Di tahun 2006, Menteri
Pertahanan Juwono Sudarsono memberi peringatan akan adanya penyusupan gerakan
radikal (Zionis-Wahabi) ke dalam partai-partai Islam. Menurut Juwono
Sudarsono, gerakan radikal itu bernaung di parpol yang mengatasnamakan Islam
sambil menunggu momentum radikalisasi. Atas pernyataannya itu, Menhan
Juwono Sudarsono menerima badai protes dari kalangan partai, salah satunya
Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring.
Dia menyebut pernyataan Menhan itu hanya memberi stigma negatif
partai-partai Islam (untuk kita bisa mengartikannya sebagai partai-partai yang
membajak dan mengatasnamakan Islam).
Dia menyebut Menhan telah
menggunakan cara-cara Orde Baru. “Kalau memang punya bukti, langsung tunjuk
hidung partai mana yang dimaksud,” tantang Tifatul Sembiring
menanggapi pernyataan Menhan Juwono Sudarsono. Tak heran jika mantan presiden
PKS, yang sekarang ini menjabat sebagai Menkominfo di pemerintahan SBY
tersebut, bersikap sangat keras terhadap peringatan Menhan Juwuno Sudarsono di
tahun 2006 itu. Bersama Hidayat Nur Wahid, Tifatul adalah peletak dasar
ideologi PKS. Keduanya berasal dari gerakan Tarbiyah, yang ingin
mentransplantasi ideologi politik Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan ideologi
keagamaan Wahabi dari Arab Saudi.
Berdirinya PKS berawal
dari kelompok keagamaan (tepatnya gerakan Wahabisme) yang berbasis di
kampus-kampus negeri (utamanya kampus-kampus sekuler yang mahasiswanya minim
pengetahuan agama) pada awal 1980-an. Kelompok ini kerap
disebut gerakanTarbiyah (pendidikan) atau Usroh (keluarga). Gerakan
ini disebut tarbiyah karena dibangun dengan kegiatan mentoring atau pendidikan
keagamaan oleh kelompok-kelompok yang dibentuk di sekitar kampus. Setiap
kelompok terdiri dari 5-7 orang yang dibimbing seorang murabbi (mentor)
dengan kewajiban saling menjaga satu sama lain, tak hanya dalam aktivitas
belajar tapi juga dalam aspek kehidupan sehingga seperti keluarga (usroh).
Bahkan, seorang murabbi juga bertugas mencarikan jodoh bagi
anggotanya, tentu saja itu dilakukan dengan motif semakin mempersolid usroh tersebut.
Karena mereka berpendapat, jika menikah dengan selain dengan kalangan mereka
sendiri dapat dikatakan sesat. Tak mengherankan, jika dalam banyak
kasus, seorang anggota usroh lebih mendengarkan seorang murabbi daripada
orang tuanya sendiri. Dan belakangan, mereka pandai berpura-pura untuk dapat
masuk di kalangan Nahdhiyyin dan lain sebagainya.
Perkembangan gerakan
Tarbiyah Wahabi ini di Indonesia terbilang cukup pesat, sehingga dalam tempo
sepuluh tahun sejak 1980, telah menyebar ke seluruh kampus-kampus ternama di
Indonesia seperti UI, IPB, ITB, UGM, Unair, Brawijaya, Unhas dan
lain-lain. Kelahiran dua majalah Tarbiyah Wahabi, yang terbit akhir tahun
1986, yakni Ummi dan Sabili, yang menyebarkan
pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin Mesir dan Wahabisme Rezim Saud Saudi
Arabia, menjadi wahana pembinaan juga sebagai media informasi dan komunikasi
pemikiran Tarbiyah di Indonesia.
Gerakan tarbiyah itu
berjalan secara samar-samar selama rezim Orde Baru yang terkenal otoriter dan
“diktator”. Pola gerak itu mencapai titik balik pada momentum politik 1998, di
mana semua kekuatan membuka diri menyambut perubahan iklim politik Indonesia,
tak terkecuali kelompok tarbiyah Wahabi. Dalam iklim keterbukaan politik
yang permisif terhadap semua bentuk ekspresi ideologi, para aktivis
tarbiyah Wahabi memutuskan untuk mendirikan Partai Keadilan (PK). Partai
berlambang bulan sabit dan pedang ini dideklarasikan 9 Agustus
1998 di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru dengan diikuti puluhan ribu
pendukungnya.
Namun, jangan Anda salah
sangka bahwa keterlibatan mereka dalam pemilu demokratis adalah bentuk
penerimaan terhadap demokrasi. Sama sekali bukan. Cita-cita paling tinggi
mereka adalah model Rezim Politik Wahabi yang sangat keras. Bagi mereka, sistem
kepartaian, nasionalisme, atau pun demokrasi, hanyalah alat sementara, cara
yang bisa ditunggangi untuk mencapai tujuan membentuk negara model Rezim dan
Politik dalam ideal benak dan pemikiran Wahabisme.
Mereka menunggangi
demokrasi atau pemilihan umum hanya untuk merebut kekuasaan, sampai mereka
berhasil membuat misi mereka terwujud, yaitu mewujudkan Daulah atau Khilafah
model Wahabi dan Bani Umayyah, meski banyak dari mereka yang tidak sadar bahkan
tidak paham bahwa cita-cita daulah atau khilafah itu tidak dikenal dalam Islam.
Bagaimana tidak? Azas Pancasila saja mereka tolak, dianggap sebagai azas
sekuler dan kafir, dan jika ada anggotanya yang tetap menerima Pancasila,
dicap futur (demoralisasi ideologi) hingga murtad bagi yang
benar-benar menentang keras.
Tentu kita
masih ingat ketika beberapa oknum PKS melecehkan Sang Saka Merah Putih dan
Pancasila.
Niat PKS dengan ideologi
politik Ikhwanul Muslimin dan paham Wahabi ini memainkan peranan “playing
as friend” (Berpura-pura menjadi teman atau mitra), awalnya terlihat
ramah terhadap Pancasila dan Indonesia, namun tujuan mereka sejalan dengan
Hizbut Tahrir. Toh, memang penggagas Hizbut Tahrir adalah sempalan Ikhwanul
Muslimin dan kaum Wahabi yang merasa gemas dengan pola ‘berpura-pura’ yang
dianggap lambat mencapai tujuan politik mereka. Kedekatan PKS dan ideologi
Ikhwanul Muslimin memang tak bisa dipungkiri, walau pun belakangan beberapa
petinggi mereka pandai berpura-pura untuk menepis hal itu. Lihat saja reaksi
mereka ketika pimpinan Ikhwanul Muslimin, Mursi digulingkan dari kursi
kepresidenan di Mesir, respon solidaritas PKS sangat massif melebihi
solidaritas mereka terhadap berbagai kekerasan atas umat Islam di tanah air.
Anis Matta, presiden PKS juga terang-terangan menyatakan bahwa
inspirasi-inspirasi Ikhwanul Muslimin memberi kekuatan pada PKS. Dari Hasan
Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, hingga Anis Matta yang terang-terangan
memuja Al-Qaeda yang buatan CIA-Amerika, yang ironisnya banyak anggota PKS
sendiri tidak tahu bahwa Al-Qaeda adalah buatan dan binaan CIA-Amerika,
sebagaimana ISIS saat ini yang juga buatan dan binaan CIA-Amerika dan
Mossad-Israel.
Seperti telah sama-sama
kita ketahui, Wahabi mengasosiasikan diri sebagai kaum salaf yang mengharamkan
semua bid’ah dan memahami ajaran Islam secara harfiah (peringatan Maulid,
tahlilan, atau ziarah kubur diharamkan) dan menganggap yang bertentangan dengan
mereka adalah kafir, meski kenyataannya mereka justru terputus dari sanad
salaf. Sedangkan ikhwanul muslimin bergerak di bidang politik. Karena
tujuan untuk mendirikan negara versi mereka tak lagi dapat dilakukan seperti
cara NII melalui pemberontakan, tapi dengan merebut kekuasan politik. Jadi
jangan heran jika dalam tubuh PKS ada Hilmi Aminuddin, putera Danu Muhammad
Hasan, salah satu pemimpin gerakan Negara Islam Indonesia, Panglima NII Jawa
dan Madura. Dan perkembangan mutakhir saat ini adalah mereka berusaha masuk dan
mempengaruhi basis Nahdhiyyin dengan jalan pernikahan atau dengan berpura-pura
tidak masalah dengan tradisi Nahdhiyyin, karena tujuan mereka adalah melakukan
ideologisasi di dalam rumah tangga dan kepada istri dari basis Nahdhiyyin yang
mereka nikahi.
Belajar dari
kegagalan cara-cara pemberontakan mereka itu, kalangan Wahabi ini
memanfaatkan alam demokrasi untuk mendirikan parpol dan merangsek masuk ke
dalam birokrasi dan pemerintahan. Mereka memaksakan aturan paham
mereka secara ketat hingga melanggar hak azasi warga negara yang berbeda
keyakinan. Yang lebih mendekatkan Wahabi dengan Ikhwanul Muslimin adalah
ketidaktundukan mereka terhadap pemerintahan negara, atas nama nasionalisme. Mereka
hanya akan tunduk pada negara dan pemerintahan versi mereka, dan setiap upaya
mereka adalah untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Dalam mengembangkan sayap
dan pengaruhnya, PKS melakukan infiltrasi ke berbagai ormas, lembaga
pendidikan, instansi pemerintahan dan swasta. Bahkan di kampus-kampus, mereka
memaksakan mentoring dan liqa’ untuk
menyebarkan paham mereka, membuat kesepakatan dengan pihak kampus, agar
mahasiswa tingkat awal mendapatkan mata kuliah dan materi dari mereka, dan
minta diwajibkan untuk liqa’. Jika tidak mengikuti, maka ancaman
nilai Agama Islam akan buruk dan mempengaruhi masa depan kelulusan karena mata
kuliah wajib.
Bagi Muhammadiyah, PKS
menuggangi amal usaha, masjid, lembaga pendidikan, dan fasilitas
lainnya demi tujuan politiknya. Penolakan Muhammadiyah terhadap PKS
diwujudkan dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor:
149/Kep/I.0/B/2006. SKPP menyebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai
partai politik yang memanfaatkan Muhammadiyah demi kekuasaan politik.
Karena itu SKPP menyerukan para anggota dan pimpinan Muhammadiyah agar
membebaskan diri dari misi dan tujuan PKS. Dan pada 2006 pula, sebuah TK
milik Aisyiyah Muhammadiyah di Prambanan yang telah berdiri 20 tahun hendak
diubah menjadi TK Islam Terpadu. Di belakang rencana itu, ada Hidayat Nur Wahid
yang saat itu menjabat Ketua MPR dan Dewan Pembina dan Pengurus Yayasan Islamic
Centre yang berafiliasi dengan PKS. Tentu saja Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Tengah keberatan dengan rencana itu. Kasus lain
menunjukkan di mana PKS mengambil alih tanah masjid wakaf Muhammadiyah
ketika Hidayat Nur Wahid membantu membangun fisik masjid di atasnya.
Keberadaan Kelompok
Tarbiyah Ikhwanul Muslimin (PKS) di lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah
mulai terkuak tatkala Farid Setiawan, pengurus Muhammadiyah wilayah Yogyakarta,
menulis sebuah artikel opini di Majalah Suara Muhammadiyah. Dalam artikel
berjudul “Tiga Upaya Mu’alimin dan Mu’alimat” itu Farid Setiawan mensinyalir
penyusupan agen-agen garis keras di Madrasah Mualimin dan Muallimat
Muhammadiyah Yogyakarta. Kedua lembaga pendidikan menengah ini dikenal sebagai
tempat pengkaderan ulama Muhammadiyah yang langsung dikelola oleh Pimpinan
Pusat.
Di kampus Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS), gerakan penyusupan paham Wahabi-Ikhwanul Muslimin
demikian kuatnya, terutama lewat Fakultas Teknik, Agama Islam, dan Program
Magister Agama Islam, di mana ketuanya adalah Dewan Syuro PKS, Dr.
Muinudinillah, Lc., lulusan King Abdul Aziz University Arab Saudi. Yang menarik
adalah, kira-kira tiga perempat mahasiswa S2 Studi Islam itu merupakan kader
PKS yang dibawa oleh direkturnya dan mendapatkan beasiswa dari Kerajaan Arab
Saudi yang sangat gencar menyebarkan Wahabisme.
Penyusupan ideologi PKS di
forum-forum pengajian kantor pemerintah pernah menggegerkan Pemerintah Kota
(Pemkot) Depok dan Bogor pada tahun 2006, yang saat itu dipimpin Walikota Nur
Mahmudi Ismail, mantan Presiden PKS. Hasbullah Rachmad, ketua Fraksi Partai
Amanat Nasional (PAN) Depok, mengungkapkan hal tersebut pada Desember 2006.
Hasbullah memberi contoh bahwa pengajian rutin yang dibawakan guru ngaji dari
Fraksi PKS di kalangan birokrasi Pemkot Depok merupakan bentuk pemaksaan. “Mereka
yang ingin karirnya naik diwajibkan ikut pengajian PKS. Itu benar-benar
terjadi,” kata Hasbullah.
Alangkah mengherankan dan
sangat patut dipertanyakan, mengapa PKS dengan Ikhwanul Muslimin ala Mesir dan
paham Wahabi ala Rezim Saud ini dapat lestari di Indonesia. Terlebih lagi di
panggung politik. PKS tidak tunduk kepada arahan presiden Indonesia sebagai
pimpinan tertinggi, karena kiblat dari semua perintah yang harus ditaati adalah
induk organisasi mereka di Mesir dan Rezim Saud.
Pertanyaan kita saat ini
adalah: mengapa PKS tertarik ikut serta dengan kubu Prabowo? Tak lain
karena memang PKS memandang Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai orang
yang potensial untuk ditunggangi. Prabowo mau mengeluarkan miliaran rupiah
sebagai mahar agar PKS menjadi mesin kampanyenya (mulai
dari kampanye negatif hingga kampanye hitam). Yang dijual PKS adalah jaringan
kader mereka yang solid dan taklid buta terhadap pemimpin mereka, sehingga bisa
diandalkan sebagai mesin kampanye.
Selain itu, PKS juga
melihat Prabowo sangat mirip Soeharto, dan hanya dalam gaya kepemimpinan model
otoriter, kuasa Ikhwanul Muslimin dan Wahabi akan dapat bertahan. Dan rupanya
tak salah, PKS memang sejalan dan satu pikiran dengan Prabowo Subianto, yang sama-sama
mengidolakan Soeharto. Bahkan pada tahun 2008 menjelang pemilu 2009, iklan PKS
yang memuja Soeharto dan rasa ‘terima kasih’ kepada Soeharto menjadi
kecaman. Namun sekarang, bak bertemu pasangan sejoli, Prabowo pun ingin
mengangkat Soeharto sebagai pahlawan. Dan bagi PKS sendiri, ayah Hilmi
Aminuddin merupakan pemberontak NII yang ‘membelot’ dan diampuni oleh
pemerintahan Soeharto, kemudian bekerja sama dengan Ali Moertopo. Bahkan Hilmi
pun bisa bersekolah ke Saudi atas bantuan Ali Moertopo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar