Thalhah, misan Âisyah, yang diharapkan Âisyah akan
menjadi khalîfah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh Marwân bin Hakam
anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan Utsmân. Setelah
memanah Thalhah, Marwân berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi
darah Utsmân!”
Oleh O Hashem (penulis
buku Saqifah)
Âisyah berangkat ke Makkah. Ia berhenti di depan
pintu masjid menuju ke al-Hajar kemudian mengumpul orang dan berkata: “Hai manusia.
Utsmân telah dibunuh secara zalim! Demi Allâh kita harus menuntut darahnya.” Dia
dilaporkan juga telah berkata: “Hai kaum Quraisy! Utsmân telah dibunuh. Dibunuh
oleh Alî bin Abî Thâlib. Demi Allâh seujung kuku atau satu malam kehidupan Utsmân,
lebih baik dari seluruh hidup Alî.”[[1]]
UMMU
SALAMAH MENASIHATI ÂISYAH
Ummu’l-mu’minîn Ummu Salamah menasihati Âisyah
agar ia tidak meninggalkan rumahnya: “Ya Âisyah, engkau telah menjadi penghalang
antara Rasûl Allâh saw dan umatnya. Hijâbmu menentukan kehormatan Rasûl Allâh saw.
Al-Qur’ân telah menetapkan hijâb untukmu.[[2]]
Dan jangan engkau membukanya. Tempatmu telah pula ditentukan Allâh SWT dan janganlah
engkau keluar. Allâh-lah yang akan melindungi umatnya. Rasûl Allâh saw mengetahui
tempatmu. Kalau Rasûl Allâh saw ingin memberimu tugas tentu telah beliau sabdakan.
Ia telah melarang engkau mengelilingi kota-kota. Apa yang akan engkau katakan kepada
Rasûl Allâh saw seandainya engkau bertemu dengan beliau di perjalanan dan engkau
sedang menunggangi untamu dan bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain? Allâh
sudah menetapkan tempatmu dan engkau suatu ketika akan bertemu dengan Rasûl Allâh
saw di akhirat. Dan seandainya aku disuruh masuk ke surga firdaus, aku malu berjumpa
dengan Rasûl Allâh saw dalam keadaan aku melepaskan hijâbku yang telah diwajibkan
Allâh SWT atas diriku. Jadikanlah hijâbmu itu sebagai pelindung dan jadikanlah rumahmu
sebagai kuburan sehingga apabila engkau bertemu dengan Rasûl Allâh saw ia rela dan
senang akan dirimu!”[[3]]
Âisyah tidak menghiraukannya. Thalhah, Zubair dan
Abdullâh bin Zubair pergi bergabung dengan Âisyah di Makkah. Demikian pula Banû
Umayyah serta penguasa-penguasa Utsmân yang diberhentikan Alî dengan membawa harta
baitul mâl. Hafshah binti Umar yang juga ummu’l-mu’minîn, diajak Âisyah, tapi membatalkan
niatnya karena dilarang oleh kakaknya Abdullâh bin Umar.
Abû Mikhnaf Lûth al-Azdî berkata: “Setelah Alî
tiba di Dzi Qar[[4]],
Âisyah menulis kepada Hafshah binti Umar bin Khaththâb: “Amma ba’du. Aku kabarkan
padamu bahwa Alî telah tiba di Dzi Qar, dan ia benar-benar sedang ketakutan setelah
mengetahui jemaah kami telah siap siaga. Dan ia berada di tepi jurang, bila ia maju,
akan dipancung, ”uqira”, bila mundur disembelih, “nuhira”, dan Hafshah memanggil
para dayangnya dan menyuruh mereka menyanyi sambil memukul rebana:
“Apa kabar, apa kabar,
Alî dalam perjalanan,
Seperti penunggang di tepi jurang,
Maju, terpancung,
Mundur, terpotong.”
Wanita-wanita para thulaqâ’ (mereka yang baru masuk
Islam pada waktu dibukanya kota Makkah, pen.) masuk ke rumah Hafshah ketika mendengar
nyanyian itu. Mereka berkumpul dan menikmati nyanyian. Setelah sampai berita ini
kepada Ummu Kaltsum binti Alî bin Abî Thâlib, ia lalu pakai jilbabnya untuk menyaru.
Sampai di tengah-tengah mereka, dia buka jilbabnya. Setelah Hafshah tahu bahwa orang
itu adalah Ummu Kaltsum ia merasa malu dan berhenti bernyanyi. Lalu Ummu Kaltsum
berkata: “Kalau engkau berdua (maksudnya Âisyah dan Hafshah, pen.) menentang Alî
bin Abî Thâlib sekarang, dahulu pun kamu berdua menentang saudara Alî bin Abî Thâlib
(maksudnya Rasûl Allâh saw.) sehingga turun ayat mengenai kamu berdua.” Hafshah
lalu menyela: “Stop! Mudah-mudahan Allâh merahmatimu!” Ia lalu mengambil surat Âisyah
tersebut, merobeknya dan minta ampun kepada Allâh!”[[5]]
Setelah sampai di wilayah Iraq, Sa’îd bin Âsh bertemu
Marwân bin Hakam dan kawan-kawannya. Ia berkata: “Tunggu apa lagi kamu! Pemberontak
dan pembunuh Utsmân berada di sekeliling unta (yang ditunggangi Âisyah) itu! Bunuhlah
mereka dan kembalilah ke tempatmu sesudah itu. Jangan kamu membunuh diri kamu sendiri!”
Mereka menjawab: “Biar mereka saling membunuh dan pembunuh Utsmân dengan sendirinya
akan terbunuh!” Mereka lalu bergabung dengan Âisyah.[[6]]
Dalam menuju Bashrah, Âisyah, Thalhah dan Zubair
berhenti di Sumur Abî Mûsâ dekat Bashrah. Utsmân bin Hunaif, gubernur Bashrah mengirim
utusan yang bernama Abû al-Aswad ad-Du’ali yang lansung menemui Aisyah dan ia bertanya
kepada Âisyah akan maksud perjalanannya.
Âisyah: ”Aku menuntut darah Utsmân!”
Abû Al-Aswad: “Tak ada seorang pun pembunuh “Utsmân
di Bashrah!”
Âisyah: “Engkau benar. Mereka berada bersama Alî
bin Abî Thâlib di Madînah. Dan aku datang membangkitkan orang Bashrah untuk memerangi
Alî. Kami memarahi Utsmân karena cambuknya yang memecuti kamu (umat Islam, pen.).
Maka tidakkah kami juga harus membela Utsmân dengan pedangmu?”
Abû Al-Aswad: “Apa urusanmu dengan cambuk dan pedang!
Engkau adalah istri Rasûl Allâh saw. Engkau diperintahkan untuk tinggal di rumahmu
dan mengaji Kitâb Tuhanmu dan perempuan tidaklah pantas untuk berperang dan tidak
juga untuk menuntut darah. Sesungguhnya Alî lebih pantas dan lebih dekat hubungan
keluarga untuk menuntut , karena mereka berdua (Alî dan Utsmân), adalah anak Abdi
Manâf!”
Âisyah : “Saya tidak akan mundur, sebelum saya
melaksanakan apa yang telah saya rencanakan. Apakah engkau menduga bahwa seseorang
mau memerangi saya?”
Abû Al-Aswad: “Ya, demi Allâh! Engkau akan berperang
dalam suatu peperangan yang bagaimanapun kecilnya, masih akan tetap paling dahsyat!”
Tiba di tepi kota Bashrah, orang-orang terkagum-kagum
melihat unta Âisyah yang besar dan mengagumkan. Jâriyah bin Qudâmah mendatangi Âisyah
dan berkata: “Wahai ummu’l-mu’minîn! Pembunuhan Utsmân merupakan tragedi, tetapi
tragedi yang lebih besar lagi adalah bahwa Anda telah keluar dari rumah Anda, menunggangi
unta terkutuk ini dan merusak kedudukan dan kehormatan Anda. Lebih baik Anda pulang.”
Âisyah tidak peduli dan orang-orang merasa
heran. Ayat Al-Qur’ân yang memerintahkan para istri Rasûl agar tinggal di rumah
tidak dapat lagi menahannya.
Tatkala pasukan ini berusaha masuk kota Bashrah,
Gubernur Bashrah Utsmân bin Hunaif datang untuk menghalangi mereka dan tatkala dua
pasukan saling berhadapan, mereka mencabut pedang masing-masing dan saling menyerbu.
Waktu sejumlah anggota pasukan telah berguguran Âisyah datang melerai dan kedua
pasukan sepakat bahwa sampai Amîrul muminîn Alî bin Abî Thâlib tiba, pemerintahan
yang ada berjalan sebagaimana biasa dan Utsmân bin Hunaif harus tetap dalam kedudukannya
sebagai gubernur.
PEMBUNUHAN
BERDARAH DINGIN, MENCABUTI RAMBUT GUBERNUR
Tetapi, baru dua hari berlalu, mereka menyergap
Utsmân bin Hunaif pada malam hari, membunuh empat puluh orang yang tidak bersalah,
memukuli gubernur Utsmân bin Hunaif, mencabut tiap helai rambut dan jenggotnya kemudian
menawannya. Mereka lalu menyerang dan merampok Bait Al-Mâl sambil membunuh dua puluh
orang di tempat serta lima puluh orang dibunuh berdarah dingin setelah menyerah.
Setelah itu mereka merebut gudang gandum. Seorang tokoh tua kota Bashrâ yang bernama
Hâkim bin Jabalah tidak dapat lagi menahan diri. Ia mendatangi mereka dengan anggota
suku dan keluarganya. Ia berkata kepada Abdullâh bin Zubair: “Tinggalkan sebagian
gandum untuk penduduk kota! Bagaimanapun juga penindasan harus ada batasnya. Kamu
telah menyebarkan maut dan perusakan serta menawan Utsmân bin Hunaif. Demi Allâh
tinggalkan perbuatan celaka ini dan lepaskanlah Utsmân bin Hunaif. Apakah tidak
ada lagi takwa dalam hatimu?”
Abdullâh bin Zubair berkata: “Ini kami lakukan
untuk menuntut darah Utsmân!”
Hâkim bin Jabalah menjawab: “Adakah orang-orang
yang kamu bunuh itu pembunuh Utsmân? Demi Allâh bila aku punya pendukung, tentu
akan kutuntut balas terhadap pembunuhan kaum Muslimîn tanpa sebab ini!”
Ibnu Zubair menjawab: “Kami sama sekali tidak akan
memberikan apa pun dari gandum ini, dan tidak akan kami lepas Utsmân bin Hunaif!”
Akhirnya terjadi pertempuran dan gugurlah Hâkim
bin Jabalah dan kedua anaknya, Asyrâf dan Ri’i bin Jabalah bersama tujuh puluh anggota
sukunya yang lain.
Perang yang paling menyedihkan dalam
sejarah Islam. Dalam perang ini bapak dan anak serta saudara saling membunuh, melemahkan
jiwa dan raga masyarakat Islam yang sebenarnya merupakan awal berakhirnya Daulah
Islamîyah dan membuka jalan kepada kerajaan.
Ibnu Abd Rabbih meriwayatkan bahwa Mughîrah bin
Syu’bah, sesudah Perang Jamal mendatangi Âisyah. Âisyah berkata kepadanya: “Hai
Abû Abdillâh aku ingin engkau berada bersama kami pada Perang Jamal; bagaimana anak-anak
panah menembus haudaj-ku[[7]]
dan sebagian menyentuh tubuhku!”
Mughîrah bin Syu’bah menjawab: “Aku menghendaki
satu dari panah-panah itu membunuhmu?” Âisyah: “Mudah-mudahan Allâh mengampunimu!
Mengapa demikian?” Mughîrah menjawab: “Agar terbalas apa yang engkau lakukan terhadap
Utsmân!”[[8]]
Diriwayatkan bahwa sekali seorang wanita bertanya kepada Âisyah tentang hukumnya seorang
ibu yang membunuh anak bayinya. Âisyah menjawab: “Neraka tempatnya bagi ibu yang
durhaka itu!” Kalau demikian, tanyanya, “Bagaimana hukum seorang ibu yang membunuh
dua puluh ribu anaknya yang telah dewasa?” Âisyah berteriak dan menyuruh orang melempar
keluar wanita tersebut. Âisyah, memang, sebagai istri Rasûl ditentukan Allâh
SWT sebagai ibu kaum mu’minîn.[[9]]
Dan perang yang dilancarkannya terhadap Imâm Alî telah menyebabkan terbunuhnya dua
puluh ribu anaknya sendiri. Setelah semua ini Âisyah kembali ke rumahnya.
Thalhah, misan Âisyah, yang diharapkan Âisyah akan
menjadi khalîfah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh Marwân bin Hakam
anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan Utsmân. Setelah
memanah Thalhah, Marwân berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi
darah Utsmân!” Zubair bin Awwâm, iparnya, suami kakaknya Asmâ’ binti Abû Bakar meninggalkan
pasukan setelah mendengar nasihat Imam Alî. Ia dibunuh dari belakang oleh seorang
yang bernama Amr bin Jurmuz. Alî berkata: “Zubair senantiasa bersama kami sampai
anaknya yang celaka[[10]]
menjadi besar.”
Sepanjang masa peperangan Jamal ini Abdullâh bin
Zubair menjadi imam salat, karena Thalhah dan Zubair berebut jadi imam dan Âisyah
menunjuk Abdullâh. Juga, Abdullâh bin Zubair menuntut bahwa ia lebih berhak terhadap
kekhalifahan dari ayahnya dan Thalhah dan menyatakan bahwa Utsmân telah mewasiatkan
kepadanya untuk menjabat khalîfah.[[11]]
Orang sering mengajukan pertanyaan mengenai Zubair
dan Thalhah, seperti mengapa harus Abdullâh bin Zubair yang mengimami salat padahal
Zubair dan Thalhah adalah Sahabat Rasûl dan mengapa mereka berdua harus berebut
dan bertengkar menjadi imam sehingga Âisyah lalu menunjuk Abdullâh bin Zubair? Mengapa
membaiat Alî, kemudian memerangi Alî? Kalau menganggap Alî kafir, maka lari atau
menyerah dari perang melawan orang kafir adalah kafir. Kalau Alî adalah Muslim, maka memerangi Alî adalah
kafir.
Sedih, memang! Muhammad
bin Abû Bakar, adik Âisyah yang berperang di pihak Alî melawan Âisyah, akhirnya
di kemudian hari dibunuh oleh Mu’âwiyah, dimasukkan dalam perut keledai lalu dibakar.
Alî benar tatkala ia mengatakan bahwa ia diuji
oleh empat hal. Pertama oleh orang yang paling cerdik dan dermawan, yaitu Thalhah.
Kedua oleh orang yang paling berani, yaitu Zubair. Ketiga oleh orang yang paling
bisa mempengaruhi orang, yaitu Âisyah. Yang terakhir oleh orang yang paling cepat
terpengaruh fitnah, yaitu Ya’la bin Umayyah. Yang terakhir ini adalah penyedia dana
utama untuk Perang Jamal, dengan membawa harta baitul mâl tatkala ia jadi gubernur
Utsmân di Yaman. Ia menyerahkan 400.000 dinar kepada Zubair dan menanggung pembiayaan
tujuh puluh anggota pasukan orang Quraisy. Ia membelikan seekor unta yang terkenal
besarnya untuk Âisyah seharga delapan puluh dinar.[[12]]
Âisyah adalah seorang luar biasa. Bagaimana
ia mengguncangkan dua khalîfah sekaligus dan bagaimana ia berubah dari seorang yang
mengeluarkan fatwa untuk membunuh Utsmân dan setelah Utsmân terbunuh, ia menuntut
darah Utsmân dan membuat umat Islam berontak melawan Alî.
Rasanya, Utsmân tidak akan terbunuh
tanpa fatwa Âisyah yang punya pengaruh demikian besar terhadap kaum Muslimîn karena
kedudukannya sebagai istri Rasûl. Setelah Utsmân terbunuh ia gembira. Tetapi setelah
Alî dibaiat ia mampu menghimpun para pembunuh dan keluarga yang terbunuh untuk bangkit
melawan Alî bin Abî Thâlib. Ia dapat mengubah kesan orang terhadap Alî yang membela
Utsmân menjadi orang yang tertuduh membunuh Utsmân.
Âisyah punya kelebihan. Setelah meruntuhkan dua
khalîfah ia bisa berubah menjadi orang yang tidak berdosa. Dan perannya dalam menentukan
akidah umat berlanjut sampai sekarang dengan hadis-hadisnya yang banyak.
Ummu Salamah, misalnya, yang juga ummu’l-mu’minîn
tidaklah mendapat tempat yang terhormat seperti Âisyah. Hal ini disebabkan karena
Ummu Salamah berpihak kepada ahlu’l-bait dengan sering meriwayatkan hadis-hadis
yang mengutamakan Alî, seperti hadis Kisâ’. Abû Bakar, ayahnya, maupun Umar bin
Khaththâb menyadari kemampuan Âisyah, dan sejak awal mereka menjadikan Âisyah sebagai
tempat bertanya. Ibnu Sa’d, misalnya, meriwayatkan dari Al-Qâsim: “Âisyah sering
diminta memberikan fatwa di zaman Abû Bakar, Umar dan Utsmân dan Âisyah terus memberi
fatwa sampai mereka meninggal.”[[13]]
Dari Mahmûd bin Labîd: “Âisyah memberi fatwa di
zaman Umar dan Utsmân sampai keduanya meninggal. Dan Sahabat-sahabat Rasûl Allâh
saw yang besar, yaitu Umar dan Utsmân sering mengirim orang menemui Âisyah untuk
menanyakan Sunnah.”
Malah Umar memberikan uang tahunan untuk Âisyah
lebih besar 20 % dari istri Rasûl yang lain. Tiap istri Rasûl mendapat sepuluh ribu
dinar sedang Âisyah dua belas ribu. Pernah Umar menerima satu kereta dari Irak yang
di dalamnya terdapat mutiara (jauhar) dan Umar memberikan seluruhnya pada Âisyah.[[14]]
Disamping pengutamaan Umar kepada Âisyah dalam fatwa maupun hadiah, Umar juga menahannya
di Madînah dan hanya membolehkan Âisyah melakukan sekali naik haji pada akhir kekhalifahan
Umar dengan pengawalan yang ketat. Umar menyadari betul peran Âisyah yang tahu memanfaatkan
kedudukannya yang mulia di mata umat sebagai ibu kaum mu’minîn dan memiliki kemampuan
yang tinggi untuk mempengaruhi orang. Dengan demikian mereka saling membagi keutamaan.
Sedangkan Utsmân, terutama pada akhir kekhalifahannya, melalaikan hal ini.
Dan di pihak lain, Alî
seperti juga Fâthimah sejak awal menjadi bulan-bulanan ummu’l-mu’minîn Âisyah.
Para ahli tidak dapat memecahkan misteri kebencian ummu’l-mu’minîn Âisyah terhadap
anak tirinya Fâthimah dan Alî yang barangkali belum ada taranya dalam sejarah umat
manusia bila kita pikirkan betapa tinggi kedudukan Fâthimah dan Alî di mata Rasûl
Allâh saw. Fâthimah adalah satu dari empat wanita utama dalam dunia Islam, sedang
Alî dikenal sebagai orang yang paling mulia dan paling utama sesudah Rasûl dan jasanya
terhadap Islam sangatlah besar. Kalau Mu’âwiyah bersujud dan diikuti orang-orang
yang menemaninya, dan salat dhuhâ enam raka’at saat mendengar Alî meninggal dunia
di kemudian hari, sedangkan Âisyah melakukan sujud syukur ketika mendengar berita
gembira ini seperti dilaporkan oleh Abû’l-Faraj al-Ishfahânî.[15]
Thabarî, Abû’l-Faraj Al-Ishfahânî, Ibnu Sa’d dan
Ibnu Al-Atsîr melaporkan bahwa tatkala seorang menyampaikan berita kematian Alî,
ummu’l-mu’minîn Âisyah bersyair: “Tongkat dilepas, tujuan tercapai sudah. Seperti
musafir gembira pulang ke rumah!” Kemudian ia bertanya: “Siapa yang membunuhnya?”
Jawab: “Seorang laki-laki dari Banû Murad!” Âisyah berkata: “Walaupun ia jauh, berita matinya telah sampai,
dari mulut seorang remaja, yang tak tercemar tanah!”[[16]]
Maka berkatalah Zainab puteri ummu’l-mu’minîn Ummu Salamah: “Apakah Alî yang engkau
maksudkan?” Âisyah menjawab: “Bila aku lupa kamu ingatkan aku!”[[17]]
Kemudian Zainab berkata: “Selalu kasidah dihadiahkan di berbagai kalangan, tentang
“Shiddîq” dan bermacam-macam julukan, akhirnya kau tinggalkan juga. Di setiap pertemuan,
kau keluarkan kata-kata, seperti dengungan lalat belaka.”[[18]]
MENGAPA
ÂISYAH BENCI FÂTHIMAH DAN ALÎ?
Kebencian Âisyah kepada anak tirinya Fâthimah dan
suami Fâthimah, Alî, sangat bertalian dengan kecemburuannya kepada Khadîjah yang
telah lama meninggal. Cemburu Âisyah terhadap Khadîjah dapat dipahami dari kata-katanya
sendiri.
Âisyah berkata[[19]]:
“Cemburuku terhadap istri-istri Rasûl tidak seperti cemburuku kepada Khadîjah karena
Rasûl sering menyebut dan memujinya, dan Allâh SWT telah mewahyukan kepada Rasûl
saw agar menyampaikan kabar gembira kepada Khadîjah bahwa Allâh SWT akan memberinya
rumah dari permata di surga.”
Dan di bagian lain[[20]]:
“Aku tidak cemburu terhadap seorang dari istri-istrinya seperti aku cemburu kepada
Khadîjah, meski aku tidak mengenalnya. Tetapi Nabî sering mengingatnya dan kadang-kadang
ia menyembelih kambing, memotong-motongnya dan membagi-bagikannya kepada teman-teman
Khadîjah.”
Di bagian lain: “Suatu ketika Hâlah binti Khuwailid,
saudari Khadîjah, minta izin menemui Rasûl dan Rasûl mendengar suaranya seperti
suara Khadîjah.” Rasûl terkejut dan berkata: “Allâhumma Hâlah!” Dan aku cemburu.
Aku berkata: “Apa yang kau ingat dari perempuan tua di antara perempuan-perempuan
tua Quraisy...dan Allâh telah menggantinya dengan yang lebih baik.”
Di bagian lain lagi[[21]]:
“Dan wajah Rasûl Allâh saw berubah, belum pernah aku melihat ia demikian, kecuali
pada saat turun wahyu.”
Dan dalam riwayat lain[[22]]:
“Allâh tidak mengganti seorang pun yang lebih baik dari dia. Ia beriman kepada saya
tatkala orang lain mengingkari saya. Ia membenarkan saya ketika orang lain mendustakan
saya. Dan ia membantu saya dengan hartanya tatkala orang lain enggan membantu saya.
Allâh SWT memberi anak-anak kepada saya melaluinya dan tidak melalui yang lain.”
Kebenciannya terhadap Alî juga disebabkan sikap
Rasûl saw yang mendahulukan Alî dari ayahnya, Abû Bakar, sebagaimana pengakuannya
sendiri. Imâm Ahmad menceritakan[[23]],
yang berasal dari Nu’mân bin Basyîr: “Abû Bakar memohon izin menemui Rasûl Allâh
saw dan ia mendengar suara keras Âisyah yang berkata: “Demi Allâh, aku telah tahu
bahwa engkau lebih mencintai Alî dari ayahku dan diriku!”, dan ia mengulanginya
dua atau tiga kali. Âisyah seperti lupa firman Allâh: “Dan ia tiada berkata menurut
keinginannya sendiri. Perkataannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyu-kan
kepadanya.”[[24]]
Ibn Abîl-Hadîd menceritakan: “Aku membacakan pidato
Alî mengenai Âisyah dari Nahju’l-Balâghah[[25]],
kepada Syaikh Abû Ayyûb Yûsuf bin Ismâîl tatkala aku berguru ilmu kalam kepadanya.
Aku bertanya bagaimana pendapatnya tentang pidato Alî tersebut. Ia memberi jawaban
yang panjang. Aku akan menyampaikannya secara singkat, sebagian dengan lafatnya
sebagian lagi dengan lafalku sendiri. (Abû Ayyûb melihat dari kacamata yang umum
terjadi. Penulis menerjemahkannya agak bebas).
Abû Ayyûb berkata: “Kebencian Âisyah kepada Fâthimah
timbul karena Rasûl Allâh saw mengawini Âisyah setelah meninggalnya Khadîjah. Sedang
Fâthimah adalah putri Khadîjah. Secara umum antara anak dan ibu tiri akan timbul
ketegangan dan kebencian. Istri akan mendekati ayahnya dan bukan suaminya, dan anak
perempuan tidak akan senang melihat ayahnya akrab dengan ibu tirinya. Ia menganggap
ibu tirinya merebut tempat ibunya. Sebaliknya anak perempuan benar-benar jadi tumpuan
kecemburuan ibu tiri. Beban cemburu Âisyah kepada almarhumah Khadîjah, berpindah
kepada Fâthimah.
Besarnya kebencian pada anak tirinya sebanding
dengan bencinya kepada madunya yang telah meninggal. Apalagi bila suaminya sering
mengingat istrinya yang telah meninggal itu.
Kemudian semua sepakat bahwa Fâthimah mendapat
kedudukan mulia di sisi Allâh SWT melalui hadis Rasûl, yang juga ayahnya, sebagai
Penghulu Wanita Kaum Mu’minîn yang kedudukannya sejajar dengan Asiyah, Mariam binti
Imrân dan Khadîjah Al-Kubrâ seperti yang tertera dalam hadis shahîh Bukhârî dan
Muslim. Dan Rasûl saw, sekali lagi dalam kedudukannya sebagai Nabî, memuliakan Fâthimah
dengan kemuliaan yang besar, lebih besar dari yang disangka orang dan lebih besar
dari pemuliaan yang lazim diberikan seorang ayah mana pun kepada anaknya. Sampai
melewati batas cinta ayah kepada anak. Dan Rasûl Allâh saw menyampaikannya terang-terangan
di kalangan khusus maupun umum, berulang-ulang, bukan hanya sekali, dan di kalangan
yang berbeda-beda, bukan di satu kalangan saja bahwa “Fâthimah
adalah penghulu kaum wanita sedunia.” Melalui hadis yang berasal dari Alî,
Umar bin Khaththâb, Hudzaifah Ibnu Yaman, Abû Sa’îd Al-Khudrî, Abû Hurairah dan
lain-lain Rasûl bersabda:
“Sesungguhnya, Fâthimah adalah penghulu para wanita
di surga, dan Hasan serta Husain adalah penghulu para remaja di surga. Namun ayah
mereka berdua (Alî) lebih mulia dari mereka berdua.”[[26]]
Atau hadis yang diriwayatkan Âisyah sendiri bahwa
Rasûl telah bersabda: “Wahai Fâthimah, apakah engkau tidak puas menjadi penghulu
para wanita sejagat atau penghulu wanita umat ini atau penghulu kaum mu’minât?[[27]]
Sekali lagi, Rasûl Allâh saw melakukan ini sebagai
Nabî, bukan sebagai orang biasa yang mudah terbawa oleh hawa nafsu.[[28]]
Rasûl bersabda bahwa kedudukan Fâthimah sama dengan kedudukan Mariam binti Imrân[[29]],
dan bila Fâthimah lewat di tempat wuquf, para penyeru berteriak dari arah arsy,
“Hai penghuni tempat wuquf, turunkan pandanganmu karena Fâthimah binti Muhammad
akan lewat.”[[30]]
Hadis ini merupakan hadis shahîh dan bukan hadis lemah.
Betapa sering Rasûl Allâh saw bersabda: “Barangsiapa
menyakiti Fâthimah, maka ia telah menyakitiku”, “Membencinya berarti membenciku”[[31]],
“Ia bagian dari diriku. Meraguinya berarti meraguiku”[[32]].
Dan semua pemuliaan dan penghormatan ini tentu menambah kebencian Âisyah yang tidak
berusaha sungguh-sungguh untuk melihat konteks ini dengan kenabian Rasûl saw.
Berbeda misalnya dengan Ummu Salamah, juga istri
Rasûl, ummu’l-mu’minîn, yang mencintai Fâthimah, Alî, Hasan dan Husain bukan hanya
sebagai anggota keluarga tetapi juga sebagai yang dimuliakan Allâh dengan ayat thathhîr.[[33]]
Biasanya bila seorang istri merasa diperlakukan
kurang baik oleh sesama wanita maka berita ini akan sampai kepada suami. Dan lumrah
bila istri menceritakan ini pada suaminya di malam hari. Tetapi Âisyah tidak dapat
melakukan ini, karena Fâthimah adalah anak suaminya. Ia hanya bisa mengadu pada
wanita-wanita Madînah dan tetangga yang bertamu ke rumahnya. Kemudian wanita-wanita
ini akan menyampaikan berita kepada Fâthimah, barangkali begitu pula sebaliknya.
Dan yang jelas ia akan menyampaikannya kepada ayahnya, Abû Bakar. Dan sampailah
kepada Abû Bakar semua yang terjadi. Kemampuan Âisyah untuk mempengaruhi orang sangatlah
terkenal dan hal ini akan membekas pada diri Abû Bakar. Kemudian Rasûl Allâh saw
melalui hadis yang demikian banyak, telah memuliakan dan mengkhususkan Alî dari
sahabat-sahabat lain. Berita ini tentu menambah kepedihan Abû Bakar, karena Abû
Bakar adalah ayah Âisyah. Pada kesempatan lain sering terlihat Âisyah duduk bersama
Abû Bakar dan Thalhah sepupunya dan mendengar kata-kata mereka berdua. Yang jelas
pembicaraan mereka mempengaruhinya sebagaimana mereka terpengaruh oleh Âisyah.
Kemudian ia melanjutkan: “Saya tidak mengatakan
bahwa Alî bebas dari ulah Âisyah. Telah sering timbul ketegangan antara Âisyah dan
Alî di zaman Rasûl Allâh saw.” Misalnya telah diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasûl
dan Alî sedang berbicara. Âisyah datang menyela antara keduanya dan berkata: “Kamu
berdua ngobrol terlalu lama!” Rasûl marah sekali. Dan tatkala terjadi peristiwa
Ifk, menurut Âisyah, Alî mengusulkan Rasûl Allâh saw agar menceraikan Âisyah dan
mengatakan bahwa Âisyah tidak lebih dari tali sebuah sandal. (Tapi banyak orang
meragukan peristiwa Ifk yang diriwayatkan Âisyah ini. Dari mana misalnya orang mengetahui
usul Alî kepada Rasûl? Siapa yang membocorkannya?, pen.)
Di pihak lain Fâthimah melahirkan banyak anak lelaki
dan perempuan, sedang Âisyah tidak melahirkan seorang anak pun. Sedangkan Rasûl
Allâh saw menyebut kedua anak lelaki Fâthimah, Hasan dan Husain sebagai anak-anaknya
sendiri. Hal ini terbukti tatkala turun ayat mubâhalah.[[34]]
Bagaimana perasaan seorang istri, yang tidak dapat melihat bahwa suaminya adalah
seorang Rasûl Allâh, bila suaminya memperlakukan cucu tirinya sebagai anaknya sedangkan
ia sendiri tidak punya anak?
Kemudian Rasûl menutup pintu yang biasa digunakan
ayahnya ke masjid dan membuka pintu untuk Alî. Begitu pula tatkala Surat Bara’ah
turun, Rasûl Allâh saw menyuruh Alî, yang disebutnya sebagai dari dirinya sendiri,
untuk menyusul Abû Bakar dalam perjalanan haji pertama. Dan agar Alî sendiri membacakan
surat Bara’ah atau Surat Taubah kepada jemaah dan kaum musyrikin di Mina.
Kemudian Mariah, istri Rasûl, melahirkan Ibrâhîm
dan Alî menunjukkan kegembiraannya, hal ini tentu menyakitkan hati Âisyah.
Yang jelas Alî sama sekali tidak ragu lagi, sebagaimana
kebanyakan kaum Muhâjirîn dan Anshâr, bahwa Alî akan jadi khalîfah sesudah Rasûl
meninggal dan yakin tidak akan ada orang yang menentangnya. Tatkala pamannya Abbâs
berkata kepadanya: “Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu dan orang akan berkata
“Paman Rasûl membaiat sepupu Rasûl, dan tidak akan ada yang berselisih denganmu!”
Alî menjawab: “Wahai paman, apakah ada orang lain yang menginginkannya?” Abbâs menjawab:
“Kau akan tahu nanti!” Alî menjawab: “Sedang saya tidak menginginkan jabatan ini
melalui pintu belakang. Saya ingin semua dilakukan secara terbuka.” Abbâs lalu diam.
Tatkala penyakit Rasûl Allâh saw semakin berat,
Rasûl berseru agar mempercepat pasukan Usâmah. Abû Bakar beserta tokoh-tokoh Muhâjirîn
dan Anshâr lainnya diikutkan Rasûl dalam pasukan itu. Maka Alî, yang tidak diikutkan
Rasûl dalam pasukan Usâmah, dengan sendirinya akan menduduki jabatan khalîfah itu,
bila saat Rasûl Allâh saw tiba,karena Madînah akan bebas dari orang-orang yang akan
menentang Alî. Dan ia akan menerima jabatan itu secara mulus dan bersih. Maka akan
lengkaplah pembaiatan, dan tidak akan ada lawan yang menentangnya.
Itulah sebabnya Âisyah memanggil Abû Bakar dari
pasukan Usâmah yang sedang berkemah di Jurf, pada pagi hari Senin, hari wafatnya
Rasûl dan bukan pada siang hari, dan memberitahukannya bahwa Rasûl Allâh saw sedang
sekarat, “yamûtu.”
Dan tentang mengimami salat, Alî menyampaikan bahwa
Âisyah-lah yang memerintahkan Bilal, maulâ ayahnya, untuk memanggil ayahnya mengimami
salat, karena Rasûl saw sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: “Agar orang-orang
salat sendiri-sendiri”, dan Rasûl tidak menunjuk seseorang untuk mengimami salat.
Salat itu adalah salat subuh. Karena ulah Âisyah itu maka Rasûl memerlukan keluar,
pada akhir hayatnya, dituntun oleh Alî dan Fadhl bin Abbâs sampai ia berdiri di
mihrab seperti diriwayatkan...”
Setelah Abû Bakar dibaiat, Fâthimah datang menuntut
Fadak milik pribadi ayahnya tetapi Abû Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa Nabî
tidak mewariskan. Âisyah membantu ayahnya dengan membenarkan hadis tunggal yang
disampaikan ayahnya bahwa “Nabî tidak mewariskan dan apa yang ia tinggalkan adalah
sedekah.”
Kemudian Fâthimah meninggal dunia dan semua wanita
melayat ke rumah Banû Hâsyim kecuali Âisyah. Ia tidak datang dan menyatakan bahwa
ia sakit. Dan sampai berita kepada Alî bahwa Âisyah menunjukkan kegembiraan. Kemudian
Alî membaiat Abû Bakar dan Âisyah gembira. Sampai tiba berita Utsmân dibunuh dan
Âisyah orang yang paling getol menyuruh bunuh Utsmân dengan mengatakan Utsmân telah
kafir.
Mendengar demikian ia berseru: “Mampuslah ia!”
Dan ia mengharap Thalhah akan jadi khalîfah. Setelah mengetahui Alî telah dibaiat
dan bukan Thalhah, ia berteriak: “Utsmân telah dibunuh secara kejam dan menuduh
Alî sebagai pembunuh dan meletuslah perang Jamal.”[[35]]
Demikian penjelasan Ibn Abîl-Hadîd.
[1] Lihat Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5,
hlm. 7.
[2] Al-Qur’ân (33), ayat 33.
[3] Ibnu Thaifur, Balâghât an-Nisâ’, hlm. 8;
Mengenai nasihat Ummu Salamah kepada Âisyah, lihat juga Zamakhsyari, al-Fâ’iq,
jilid 1, hlm. 290; Ibnu Abd Rabbih, Iqd al-Farîd, jilid 3, hlm. 69; Syarh
Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 79.
[4] Dzi Qar = Sebuah mata air dekat Kûfah,
pen.
[5] Lihat Ibn Abîl-Hadîd, Syarh
Nahju’l-Balâghah, jilid 2, hlm. 157.
[6] Usdu’l-Ghâbah, jilid 2, hlm. 309-310.
[7] Haudaj adalah tandu yang dipasang di
punggung unta, pen.
[8] Ibnu Abd Rabbih, Iqd al-Farîd, jilid 4,
hlm. 294.
[9] Al-Qurân, al-Ahâzb (XXXIII):6.
[10] Abdullâh bin Zubair.
[11] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah,
jilid 2, hlm. 166.
[12] Lihat Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 178-179.
[13] Ibnu Sa’d, Thabaqât, jilid 3 hlm. 370.
[14] Ibnu Sa’d, ibid., jilid 8, hlm. 67;
Zarkasyi, al-Ijâbah, hlm. 71, 75; Kanzu’l Ummâl, jilid 7, hlm. 116; Muntakhab,
jilid 5, hlm. 118; al-Ishâbah, jilid 4, hlm. 349; Thabarî, ibid., jilid 4, hlm.
161; Ibnu Atsîr, jilid 2, hlm. 247; AlHâkim Al-Nîsâbûrî, al-Mustadrak, jilid 4,
hlm. 8; Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 3, hlm. 154; al-Balâdzurî, Futûh
al-Buldân, hlm. 449, 454, 455; AnNubalâ’, jilid 2, hlm. 132, 138.
[15] Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Maqâtil
ath-Thâlibiyîn, hlm. 43.
[16] Abû Turâb atau Alî bin Abî Thâlib.
[17] Thabarî, Târîkh, tatkala membicarakan
sebab pembunuhan Alî; Ibnu Sa’d, Thabaqât al-Kubrâ, jilid 3, hlm. 27;
Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Maqâtil at-Thâlibiyîn, hlm. 42.
[18] Abû’l-Faraj al-Ishfahânî, Maqâtil at-Thâlibiyîn,
hlm. 42.
[19] Al-Bukhârî, jilid 2, hlm. 277 dalam Bab
Kecemburuan Wanita, Kitâb Nikah.
[20] Al-Bukhârî, jilid 2, hlm. 210, pada Bab
Manâqib Khadîjah.
[21] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 150, 154.
[22] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 117; Sunan
Tirmidzî, jilid 1, hlm. 247; Shahîh Bukhârî, jilid 2, hlm. 177, jilid 4, hlm.
36, 195; Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 58, 102, 202, 279; Ibnu Katsîr, Târîkh,
jilid 3, hlm. 128; al-Kanzu’l-Ummâl, jilid 6, hlm. 224.
[23] Musnad Ahmad, jilid 4, hlm. 275.
[24] Al-Qur’ân, an-Najm (LIII), 3}
[25] Maksud Ibn Abin Hadîd adalah Khotbah 155
dalam Nahjul Balâghah tatkala Alî berkata tentang Âisyah: “Kebencian mendidih
dalam dadanya, sepanas tungku pandai besi. Bila ia diajak melakukan kepada
orang lain seperti yang ia lakukan kepadaku, ia akan menolak. Tetapi hormatku
kepadanya, setelah kejadian ini pun, tetap seperti semula.
[26] Tirmidzî, al-Jâmi’ ash-Shahîh, jilid 5,
hlm. 656, 661; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 3, hlm. 62, 64, 82, jilid 5,
hlm. 391, 392; Ibnu Mâjah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 56; Al-Hâkim An-Nîsâbûrî,
al-Mustadrak ash-Shahîhain, jilid 3, hlm. 167; Majma’ az-Zawâ’id, jilid 9, hlm.
183; al-Muttaqî, Kanz al-Ummâl, jilid 13, hlm. 127, 128; al-Istî’âb, jilid 4,
hlm. 1495; Usdu’l-Ghâbah, jilid 5, hlm. 574; Târîkh Baghdâd, jilid 1, hlm. 140,
jilid 6, hlm. 372, jilid 10, hlm. 230; Ibnu Asâkir, at-Târîkh, jilid 7, hlm.
362.
[27] Shahîh Bukhârî, jilid 8, hlm. 79; Shahîh
Muslim, jilid 7, hlm. 142-144; Ibnu Mâjah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 518; Ahmad
bin Hanbal, al-Musnad, jilid 6, hlm. 282; al-Hâkim an-Nîsâbûrî, al-Mustadrak alâ
ash-Shahîhain,jilid 3, hlm. 136.
[28] Lihat juga Kanzu’l-Ummâl, jilid 6, hlm.
219.
[29] Lihat juga Kanzu’l-Ummâl, jilid 6, hlm.
219.
[30] Lihat juga al-Mustadrak, jilid 3, hlm.
153, 156; Kanzu’l-Ummâl, jilid 6, hlm. 218.
[31] Lihat catatan kaki di atas.
[32] Lihat Kanzu’l-Ummâl, jilid 6, hlm. 220.
[33] Al-Qur’ân 33:33; Lihat hadis Kisâ’ yang
diriwayatkan oleh Ummu Salamah, dalam Bab “Nash Bagi Alî.”
[34] Al-Qur’ân, Âli Imrân (III): 61.
[35] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah,
jilid 2 hlm. 192-197.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar