Imam
Ali memilih orang-orang saleh untuk menjadi gubernur di kota-kota kekhalifahan
Islam. Beliau menunjuk Malik Al-Asytar menjadi Gubernur Mosul, Sinjar, Nasibin,
Hit, dan Anat. Itu adalah daerah-daerah di perbatasan Syam. Sementara itu,
Muawwiyah yang rakus dan haus kuasa tidak mematuhi Khalifah Ali karramallahu
wajhah. Ia pun menjadi diktator di Syam. Bahkan ia ingin melakukan
pemberontakan terhadap Imam Ali dengan dalih menuntut balas atas kematian
Utsman bin Affan, meski para pembunuh Utsman bin Affan sesungguhnya adalah
patron dan kolega Muawwiyah itu sendiri. Imam Ali mencoba menempuh jalan damai.
Ketika
itu Imam Ali mengajak Muawwiyah untuk mematuhi beliau. Imam Ali mengirim beberapa
surat kepada Muawwiyah, dan mengirim beberapa utusan untuk berbicara kepadanya.
Tetapi, semua usaha Imam Ali sia-sia. Muawwiyah tetap ingin melakukan
pemberontakan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi Imam Ali kecuali
menghadapi pemberontakan Muawwiyah yang rakus dan haus kuasa tersebut. Imam Ali
pun lalu membentuk pasukan dan menyerahkan komandonya kepada Malik Al-Asytar.
Pasukan
pun maju menuju Syam. Ketika tiba di Kirkisya, terjadilah bentrokan dengan
pasukan Muawiyyah yang dipimpin oleh Abi Al-Awar Al-Salmi. Malik Al-Asytar
mencoba membujuk Abi Al-Awar Al-Salmi untuk mengakhiri pemberontakan dan
mematuhi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Tetap ia
menolaknya. Malam harinya, pasukan Muawwiyah mengambil kesempatan dengan
melancarkan sebuah serangan mendadak. Tindakan itu bertentangan dengan agama
dan etika perang karena kedua kubu tersebut sedang dalam perundingan.
Pasukan
Imam Ali melawan serangan mendadak itu. Mereka mengalahkan dan melukai banyak
penyerang dan memaksa lainnya untuk mundur ke tempat asal mereka. Malik Al-Asytar
menunjukkan lagi keberaniannya. Ia mengirim utusan untuk menemui Abi Al-Awar
Al-Salmi untuk mengundangnya berduel dengan pedang. Utusan itu berkata, "Wahai Abi Al-Awar, Malik Al-Asytar
mengundangmu untuk berduel dengannya!" Pemimpin pasukan Muawiyyah itu
menjadi takut dan dengan perasaan kecut berkata, "Aku tidak ingin berduel dengannya!" Muawwiyyah memimpin
sebuah pasukan besar untuk bergabung dengan pasukan Abi Al-Awar Al-Salmi. Kedua
kubu bertemu di dataran Shiffin di tepi Sungai Eufrat.
Beberapa
unit pasukan Muawwiyah berhasil menduduki tepi sungai dan mengepung sungai
tersebut untuk mencegah pasukan Imam Ali mengambil air. Tindakan ini juga
bertentangan dengan hukum Islam dan hukum perang. Lalu Imam Ali mengutus
Sasa'ah bin Suhan, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw untuk berbicara
kepada Muawwiyyah. Sasa'ah mendatangi kemah Muawwiyah dan berkata, "Hai
Muawwiyah, Ali berpesan, 'Biarkan kami mengambil sedikit air. Lalu kami akan
memutuskan selanjutnya antara kalian dan kami. Jika tidak, kalian dan kami akan
bertempur hingga si pemenang yang akan minum." Muawwiyyah terdiam
sejenak lalu berkata, "Aku akan
menjawabnya nanti."
Utusan
Imam Ali pun pergi, sedangkan Muawwiyah meminta saran dari beberapa orang. Al-Walid
berkata dengan marah, "Cegah mereka
dari meminum air untuk memaksa mereka menyerah." Mereka setuju dengan
pendapat tersebut. Memang tak dapat diingkari, Muawwiyah mempekerjakan
orang-orang yang terkenal menghalalkan segala cara di sekelilingnya. Mereka
adalah pelanggar hukum-hukum Islam dan hak asasi manusia.
Saat
itu Malik Al-Asytar mengamati gerakan pasukan yang ada di tepi sungai. Ia
melihat perbekalan pasukan tersebut. Sehingga ia sadar bahwa Muawwiyah akan
memperketat pengepungan sungai itu. Tentara Imam Ali pun menjadi haus. Tentu
saja Malik pun demikian. Seorang tentara berkata padanya, "Ada sedikit air dalam tempat minumku,
minumlah." Malik menolaknya dan berkata, "Aku tak akan minum sebelum seluruh pasukanku minum!"
Malik pergi menemui Imam Ali dan berkata, "Amirul
Mukminin, pasukan kita kehausan. Tidak ada jalan lagi bagi kita selain
bertempur." ImamAli menjawab, “Baiklah."
Imam
Ali menyampaikan sebuah khutbah dan mendorong mereka untuk bertempur dengan
berani. Ia maju ke tepi sungai Eufrat. Setelah pertempuran sengit terjadi,
Malik dapat menguasai kembali tepi sungai dan memaksa pasukan Muawwiyah untuk
menarik diri. Pasukan Muawwiyah menjadi jauh dari air. Sehingga mereka pun
berpikir untuk membuat tipu muslihat demi menguasai kembali Sungai Eufrat
tersebut.
Pada
hari berikutnya, sebuah anak panah jatuh di antara pasukan Imam Ali. Di panah
itu terikat sepucuk surat. Para tentara membaca surat itu dengan hati-hati.
Mereka dengan cepat menceritakan pesan itu satu sama lain. Pesan itu berbunyi, "Dari seorang saudara setia di pasukan
Syam (pasukan Muawwiyah), Muawwiyah akan membuka bendungan sungai itu untuk
menenggelamkan kalian. Maka, berhati-hatilah!" Pasukan Imam Ali pun
percaya pada berita itu dan mundur. Sehingga pasukan Syam mengambil kesempatan
dari keadaan itu dan merebut kembali tepi sungai.
Namun
pasukan Imam Ali kemudian melancarkan serangan dan mengusir pasukan Syam dari
daerah itu. Muawwiyah merasa sangat khawatir, sehingga ia bertanya kepada Amr bin
Ash, "Apakah menurutmu Ali akan
mencegah kita meminum air?" Amr bin Ash menjawab, "Ali tak akan melakukan apa
yang kamu lakukan. Karena ia bukan orang keji dan semua bangsa Arab mengakui
keutamaan-keutamaannya" Pasukan Syam juga merasa khawatir. Namun,
segera mereka mendengar bahwa Imam Ali mengizinkan mereka datang ke sungai dan
minum air.
Beberapa
orang Syam pun menyadari perbedaan kualitas diri Muawwiyah dan Imam Ali.
Muawwiyah melakukan segala cara untuk memenangkan peperangan. Tetapi Imam Ali
tidak berpikir untuk melakukan semua itu. Ia melakukan tindakan yang baik,
terpuji, dan berperikemanusiaan. Oleh karena itu, beberapa tentara Syam
meninggalkan kubu Muawwiyah dengan diam-diam di malam hari. Mereka bergabung
dengan pasukan Imam Ali karena kubu Imam Ali selalu mewakili kebenaran dan
kemanusiaan.
MUAWWIYAH
Muawwiyah
merasa tidak senang kepada Malik Al-Asytar, karena keberaniannya membuat
pasukan Imam Ali berperang dengan penuh semangat, dan pada saat yang sama
mencemaskan pasukan Syam. Sehingga Muawwiyah memutuskan untuk membunuh Malik Al-Asytar
melalui duel pedang. Ia memerintahkan Marwan untuk berduel dengan Malik. Tetapi
Marwan takut pada Malik. Oleh karena itu, ia meminta maaf kepada Muawwiyah dan
berkata, "Biarlah Amr bin Ash yang
berduel dengannya karena ia adalah tangan kananmu." Kemudian Muawwiyah
memerintahkan Amr bin Ash untuk berduel dengan Malik. Amr bin Ash dengan rasa
enggan menyetujui rencana Muawwiyah tersebut. Amr lalu memanggil Malik untuk
berduel dengannya. Malik maju ke arah Amr bin Ash dengan memegang tombaknya.
Malik memukulnya dengan keras tepat pada wajah, sehingga Amr bin Ash pun
melarikan diri ketakutan.
KESYAHIDAN AMMAR
Peperangan
menjadi bertambah hebat. Ammar bin Yassir memimpin di sayap kiri. Meskipun ia
sudah tua, namun ia bertempur dengan gagah berani. Ketika matahari hampir
terbenam, Ammar bin Yasir meminta sedikit makanan untuk berbuka puasa. Seorang
tentara membawakan untuknya secangkir penuh yoghurt (susu asam). Ammar menjadi
gembira dan berkata, "Malam ini, aku
mungkin syahid karena Rasulullah saw telah berkata padaku, 'Ammar, sekelompok
orang zalim akan membunuhmu, dan makanan terakhirmu di dunia adalah secangkir
yoghurt."
Sahabat
besar itu pun berbuka puasa dan lalu maju ke medan pertempuran. Ia bertempur
dengan gagah berani. Namun akhirnya ia pun jatuh ke tanah dan syahid. Imam Ali
datang dan duduk di dekat kepala Ammar lalu berkata dengan sedih, "Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia
menjadi syahid. Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia dibangkitkan dari
kematian. Wahai Ammar nikmatilah surgamu."
Kesyahidan
Ammar di pertempuran itu sangat mempengaruhi jalannya pertempuran. Pasukan Imam
Ali berada dalam semangat yang tinggi. Sementara itu, pasukan Muawwiyah justru
berada dalam semangat yang rendah. Semua kaum Muslim menjadi teringat pada
sabda Rasulullah saw kepada Ammar bin Yassir. Hadis itu berbunyi, "Wahai Ammar, kelompok orang-orang zalim akan
membunuhmu." Sehingga semua menjadi demikian jelas bahwa Muawwiyah dan
tentaranya memang berada di posisi yang tidak sah, sementara Imam Ali dan
sahabat-sahabatnya adalah berada di barisan benar dan legitimate. Oleh karena
itu, pasukan Imam Ali semakin meningkatkan serangannya atas pasukan Muawwiyah,
sementara di sisi lain Muawwiyah dan pasukannya bersiap untuk melarikan diri.
TIPUAN SANG POLITIKUS
Muawwiyah
berpikir untuk memperdayai pasukan Imam Ali. Sehingga ia pun meminta saran
kepada Amr bin Ash. Lalu Amr berkata, "Aku
yakin kita dapat menipu mereka dengan Al-Qu’an." Muawwiyah gembira
dengan siasat licik itu dan memerintahkan tentaranya untuk mengangkat Al-Quran dengan
tombak-tombak mereka. Ketika pasukan Imam Ali melihat Al-Quran, mereka berpikir
untuk menghentikan pertempuran. Siasat licik Muawiyah dan Amr bin Ash ini
berhasil menipu beberapa tentara Imam Ali. Imam Ali lalu berkata, "Itu adalah tipuan! Akulah yang pertama
mengajak mereka pada kitabullah. Dan akulah yang pertama mengimaninya. Meraka
tidak mematuhi Allah dan melanggar ketetapan-Nya.”
Namun
tetap saja 20 ribu tentara Imam Ali tidak mau mematuhi perintah beliau dan
berkata, “Hentikan pertempuran dan perintahkan
Al-Asytar untuk mundur!" Imam Ali akhirnya mengutus seorang tentara
kepada Al-Asytar untuk menghentikan pertempuran. Malik Al-Asytar pun terpaksa
mundur. Ia berkata, "Tidak ada
kekuatan dan kekuasaan kecuali milik Allah.”
TAHKIM
Malik
Al-Asythar mengetahui bahwa tindakan Muawwiyah itu hanyalah tipuan. Tetapi ia
tetap mematuhi perintah Imam Ali agar tak ada bencana yang terjadi. Ia adalah
seorang pemimpin yang pemberani dan prajurit yang patuh. Pertempuran pun
berhenti. Dan kedua kubu menyetujui untuk bertahkim (memutuskan hukum) dengan
Kitabullah. Muawwiyah mengirim Amr bin Ash untuk mewakilinya dalam negosiasi
itu. Dan Imam Ali memilih seorang yang siaga dan bijaksana. Orang itu juga
mesti memiliki pengetahuan yang baik tentang Kitabullah. Sehingga, beliau
memilih Abdullah bin Abbas, seorang yang berpengetahuan tinggi tentang agama.
Tetapi
kubu pasukan pemberontak yang tidak mematuhi Imam Ali menolaknya dan berkata, "Kami memilih Abu Musa Al-Asy'ari."
Imam Ali menjawab, "Aku tidak setuju dengan pilihan kalian. Abdullah bin Abbas lebih
baik darinya." Sekali lagi para pemberontak itu menolak keputusan
Imam Ali. Sehingga, Imam Ali berkata, "Aku
akan memilih Al-Asytar." Mereka juga menolak Al-Asytar. Mereka tetap
kukuh memilih Abu Musa Al-Asy'ari. Akhirnya, demi menghindari terjadinya
malapetaka, Imam Ali lalu berkata, "Lakukan
apa yang kalian suka!"
Kemudian
kedua wakil itu bertemu untuk berbicara. Amr bin Ash berpikir tentang sebuah
rencana yang sekiranya dapat diterima oleh Al-Asy'ari. Amr berkata padanya,
"Wahai Abu Musa, Muawwiyah dan Ali
telah menyebabkan semua kesulitan ini. Sehingga, marilah kita tinggalkan mereka
dan memilih orang lain." Abu Musa Al-Asy'ari kebetulan tidak menyukai
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib karena dengki dan cemburu dengan kebesaran
dan keutamaan Imam Ali. Sehingga, ia pun setuju dengan rencana itu.
Ia
lalu berkata di depan orang-orang, "Aku
melepaskan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku melepaskan cincin dari jariku."
Kemudian ia pun melepaskan cincinnya. Namun Amr bin Ash justru berkata dengan
tegas, "Aku menempatkan Muawwiyah
pada kekhalifahan sebagaimana aku menempatkan cincin ke jariku."
Kemudian ia memakai cincinnya. Para tentara Imam Ali, yang telah
membanggakannya tadi , menyesali perbuatan mereka yang salah itu. Saat itu
mereka mendapat hikmah dan pelajaran bahwa Ali bin Abi Thalib karramallahu
wajhah memang manusia paling utama setelah Rasulullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar