasa Arab biasanya diterjemahkan menjadi
ratio dalam bahasa Inggris atau kata ilm yang diterjemahkan menjadi science.
Menurut Nashr, dalam penerjemahan dua kata bahasa Arab ke bahasa Inggris ini
telah terjadi reduksi makna. Pasalnya, misalnya, kata aql dalam filsafat Islam
bukan hanya suatu aktivitas mental sebagaimana terkandung dalam makna
terjemahan ratio, tapi juga berkaitan dengan kontemplasi (perenungan).
Problemnya
bukan hanya terletak pada kesulitan mencari kosakata padanan, tapi juga karena
paradigma peradaban (Islam dan Barat) yang memang memiliki corak perbedaan yang
sangat besar. Paradigma peradaban Barat pasca-Renaisans yang kemudian sangat
modernis-positivis, sehingga nilai dan makna yang berbasis spiritualis-mistis
khas filsafat Islam kemudian tak terakomodasi dengan baik dan utuh dalam
tatanan peradaban (filsafat) Barat.
Problem
itu relatif tak dirasakan oleh kalangan filsuf Islam klasik saat teks filsafat
Yunani diterjemahkan dalam teks Islam; bahasa Arab ataupun Persia. Ini
disebabkan bahasa Arab memiliki keluasan dan nilai sastra yang tinggi dan
karena corak peradaban Yunani dan Islam relatif dekat; sama-sama percaya dan
mengakomodasi hal-hal yang bersifat spiritualis-mistis. Tentunya pula karena
para penerjemahnya adalah para filsuf juga-seperti Al-Kindi-yang memiliki
kredibilitas dan integritas untuk menerjemahkan secara apik teks filsafat.
Namun
problem penerjemahan tersebut lebih dirasakan oleh para filsuf Barat, saat teks
filsafat Yunani maupun Islam diterjemahkan ke teks Barat; baik bahasa Inggris,
Jerman, maupun Prancis. Problem ini juga kemudian semakin dirasakan ketika teks
filsafat itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kerancuan penerjemahan kerap
menjadi “tembok besar” yang mengebiri peminat studi filsafat di Indonesia untuk
memahami filsafat-baik Barat maupun Islam-secara utuh dan sesuai dengan makna
aslinya, termasuk buku Falsafatuna yang juga telah diterjemahkan ke bahasa
Indonesia pada 1991. Inilah yang kemudian menjadi problem mendasar dalam studi
filsafat, khususnya di Indonesia.
Bertolak
dari situ, upaya penerjemahan teks filsafat sepatutnya dilakukan oleh seseorang
yang memiliki kredibilitas dan integritas dalam studi filsafat.
Sehingga
diharapkan ia mampu memahami dan mencari kata atau istilah padanan-atau minimal
memberi catatan kaki (footnote) yang memadai-untuk menjelaskan teks asli
filsafat tersebut, sebagaimana dilakukan Al-Kindi dalam dunia Islam. Termasuk
juga, jika perlu, dilakukan penulisan buku lanjutan yang menjelaskan sebuah
karya filsafat yang telah diterjemahkan untuk membimbing pembaca dalam memahami
karya terjemahan itu, sebagaimana berkembang menjadi sebuah tradisi dalam dunia
Islam.
Upaya
ini tentunya patut diimbangi dengan apresiasi yang besar terhadap para
penerjemah, bukan hanya pengarang teks-teks filsafat. (Majalah Tempo, 7 Maret
2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar