Oleh: 𝗧𝗮𝗿𝗹𝗶 𝗡𝘂𝗴𝗿𝗼𝗵𝗼
|
Dua minggu ini kabar duka
datang silih berganti. Jika sebelumnya lini masa media sosial jadi tempat pamer
kemewahan, atau kegembiraan, maka belakangan telah berganti menjadi tempat
takziah virtual yang dipenuhi ucapan duka. Pagi ini, Jumat, 9 Juli 2021, misalnya,
di antara kabar duka yang lewat di lini masa, saya membaca terselip nama Winata
Supriyatna. Ia meninggal di RS Pelabuhan Jakarta, pukul 02.20 WIB, dinihari
tadi.
|
Secara pribadi saya tidak
mengenal lelaki kelahiran Karawang, 9 Desember 1959 ini. Saya hanya membaca
namanya disebut dengan kesan mendalam dan baik di dalam buku biografi Dr. Dipo
Alam, “Dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin” (2021). Winata Supriyatna
memang punya karir panjang di Sekretariat Negara. Pada masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia pernah dipercaya menjadi Kepala Rumah
Tangga Kepresidenan dan Kepala Sekretaris Presiden.
|
Di mata orang-orang yang
pernah bekerja bersamanya, Winata dianggap sebagai PNS yang dedikatif dan
profesional. Ia selalu membantu semua orang dan easy to work with. Dipo Alam
menyebut Winata sebagai orang yang cekatan.
|
Kecekatan Winata di dapur
Rumah Tangga Kepresidenan telah membuat sejumlah pekerjaan yang memerlukan
gerak cepat, seperti urusan perjalanan, misalnya, jadi lancar. Salah satunya
adalah ketika Dipo Alam, yang baru saja ditarik dari posisinya sebagai
Sekretaris Jenderal D-8 di Istanbul, Turki, dan belum lama dilantik menjadi
Sekretaris Kabinet, ditugasi oleh Presiden SBY untuk menemui Presiden Iran
Mahmoud Ahmadinejad terkait misi pembebasan sejumlah warga negara Amerika
Serikat yang ditahan oleh pemerintah Iran.
|
Ceritanya, ketika Menteri
Luar Negeri Marty Natalegawa menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
mengenai Afghanistan di London, 28 Januari 2010, ia dimintai tolong oleh
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton untuk menitipkan pesan kepada Presiden
SBY. Mewakili pemerintah AS, Hillary meminta bantuan Presiden SBY untuk
membebaskan tiga pendaki gunung warga negara AS yang ditangkap di perbatasan
antara Turki, Armenia dan Iran. Ketiga orang itu adalah Sarah Shourd, Shane
Bauer, dan Joshua Fattal.
|
Ketiga pendaki itu oleh
Pemerintah Iran dianggap sebagai mata-mata asing karena tidak bisa menunjukkan
dokumen resmi, seperti paspor, visa, serta surat keterangan resmi lainnya. Penahanan
dilakukan sejak 31 Juli 2009, dan telah mengakibatkan popularitas Presiden
Barack Obama terus merosot di dalam negeri.
|
Hillary memang dikenal
memiliki hubungan baik dengan Presiden SBY. Dalam buku biografinya, Hard
Choices (2016), Hillary bahkan mengaitkan nama Presiden SBY dengan proses
demokratisasi yang terjadi di Myanmar pada tahun 2010. Sebagai pemimpin ASEAN,
sekaligus sebagai pensiunan jenderal, SBY dianggap Hillary telah memainkan
peran komunikasi yang signifikan terhadap penguasa Myanmar, Jenderal Tan Shwe,
sehingga upaya mendorong terjadinya proses demokratisasi di Myanmar ketika itu
bisa menggelinding. Ucapan terima kasih Hillary kepada SBY itu ia sebutkan
beberapa kali dalam memoarnya.
|
Selain itu, sebelum
Hillary menjadi Menteri Luar Negeri, pemerintahan Presiden SBY juga memainkan
peran diplomatik penting dalam upaya pembebasan belasan misionaris Kristen
Korea Selatan yang ditahan oleh pemerintah Taliban di Afghanistan pada tahun
2007. Peran aktif Indonesia dalam sejumlah isu tadi telah menaikan pamor
Indonesia di panggung diplomasi internasional dan menerbitkan respek dari
negara lain, terutama AS. Sekjen PBB Ban Ki-moon juga memberi apresiasi tinggi
terhadap pemerintah Indonesia.
|
Terkait dengan kasus
hikers Amerika yang ditahan Iran, sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar di dunia, Amerika mengharapkan Indonesia bisa melakukan pendekatan
khusus kepada pemerintah Iran. Penangkapan hikers itu sendiri sudah menjadi
polemik politik dalam negeri berkepanjangan di Amerika, yang mengakibatkan
popularitas politik Presiden Obama tergerus.
|
Penyelesaian kasus tiga
tahanan itu sebelumnya memang terkesan berlarut-larut, sebab sejak tahun 1979
Amerika tidak lagi memiliki hubungan diplomatik dengan Iran. Tekanan politik
semakin keras karena jika merujuk kepada hukum Iran, mata-mata asing hukumannya
bisa dipidana mati.
|
Sepulang dari London,
demikian tulis Dipo Alam, Menteri Marty segera menghadap Presiden SBY di Istana
Negara untuk melaporkan hasil dari konferensi yang diikutinya. Belakangan, SBY
meminta Sekretaris Kabinet Dipo Alam untuk ikut bergabung. Ketiganya kemudian
naik boogy car dari Istana Merdeka ke Istana Negara. Presiden SBY duduk
memegang kemudi, Marty duduk di sampingnya, sementara Dipo Alam duduk di
belakang. Selain menyampaikan laporan resmi, Menteri Marty juga menyampaikan
permintaan Hillary kepada Presiden SBY.
|
Setelah Menteri Marty
pulang, Seskab Dipo Alam diajak menikmati brunch oleh Presiden SBY di Istana
Negara. Pagi menjelang siang itu, suasana menjadi hangat karena Ibu Ani ikut
datang menemani. Pada saat itulah Dipo Alam melaporkan bahwa dirinya diminta
untuk membuka acara Working Group of D-8 for Food Industry Cooperation di
Tehran, Iran. Dipo juga menyampaikan bahwa bila diperkenankan, dirinya juga
ingin berpamitan kepada Presiden Ahmadinejad, karena sudah tidak lagi bertugas
sebagai Sekjen D-8.
|
Sesudah mendengarkan
perbincangan Menlu Marty dengan Presiden, Dipo kemudian menawarkan bahwa
seandainya Presiden berkenan, dalam pertemuan dengan Presiden Iran itu ia bisa
membawa pesan diplomatik pemerintah Indonesia terkait permintaan dari
pemerintah AS tadi.
|
“Kalau Bapak berkenan
mengutus saya ke Iran, saya mungkin bisa mencoba melobi Presiden Ahmadinejad.
Ketika saya menjadi Sekjen D-8, beliau cukup bersimpati kepada saya. Mungkin
tidak ada salahnya kita coba, Pak,” ucap Dipo kepada SBY.
|
Apa yang disampaikan Dipo
memang tidak mengada-ada. Dalam Sidang KTT Kepala Negara D-8 tahun 2008 di
Kuala Lumpur, Malaysia, Presiden Ahmadinejad telah mendukungnya untuk terpilih
kembali menjadi Sekjen D-8 untuk masa kerja 2008 hingga 2012. Padahal, secara
alfabetik, sesudah Indonesia menjadi Sekjen D-8, giliran selanjutnya adalah
Iran. Namun, Presiden Ahmadinejad kembali mendukung Dipo Alam untuk tetap
menduduki posisinya satu periode lagi.
|
Ketika disodori gagasan
itu, Presiden SBY tak langsung menanggapi tawaran Dipo Alam. Ia memang selalu
berhati-hati dalam mengambil keputusan-keputusan penting.
|
Beberapa waktu kemudian,
ketika Dipo kembali ke kantor Sekretariat Kabinet, ia terkejut karena Kepala
Rumah Tangga Istana Winata Supriyatna sudah menunggunya sembari menyerahkan
sebuah map. Map itu berisi paspor diplomatik Dipo Alam, tiket Malaysia Airlines
(MAS) dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Tehran pulang pergi untuk lima hari,
serta amplop berisi surat khusus dari Presiden SBY untuk Presiden Ahmadinejad.
|
“Wah, cepat sekali, Pak
Winata?!” tanya Dipo Alam.
|
“Iya, Pak. Semoga
perjalanannya lancar,” ujar Winata.
|
Menurut Dipo Alam,
berbagai keperluan perjalanan anggota kabinet, terutama dari korps diplomatik,
yang membutuhkan langkah cepat dan kadang bersifat emergency, memang selalu
bisa diatasi oleh Winata Supriyatna.
|
Dipo pun kemudian bergerak
cepat. Ia menelepon mantan deputinya di Sekretariat D-8, Kia Tabatabai,
mengenai rencana pertemuan dengan Presiden Ahmadinejad. Oleh Tabatabai, Dipo
segera disambungkan pada Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehr Mottaki.
|
“Presiden bisa menerima
Anda. Kalau bisa Anda tiba di Teheran Jumat ini, karena itu hari libur. Sabtu
Anda ketemu saya terlebih dahulu, dan baru Minggu-nya ketemu dengan Presiden,”
ujar Mottaki. Di Iran, hari Minggu memang adalah hari kerja. Dipo Alam terbang
ke Iran sesuai jadwal yang diberikan Menlu Mottaki.
|
Menurut Dipo, pada hari
ketika ia dijadwalkan bertemu Presiden Iran, di Istana Presiden ia harus
melewati lima pintu gerbang dengan penjagaan ketat dari pasukan pengawal
revolusi Pasdaran. Di ruang kerja Presiden Ahmadinejad, ia hanya ditemani oleh
seorang penerjemah.
|
Presiden Ahmadinejad
menyambut Dipo Alam dengan ramah. Ia menyalami dan mempersilakannya duduk di
sebelah kanannya, sementara penerjemah duduk di tengah dalam posisi agak ke
belakang.
|
Sesudah basa-basi
protokoler, Dipo Alam minta izin kepadanya untuk menyampaikan surat khusus dari
Presiden SBY untuknya. Presiden Ahmadinejad membuka surat dan membacanya yang
diterjemahkan oleh penerjemah. Kemudian dimulailah inti tujuan pertemuan hari
itu.
|
“Apa yang Anda inginkan?”
tanya Ahmadinejad kepada Dipo Alam.
|
Dipo segera menjelaskan
bahwa Menlu Amerika Hillary Clinton meminta Presiden SBY untuk membantunya
melepaskan tiga hikers Amerika yang ditahan di Penjara Evin. Menurut Hillary,
hikers itu tidak tahu mereka telah memasuki daerah perbatasan Iran, sebab di
sana tidak ada tanda-tanda atau larangan masuk.
|
Presiden Ahmadinejad hanya
tersenyum mendengar penjelasan Dipo Alam.
|
“Kalau ada warga negara
asing datang masuk ke wilayah negara Anda, dan mereka sama sekali tidak bisa
membuktikan dengan surat-surat atau dokumen resmi seperti paspor, visa dan
lainnya, apa yang akan Anda lakukan terhadap mereka?” tanya Ahmadinejad.
|
“Ya, saya akan menangkap
dan menahan mereka,” jawab Dipo.
|
Ahmadinejad tersenyum
mendengarnya.
|
“Ya, itulah yang sudah
dilakukan negara saya kepada tiga orang itu, menahan mereka, tanpa menghiraukan
apakah dia laki-laki atau perempuan. Siapa yang bisa menjamin kalau mereka
bukanlah agen mata-mata asing, katakanlah Israel, yang sedang mengintai daerah
perbatasan kami?” tanyanya.
|
“Sekarang saya punya
pertanyaan kedua. Saya Presiden Iran, dan ada tujuh warga negara Iran yang
ditahan di Amerika Serikat. Saya tidak tahu alasan kenapa warga negara saya
ditahan. Apa salah mereka? Apa mereka penjahat? Pembunuh? Agen narkoba?
Perampok bank? Atau mata-mata? Saya telah secara resmi menulis surat ke
pemerintah Amerika melalui Wakil Tetap Pemerintah Iran di PBB, New York, tapi
saya belum mendapat respon sedikitpun dari pemerintah Amerika,” imbuhnya.
|
Lalu Presiden Ahmadinejad
menunjuk telepon. Di samping belakang kanan sebelah penerjemah, memang ada meja
telepon khusus.
|
“Itu telepon khusus
Presiden Iran. Kami dapat menghubungi siapa saja di seluruh penjuru dunia
dengan telepon ini,” jelasnya.
|
“Sekarang bisakah Anda
menelepon Hillary Clinton mengenai pertanyaan saya tadi, soal nasib beberapa
warga negara Iran yang kini ditahan Amerika? Silakan gunakan,” ia menawarkan
sambil meminta penerjemah mengantar Dipo Alam ke meja telepon.
|
Tentu saja Dipo tidak
siap, karena ia tidak tahu nomor telepon Hillary Clinton.
|
“Hillary concern terhadap
nasib hiker perempuan, Sarah Shroud. Ia ada di tahanan Evin tidak jauh dari
pusat kota Tehran. Sekarang begini. Anda orang baik, Indonesia juga baik. Anda
sekarang juga bisa menyaksikan mereka di rumah tahanan itu, apakah dia sakit,
atau memeriksa apakah ada sedikit saja goresan luka atau memar di kulitnya?
Anda bisa diantar ke penjara Evin dengan pengawalan khusus dari sini. Saksikan
mereka semua sehat dan baik-baik saja kondisinya. Silakan!” ujar Presiden
Ahmadinejad.
|
Mimiknya serius, namun
senyumnya tetap mengembang.
|
“Setelah Anda saksikan
mereka semua sehat dan baik-baik saja, Anda boleh kembali dan katakan pada
Hillary bahwa hikers itu semua baik-baik saja. Bila Anda bisa telepon Hillary,
bahwa hiker yang perempuan sehat, Anda bisa bawa pulang Sarah Shroud ke Amerika
langsung,” ucapnya.
|
Pada waktu itu Dipo alam
mengaku sebenarnya sangat ingin menerima tawaran Presiden Ahmadinejad. Sebagai
orang yang pernah hidup dalam tahanan Orde Baru ketika masih mahasiswa,
mengunjungi Penjara Evin yang oleh dunia Barat selalu dikesankan menyeramkan
tidaklah membuat Dipo Alam gentar. Pagar Penjara Evin bahkan mengingatkannya
pada Penjara Guntur. Namun, suara hatinya mencegahnya untuk bertindak
berlebihan. Sebagai bawahan Presiden, tugasnya hanyalah menyampaikan surat
kepada Ahmadinejad, serta berpamitan kepadanya karena tak lagi menjabat sebagai
Sekjen D-8. Ia tidak ingin menjadi pahlawan atau mencari panggung bagi dirinya.
|
Dengan halus Dipo kemudian
menolak tawaran Presiden Ahmadinejad tersebut. Ia kemudian pamit. Presiden
Ahmadinejad menjabat erat tangannya.
|
Esensi pertemuan dengan
Presiden Ahmadinejad, menurut Dipo, sudah tercapai, yaitu diperlukannya
tukar-menukar tawanan antara Iran dengan Amerika.
|
Sesudah pulang ke Jakarta,
beberapa hari kemudian DCM (Deputy Chief Mission) Kedubes Amerika di Jakarta
datang ke kantor Dipo Alam. Ia datang ditemani oleh William Burns, Dirjen Kemlu
AS, yang dikenal sebagai diplomat yang mahir dalam pendekatan solusi “Back
Channel”, alias diplomasi jalan-belakang. Mereka datang karena ingin mendengar
hasil pertemuan Dipo dengan Presiden Iran.
|
Sesudah mendengar cerita
Dipo Alam, keduanya segera paham bahwa pokok deal pembebasan ketiga warganya
itu adalah melalui tukar-menukar tawanan. Bila tawanan Iran dibebaskan oleh
Amerika, maka ketiga hikers tadi secara bertahap juga akan dibebaskan Iran,
dengan Sarah Shroud berada di urutan pertama. Menurut Dipo, proposal
tukar-menukar tawanan yang diajukan Presiden Ahmadinejad sepertinya bisa
diterima oleh AS. Dipo sendiri berharap agar solusi diplomatik memang lebih
dikedepankan daripada operasi militer untuk menyelesaikan urusan-urusan semacam
itu.
|
Para hikers Amerika
Serikat itu, kita tahu, kemudian baru dibebaskan oleh pemerintah Iran pada 21
September 2011, atau sekitar tujuh bulan sesudah pertemuan Dipo Alam dengan
Presiden Ahmadinejad.
|
Kembali ke soal Winata,
tiap kali bekerja menyiapkan tiket atau ongkos perjalanan pejabat tinggi
Istana, ia mungkin tidak tahu misi apa yang tengah diemban oleh para pejabat
yang akan bepergian itu. Namun, kita tahu, pekerjaan-pekerjaan mereka mungkin
tak akan berjalan sebagaimana mestinya jika orang-orang seperti Winata tak
bekerja dengan gesit dan cekatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar