Sabtu, 22 Maret 2014

Gita dan Jempol Kaki Soekarno

Tulisan Dina Y. Sulaeman ini dimuat di situs baru yang keren,http://www.nefosnews.com  Dalam tulisan berjudul Gita dan Jempol Kaki Soekarno ini, saya menulis, sbb.

Sejumlah ekonom dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), baru-baru ini memprediksi bahwa tahun depan nilai rupiah akan terus melemah, seiring dengan perekonomian Indonesia yang bakal semakin memburuk. Salah satu akar masalah adalah Indonesia terlalu mengandalkan konsumsi dan tingkat impor jauh lebih tinggi daripada ekspor. (Tempo, 25/12/2013)

Prediksi ini seolah kontradiktif dengan gegap gempita konferensi WTO di Bali yang baru berlalu. Yang paling berbahagia, agaknya Memperindag Gita Wirjawan, Sang Chairman sidang. Bayangkan saja, organisasi yang menjadi panglima pasar bebas dunia itu sudah bersidang sejak Putaran Doha (12 tahun yang lalu), tapi tak berhasil melahirkan kesepakatan. Namun, di Bali, Gita berhasil memimpin sidang yang melahirkan kesepakatan. Tentu saja, Gita memuji-muji Paket Bali; menyebutnya menguntungkan bagi negara berkembang dan miskin, karena “Mendapatkan manfaat untuk membuat akses bebas dari barang dan jasa untuk meningkatkan perdagangannya.” (Jurnas, 8/12/2013)

Dalam kacamata Gita, pasar bebas adalah jalan untuk mencapai kemajuan ekonomi. Pasar bebas memang memberi kesempatan kepada kita untuk mengekspor produk ke luar negeri, maupun berinvestasi di mana pun. Namun sebaliknya, juga memaksa kita untuk membuka pintu rumah lebar-lebar, mengizinkan arus modal, barang dan jasa masuk. Dalam perspektif pasar bebas, yang penting roda perekonomian berputar, tak penting siapa yang menguasai modalnya. Karena itu, dalam pandangan mereka, tak penting petani Indonesia tak berproduksi, yang penting adalah kebutuhan pangan tercukupi (meski dengan cara impor).

Lalu, apa hubungannya dengan jempol kaki Bung Karno?

Silahkan baca saja di website-nya ya..:)
Btw, masih ingatkah, apa itu NEFOS?

Gagasan pembentukan “Kekuatan Ketiga” memang baru dikumandangkan Bung Karno secara konseptual pada pertengahan 1960-an, yang kemudian populer disebut NEFOS atau The New Emerging Forces. Kekuatan ketiga yang bukan sekadar tidak ingin terseret ke kubu AS-Inggris maupun kubu Soviet-China.

NEFOS merupakan kontra skema kapitalisme global. Sebuah gerakan pro aktif “Perang Asimetrik” melawan skema kapitalisme global negara-negara maju melalui perang non militer.

Sayang, harus terhenti sebelum menemukan format pas, menyusul tergusurnya Bung Karno, Ben Bella, U Nu, Nkrumah dan Sihanouk.

Lebih sayang lagi, NEFOS yang harusnya jadi harta karun, seakan dengan sadar dikubur hidup-hidup menyusul tergusurnya Bung Karno dan munculnya Rezim Orde Baru Soeharto. Dan celakanya, Orde Reformasi kadung “amnesia sejarah” untuk menghidupkan, apalagi merevitalisasi NEFOS.


Selengkapnya, silahkan membaca tulisan Hendrajit, NEFOS Modal Songsong Perang Asia Timur Raya Jilid III.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar