Oleh Al-Asytar Ali
“Abu Dzar Al-Ghifari (muslim
yang sangat dicintai Rasulullah saww) tetapi mati kelaparan akibat dibuang
Usman bin Affan ke Rawadhah bersama isteri dan putri kesayangannya”
Pertanyaan yang saya
angkat sebagai judul kali ini merupakan persoalan realita yang sangat perlu
kita kaji agar kita tidak selalu terbentur dan terhampar pada kesimpulan yang
salah dalam menapaki jalan hidup di dunia ini (beragama). Satu sisi memang kita
telah menemukan jalan yang haq via ayat Allah swt: "Innad dina 'indallahil
Islam" tetapi saat perusak Islam itu bermunculan mulai zaman Rasulullah
sendiri kita kehilangan jalan yang murni itu hingga "yang salah kita pikir
murni dan yang murni kita pikir salah".
Pertama sekali kita harus
meneliti kata Syi'ah itu sendiri via (lewat) Al-Qur’an dan Hadist sahih: apa
itu Syi'ah. Hal ini sama juga saat kita berbicara orang Islam (Muslim), muslim
yang bagaimana yang kita maksudkan? Dalam sejarah Islam banyak tipe orang Islam
yang berbeda, diantaranya muslim macam Marwan bin Hakam (menantu Usman bin
Affan), muslim juga, tetapi berbeda dengan Muhammad bin Abubakar (korban fitnah
dari Marwan bin Hakam).
Abu Dzar Ghifari (muslim
yang sangat dicintai Rasulullah saww) tetapi mati kelaparan akibat dibuang
Usman bin Affan ke Rawadhah bersama isteri dan putri kesayangannya.
Apabila kita memahami "esensi
Islam" pasti mengenal tipe Muslim “yang utuh” walaupun kita memiliki
pengetahuan yang sederhana saja, melalui kajian kita antara muslim menantu
Usman bin Affan dan Abu Dzar Ghifari serta Muhammad bin Abubakar.
Saat Usman berkuasa semua
jabatan penting negara diberikan kepada orang-orang yang memiliki hubungan
keluarga dengannya, termasuk Marwan bin Hakam disebabkan telah menjadi menantunya.
Dapat dibayangkan bagaimana suatu negara yang dikuasai oleh orang-orang yang
tidak cakap dan presiden pun (khalifah) tidak berani memecatnya saat mereka
melakukan kesalahan fatal sekalipun.
Sesungguhnya kejatuhan
Usman bin Affan dan kematiannya adalah akibat dari kesalahan fatal yang
dilakukan menantunya sendiri (Marwan bin Hakam). Marwan-lah yang membuat surat
palsu (atas nama Usman) untuk membunuh semua iring-iringan yang menghantar
Muhammad bin Abubakar manakala tiba di pendopo gubernur Mesir, yang mana Muhammad
bin Abubakar (putra Abu Bakar) dan anak didikan Imam Ali bin Abi Thalib. Pertanyaannya
adalah: “Mengapa orang non Syi'ah tidak mau mempelajari sejarah ini agar
tersingkap kepalsuan hingga mereka dapat menemukan kebenaran?”
Ketika Muawiyah bin Abu Sufyan
bin Harb berfoya-foya dengan istana yang megah dan fasilitas gemerlap negara
lainnya, rakyat kebanyakan hidup dalam keadaan menderita. Tidak ada yang berani
menentang penguasa kala itu kecuali Abu Dzar Al-Ghifari, hingga membuat Muawwiyah
macam cacing kepanasan. Dan akhirnya Abu Dzar diadukan kepada Usman bin Affan
untuk "dipeti-eskan" (dibuang ke Rawadhah setelah diajak tinggal di
istana Usman tetapi Abu Dzar menolak tinggal di "Istana Celaka").
Saat Abu Dzar dibuang,
Usman tidak membenarkan seorangpun bercakap dengan Abu Dzar walaupun sekedar
ucapan pamitan. Tetapi keluarga Imam Ali tidak pernah peduli larangan yang
bertentangan dengan petunjuk Allah dan RasulNya. Marwan bin Hakam datang dan
menghardik Imam: "Hei tidak dengarkah kalian, Amirul mu'minin melarang
berbicara dengan orang itu?". "Gedegap", Imam langsung menampar
unta tunggangan Marwan bin Hakam hingga berputar-putar dan jatuh terjerembab.
Marwan bangun, langsung mengadu ke Usman bin Affan. Ketika Usman menanyakan
Imam kenapa menampar unta Marwan, Imam menjawab bolehlah dia menampar untaku tetapi
kalau dia memakiku, engkau sendiri yang akan kumaki. Usman bertanya
"Apakah engkau lebih baik dari dia?". Imam menjawab: "Malah aku
lebih baik dari kamu". Tetapi akhirnya Usman mengalah dan memaafkan
walaupun sesungguhnya Imam tidak pernah salah.
Ketika Usman bin Affan
mengangkat saudaranya menjadi gubernur Mesir, Imam 'Ali memprotesnya sampai
Usman sendiri terpaksa menggantikan dengan Muhammad bin Abu Bakar (secara darah
Muhammad adalah anak Abu Bakar (khalifah pertama) tetapi secara ideologi beliau
anak didikan Imam 'Ali bin Abi Thalib).
KEMBALI KE PERSOALAN POKOK
Perlu digarisbawahi bahwa
banyak orang menamakan diri Muslim tetapi sepak terjangnya tidak Islami.
Demikian juga ada kaum yang menamakan diri "Syi'ah Alawi" tetapi
sepak terjangnya tidak Alawi. Dari itu diperlukan sikap kritis dan ketelitian
saat melihat suatu fenomena agar kita tidak salah paham terhadap fenomena
tersebut.
Syi'ah revolusioner inilah
yang dibenci kebanyakan manusia dari dulu hingga zaman kita sekarang ini,
kenapa? Sebabnya saat Syi'ah Revolusioner exist (hidup) di suatu
negara/kawasan, akan terungkap semua kepalsuan-kepalsuan keyakinan mayoritas
penduduk Bumi ini.
Apabila pembaca termasuk
tipe manusia yang kritis saat berhadapan dengan hal-hal yang baru Anda hadapi
dan bersungguh-sungguh mencari kebenaran serta tidak pernah lupa meminta
hidayah Allah (berdo'a) agar mampu memahami walau persoalan yang sangat jelimet
sekalipun, insya Allah Anda akan menemukan kebenaran yang sebelumnya terhambat
dengan tabir-tabir yang sukar untuk ditembusi.
Apabila kita katakan
bagaimana Nabi Ibrahim menemukan kebenaran, itu adalah manusia khusus (Nabi
Allah) tetapi pernahkan Anda mempelajari bagaimana Abu Dzar Al-Ghifari
menemukan kebenaran Islam?
Silakan Anda cari
literatur tersebut hingga anda terkesima bagaimana seriusnya Abu Dzar Al-Ghifari
mencari kebenaran saat kebanyakan orang tenggelam dalam perangkap bermacam
fitnah yang dimainkan oleh "Khannas" sejak dulu hingga kini.
"Man jadda wajada", kata Nabi Suci (Siapa yang
bersungguh-sungguh/serius pasti dapat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar