Oleh Syekh Ja’far Hadi. Penerjemah: Abu
Fathimah S.
[32] Para
pengikut Syi’ah Ja’fariyah selalu memperingati hari gembira kelahiran
Rasulullah saw beserta kelahiran para keluarga suci beliau. Sebagaimana mereka
juga memperingati hari duka wafat Rasulullah saw dan para keluarga suci beliau.
Semua itu mereka lakukan demi selalu mengenang dan mengingat keutamaan,
kemuliaan, dan posisi luhur mereka, sebagaimana yang telah disinggung dalam
banyak riwayat sahih, sesuai dengan ajaran al-Quran yang banyak menyinggung
keutamaan Nabi saw serta rasul-rasul yang lain. Sebagaimana teks keagamaan itu
juga memerintahkan agar kita selalu memuliakan, mengikuti, mengambil pelajaran
dan petunjuk dari mereka, manusia-manusia mulia itu.
Tentu saja, dalam memperingati berbagai kejadian yang ada, Syi’ah Ja’fariyah melarang pengikutnya melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat, seperti percampuran haram antara lelaki dan perempuan, menikmati hidangan haram, berlebih-lebihan (ghuluw)[30] dalam memberikan pujian dan pengagungan, dan segala hal yang bertentangan dengan ruh syariat Islam yang suci, melanggar batasan-batasan syariat yang jelas, ataupun yang tidak sesuai dengan ayat, riwayat yang sahih, maupun bertentangan dengan kaidah universal yang dihasilkan dari sumber-sumber utama hukum, seperti al-Quran dan haclis, yang tentu dihasilkan melalui metodologi penggalian hukum (istinbath) yang baik dan benar.
[33] Para pengikut Syi’ah Ja’fariyah menggunakan kitab-kitab yang menampung hadis-hadis Rasulallah saw dan para keluarga suci beliau as, seperti kitab al-Kâfi karya Tsiqat al-Islam al-Kulaini, kitab Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih karya Syaikh al-Shaduq, dan kitab al-Istibshar serta al-Tahdzib karya Syaikh al-Thusi, di mana semuanya merupakan kitab-kitab standar yang berkait dengan kitab hadis. Kitab-kitab yang telah disebut di atas, walaupun mencakup berbagai hadis sahih, namun, baik para pengarangnya maupun para pengikut Syi’ah Ja’fariyah tidak menamainya dengan sebutan kitab al-Shahih. Atas dasar itulah, para ulama dan pakar fikih (fuqaha’) Syi’ah tidak menyatakan dengan jelas bahwa semua hadis-hadis yang terkandung di dalamnya dijamin kesahihannya. Akan tetapi mereka hanya mengambil hadis-hadis yang menurut mereka telah terbukti kesahihannya secara jelas. Sebagaimana mereka akan meninggalkan hadis-hadis yang dianggap tidak sahih dan hadits hasan atau hadis yang memiliki kemungkinan untuk dapat dijadikan pegangan dan disesuaikan dengan disiplin ilmu tentang dasar-dasar pengenalan dan penentuan hadis (‘Ilmu Dirayat al-Hadits), ilmu tentang kepribadian perawi (‘Ilmu Rijâl), dan ilmu tentang kaidah-kaidah umum ilmu hadis (Qawa’id ‘Ilmi al-Hadits).
[34] Sebagaimana para pengikut Syiah Ja’fariyah juga –dari sisi ajaran akidah, fikih, doa, dan etika– mengambil dari kitab-kitab lain yang menjelaskan berbagai riwayat para imam Ahlulbait as, seperti kitab Nahj al-Balaghah karya Sayyid al-Radhi ra, kitab kumpulan ceramah, surat, maupun mutiara hikmah ringkas Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Atau kitab Risalah al-Huquq dan al-Shahifah al-Sajjadiyah karya Imam Ali Zainal Abidin as, ataupun al-Shahifah al-‘Alawiyah karya Imam Ali as, ‘Uyun Akhbar al-Ridha, al-Tauhid, al-Khishal, ‘Ilal al-Syarayi’, Ma’ani al-Akbbar karya Syaikh Shaduq ra.
[35] Terkadang Syi’ah Ja’fariyah juga menyandarkan argumennya pada hadis-hadis Rasulullah saw yang tercantum dalam kitab-kitab saudara mereka dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah[31] dalam berbagai hal, tanpa didasari fanatisme atau kedengkian. Hal itu dapat dilihat datam karya-karya mereka, baik karya-karya lama maupun kontemporer. Di sana terdapat banyak sekali hadis-hadis yang diriwayatkan dari para sahabat Nabi saw, istri-istri Nabi saw, pemuka para sahabat Nabi saw, ataupun para pembesar perawi hadis semisal Abu Hurairah, Anas bin Malik dan sebagainya. Tentu saja, mereka mensyaratkan kesahihan dan ketidakbertentangan hadis tersebut dengan al-Quran, hadis sahih lain, akal sehat, dan konsensus ulama.
[36] Syi’ah Ja’fariyah melihat bahwa segala cobaan dan ujian yang menimpa kaum muslimin semenjak dulu hingga kini teringkas dalam dua faktor utama: Pertama, kaum muslimin tidak menerima ataupun meragukan kelayakan Ahlulbait as sebagai pemimpin untuk memegang tampuk kepemimpinan umat. Mereka meremehkan bimbingan dan ajaran-ajaran Ahlulbait, khususnya kemampuan Ahlulbait dalam menafsirkan al-Quran. Kedua, perpecahan, pertikaian, dan ikhtilaf antar mazhab dan kelompok Islam. Oleh karena itu, Syi’ah Ja’fariyah selalu berusaha untuk menjaga persatuan barisan kaum muslimin, dengan mengulurkan rasa kasih sayang dan persaudaraan ke segenap kaum muslimin. Mereka menghormati berbagai ijtihad dan hukum yang diberlakukan oleh setiap ulama umat Islam, dari mazhab dan kalangan manapun.
Atas dasar itulah, sejak
kurun waktu yang lama para ulama Syi’ah Ja’fariyah selalu menyebutkan pendapat-pendapat para pakar fikih di luar Syi’ah dalam karya-karya
mereka, yang berkait dengan fikih, tafsir, maupun teologi (kalam), seperti
kitab al-Khilaf dalam bidang fikih karya Syaikh al-Thusi, Majma’ al-Bayan dalam
bidang tafsir al-Quran –yang banyak dipuji oleh para ulama terkemuka di
al-Azhar– karya al-Thabarsi, Tajrid al-I’tiqad dalam bidang teologi karya Nasiruddin
al-Thusi, yang juga disyarah oleh ‘Alauddin al-Qausaji yang bermazhab
Asy’ariyah.
[37] Para pemuka ulama Syi’ah Ja’fariyah melihat pentingnya diskusi dan tukar pikiran antar ulama berbagai mazhab Islam, baik dalam bidang fikih, akidah, sejarah, dan membangun sikap saling memahami, sekaligus saling memberikan pemahaman atas setiap kendala kaum muslimin di masa sekarang ini. Juga, dengan menjauhkan diri dari tindakan saling memfitnah dan menghindari pengotoran suasana dari segala jenis celaan, sehingga lahan yang sesuai akan terbina, guna mewujudkan pendekatan logis antar mazhab yang selama ini terhalang oleh pelbagai macam penyekat. Selain itu, sekaligus sebagai pencegah bagi para musuh agar tidak lagi mengusik ketentraman Islam dan kaum muslimin. Selama ini, musuh-musuh itu selalu mencari-cari celah untuk meraih peluang guna menghancurkan segenap kaum muslimin, tanpa terkecuali.
Oleh sebab itu, Syi’ah Ja’fariyah tidak pernah mengkafirkan siapapun pribadi yang masih termasuk dalam kategori muslim (ahli al-kiblat), apapun mazhab dan kecenderungan akidahnya. Kecuali, kelompok yang telah disepakati oleh kaum muslimin akan kekafirannya. Syi’ah Ja’fariyah tiada akan pernah mengganggu ataupun membiarkan seseorang untuk menguasai mereka (kelompok muslim lain). Syi’ah Ja’fariyah akan tetap menghormati ijtihad dari kelompok dan mazhab Islam lain, sebagaimana mereka menganggap bahwa segala perbuatan orang yang berpindah dari satu mazhab tertentu ke mazhab Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah yang telah lalu tetap dibenarkan (mujzi), tidak perlu diulang (musqithan li al-taklif), dan merupakan pelepas tanggung jawab bagi pelaksanaan kewajiban Ilahi (mubri’ li al-dzimmah).
Jika ternyata dia pada waktu itu melakukan segala amalan syariat –seperti shalat, puasa, haji, zakat, pernikahan, perceraian, jual-beli, dan sebagainya– sesuai dengan mazhab yang dianutnya, maka tidak diwajibkan atasnya untuk mengulang segala yang telah dilakukannya. Sebagaimana tidak diwajibkan baginya untuk memperbaharui akad nikah atau perceraian, selama hal tersebut sesuai dengan pendapat mazhab yang dianutnya selama ini. Para pengikut Syi’ah selalu hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim di manapun mereka berada; hubungan mereka selama ini mirip seperti hubungan sesama saudara atau famili.
[37] Para pemuka ulama Syi’ah Ja’fariyah melihat pentingnya diskusi dan tukar pikiran antar ulama berbagai mazhab Islam, baik dalam bidang fikih, akidah, sejarah, dan membangun sikap saling memahami, sekaligus saling memberikan pemahaman atas setiap kendala kaum muslimin di masa sekarang ini. Juga, dengan menjauhkan diri dari tindakan saling memfitnah dan menghindari pengotoran suasana dari segala jenis celaan, sehingga lahan yang sesuai akan terbina, guna mewujudkan pendekatan logis antar mazhab yang selama ini terhalang oleh pelbagai macam penyekat. Selain itu, sekaligus sebagai pencegah bagi para musuh agar tidak lagi mengusik ketentraman Islam dan kaum muslimin. Selama ini, musuh-musuh itu selalu mencari-cari celah untuk meraih peluang guna menghancurkan segenap kaum muslimin, tanpa terkecuali.
Oleh sebab itu, Syi’ah Ja’fariyah tidak pernah mengkafirkan siapapun pribadi yang masih termasuk dalam kategori muslim (ahli al-kiblat), apapun mazhab dan kecenderungan akidahnya. Kecuali, kelompok yang telah disepakati oleh kaum muslimin akan kekafirannya. Syi’ah Ja’fariyah tiada akan pernah mengganggu ataupun membiarkan seseorang untuk menguasai mereka (kelompok muslim lain). Syi’ah Ja’fariyah akan tetap menghormati ijtihad dari kelompok dan mazhab Islam lain, sebagaimana mereka menganggap bahwa segala perbuatan orang yang berpindah dari satu mazhab tertentu ke mazhab Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah yang telah lalu tetap dibenarkan (mujzi), tidak perlu diulang (musqithan li al-taklif), dan merupakan pelepas tanggung jawab bagi pelaksanaan kewajiban Ilahi (mubri’ li al-dzimmah).
Jika ternyata dia pada waktu itu melakukan segala amalan syariat –seperti shalat, puasa, haji, zakat, pernikahan, perceraian, jual-beli, dan sebagainya– sesuai dengan mazhab yang dianutnya, maka tidak diwajibkan atasnya untuk mengulang segala yang telah dilakukannya. Sebagaimana tidak diwajibkan baginya untuk memperbaharui akad nikah atau perceraian, selama hal tersebut sesuai dengan pendapat mazhab yang dianutnya selama ini. Para pengikut Syi’ah selalu hidup berdampingan dengan saudara-saudara mereka sesama muslim di manapun mereka berada; hubungan mereka selama ini mirip seperti hubungan sesama saudara atau famili.
Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah
tidak bertoleran terhadap mazhab-mazhab yang dibangun oleh para imperialis dan
kolonialis, seperti Baha’iyah, al-Babiyah, al-Qadiyaniyah, dan sebagainya. Bahkan
Syi’ah sangat menentang, memerangi, dan mengharamkan penyebaran mazhab-mazhab
semacam itu. Jika terkadang –bukan setiap saat– Syi’ah mempraktikkan metode
taqiyah (menyembunyikan keimanan dan keyakinan), maka hal itu dikarenakan
mereka berada dalam rangka menyembunyikan mazhab dan keyakinannya. Ini
merupakan perkara yang diperbolehkan oleh syariat Islam, sebagaimana disinyalir
oleh al-Quran, dan merupakan suatu hal yang umum di kalangan mazhab-mazhab
Islam, jika terjadi pertikaian sengit antar-kelompok. Taqiyah diperbolehkan
dalam dua situasi: [1] Menjaga
keselamatan jiwa dan menghindari pertumpahan darah. [2] Menjaga persatuan umat Islam dan menghindari pertikaian di
antara mereka.
[38] Syi’ah Ja’fariyah melihat bahwa sebab kemunduran kaum muslimin di era sekarang ini, dikarenakan terjadinya penyimpangan pemikiran, budaya, intelektual, dan teknologi. Solusinya tersembunyi dalam diri kaum muslimin sendiri –baik lelaki maupun perempuan. Ya, keluar dari kendala tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas pemikiran intelektual dan budaya upaya tersebut akan dapat terwujud melalui pembangunan pusat-pusat kajian intelektual, semisal perguruan tinggi ataupun pesantren. Hal itu dengan memanfaatkan sarana yang diberikan oleh ilmu-ilmu modern dalam menyelesaikan kendala-kendala ekonomi, pembangunan, perindustrian, ataupun usaha menanamkan kepercayaan kepada segenap masyarakat agar mereka turut serta dan terjun untuk berkarya. Sehingga, tercapailah swasembada dan tidak lagi tergantung pada pihak asing.
[38] Syi’ah Ja’fariyah melihat bahwa sebab kemunduran kaum muslimin di era sekarang ini, dikarenakan terjadinya penyimpangan pemikiran, budaya, intelektual, dan teknologi. Solusinya tersembunyi dalam diri kaum muslimin sendiri –baik lelaki maupun perempuan. Ya, keluar dari kendala tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas pemikiran intelektual dan budaya upaya tersebut akan dapat terwujud melalui pembangunan pusat-pusat kajian intelektual, semisal perguruan tinggi ataupun pesantren. Hal itu dengan memanfaatkan sarana yang diberikan oleh ilmu-ilmu modern dalam menyelesaikan kendala-kendala ekonomi, pembangunan, perindustrian, ataupun usaha menanamkan kepercayaan kepada segenap masyarakat agar mereka turut serta dan terjun untuk berkarya. Sehingga, tercapailah swasembada dan tidak lagi tergantung pada pihak asing.
Atas dasar inilah, di mana
saja terdapat komunitas Syi’ah Ja’fariyah, maka pasti terdapat pula pusat-pusat
kajian dan peningkatan intelektual, ataupun lembaga-lembaga untuk menelurkan
para spesialis dalam berbagai bidang keilmuan. Sebagaimana mereka juga terjun
dan melebur ke dalam berbagai perguruan tinggi serta lembaga-lembaga pendidikan
di setiap daerah, untuk mencetak para ilmuwan dan pakar di berbagai disiplin
ilmu yang diperlukan oleh masyarakat.
[39] Para pengikut Syi’ah Ja’fariyah selalu mengadakan hubungan dengan para ulama dan pakar fikih (fuqaha’) melalui jalan yang selama ini dikenal di antara mereka dengan sebutan taqlid dalam penentuan hukum syariat. Kepada para pakar itulah mereka merujukkan problema-problema fikih yang ada. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan pendapat (baca: fatwa) salah seorang di antara para pakar fikih itu. Mereka meyakini bahwa para pakar fikih adalah wakil Imam Zaman –al-Mahdi al-Muntazar– secara umum. Lantaran para ulama dan pakar fikih itu, dari sisi kebutuhan ekonomi sehari-hari, tidak bergantung kepada negara dan pemerintah, maka mereka dapat bersuara lantang, penuh percaya diri, dan sangat terpercaya dalam menyampaikan suara hati rakyat.
[39] Para pengikut Syi’ah Ja’fariyah selalu mengadakan hubungan dengan para ulama dan pakar fikih (fuqaha’) melalui jalan yang selama ini dikenal di antara mereka dengan sebutan taqlid dalam penentuan hukum syariat. Kepada para pakar itulah mereka merujukkan problema-problema fikih yang ada. Mereka melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan pendapat (baca: fatwa) salah seorang di antara para pakar fikih itu. Mereka meyakini bahwa para pakar fikih adalah wakil Imam Zaman –al-Mahdi al-Muntazar– secara umum. Lantaran para ulama dan pakar fikih itu, dari sisi kebutuhan ekonomi sehari-hari, tidak bergantung kepada negara dan pemerintah, maka mereka dapat bersuara lantang, penuh percaya diri, dan sangat terpercaya dalam menyampaikan suara hati rakyat.
Lembaga-lembaga intelektual keagamaan (al-Hauzah al-‘Ilmiyah al-Diniyah) –pusat pembentukan para ahli fikih– adalah lembaga yang menjamin kebutuhan perekonomian sehari-hari para guru dan pelajar agama. Dana itu didapatkan dari pengumpulan khumus ataupun zakat yang diserahkan masyarakat kepada para pakar hukum (marja’) secara sukarela dan kesadaran penuh, sebagaimana halnya mereka menjalankan kewajiban syariat seperti shalat dan puasa. Menurut Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah, membayar khumus merupakan sebuah kewajiban. Khumus dibayarkan dari keuntungan-keuntungan yang dihasilkan dari usaha yang didapat. Ini juga sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab sahih maupun kitab-kitab sunan yang ada.[32]
[40] Syi’ah Ja’fariyah berpendapat bahwa salah satu hak kaum muslim in adalah menikmati pemerintahan-pemerintahan Islam yang nengamalkan al-Quran dan hadis, menjaga hak-hak kaum muslimin, membuka hubungan secara adil dan baik dengan negara-negara lain, menjaga batas-batas teritorial yang ada, juga menjamin kebebasan kaum muslimin dalam bidang budaya, ekonomi, dan politik. Semua itu agar kaum muslimin mendapatkan kemuliaannya, sesuai dengan Firman Allah:
ولله العزة ولرسوله وللمومنين
“Dan kemuliaan hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman” (QS. al-Munafiqun: 8). Serta Firman Allah Swt:
و لا تهنوا و لا تخزنوا و انتم الاعلون ان کنتم مومنون
“Janganlah kalian merasa hina dan merasa bersedih, sedang kalian adalah luhur jika kalian adalah kaum yang beriman” (QS. Ali Imran: 139). Syi’ah juga melihat bahwa Islam –yang menyandang gelar sebagai agama yang paling lengkap dan universal– memuat metode yang cermat dalam mengatur pemerintahan. Hendaknya, para ulama Islam berkumpul di antara mereka guna mendiskusikan (segala sesuatunya) sehingga metode itu akan tampak semakin jelas. Pemerintahan semacam itulah yang akan mampu menghilangkan kebingungan dan berbagai problem umat yang selama ini datang tak kunjung henti. Dan hanya Allah Swt sebaik-baik penolong:
ان تنصروا الله ينصرکم و يثبت اقدامکم
“Jika kalian menolong Allah, niscaya Allah akan menolong dan menguatkan (posisi) telapak kaki kalian” (QS. Muhammad: 7). Ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam ajaran akidah dan syariat Syi’ah Imamiyah, yang juga dikenal dengan sebutan al-Ja’fariyah. Pada masa sekarang, golongan ini (Syi’ah) hidup bermasyarakat di tengah-tengah saudara mereka sesama muslim di berbagai penjuru dunia Islam. Mereka sangat antusias dalam menjaga keutuhan dan kemuliaan kaum muslimin, bahkan siap berkorban dengan jiwa dan raga demi tercapainya tujuan tersebut.
Wallhamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn!
Catatan:
1. Silakan lihat kembali penafsiran ayat tersebut dalam kitab-kitab tafsir semisal Tafsir Jâmi’ al-Bayan karya al-Thabari, Tafsir Durul Mantsur karya Allamah al- Suyuthi yang bermazhab Syafi’i, Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi al-Baghdadi yang juga bermazhab Syafi’i.
2. Musnad Ahmad bin Hambal, jil. I, hal. 215.
3. Lihat kembali dalam buku-buku seperti Ta’sis al-Syi’ah li uluum al-Syi’ah karya al-Shadr, kitab al-Zari’ah ila Tahshanif al-Syi’ah yang ditulis dalam 29 jilid karya Agha Buzurgh, kitab Kasyfu al-Dzunun karya Afandi, kitab Mu’jam al-Muallifin karya Kuhhalah, kitab A’Yan al-Syi’ah karya Sayyid Muhsin al-Amin al-‘Amili, dan kitab-kitab lainnya.
4. Lihat kembali karya-karya seperti al-Irsyad-nya Syaikh Mufid, I’lam al-Wara bi A’lam al-Huda karya al-Thabarsi, ensiklopedia Bihar al-Anwar karya al-Majlisi, dan Mausu’ah al-Rasul al-Akram karya Sayyid Muhsin al-Khatami.
5. Ayat-ayat itu antara lain:
Surat al-Maidah ayat 67:
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Surat al-Maidah ayat 3:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Surat al-Ma’arij ayat 1-2:
Seseorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir yang tidak seorang pun dapat menolaknya.
6. Lihat kembali kitab al-Ghadir karya Allamah al-Amini yang merupakan kumpulan dari berbagai kitab-kitab rujukan kaum muslimin, baik yang berkait dengan kitab tafsir maupun sejarah.
7. Lihat kembali kitab Khulafa’ an-Nabi karya al-Hairi al-Bahrani. Dapat Anda lihat dalam kitab Aimmah Itsna ‘Asyar karya sejarawan dari kota Damaskus, Syamsuddin Muhammad bin Thulun yang wafat pada tahun 953 Hijriyah, kitab yang diteliti oleh Dr. Shalahuddin al-Munajjid, terbitan Beirut, Libanon.
8. Banyak kalangan sastrawan non-Syiah –Arab maupun non-Arab– yang mengarang syair-syair pujian dengan mencantumkan nama-nama 12 imam secara sempurna. Misalnya, al-Hashkafi, Ibn Thulun, al-Fadhl bin Ruzbahan, al-Jami, al-‘Atthar al-Naisaburi, Maulawi, dan yang lain. Padahal kalau kita teliti, mereka bermazhab Hanafi, Syafi’i, atau yang lain. Di sini akan kita sebutkan dua syair pujian (qasha’id) sebagai contoh:
Pertama, karya al-Hashkafi yang bermazhab Hanafi. Beliau termasuk ulama terkenal abad keenam Hijriah. Dalam bait-bait syairnya, beliau mengatakan:
Haidar (Ali) dan setelahnya al-Hasan
dan aI-Husain
Lantas Ali dan sang putra Muhammad
Dan Ja’far al-Shadiq serta putra Ja’far
Musa dan sang putra Ali seorang
penghulu
Yaitu al-Ridha dan sang putra
Muhammad
Lantas Ali dan sang putra yang
dikukuhkan
Al-Hasan yang datang kemudian, lantas
datang selanjutnya
Muhammad putra Hasan yang
disematkan
Golongan yang merupakan para imam
dan junjunganku
Walau diriku kan dicaci banyak orang
dan didustakan
Para imam yang dimuliakan oleh semua
imam
Nama mereka terukir takkan pernah
sirna
Mereka hujjah Allah atas segenap
hamba
Dan mereka tujuan dan jalan tuk
menuju diri-Nya
Siang hari mereka perhanyak puasa tuk
sang Tuhan
Malam hari rnereka perbanyak rukuk
dan sujud
Kedua, karya Syamsuddin Muhammad bin Thulun, salah seorang ulama terkemuka pada abad kesepuluh Hijriah. Dalam syairnya, beliau mengatakan:
Hendaknya atas kalian dua belas imam
Dari keluarga al-musthafa sebaik-baik
manusia
(Mereka adalah) Abu Turab (Ali)
Hasan, Husain
Dan kebencian atas Zainal Abidin
adalah penyebab celaka
Muhammad al-Baqir pemilik ilmu yang
terpancar
Dan al-Shadiq yang terkenal dengan
sebutan Ja’far
Musa, dialah al-Kadzim dan sang putra
Ali
Gelari dia dengan al-Ridha, sedang
kedudukannya luhur
Muhammad al-Taqi yang hatinya
makmur
Ali al-Naqi yang cahayanya terpancar
Dan al-‘Askari al-Hascln yang disucikan
Muhammad al-Mahdi yang akan
menampakkan diri
Dapat Anda lihat dalam kitab Aimmah Itsna ‘Asyar karya sejarawan dari kota Damaskus, Syamsuddin Muhammad bin Thulun yang wafat pada tahun 953 Hijriyah, kitab yang diteliti oleh Dr. Shalahuddin al-Munajjid, terbitan Beirut Libanon.
9. Lihat kembali kitab-kitab hadis, tafsir, ataupun kitab tentang keutamaan-keutaman, baik yang bersumber dari kitab-kitab Shahih (Bukhari, dan lain-lain) maupun yang tidak berkait dengan kitab-kitab Shahih.
10. Berkait dengan tema ini, lihat kitab al-Imam al-Shadiq wa al-Mazabib al-Arba’ah yang diterbitkan dalam tiga jilid, karya Asad Haidar, serta kitab-kitab lainnya.
11. Lihat kitab Risalah Hadits al-Tsaqalain karya Wasynawi yang telah disetujui oleh al-Azhar, Kairo, Mesir, kurang lebih sejak berlangsungnya tiga kali perjanjian.
13. Lihat kitab Itsbat al-Washiyah karya Mas’udi serta kitab- kitab hadis, tafsir, dan sejarah dari dua kalangan (Ahlussunnah dan Syiah).
14. Lihat kitab-kitab hadis dan sejarah yang berkait dengan hal tersebut.
15. Lihat kembali Shahih Bukhari, Kanz al-‘Ummal, al-Mushannif karya Abdur Razzaq as-Shan’ani, dan kitab al-Sujud ‘ala al-‘Ardh karya Kasyif al-Githa’
16. Lihat kitab-kitab seperti al-Yawaqit wa al-Jawahir karya al-Sya’rani al-Anshari al-Misri, salah seorang ulama terkenal abad ke-10 Hijriah.
17. Lihat kitab al-Mushannif karya al-Shan’ani
18. Lihat kembali kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan al-Baihaqi
Sedangkan untuk mengetahui pendapat mazhab Maliki –dari Ahlussunnah– lihat kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-Qurthubi al-Maliki dan selainnya.
19. Al-Ma’idah: 6
20. Lihat kitab-kitab sunan dan musnad-musnad yang ada, juga lihat kembali tafsir al-Kabir karya al-Fakhrurrazi yang berkait dengan ayat wudu.
21. Yang sering diistilahkan dengan masa pacaran–penerj.
22. Tidak merasa cukup dengan beristri satu, mungkin dikarenakan kelebihan hormon seksual atau penyebab lainnya–penerj.
23. Lihat hadis-hadis tentang nikah mut’ah dalam kitab-kitab shahih, kitab-kitab sunan, musnad-musnad yang muktabar menurut mazhab-mazhab Islam.
24. Doa ini mencakup seribu nama-nama Allah Swt yang tersusun rapi dan sangat berkesan.
25. Doa-doa tersebut di atas, dapat ditemui dalam satu ensiklopedia yang berjudul al-Mausu’ah al-Ad’iyah al-Jami’ah yang baru-baru ini diterbitkan. Sebagaimana juga dapat dijumpai dalam kitab-kitab doa yang tersebar dan masyhur di antara mereka.
26. Hal ini tercantum dalam kitab-kitab sejarah dan perjalanan hidup Rasul saw.
27. Lihat kitab Syifa’ al-Saqam, hal. 108, karya al-Sabaki yang bermazhab Syafi’i. Atau mirip dengan hal itu –dengan redaksi berbeda– adalah yang tercantum dalam Sunan Ibn Majah, jil. I, hal. 117.
28. Ungkapan ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh al-Quran dalam Surat Ali lmran ayat 169, di mana Allah berfirman:
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki
• Salah satu bentuk konkrit dari rezeki adalah otoritas pemberian syafa’at
• Jadi, dikarenakan mereka tidak masuk dalam kategori manusia yang mati, maka mereka pun selayaknya seperti orang yang hidup; mendengar, melihat, dan berinteraksi dengan umat. Tentu saja, karena kehidupan mereka bukan sebagaimana kehidupan duniawi yang (bersifat) materi, maka bentuk interaksinya pun berbeda dengan apa yang terjadi di dunia materi. Pen.
29. Maka dari dua premis di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Nabi saw dan Ahlulbaitnya itu hidup, dan akan selalu hidup hingga kiamat kelak–penerj.
30. Ghuluw adalah tindakan mengagungkan manusia sampai pada derajat ketuhanan (uluhiyah wa rububiyah), atau keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan di luar kehendak dan izin Allah Swt; kemandirian dalam melakukan sesuatu. Ini sebagaimana diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani sekaitan dengan para nabi mereka.
31. Perlu dijelaskan di sini bahwa Syiah Imamiyah sendiri tergolong pengikut Ahlussuunah wal Jama’ah
• Mereka juga mengambil apa yang telah diajarkan hadis Nabi saw, baik yang berkait dengan ucapan, perbuatan dan diam (baca: persetujuan) Nabi saw. Salah satu hadis tersebut adalah wasiat-wasiat nabi saw berkait dengan hak-hak yang dimiliki keluarga beliau. Mereka konsisten dengan hadis-hadis tersebut, dengan cara yang sangat teliti dalam bidang praktik, pemikiran akidah, maupun fikih, juga kitab-kitab kumpulan hadis mereka, sebagai bukti nyata atas ungkapan di atas. Baru-baru ini telah diterbitkan secara terperinci ensiklopedia hadis-hadis Rasulullah saw yang terdapat dalam buku-buku Syiah dengan judul Sunan al-Nabi. Ensiklopedia itu diterbitkan dalam lebih dari sepuluh jilid.
Sumber: MENGENAL SYI’AH
|
Pengarang : Syekh Ja’far
Hadi
|
Penerjemah : Abu
Fathimah S.
|
Penerbit : al-Mu’ammal
|
Tahun Penerbitan :
Rabiul Tsani 1427 H/Mei 2006 M
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar