Dapat dikatakan bahwa
hanya sedikit penstudi Hubungan Internasional (HI) di Indonesia yang mengenal
buku Arthasastra Kautilya dengan baik. Bahkan nyaris tidak ada buku teks HI
berbahasa Indonesia yang menyinggung Arthasastra Kautilya dalam fokus bahasannya.
Kebanyakan buku teks HI di Indonesia hanya berfokus pada kajian-kajian HI
berperspektif Barat.[1] Andaikan terdapat bahasan menyoal Arthasastra
Kautilya, hal itu hanya ada dalam studi Agama Hindu. Karena buku
Arthasastra yang ditulis oleh Kautilya merupakan salah satu referensi kitab
Upaweda.[2]
I Wayan Suarjaya, Direktur
Jenderal Departemen Agama untuk Bimbingan masyarakat Hindu dan Budha, dalam
kata sambutan ketika diterbitkannya buku Arthasastra di Indonesia pada
2003 pernah menyatakan bahwa diterbitkannya buku ini ditujukan hanya bagi
para mahasiswa agama Hindu,[3] dan tentunya bukan mahasiswa HI. Padahal
kalau kita kaji secara mendalam, buku Arthasastra juga fokus pada kajian-kajian
politik dan hubungan internasional. Pada buku ketujuh dan kesepuluh Arthasastra
misalnya, Kautilya membahas tentang enam kebijakan politik luar negeri dan
diskursus perang yang telah menjadi fokus analisis studi hubungan
internasional.
Kautilya atau Canakya,
dikenal juga dengan nama Vishnugupta, adalah seorang menteri negara, ahli
politik, tokoh agamawan (Brahmana), yang menulis karya agung Arthasastra.
Arthasastra ditulis pada tahun 300 SM atau sekitar 2000 tahun silam dan telah
disebut dalam banyak kitab-kitab klasik dan sastra Hindu (seperti Vishnu
Purana, Kamandaka – Nitisara, Panchatantra, dll), namun baru ditemukan oleh Dr.
Shamasastry, Director of Archeological Research in Mysore, India, dan kemudian
dipublikasikan pada tahun 1905. Sejak saat itu berbagai macam tulisan dan
komentar muncul tentang karya tersebut. Arthasastra telah dipelajari dan
diterjemahkan dalam berbagai bahasa seperti Jerman, Rusia, Malaya, Indonesia,
dan sebagainya.[4]
Arthasastra ditulis
Kautilya sebagai upaya untuk menghimbau para pemimpin bagaimana caranya
mengelola negara. Dibagi menjadi 15 buku yg terangkum dalam 1 buku, Kautilya
menjelaskan setidaknya 9 bidang keilmuan yang mesti diperhatikan oleh para
pemimpin seperti politik-tata negara dan hubungan internasional, intelijen,
kepemimpinan, ekonomi, hukum, filsafat, pengobatan (kesehatan), ilmu magis, dan
metode ilmu.
Pada masa hidupnya,
Kautilya diangkat dan dipercaya sebagai penasihat bagi Raja India Chandragupta.
Kautilya menawarkan Arthasastra sebagai bahan diskusi studi strategis tentang
perang dan diplomasi. Arthasastra ditulis Kautilya untuk rajanya agar
dapat menaklukkan dunia, melalui pembelajaran tentang “bagaimana mengalahkan
musuh-musuh raja dan memerintah atas nama kepentingan umum”. Dalam Arthasastra,
strategi-strategi yang ditawarkan oleh Kautilya untuk dapat menaklukan dunia
nampak dalam buku ketujuh dan kesepuluh tentang strategi enam kebijakan
politik dan strategi perang.
Tulisan ini akan mengkaji
buku Arthasastra Kautilya. Sistematika penulisan akan diawali dengan mengupas
secara ringkas buku Arthasastra Kautilya sebagai pengenalan awal, kemudian akan
dikaji secara rinci bahasan-bahasan buku Arthasastra yang terkait langsung
dengan kajian-kajian hubungan internasional seperti: enam kebijakan politik,
perang dan penaklukan dunia.
Mengenal Arthasastra Kautilya
Arthasastra adalah kitab
yang ditulis oleh Kautilya sekitar 2000 tahun silam (300 SM). Sewaktu menutup
karyanya, Kautilya menyatakan “sumber kehidupan umat manusia adalah Artha
(kesejahteraan), dengan kata lain adalah Bumi dengan (segala isinya) yang
didiami manusia. Ilmu yang mencakup cara untuk mencapai dan melindungi Bumi
adalah Arthasastra, ilmu politik” (Buku Lima Belas, Bab Satu, Bagian
180, ayat 1).
Arthasastra Kautilya dapat
dikatakan sebagai suatu kompedium tentang bagaimana mengelola negara secara
lengkap dan detail. Isinya bukan saja mencakup tentang politik – tata negara,
intelijen, kepemimpinan, ekonomi, hukum, filsafat, dan pengobatan serta ilmu
magi, tetapi juga tentang ilmu HI.
Menurut Hoslti, Kautilya
menulis karya-karya yang masih tetap dipelajari orang sampai sekarang; karena
kesadarannya terhadap bentuk-bentuk permasalahan yang masih menghantui para
negarawan. Tulisan utama Kautilya dalam Arthasastra bukanlah untuk memberikan
analisa umum tentang hubungan antar negara, tetapi lebih merupakan tawaran
saran tentang bentuk ketatanegaraan yang paling efektif.[5]
Kautilya menulis Arthasastra
tentu beralasan, yakni sebagai buku pegangan bagi para raja India dalam
menjalankan kekuasaannya. Karena bukunya tersebut, Kautilya diangkat oleh raja
India Chandragupta Maurya (317-293 SM) sebagai ahli strategi, kanselir atau
semacam perdana menteri. Sejak saat itu Chandragupta dan Kautilya bekerja
bersama dalam menaklukan wilayah-wilayah India yang dikuasai oleh Yunani
melalui metode Arthasastra.
Dengan Arthasastra,
Kautilya bersama Chandragupta berhasil menghancurkan kekuasaan para penerus
Alexander Agung, dan untuk pertama kalinya berhasil menyatukan sebagian besar
anak benua India ke dalam kerajaannya. Tak lama setelah kematian
Alexander Agung pada tahun 323 SM, Chandragupta dan Kautilya memulai
penaklukkannya di India dengan merebut wilayah-wilayah yang dikuasai oleh
Yunani. Setelah merebut banyak wilayah India Barat (Punjab dan Sindh) dari
tangan Yunani dan disepakatinya sebuah perjanjian dengan Seleucus (penerus
Alexander Agung di India Barat), Chandragupta dan Kautilya berhasil menyatukan
hampir seluruh anak benua India. Sebagai akibatnya, Chandragupta sejak saat
itu, dan hingga kini, dianggap sebagai pemersatu pertama India dan kaisar atau
raja yang pertama bagi India.[6]
Setelah berhasil
mengalahkan Yunani di India, Chandragupta berhasil membagun Kerajaan Maurya
dengan pesat dan gemilang. Kebesaran kerajaan ini terus berlanjut hingga
era puteranya Bindusara (293-268 SM) dan cucunya Ashoka (268-232 B.C.E.). Dengan
populasi berjumlah sekitar limapuluh juta orang, Kerajaan Maurya merupakan yang
terbesar dibandingkan dengan Kerajaan Mughal yang berdiri dua ribu tahun
setelahnya dan bahkan lebih besar dibandingkan kekuasaan Kerajaan Inggris di
India.[7] Demikian pula dalam hal besarnya jumlah
pasukan yang dimiliki oleh Chandragupta, seluruhnya berjumlah sekitar enam
ratus ribu infantri, tigapuluh ribu kavaleri, delapan ribu kereta tempur
berkuda, dan sembilan ribu gajah.[8] Ibu kota Chandragupta adalah Pataliputra
(dekat kota modern Patna di timur laut India, tepat di bawah Nepal).
Pataliputra mungkin adalah kota terbesar di dunia saat itu, sebuah kota dengan
panjang delapan mil dan lebar satu setengah mil, dengan 570 menara dan enam
puluh empat pintu gerbang, semuanya dikelilingi oleh sebuah parit dengan lebar
600 kaki dan kedalaman empat puluh lima kaki. Selain itu kota juga dilindungi
oleh dinding-dinding batu dengan dilengkapi oleh para pemanah yang
dipersenjatai mata pisau.[9] Menurut para ahli, “Pataliputra” wilayahnya
dua kali lebih besar dari Roma di masa kerajaan Marcus Aurelius.”[10] Disinilah era imperium Chandragupta
dimulai.
Beberapa pengamat
berpendapat bahwa keberhasilan Chandragupta mengalahkan Yunani dan menguasai
India adalah buah keberhasilan yang disarankan oleh Kautilya melalui bukunya
Arthasastra.[11] Dan banyak pula sejarawan India yang bangga
mempertahankan Arthasastra Kautilya sebagai buku praktis tentang realisme
politik yang mampu menciptakan sejarah yang gemilang di masa India kuno. Bahkan
D. D. Kosambi berani mengatakan bahwa “Arthasastra Kautilya mampu
bekerja dengan lebih baik dalam hal praktik dibandingkan dengan metode
berpikirnya Plato tentang idealisme politik sebagaimana yang dipegang teguh
oleh orang-orang Yunani.”[12]
Dari sinilah awal mula
munculnya pengaruh buku Arthasastra yang ditulis oleh Kautilya. Di bawah ini
penulis akan mengkaji aspek-aspek teoretis buku Arthasastra yang terkait dengan
studi hubungan internasional, diantaranya adalah tentang enam kebijakan politik
luar negeri, perang, dan politik penaklukan dunia. Ketiga kajian ini penting
untuk dipahami agar kita dapat memahami peta pemikiran Kautilya tentang
hubungan internasional.
Enam Kebijakan Politik Luar Negeri
Dalam Arthasastra, Enam
kebijakan politik luar negeri dibahas dalam buku ketujuh.[13] Dalam buku ini Kautilya menawarkan teori
bahwa “an immediate neighbouring state is an enemy and a neighbour’s
neighbour, separated from oneself by the intervening enemy, is a friend”.[14] Dengan demikian negara penakluk dapat
mempengaruhi garis batas antara sekutu dan musuh, seperti halnya raja penakluk
mempengaruhi pembedaan jenis sekutu dan musuh. Kautilya menggambarkan Mandala
atau Lingkaran Negara-negara (Circle of States) seperti sebuah roda
dengan penakluk sebagai sentralnya. Sekutu-sekutunya ditarik menuju
posisinya di sepanjang jari-jari roda meskipun mereka dipisahkan oleh wilayah
musuh.[15] Ketika dianggap tepat, raja penakluk
menerapkan enam metode kebijakan luar negeri, yang umumnya dikenal sebagai enam
kebijakan politik (the six-fold policy), terhadap berbagai komponen
dalam Mandala Negara-negaranya. Metode tersebut bekerja saling terkait
dan mengikat satu sama lain kepada penakluknya sehingga ia (raja penakluk)
dapat melakukan apapun yang diinginkan selama itu perlu menurutnya.
Enam kebijakan politik
luar negeri Kautilya merupakan penentuan (kebijakan) mundur, stabil/ berdiam
diri dan maju. Seperti kata Kautilya:
Lingkaran unsur-unsur
pembentuk negara (Prakirti Mandala) adalah dasar enam kebijakan.[16]
Para guru pada masa
Kautilya hidup cenderung memiliki cara pandang yang berbeda, karena itu guru
yang berbeda, percaya pada kebijakan-kebijakan yang berbeda pula. Sebagai
contoh, Vatavyadhi mengajari bahwa hanya ada dua pendekatan kebijakan luar
negeri: mengadakan perdamaian atau melakukan peperangan.[17] Namun Kautilya memiliki cara pandang
yang berbeda, dia percaya bahwa terdapat hal-hal lain selain kedua hal
tersebut, oleh karena itu ia memberikan enam metode kebijakan politik luar
negeri. Keenam kebijakan politik tersebut adalah membuat perdamaian (sandhi),
melakukan peperangan (vigraha), tinggal diam/netral (asana),
mempersiapkan diri untuk perang/siaga (yana), mencari dukungan/aliansi (samsraya),
dan kebijakan ganda yaitu membuat perdamaian dengan negara satu sementara itu
juga mengadakan peperangan dengan negara lainnya.[18] Kondisi yang sedang berlangsung akan
menentukan kebijakan apa yang sebaiknya akan digunakan.
Untuk mengadakan
perdamaian, kita harus terlibat dulu dalam suatu kesepakatan, seperti misalnya
perjanjian, dengan syarat-syarat tertentu. Namun dalam perjanjian ada
yang mengharuskan syarat tertentu, atau bisa juga tidak memiliki kewajiban
apapun. Perjanjian tanpa syarat umumnya digunakan untuk memperoleh informasi tentang
musuh, sehingga raja bisa melakukan serangan setelah mempelajari titik lemah
‘lawan-lawannya’. Perjanjian dengan kewajiban tertentu memungkinkan
seorang “raja bijaksana membuat raja negara tetangga memerangi negara tetangga
lainnya untuk mencegah mereka bersatu dan menyerangnya”. Satu-satunya cara raja
agar benar-benar mengadakan perdamaian adalah ketika ia menemukan dirinya dalam
suatu kemunduran relatif jika dibandingkan dengan musuhnya.
Ketika seorang raja berada
dalam posisi superior atau lebih kuat dibandingkan musuhnya, ia akan menyerang
dan mengadakan perang. Ada tiga jenis perang sebagai bagian dari metode
kedua kebijakan luar negeri ini yaitu : Perang Terbuka (open war)
yang memiliki waktu dan tempat tertentu; Perang Rahasia (secret war)
yang dilakukan tanpa diduga, menciptakan terror dan ancaman dari satu
sisi dan menyerang dari sisi lainnya; dan Perang Tersembunyi (undeclared war)
yang menggunakan agen-agen rahasia, agama atau tahyul, dan para perempuan
sebagai senjata melawan musuh.[19]
Kautilya setuju dengan
penggunaan senjata-senjata perang yang dapat mengelabui raja yang tidak menaruh
curiga dan berperang dalam cara-cara yang non-konvensional. Ia mendukung penugasan
agen-agen rahasia yang menyamar menjadi teman dan kemudian membunuh para
pemimpin musuh pada waktu yang dianggap tepat, penggunaan “agama dan tahyul
untuk mendukung pasukannya dan mendemoralisasi pasukan musuh”, dan para
perempuan yang digunakan untuk menggoda dan merayu musuh. Inilah alat-alat
perang yang dipercaya Kautilya dapat digunakan dalam melancarkan Perang
Tersembunyi.
Jika seorang raja merasa
bahwa ia dan musuhnya memiliki kekuatan yang sama dan tidak dapat melukai atau
menghancurkan musuhnya, maka ia sebaiknya memilih untuk berdiam diri/netral.[20]
Ketika seorang raja
meningkatkan kekuatan dan memiliki keunggulan khusus di atas musuhnya, ia akan
mengambil bagian dalam pendekatan keempat kebijakan luar negeri Kautilya yaitu
bersiaga dengan melakukan persiapan perang.[21] Ketika mempersiapkan perang, raja
harus menjamin bahwa upaya-upaya para musuhnya akan dapat dihancurkan sementara
pasukannya sendiri tidak akan terluka.[22]
Sebagai kebalikan dari
metode siaga, seorang raja membutuhkan bantuan dari negara lain untuk
melindungi upaya-upayanya. Gagasan membangun aliansi ini merupakan metode
kelima kebijakan luar negeri Kautilya. Seorang raja yang mengupayakan
aliansi harus yakin bahwa ia menemukan seorang raja yang lebih kuat dibandingkan
dengan musuhnya. Namun ketika tidak adanya peluang menemukan raja lain
yang lebih kuat dibandingkan musuh ; kita harus mengadakan perdamaian dengan
musuh.[23]
Metode terakhir dalam enam
kebijakan luar negeri adalah menerapkan kebijakan ganda dengan menjalin
persahabatan melalui perdamaian dan melakukan peperangan pada saat bersamaan.[24] Di bawah metode ini penakluk bisa memperoleh
perbekalan/perlengkapan serta bala bantuan, mencegah sebuah serangan dari
belakang dimana sekutu dalam Mandala negara-negara akan mengingatkan adanya
musuh. Setelah melakukan perang dengan sekutu dan kemudian menyetujui
syarat-syarat suatu perjanjian, jika sekutu ingkar dalam melaksanakan kewajiban
yang disepakati, maka mereka dapat diperlakukan sebagai musuh.[25] Keenam kebijakan politik Kautilya kemudian
memberikan pengaruh bagi upaya ilmuwan-ilmuwan HI untuk memahami perang dan
bagaimana cara menyiasatinya.
Perang
Dalam buku ketujuh tentang
“Enam Kebijakan Politik”, perang masuk dalam kategori kebijakan politik yang
kedua. Dalam bahasan tentang kebijakan politik luar negeri, Kautilya membedakan
perang menjadi 3 jenis: ” 1. Perang Terbuka, 2. Perang Tertutup dan 3. Perang
Tersembunyi.”[26] Perang Terbuka adalah jelas (waktu dan
tempatnya), dan Perang Tertutup adalah apa yang kita sebut dengan perang
gerilya, Perang tersembunyi adalah jenis perang di mana raja dan para
menterinya—dan dengan tidak disadari, rakyatnya—semua bertindak secara terbuka
seolah-olah mereka sedang berdamai dengan kerajaan lawannya, tetapi di saat
bersamaan para agen rahasia dan mata-matanya bekerja membunuhi para elit
pemimpin di kerajaan lawan tersebut.
Menurut Kautilya, “Perang
Terbuka adalah pertempuran pada tempat dan waktu yang ditentukan; Jenis perang
Tertutup adalah menciptakan ketakutan, serangan tiba-tiba, menyerang ketika
terdapat kesalahan atau bencana, membuka jalan dan menyerang dalam satu tempat;
dan Perang Tersembunyi adalah segala tindakan yang memusatkan perhatian pada
praktik-praktik rahasia melalui agen-agen rahasia. Dalam Perang Tersembunyi,
kerahasiaan adalah yang utama, raja dapat menang hanya melalui “cara-cara yang
bersifat rahasia di saat ia menyerang”.
Perang Terbuka, menurut
Kautilya, adalah “yang paling baik,”tetapi ia ingin menggunakan setiap
langkah-langkah perang untuk mencapai konsolidasi dan ekspansi kerajaan. Tidak
ada pertanyaan tentang moralitas disini—selain kebaikan masyarakat kerajaan
tersebut—yang ada hanyalah strategi. Kautilya menyarankan rajanya agar ketika
unggul dalam hal pasukan, ketika penghasutan secara rahasia dilancarkan di kamp
musuh, dan ketika ia menemukan medan (tempur) yang cocok, sebaiknya ia terlibat
dalam perang terbuka. Pada kasus sebaliknya, dimana ia tidak bisa mencapai
hal-hal tersebut di atas, ia sebaiknya memilih Perang Tertutup.
Dalam Buku 12, Kautilya
menghadapi situasi di mana “raja di kerajaan lemah akan diserang oleh raja yang
lebih kuat”.[27] Ia menyebutkan bahwa “ada tiga jenis raja
penakluk : “penakluk bijak, penakluk serakah, dan penakluk jahat.”[28] Penakluk bijak sudah cukup puas hanya dengan
melihat musuh menyerah dan tunduk pada kekuasaannya saja, penakluk serakah
selain mendapat penyerahan diri musuh juga harus mendapatkan “tanah dan
kekayaannya” termasuk uang dan segala harta benda. Namun, penakluk yang jahat,
mungkin akan puas ketika ia telah mengusai seluruh “tanah, kekayaan, anak,
isteri dan kehidupan” raja yang lemah.[29]
Seorang raja yang lemah
harus menyerahkan apapun jika hal itu tidak dapat dielakkan, tetapi ia harus
menemukan sebuah cara jitu untuk bertahan dalam peperangan di masa mendatang”.[30] Bagaimanapun, Kautilya tidak menyarankan
menyerah pada seorang penakluk tanpa tindakan balasan dan ia merekomendasikan
raja menggunakan “perang tertutup dan diplomatik”; berupaya berdamai dengan
musuh dengan menyerahkan hadiah-hadiah, di saat bersamaan mengarahkan agen-agen
rahasia untuk menggunakan “senjata, racun atau api” untuk menghancurkan benteng
atau kamp musuh; memerintahkan agen rahasia untuk mendorong kudeta dengan
menggunakan seorang “putera raja penakluk yang tidak puas”; mengirimkan kepada
raja musuh gajah-gajah lemah yang telah diracuni; memberi raja musuh pasukan
yang tidak setia; meminta agen rahasia menyulut pemberontakan diantara rakyat
raja musuh; “menggunakan pembunuh dan pemberi racun”; memerintahkan agen
rahasia untuk mengumumkan bahwa bupati/wakil raja akan mengambil alih
kekuasaan, sementara agen-agen rahasia membunuh para pemimpin di malam hari dan
menyalahkan pembunuhan tersebut pada bupati/wakil raja musuh; menggunakan agen
rahasia di dalam wilayah kerajaan untuk memprotes tirani birokrasi raja musuh
dan membunuh agen-agen raja dengan berharap akan memicu pemberontakan; atau
pada akhirnya, membakar istana-istana dan toko-toko gandum dan
menyalahkannya kepada bupati/wakil raja musuh.[31]
Kautilya seringkali
menyarankan menggunakan perempuan sebagai senjata perang. Kautilya beranggapan
bahwa perempuan dapat menjadi sebuah sumber kepuasan bagi pasukan di saat
perang. Ia menulis bahwa ketika membangung kamp bagi pasukan, “para pelacur
(sebaiknya ditempatkan) di sepanjang jalan-jalan raya.”[32] Dan Kautilya tentunya melihat perempuan
sebagai sumber kesenangan yang adiktif, lebih parah dibandingkan anggur atau
judi, sehingga seorang raja yang baik harus menikmatinya hanya dengan
pengendalian diri: Penyembuhan adalah mungkin dalam perjudian, tetapi tidak ada
penyembuhan dari kecanduan terhadap perempuan yang dapat mengakibatkan
kegagalan menunjukkan jati diri, kemalasan kerja, ketiadaan materi dan
kehilangan kondisi spiritual. Hal ini terjadi karena perempuan merupakan candu
yang sangat kuat sehingga seorang raja dapat menggunakan mereka untuk melawan
musuh; seperti misalnya, jika seorang raja mencoba melemahkan oligarki, ia
“sebaiknya membuat para pemimpin yang menguasai dewan terobsesi oleh perempuan
yang sangat cantik dan muda. Ketika hasrat menguasai mereka, para perempuan ini
sebaiknya memulai perselisihan di antara mereka dengan meyakinkan cinta pada
satu orang dan kemudian berpindah lagi ke orang lainnya. Seorang
perempuan yang menyatakan cinta pada satu pemimpin sebaiknya mendekati pemimpin
lainnya, mengakui kecintaan padanya juga dan memintanya membunuh pemimpin yang
didekati pertama kali, dan kemudian ia mengumumkan, ‘Kekasihku dibunuh oleh dia
dan dia’.[33]Taktik semacam ini dapat menciptakan
ketidakpercayaan/ kecurigaan di antara para pemimpin oligarki dan juga
mendorong pembunuhan terhadap musuh-musuh penting.[34]
Kautilya dapat membenarkan
taktik apa saja untuk memenangkan perang. Apakah itu menggunakan perang terbuka,
perang tertutup, ataupun perang tersembunyi. Apakah perang tersebut bersifat
moral ataupun tidak, yang terpenting adalah, bagi Kautilya, sasaran atau tujuan
yang sebenarnya dari perang dapat membuahkan hasil yaitu kemenangan. Dan yang
lebih penting lagi adalah strategi perang tersebut dapat memberikan
keberhasilan dalam menaklukan dunia.
Penaklukan Dunia
Dalam dunia politik
internasional, merupakan “kealamiahan” bahwa bangsa-bangsa berinteraksi satu
sama lain melalui “pertikaian dan kekuatan.” Seorang realis politik umumnya
berpendapat bahwa selalu ada konflik dalam hubungan internasional dan, sebagai
akibatnya, akan diatur oleh yang terkuat. Kautilya menulis “Arthasastra”
sekitar tahun 300 SM, satu abad setelah Thucydides menyusun “Sejarah Perang
Pelloponesian” dan beberapa dekade setelah kaum sofis[35] Callicles dan Thrasymachus mengatakan pada
Plato bahwa aturan oleh yang terkuat merupakan sesuatu yang “alamiah.” Kautilya,
dalam sumpahnya, menyatakan bahwa seseorang yang “memiliki kualitas personal
dan menguasai ilmu politik Arthasastra, maka ia akan dapat menaklukkan seluruh
dunia.”
Banyak yang
menginterpretasikan Arthasastra sebagai ilmu yang interdisipliner. Ada yang menerjemahkan
Arthasastra sebagai ilmu politik, sebuah ilmu yang diperuntukkan bagi
raja dalam “mengakuisisi dan melindungi bumi.”Ada juga yang menerjemahkan Arthasastra
sebagai ilmu ekonomi, dan ada juga yang menerjemahkan Arthasastra sebagai ilmu
agama, tapi saya pribadi lebih suka menyebut Arthasastra sebagai studi
strategis. Tetapi Kautilya lebih suka menyebut Arthasastra sebagai ilmu “hukum
abadi mengenai politik, ekonomi, diplomasi, dan perang.[36]
Kautilya menawarkan kepada
para pembacanya suatu ilmu yang dengannya mereka dapat menguasai dunia, untuk
itu ia percaya bahwa bersikap pasif terhadap dunia, seperti mempercayakan diri
pada takdir atau bergantung pada takhyul—adalah bodoh. “Jika seseorang percaya
pada takdir,” kata Kautilya, “dan meniadakan usaha manusia, ia akan
binasa.” Pandangan filosofinya digunakan untuk bertindak, bukan hanya menerima:
“Tujuan tidak akan tercapai akibat kebodohan seseorang, yang selalu percaya dan
bertanya pada bintang-bintang; . . . apa yang akan bintang-bintang katakan dan
lakukan?” Dalam mendesak raja untuk berpegang pada ilmu pengetahuan dan bukan
pada persepsi-persepsi agama, Kautilya memisahkan pemikiran politik dari
spekulasi agama.[37]
Seperti halnya kaum
realisme politik, Kautilya percaya bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah
kekuasaan. Menilik pernyataan Kautilya bahwa “kekuasaan adalah (kepemilikan
atas) kekuatan” dan “kekuatan dapat mengubah pemikiran” memperlihatkan bahwa
Kautilya melihat kekuatan untuk mengendalikan bukan hanya perilaku yang nyata,
tetapi juga pemikiran orang-orang atau musuh-musuh yang menjadi sasaran.
Mungkin ilmu pengetahuannya tidak dapat menjanjikan semua hal-hal tersebut,
tetapi kekuatan yang ditawarkan melalui ilmunya menyebar luas: “sebuah panah,
yang dilepaskan oleh seorang pemanah, dapat membunuh satu orang atau bisa juga
tidak membunuh satu orang pun; akan tetapi kepandaian yang dijalankan oleh
seorang bijak dapat membunuh bahkan anak-anak dalam kandungan sekalipun.
Tujuan paling utama
Kautilya dalam menulis Arthasastra adalah untuk “menghancurkan musuh-musuh dan
melindungi rakyatnya sendiri.”[38] Seorang raja dapat mewujudkan hal ini dengan
menggunakan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Kautilya. Pada kenyataannya,
“Kautilya, adalah orang yang sangat mahir dalam ilmu politik,. . .
memainkannya, sebagaimana ia kehendaki, dengan para raja yang terikat oleh
kepandaian intelektualnya.” Selain melindungi kerajaan, raja yang menggunakan
ilmu Kautilya dapat membawa diri dan masyarakatnya pada kesejahteraan yang
tertuang dalam tiga kebaikan dalam hidup (keunggulan material, pencapaian
spiritual dan kesenangan). Kautilya menegaskan pentingnya pencapaian
kesejahteraan dan juga kaitannya sebagai illmu politik yang sangat penting
dengan menyatakan, “Sumber kehidupan umat manusia adalah kesejahteraan (artha),
dengan kata lain adalah bumi (dan segala isinya) yang dihuni oleh manusia. Ilmu
yang bertujuan memperoleh (keuntungan) dan melindungi bumi tersebut adalah Ilmu
Politik.”[39] Dengan kata lain, “siapa yang memperoleh
kesejahteraan akan menguasai dunia”. Oleh karena itu buku Kautilya merupakan
senjata terbesar yang dimiliki seorang raja yang ingin menaklukkan dunia.
Kautilya
menginterpretasikan frase “menakluklan dunia” atas segala sesuatu yang India
anggap sebagai batas-batas alamiah India : mulai dari Himalaya terus menuju
selatan Samudera Hindia, dan dari Laut Arabia menuju Teluk Bengal. Meskipun
Kautilya mengatakan, “wilayah penguasa yang berdaulat di perluas ke arah utara
antara Himavat dan laut, seribu yojanas [sekitar sembilan ribu mil]
dalam luas melintang.”[40] Penting untuk dicatat, bahwa dalam tradisi
India, politik penaklukkan dunia, atau cakravar-tin, bukanlah upaya
penaklukan pada “wilayah-wilayah di luar batas-batas India.”Singkatnya, India
tidak memasukkan wilayah “kaum barbarian” atau mlecchas: suatu wilayah
yang berada di luar batas dan budaya India.[41]
Meskipun politik
penaklukan dunia India hanya terbatas pada batas-batas wilayah India dan bukan
pada dunia secara keseluruhan, akan tetapi metode penaklukan yang diajarkan
oleh kautilya dalam Arthasastra dapat membantu kita memahami fenomena
‘imperialisme” yang terus berlangsung hingga saat ini dan diyakini oleh V. R.
Ramachandra Dikshitar sebagai “salah satu penyebab perang yang terus
berkelanjutan dalam hubungan antar negara.”[42]
Penutup
Arthasastra adalah buku
yang ditulis oleh Kautilya untuk membantu raja Chandragupta dalam mengelola
negara. Arthasastra telah membawa Raja Chandragupta ke era kejayaan. Melalui
strategi enam kebijakan politik luar negeri dan strategi perang yang terkonsep
dengan rapi, Chandragupta berhasil menaklukan dunia (dalam batas-batas wilayah
tradisional India), mulai dari wilayah India Barat (Punjab dan Sindh),
Himalaya, selatan samudera Hindia (Indian Ocean), dan dari Laut Arabia menuju
Teluk Bengal.
Meskipun buku Arthasastra
ditulis 2000 tahun lalu, gagasan-gagasan yang dituangkan Kautilya dapat
membantu kita memahami fenomena-fenomena hubungan internasional saat ini. Dalam
enam kebijakan politik, misalnya, konsep-konsep seperti perdamaian, perang,
kenetralan negara, siaga dalam perang, aliansi antar negara dan kebijakan
ganda telah menjadi pilihan paling strategis negara-bangsa modern ketika
menghadapi konflik dan perang.
Sumber: Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional (Parahyangan Center for International Studies),
Vol.5, No.2, September 2009, hlm.13-25
Daftar Kepustakaan
Bhargava, Purushottam Lal,
1996, Chandragupta Maurya: A Gem of Indian History, New Delhi: D. K.
Printworld.
Basham, A. L, 1963, The
Won-der That Was India, New York: Hawthorn Books
Hoffmann, Stanley, 1987,
“An American social science: international relations” re-printed in his (ed.),
Janus and Minerva: Essays in the Theory and Practice of International Politics,
Boulder , CO: Westview Press.
Holsti, Kalevi J,
1987, Politik Internasional, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Indra, 1957, Ideologies of
War and Peace in Ancient India, (Hoshiarpur, India: Vishveshvaranand Institute
Publications.
Kautilya, 2003,
Arthasastra, Surabaya: Paramita.
Kosambi, D. D. The Culture
and Civilisation of Ancient India, 1994, Delhi: Vikas Publishing House.
Kulke, Hermann, and
Dietmar Rothermund, 1991, A History of India, New Delhi: Rupa and Co.
Lippman, Walter, 1994,
Opini Umum: Antara Rekayasa dan Realitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1994.
Nala, Ngurah. “Panaturan
Kitab Suci Hindu Kaharingan.” http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=924&temid=9
Ramachandra Dikshitar, V.
R, 1987, War in Ancient India, (Delhi: Motilal Banarsidass.
Rangarajan, L.N, 1992, The
Arthashastra: Edited, Rearranged, Translated and Introduced, (New Delhi, India:
Penguin Books India Ltd.
Singh, G. P, 1993,
Political Thought in Ancient India, New Delhi: D. K. Printworld.
Thapar, Romila,
1966, A History of India, (Bal-timore, Md.: Penguin Books.
Wolpert, Stanley, 1982, A
New History of India, New York: Oxford University Press
Catatan
[1]Di Barat pun perspektif-perspektif HI yang
dikaji condong pada kajian HI yang berkembang di Amerika (Barat), lihat Stanley
Hoffmann, “An American social science: international relations” re-printed in
his (ed.), Janus and Minerva: Essays in the Theory and Practice of
International Politics, (Boulder , CO: Westview Press, 1987), hlm. 3–24.
[2] Agama Hindu memiliki kitab suci yang bernama
Weda. Kitab suci Weda ini terbagi atas dua kelompok besar, yakni kitab Weda
Sruti dan Weda Smerti. Kitab Weda Sruti terbagi lagi atas 3 kelompok, yakni
kelompok Kitab Suci Mantra, Brahmana, dan Upanishad. Yang termasuk di dalam
kelompok kitab Mantra adalah Kitab Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa
Weda. Keempatnya sering disebut sebagai kitab suci Catur Weda. Kitab Brabmana
terbagi lagi atas kelompok kitab Aitareya, Satapatha, Tandya, dan Gopatha.
Sedangkan kitab Upanishad terdiri atas 92 buah kitab. Dan kitab Weda Smerti
berkembang menjadi kitab suci Wedangga (Siksa, Wyakarana, Chanda, nirukta,
Jyotisa, Kalpa), kitab Upaweda (Itihasa, Purana, Ayurweda, Arthasastra, dll)
dan kitab Agama (Brahmanisme, Siwaisme, Waisnawaisme, Saktiisme, dll). Lihat
Ngurah Nala, “Panaturan Kitab Suci Hindu Kaharingan.” http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=924
&Itemid=29
[3] Sambutan I Wayan Suarjaya dalam buku Kautilya
(Canakya), Arthasastra, terj (Surabaya: Paramita, 2003), hlm. v
[4] Ibid, hlm. vi
[5] Kalevi J. Holsti, Politik Internasional, terj
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987), hlm. 7-8
[6] Purushottam Lal Bhargava, Chandragupta
Maurya: A Gem of Indian History, (New Delhi: D. K. Printworld, 1996), hlm. 114
[7] Stanley Wolpert, A New History of India, (New
York: Oxford University Press, 1982), hlm. 59
[8] Romila Thapar, A History of India,
(Bal-timore, Md.: Penguin Books, 1966), hlm. 79
[9] A. L. Basham, The Won-der That Was India,
(New York: Hawthorn Books, 1963), hlm. 350
[10] Hermann Kulke and Dietmar Rothermund, A
History of India, (New Delhi: Rupa and Co., 1991), hlm. 60
[11] Purushottam Lal Bhargava, Op.Cit, hlm. 102
[12] D. D. Kosambi, The Culture and Civilisation
of Ancient India, (Delhi: Vikas Publishing House, 1994), hlm. 141
[13] Kautilya, Op.Cit, hlm. 389-476
[14] L.N. Rangarajan, The Arthashastra: Edited,
Rearranged, Translated and Introduced, (New Delhi, India: Penguin Books India
Ltd, 1992), hlm. 542. Mengapa Kautilya menganggap wilayah Negara yang
berdekatan secara langsung adalah musuh, sementara yang berjauhan adalah kawan.
Untuk menjelaskannya Kautilya membuat cara pandang yang disebut teori kebijakan
luar negeri Mandala, di mana negara tetangga yang berdekatan langsung dianggap
sebagai musuh, tetapi negara manapun yang wilayahnya dihalangi oleh negara
musuh dianggap sebagai sekutu, atau, musuh dari musuh saya adalah teman bagi
saya. Untuk lebih mudahnya, simaklah ilustrasi berikut : Bayangkan satu
rangkaian negara-negara di sebelah Barat negara kita, dan kemudian beri nomor
masing-masing negara dengan dimulai dari negara kita sebagai angka 1. Maka
negara-negara bernomor 1, 3, 5, 7, dan seterusnya adalah teman, sementara
negara 2, 4, 6, 8, dan seterusnya adalah musuh. (Hal yang sama dapat dilakukan
dengan membuat lingkaran-lingkaran konsentris, yang akan terlihat lebih seperti
sebuah lingkaran/mandala, tetapi sulit untuk menggambarkan lingkaran-lingkaran
tersebut sebagai negara-negara). Kautilya meletakan prinsip dasar dalam
sejumlah cara yang berbeda, tetapi yang paling sederhana adalah, “Sebuah negara
yang wilayahnya berdekatan langsung adalah musuh alamiah.” Lalu ia menyatakan
teori kebijakan luar negeri Mandala dengan lebih detil: “Sehubungan dengan
keberadaan raja tengah [yaitu dirinya sendiri), maka elemen/raja ketiga dan
kelima adalah adalah elemen yang bersahabat. Sementara, elemen keempat, dan
keenam adalah elemen yang tidak bersahabat."
[15] Ibid, hlm. 561
[16] Kautilya, Op.Cit, hlm. 391
[17] Ibid, hlm. 391
[18] Ibid
[19] Ibid, hlm. 418
[20] L.N. Rangarajan, Op.Cit, hlm. 563-565
[21] Ibid, hlm. 563
[22] Ibid, hlm. 565
[23] Ibid, hlm. 573
[24] Ibid, hlm. 563-565
[25] Ibid, hlm. 575
[26] Kautilya, Op.Cit, hlm. 418
[27] Kautilya, Op.Cit, hlm. 599
[28] Ibid
[29] Ibid, hlm. 600
[30] Ibid
[31] Ibid, hlm. 601
[32] Ibid, hlm. 562
[33] Ibid, hlm. 592
[34] Ibid
[35] Kaum sofis adalah guru-guru Yunani yang
cakap dalam retorika (berpidato) namun mereka tidak bijaksana karena menganggap
dirinya pandai dan tahu segala sesuatu. Aliran ini disebut sofisme. Dikutip
dari catatan kaki Walter Lippman, Opini Umum: Antara Rekayasa dan Realitas,
terj (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), hlm. xxviii
[36]G. P. Singh, Political Thought in Ancient
India, (New Delhi: D. K. Printworld, 1993), hlm. 7
[37] Ibid
[38] Kautilya, Op.Cit, hlm 651
[39] Ibid, hlm. 677
[40] Ibid, hlm. 518
[41] Indra, Ideologies of War and Peace in
Ancient India, (Hoshiarpur, India: Vishveshvaranand Institute Publications,
1957), hlm. 54–55
[42] V. R. Ramachandra Dikshitar, War in Ancient
India, (Delhi: Motilal Banarsidass, 1987), hlm. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar