Oleh
Muhammad Rusli Malik**
Pentingnya
Sejarah
Pada
tanggal 17 April 1955, Televisi NBC mewawancarai Arnold J. Toynbee seputar
masalah-masalah sejarah. Di salah satu pojok jawabannya, penulis buku “A Study
of History” (12 Jilid) yang sangat terkenal itu mengatakan: “History not used
is nothing, for all intellectual life is action, like practical life, and if
you don't use the stuff well, it might as well be dead.”[1] Dengan demikian bahan-bahan sejarah tidak
untuk sekedar ditumpuk menjadi penghias rak-rak perpustakaan. Bahan-bahan
sejarah harus dibaca, ditelaah, difahami, dianalisis, untuk kemudian
direkonstruksi menjadi sebuah bangunan peristiwa yang utuh. Dari sana, generasi
baru bisa melihat dari mana ‘asal’ historis mereka, lantas menentukan sikap:
adakah mereka sekarang sedang menghuni bangunan kebatilan atau bangunan
kebenaran; sedang menjadi pemeran tokoh ilusi atau tokoh sejati.
Analisis
atas peristiwa historis menjadi penting karena dua hal. Pertama,
kata “sejarah” yang digunakan dalam Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Arab شَّجَرَة
(syajarah) yang berarti “pohon”. Disebut demikian karena berbicara soal
sejarah berarti berbicara tentang pelaku-pelaku sejarah yang biasanya yang satu
merupakan keturunan dari yang lain sehingga membentuk suatu bagan yang
berbentuk sebatang pohon. Dalam konteks keagamaan, saat pelaku-pelaku itu
membentuk “mazhab” dan pengikutnya masing-masing—karena
perselisihan-perselisihan tertentu—pecahan-pecahan mazhab itu pun pada
gilirannya membentuk alur-alur bagai dahan dan ranting pohon. Itu sebabnya,
dalam bentuk kata kerja, شَّجَرَ (sya-ja-ra), Alquran menggunakannya
dalam pengertian “berselisih”: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[2] Untuk mengetahui apakah generasi dalam suatu
lintas ruang-waktu tertentu berada pada ranting yang benar atau tidak, analisis
atas bahan sejarah menjadi niscaya.
Kedua, kata “history”
(sejarah) masuk ke dalam Bahasa Inggeris sekitar 1390 dengan pengertian “relation
of incidents, story”. Aslinya berasal dari Bahasa Yunani Kuno, “ἱστορία” yang
berarti “inquiry”, “knowledge from inquiry”, or “judge”.
Yang pertama kali menggunakannya ialah Aristoteles dalam karyanya, “Περὶ Τὰ Ζῷα Ἱστορίαι” (Perì
Tà Zôa Ηistoríai “Inquiries about Animals”).[3] Jadi, dari sisi Bahasa Inggeris, sejarah
bermakna “knowledge from inquiry or judge” (pengetahuan
yang diperoleh dari “penelitian” atau “penilaian”). Di sini kita melihat
kekuatan dari pernytaan Toynbee tadi: “if you don't use the stuff well, it
might as well be dead” (jika Anda tidak menggunakan bahan-bahan itu dengan
baik, sejarah menjadi mati). Sehingga cerita tentang peristiwa-peristiwa masa
lalu yang tertera di dalam bahan-bahan sejarah tak lebih dari sekedar
“dongeng-dongeng pelipur lara” yang hanya menarik untuk dibaca menjelang tidur.
Atau, bahkan, terkubur begitu saja, sehingga generasi setelahnya kehilangan
sebahagian dari masa lalunya yang berakibat pada terjebaknya mereka dalam
kegelapan masa kininya seraya menerima ajaran-ajaran keagamaan sebagai dogma
belaka.
Pandangan
Alquran tentang Sejarah
Siapa
saja yang rajin membaca dan menyimak Alquran, akan menemukan bahwa sebahagian
kandungannya ialah kisah-kisah tentang masa lalu. Sampai-sampai pihak-pihak
yang tidak senang kepadanya menyebut Kitab Suci ini sebagai إِنْ هَـٰذَا إِلَّا
أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ (in ɦādza illa
asāthīrul- awwalīn, Alquran ini tidak lain hanyalah dongengan
orang-orang terdahulu)[4]. Karena bagi mereka, masa kini bukanlah
kontunyuitas dari masa lalu. Mereka melihat setiap generasi dengan
ruang-waktunya masing-masing, secara terputus-putus, berdiri sendiri, yang tak
ada korelasinya satu sama lain. Inilah agaknya yang disebut “amnesia masa
lalu”, yaitu hilangnya kesadaran akan keberlangsungan kehidupan masa lalu ke
masa kini. Mereka tidak menyadari bahwa Alquran menyajikan peristiwa-peristiwa
masa lalu itu untuk menunjukkan keberlangsungan historis seluruh rentang
kehidupan manusia. Sehingga untuk memperbaiki kehidupannya di masa kini dan
merancang masa depannya, mau tidak mau, manusia harus berkaca pada apa yang
telah terjadi di masa-masa yang lalu. Di sinilah pentingnya rekonstruksi sebuah
bangunan peristiwa. Itu sebabnya mengapa Alquran menyebut Kisah Yusuf sebagai أَحْسَنَ
الْقَصَصِ (ahsanul-qashash, narasi terbaik)[5]. Alasannya, karena kisah Yusuf itu bangunan
ceritanya utuh, yang dibangun berdasarkan penelitian dan penilaian (rasional)
yang cermat. Tidak ada mitos di sana. Semua kepingan-kepingan fakta bersambung
secara utuh dan lolos sensor kaidah-kaidah intelektual.
Begitu
pentingnya sebuah peristiwa terbangun secara utuh, tidak kurang dari 14
(empatbelas) kali Alquran mengeluarkan perintah khusus—7 kali dalam bentuk
negatif (12:109, 22:46, 30:9, 35:44, 40:21, 40:82, dan 47:10) dan 7 kali dalam
bentuk positif (3:137, 6:11, 16:36, 27:69, 29:20, 30:42, dan 34:18)—untuk
mengumpulkan bahan-bahan sejarah secara lengkap sebelum kemudian
menganalisisnya secara saksama. Contoh perintah dalam bentuk negatif, setelah
sebelumnya menyuguhkan fakta tentang peradaban-peradaban yang telah punah: “Betapa
banyaknya kota yang telah Kami binasakan, yang penduduknya dalam keadaan zalim,
maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (betapa banyak
pula) sumur yang telah ditinggalkan, begitu juga istana yang tinggi. Apakah
mereka tidak berjalan di muka bumi, bukankah mereka mempunyai kalbu
yang dengan itu mereka (menganalisis dengan) menggunakan akal, atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka menyimak? Maka sesungguhnya bukanlah mata itu
yang buta, tetapi yang buta ialah kalbu yang ada di dalam dada.”[6]
Contoh
perintah dalam bentuk positif: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
Thaghut (penguasa duniawi) itu’. Lalu di antara umat itu ada orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah
pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”[7]
Pelajaran dari
Suatu Peristiwa
Tidak
mungkin Tuhan menyuruh bepergian di muka bumi guna mengumpulkan bahan-bahan
untuk kemudian menyusun ulang (merekonstruksi)-nya sesuai dengan hubungan
rasionalnya masing-masing—apalagi suruhan itu diabadikan di dalam sebuah Kitab
Suci—kalau tidak untuk menjadi sumber pelajaran penting. Yang daripadanya
pemerhati lantas mengambil kesimpulan tentang “benar” dan “salah”-nya
pelaku-pelaku yang terlibat di dalamnya. Tujuannya, agar kita menjadi bagian
dari golongan orang-orang yang mendapat petunjuk dan terhindar dari golongan
orang-orang yang tersesat. Karena walaupun pertanggungjawaban manusia kelak
di hadapan Allah bersifat individual, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwasanya
pilihan-pilihan tiap orang sangat banyak dipengaruhi oleh pendahulunya. Berikut
ini adalah sebuah ayat yang menceritakan kegaduhan antar generasi nanti di
neraka: “Allah berfirman: ‘Masuklah ke dalam neraka bersama umat-umat
sebelum kalian dari kalangan jin dan manusia.’ Setiap suatu umat masuk (ke
dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya); hingga apabila
mereka telah masuk semuanya, berkatalah diantara mereka orang-orang yang masuk
belakangan kepada orang-orang yang masuk terdahulu: ‘Ya Tuhan kami, merekalah
yang telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang
berlipat ganda di neraka’. Allah berfirman: ‘Masing-masing kalian mendapat (siksaan)
yang berlipat ganda, akan tetapi kalian tidak mengetahui’.”[8]
Menurut
Alquran diantara ciri orang beriman ialah selalu bisa mengambil pelajaran dari
suatu peristiwa, sekecil apapun itu. “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat
perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang
beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka,
tetapi orang-orang kafir mengatakan: ‘Apa yang Allah inginkan dengan
perumpamaan ini?’ Allah menyesatkan banyak orang dan memberi petunjuk banyak
orang dengan perumpamaan itu. Dan tiadalah yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang yang fasik.”[9] Berdasarkan ayat ini, sesat tidaknya
seseorang sangat ditentuka oleh kemampuannya mengambil pelajaran dari suatu
peristiwa. Ibnu Umar ra menangkap semangat ayat ini pada sebuah momen penting
saat seorang penduduk Irak datang kepadanya bertanya tentang darah nyamuk.:
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا مَهْدِيٌّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي يَعْقُوبَ عَنْ
ابْنِ أَبِي نُعْمٍ قَالَ كُنْتُ شَاهِدًا لِابْنِ عُمَرَ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ دَمِ
الْبَعُوضِ فَقَالَ مِمَّنْ أَنْتَ فَقَالَ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ قَالَ انْظُرُوا
إِلَى هَذَا يَسْأَلُنِي عَنْ دَمِ الْبَعُوضِ وَقَدْ قَتَلُوا ابْنَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنْ الدُّنْيَا
Artinya:
Telah
menceritakan kepada kami Musa bin Ismail telah menceritakan kepada kami Mahdi
telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Yaqub dari Ibnu Abu Nu'm dia berkata,
saya pernah menyaksikan Ibnu Umar ketika dia ditanya seorang laki-laki tentang
darah nyamuk. Ibnu Umar bertanya: “Dari manakah kamu?” Laki-laki itu
menjawab: “Dari Irak.” Ibnu Umar berkata: “Lihatlah kepada orang ini,
dia bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, sementara mereka (penduduk Irak)
telah membunuh cucu Nabi saw (Alhusain di Karbala), sementara saya pernah
mendengar Nabi saw bersabda: ‘Keduanya (Alhasan dan Alhusain) adalah
kebanggaanku di dunia’.”[10]
Ibnu
Umar ra seakan hendak memesankan kepada semua orang bahwa kalau pada seekor
nyamuk saja kita bisa menemukan “kebenaran”, apatah lagi pada seorang Alhusain,
cucu Nabi saw yang menjadi kebanggaannya. Dan kalau darah nyamuk saja perlu
dipermasalahkan, apatah lagi darah Alhusain yang dibunuh secar sadis lalu
dipenggal kepalanya. Alangkah naifnya cara kita beragama manakala status darah
nyamuk meresahkan kita tapi darah putra Rasulullah saw kita diamkan.
Suatu
peristiwa yang telah terjadi, sekecil apapun, selalu akan menjadi milik
kemanusiaan. Karena jangkar seluruh kejadian untuk disebut “peristiwa” adalah
kemanusiaan, yakni ada atau tidaknya relasi—langsung atau tidak langsung—dengan
manusia. Maka dari itu setiap peristiwa tidak boleh diklaim oleh suatu kelompok
atau agama tertentu. Narasi dan rekonstruksi atas suatu peristiwa penting untuk
semua orang mengingat pepatah Arab: “Keledai saja tidak akan masuk lobang yang
sama dua kali.” Atau seperti bunyi adagium Karl Marx yang sangat terkenal: “History
repeats itself, first as tragedy, second as farce,”[11] (sejarah mengulangi dirinya sendiri, yang
pertama sebagai tragedi, yang kedua sebagai lelucon). Dan terbunuhnya Alhusain,
seperti kata Ibnu Umar ra, terlalu sayang untuk dilupakan begitu saja. Sehingga
peristiwa itu tidak tepat lagi disebut sebagai milik kaum Syiah atau umat
Islam. Peristiwa pembunuhan Alhusain adalah milik manusia dan kemanusiaan.
Edward G. Brown, Gurubesar Bahasa Arab dan Studi-studi Ketimuran, menulis: “… a
reminder of the blood-stained field of Kerbela, where the grandson of the
Apostle of God fell at length, tortured by thirst and surrounded by the bodies
of his murdered kinsmen, has been at anytime since then sufficient to evoke,
even in the most lukewarm and heedless, the deepest emotions, the most frantic
grief, and an exaltation of spirit before which pain, danger and death shrink
to unconsidered trifles.”[12] (... sebuah peringatan dari Padang Karbala
yang berlumuran darah, ketika cucu Rasulullah jatuh terkapar, tersiksa oleh
kehausan dan dikelilingi oleh jasad-jasad sanak saudaranya yang terbunuh. Sejak
saat itu, setiap waktu, bahkan dalam keadaan biasa, peristiwa tersebut cukup
membangkitkan emosi terdalam, dukacita yang menegangkan, dan menjadi sebuah
bentuk pemuliaan ruhani sebelum rasa sakit, bahaya dan kematian menyusut
menjadi hal-hal sepele yang tak tersadari.”
Rabindranath
Tagore, sastrawan legendaris dari Calcutta-India, menulis: “In order to keep
alive justice and truth, instead of an army or weapons, success can be achieved
by sacrificing lives, exactly what Imam Hussain (A.S.) did,” (Agar keadilan
dan kebenaran tetap hidup, alih-alih tentara atau senjata, sukses bisa dicapai
dengan mengorbankan nyawa, persis apa yang Imam Husain lakukan). Thomas
Carlyle, sejarawan dan essais asal Skotlandia, mengungkapkan: “The best
lesson which we get from the tragedy of Karbala is that Husain and his
companions were rigid believers in God. They illustrated that the numerical
superiority does not count when it comes to the truth and the falsehood. The
victory of Husain, despite his minority, marvels me!” (Pelajaran terbaik
yang kita dapatkan dari tragedi Karbala ialah bahwa Alhusain dan para
sahabatnya adalah orang yang begitu percaya kepada Tuhan. Mereka menunjukkan
bahwa keunggulan jumlah pasukan tidak diperhitungkan ketika bicara soal
kebenaran dan kepalsuan. Kemenangan Alhusain, meskipun pengikutnya sangat
sedikit, menakjubkan saya!). Antoine Bara, penulis asal Lebanon, dalam “Husayn
in Christian Ideology” menulis: “No battle in the modern and past history of
mankind has earned more sympathy and admiration as well as provided more
lessons than the martyrdom of Husayn in the battle of Karbala.” (Tidak ada
pertempuran dalam sejarah modern dan masa lalu umat manusia yang menerima lebih
banyak simpati, kekaguman, dan memberikan pelajaran, lebih dari kesyahidan
Alhusain di pertempuran Karbala). Sementara Charles Dickens, novelis asal
Inggeris, menyimpulkan alasan Alhusain melakukan itu: “If Husain had fought
to quench his worldly desires…then I do not understand why his sister, wife,
and children accompanied him. It stands to reason therefore, that he sacrificed
purely for Islam,” (jika Alhusain berjuang untuk memuaskan hasrat
duniawinya... maka saya tidak mengerti mengapa adik, istri, dan anak-anaknya
menyertainya. Karenanya, yang masuk akal ialah, bahwa ia berkorban semata untuk
Islam).[13]
Karbala: Lokus
Peristiwa
Karbala
terletak di Irak. Kurang lebih 1500 km di sebelah utara Mekah. Sekarang,
Karbala merupakan ibu kota dari Propinsi Karbala. Terletak di tepian Sungai
Eufrat. Di sebelah baratnya ada danau garam yang dikenal dengan Lake Razazah.
Karbala sekarang terbagi dua bagian: Karbala Lama (yang menjadi tempat ziarah
dan pusat keagamaan) dan Karbala Baru (yang menjadi tempat pemukiman,
sekolah-sekolah Islam, dan gedung-gedung pemerintah). Sekitar 70 km ke arah
utara ada Baghdad, ibu kota Irak. Dan sekitar 70 km ke arah selatan ada Najaf
dan Kufa.
Pada
saat Khulafaur Rasyidin yang ke-3, Utsman bin Affan, terbunuh oleh demonstran
yang mengepung rumahnya, intrik politik berkembang bagai bola liar.
Madinah—selaku ibu kota negara—menjadi panas membara. Sayyidina Ali bin Abi
Thalib yang terpilih secara aklamasi sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-4,
memahami keadaan itu dengan penuh kebijaksanaan. Ia lalu memindahkan pusat
kekuasaan ke Kufa. Menantu Nabi ini tinggal bersama anak-anaknya, termasuk
Alhusain, di sebuah rumah tidak jauh dari Masjid Kufah yang sekaligus menjadi
Kantor Pemerintahannya. Sebelum dimakamkan di Najaf, di rumah itu pulalah
beliau disemayamkan setelah kesyahidannya akibat bacokan seorang Khawarij yang
bernama Abdul Rahman ibnu Muljam as-Sarimi, ketika sedang salat subuh di Masjid
Kufa pada tanggal 18 Ramadhan 40H atau 25 Januari 661. Setelah Alhasan—selaku
pengganti ayahnya—menandatangani perjanjian dengan Mwiah bin Abu Sufyan,
anak-anak Sayyidina Ali kembali ke Madinah, tanah kelahirannya.
Karena
cukup lama tinggal di Kufa, maka Alhusain tentu sangat dikenal oleh masyarakat
setempat. Siapa yang tidak mengenal ayah dan kakeknya? Pada saat beliau
meninggalkan Madinah menuju Mekkah untuk kemudian melanjutkan perjalanan
panjangnya ke utara, kota Kufa inilah yang ditujunya. Tetapi kalau kita lihat
di peta, Karbala malah lebih ke utara, melampaui Kufa. Apakah beliau tersesat?
Tentu tidak mungkin, mengingat pengalamannya yang cukup dalam tentang Kufa dan
sekitarnya. Yang masuk akal ialah, Alhusain menghindari hadangan ribuan tentara
yang dikirim Gubernur Kufa, Ubaidullah bin Ziyad—atas perintah Yazid bin
Muawiah bin Abi Sofian—sekaligus mendekati sumber air di Sungai Eufrat.
Imam
Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya menukil sebuah riwayat berkenaan dengan
Karbala ini:
حَدَّثَنَا
مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ زَاذَانَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ أَنَّ مَلَكَ الْمَطَرِ اسْتَأْذَنَ رَبَّهُ أَنْ يَأْتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَذِنَ لَهُ فَقَالَ لِأُمِّ سَلَمَةَ امْلِكِي عَلَيْنَا
الْبَابَ لَا يَدْخُلْ عَلَيْنَا أَحَدٌ قَالَ وَجَاءَ الْحُسَيْنُ لِيَدْخُلَ فَمَنَعَتْهُ
فَوَثَبَ فَدَخَلَ فَجَعَلَ يَقْعُدُ عَلَى ظَهَرِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَعَلَى مَنْكِبِهِ وَعَلَى عَاتِقِهِ قَالَ فَقَالَ الْمَلَكُ لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتُحِبُّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّ أُمَّتَكَ
سَتَقْتُلُهُ وَإِنْ شِئْتَ أَرَيْتُكَ الْمَكَانَ الَّذِي يُقْتَلُ فِيهِ فَضَرَبَ
بِيَدِهِ فَجَاءَ بِطِينَةٍ حَمْرَاءَ فَأَخَذَتْهَا أُمُّ سَلَمَةَ فَصَرَّتْهَا فِي
خِمَارِهَا قَالَ قَالَ ثَابِتٌ بَلَغَنَا أَنَّهَا كَرْبَلَاءُ
Artinya:
Telah
menceritakan kepada kami Muammal, telah menceritakan kepada kami Umaroh bin
Zadzan, telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas bin Malik bahwa
Malaikat pembawa hujan pernah memohon ijin kepada Rab-Nya untuk mendatangi Nabi
saw, dan dikabulkan. Nabi saw bersabda kepada Ummu Salamah: “Tutuplah pintu
hingga tak seorangpun yang menemui kita!” Dia (Anas bin Malik ra) berkata;
Husain datang untuk masuk, maka Ummu Salamah mencegahnya, tetapi Husain
melompat dan masuk kemudian duduk di atas punggung Nabi, di atas bahunya serta
di atas pundaknya. Anas selanjutnya berkata; sang malaikat pembawa hujan
bertanya, apakah Anda, hai Nabi, benar-benar mencintainya? Rasulullah saw
bersabda: “Iya”. Malaikat pembawa hujan berkata: “Ketahuilah bahwa
sesungguhnya umatmu akan membunuhnya, dan jika engkau mau, saya akan
memberitahukan tempat dia akan terbunuh.” Malaikat itu lantas menurunkan
tangannya dan menjumput tanah merah. Ummu Salamah lantas menyimpannya di khimar
(kain penutup kepala)-nya. Anas melanjutkan; Tsabit berkata: “Kemudian
hari kami sadar bahwa tempat itu adalah Karbala.”[14]
Alhusain bin Ali
bin Abi Thalib: Aktor Utama
Alhusain
lahir pada tanggal 8 Januari 626M atau 3 Sya’ban 4H di Madinah Almunawwarah dan
Syahid di Padang Karbala pada tanggal 10 Oktober 680M atau 10 Muharram 61H.
Ayahnya, Ali bin Abi Thalib, ialah sepupu dan saudara Rasulullah, secara
biologis dan ideologis. Sedangkan ibunya ialah Fathimah Zahra (putri Rasulullah
yang menyertainya di saat-saat beratnya tantangan dakwah di Mekah hingga
Madinah). Keutamaan ayahnya, selain menempati urutan keempat dalam struktur
Khulafaur-Rasyidin setelah Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radliallahu ‘anhum),
juga dijelaskan oleh hadis-hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا
الْقَاسِمُ بْنُ دِينَارٍ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ عَنْ عَبْدِ السَّلَامِ
بْنِ حَرْبٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ عَنْ سَعْدِ
بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِعَلِيٍّ أَنْتَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا
نَبِيَّ بَعْدِي
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim bin Dinar Al-Kufi, telah menceritakan
kepada kami Abu Nu'aim dari Abdussalam bin Harb dari Yahya bin Sa'id dari Sa'id
bin Al-Musayyab dari Sa'ad bin Abi Waqash bahwa Nabi saw pernah bersabda kepada
Ali: “Kedudukanmu bagiku ibarat kedudukan Harun dari Musa, hanya saja tidak
ada Nabi sesudahku.”[15]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُخْتَارِ عَنْ
شُعْبَةَ عَنْ أَبِي بَلْجٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِسَدِّ الْأَبْوَابِ إِلَّا
بَابَ عَلِيٍّ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Humaidi Ar-Razi, telah menceritakan
kepada kami Ibrahim bin Al-Muhtar dari Syu'bah dari Abu Balj dari Amru bin
Maimun dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw memerintahkan menutup semua
pintu kecuali pintu Ali.[16]
حَدَّثَنَا
عِيسَى بْنُ عُثْمَانَ ابْنِ أَخِي يَحْيَى بْنِ عِيسَى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عِيسَى
الرَّمْلِيُّ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ لَقَدْ عَهِدَ إِلَيَّ النَّبِيُّ الْأُمِّيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ لَا يُحِبُّكَ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يَبْغَضُكَ إِلَّا مُنَافِقٌ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Isa bin Utsman anak saudaranya, Yahya bin Isa,
telah menceritakan kepada kami Yahya bin Isa Ar-Ramli dari Al-A'masy dari Adi
bin Tsabit dari Zirr bin Hubaisy dari Ali dia berkata; Nabi yang Ummi
(Rasulullah saw) pernah berwasiat kepadaku, bahwa: “Tidak ada orang yang
mencintaimu kecuali seorang mukmin, dan tidak ada orang yang membencimu kecuali
seorang munafik.”[17]
Sedangkan
keutamaan ibunya, dapat kita lihat dari hadis-hadis berikut ini:
دَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ فِرَاسٍ عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ عَنْ
مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ أَقْبَلَتْ فَاطِمَةُ تَمْشِي
كَأَنَّ مِشْيَتَهَا مَشْيُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْحَبًا بِابْنَتِي ثُمَّ أَجْلَسَهَا
عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيثًا فَبَكَتْ فَقُلْتُ
لَهَا لِمَ تَبْكِينَ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيثًا فَضَحِكَتْ فَقُلْتُ مَا رَأَيْتُ
كَالْيَوْمِ فَرَحًا أَقْرَبَ مِنْ حُزْنٍ فَسَأَلْتُهَا عَمَّا قَالَ فَقَالَتْ مَا
كُنْتُ لِأُفْشِيَ سِرَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى
قُبِضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُهَا فَقَالَتْ أَسَرَّ
إِلَيَّ إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ يُعَارِضُنِي الْقُرْآنَ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّةً وَإِنَّهُ
عَارَضَنِي الْعَامَ مَرَّتَيْنِ وَلَا أُرَاهُ إِلَّا حَضَرَ أَجَلِي وَإِنَّكِ أَوَّلُ
أَهْلِ بَيْتِي لَحَاقًا بِي فَبَكَيْتُ فَقَالَ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ تَكُونِي سَيِّدَةَ
نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَوْ نِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ فَضَحِكْتُ لِذَلِكَ
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada kami Zakariya
dari Firas dari 'Amir asy-Sya'biy dari Masruq dari Aisyah ra(ha) berkata;
Fathimah datang dengan berjalan dan cara jalannya mirip seperti jalannya Nabi
saw. Kemudian Nabi saw bersabda: “Marhaban (selamat datang) wahai putriku”.
Lalu beliau mempersilakan Fathimah duduk di samping kanan atau kiri beliau lalu
beliau membicarakan suatu pembicaraan secara rahasia, dan Fathimah pun
menangis. Aku bertanya kepadanya; mengapa kamu menangis? Kemudian beliau pun
kembali membicarakan suatu pembicaraan secara rahasia dengan Fathimah dan
anehnya dia tertawa. Aku berkata; Aku belum pernah melihat keadaan seseorang
menangis lalu diiringi tertawa seperti hari ini. Aku pun bertanya kepadanya
tentang apa yang telah dikatakan oleh beliau saw, maka Fathimah berkata: “Aku
tidak akan mau menceritakan pembicaraan rahasia Rasulullah saw hingga Nabi saw wafat”.
Di kemudian hari aku tanyakan lagi, maka Fathimah menjawab: “Beliau
bercerita kepadaku bahwa Jibril as datang membacakan Alquran satu kali dalam
setiap satu tahun lalu dia as menbacakan kepadaku dua kali untuk tahun ini, dan
aku tidak melihat kejadian itu melainkan sebagai isyarat bahwa ajalku sudah
akan datang dan sesungguhnya kamu (Fathimah) adalah orang yang pertama yang
akan menyusul aku diantara Ahlu Baitku. Maka aku menangis karenanya.
Lalu beliau bersabda lagi, Apakah kamu ridla akan menjadi penghulu para wanita
surga atau penghulu para wanita mukmin? Maka aku menjadi tertawa
karenanya”.[18]
حَدَّثَنَا
أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ ابْنِ
أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي فَمَنْ أَغْضَبَهَا أَغْضَبَنِي
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Abu Al-Walid, telah bercerita kepada kami Ibnu
Uyainah dari Amru bin Dinar dari Ibnu Abu Mulaikah dari Al-Miswar bin Makhramah
bahwa Rasulullah saw bersabda: “Fathimah adalah bagian dari diriku. Maka
barangsiapa yang menjadikannya marah berarti telah membangkitkan kemarahanku”.[19]
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ
مَخْرَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُوا فِي
أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ ثُمَّ لَا آذَنُ
ثُمَّ لَا آذَنُ إِلَّا أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي
وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا
وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا هَكَذَا قَالَ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami
Al-Laits dari Abu Mulaikah dari Al-Miswar bin Makhramah ia berkata; Aku
mendengar Rasulullah saw bersabda sedangkan beliau berada di atas mimbar: “Sesungguhnya
bani Hisyam bin Al Mughirah meminta izin kepadaku agar aku menikahkan anak
wanita mereka dengan Ali bin Abu Thalib, namun aku tidak mengizinkan kepada
mereka, kecuali jika Ali bin Abi Thalib menceraikan anakku lalu menikahi anak
wanita mereka. Sesungguhnya anakku (Fathimah) adalah bagian dariku, aku
merasa senang dengan apa saja yang menyenangkannya dan aku merasa tersakiti
atas apa saja yang menyakitinya.”[20]
Fathimah
sendiri adalah putri dari Istri Nabi yang pertama, Khadijah Alkubra, yang telah
menghabiskan seluruh kekayaannya demi mendukung sepenuhnya dakwah suaminya.
Tentang Khadijah ini, kita mendapatkan informasi berharga dari Sayyidah Aisyah
ra(ha):
حَدَّثَنِي
أَحْمَدُ ابْنُ أَبِي رَجَاءٍ حَدَّثَنَا النَّضْرُ عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
وَقَدْ أُوحِيَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبَشِّرَهَا
بِبَيْتٍ لَهَا فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ
Artinya:
Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Abu Raja`, telah menceritakan kepada kami
An-Nadlr dari Hisyam ia berkata, ayahku telah mengabarkan kepadaku dari Aisyah
ra(ha) bahwa ia pernah berkata: “Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap
isteri-isteri Rasulullah saw melebihi rasa cemburuku kepada Khadijah. Yang
demikian karena begitu seringnya Rasulullah saw menyebut-nyebut dan memuji kebaikannya.
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada Rasulullah saw untuk memberi kabar
gembira kepadanya dengan rumah yang dipersembahkan untuknya di dalam surga yang
terbuat dari marmer.”[21]
Keutamaan
Alhusain sendiri dapat kita lacak pada beberapa hadis berikut ini:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ عَنْ يَحْيَى
بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ رَبِيبِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ
عَنْكُمْ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا } فِي بَيْتِ أُمِّ
سَلَمَةَ فَدَعَا فَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ وَعَلِيٌّ
خَلْفَ ظَهْرِهِ فَجَلَّلَهُ بِكِسَاءٍ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَؤُلَاءِ أَهْلُ بَيْتِي
فَأَذْهِبْ عَنْهُمْ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيرًا قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ وَأَنَا
مَعَهُمْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ أَنْتِ عَلَى مَكَانِكِ وَأَنْتِ عَلَى خَيْرٍ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Sulaiman bin Al-Ashbahani dari Yahya bin Ubaid dari Atha` bin Abu Rabah
dari Umar bin Abu Salamah, anak didik Nabi saw, berkata: “Saat ayat berikut ini
turun kepada Nabi saw: ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari
kalian hai Ahlul Bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya,’ (QS.
Al-Ahzaab/33: 33) Rasulullah saw berada di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil
Fathimah, Alhasan dan Alhusain lalu mengenakan pakaian pada mereka sementara
Ali berada di belakang beliau lalu beliau juga mengenakan pakaian untuknya.
Setelah itu beliau berdoa: ‘Allaɦumma ɦā'ulāi aɦlu baytī, fa-adzɦib ‘anɦum ar-rijsa wa
thaɦɦirɦum tathɦīra,’ (Ya Allah,
mereka adalah Ahlul Baitku, maka hilangkanlah dosa dari mereka dan sucikanlah
mereka sesuci-sucinya). Ummu Salamah bertanya: ‘Aku bersama mereka wahai
Nabiyallah?’ Beliau saw menjawab: ‘Engkau berada ditempatmu dan engkau
berada di atas kebaikan.’[22]
حَدَّثَنَا
عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ الْمِنْهَالِ
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ
إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ
اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah bercerita kepada kami
Jarir dari Manshur dari Al-Minhal dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas ra(ma)
berkata: “Nabi saw biasa memohonkan perlindungan untuk Alhasan dan Alhusein
(dua cucu beliau) dan berkata: ‘Sesungguhnya nenek moyang kamu pernah
memohonkan perlindungan untuk Ismail dan Ishaq dengan kalimat ini: A'ūdzu bi
kalimātillāɦit-tāmmati min kulli syaithāni wa
hāmmatin wa min kuli 'ainin lāmmah.” (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat
Allah yang sempurna dari setiap setan dan segala makhluk berbisa dan begitupun
dari setiap mata jahat yang mendatangkan petaka).[23]
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُحَمَّدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أُتِيَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ بِرَأْسِ الْحُسَيْنِ عَلَيْهِ السَّلَام فَجُعِلَ
فِي طَسْتٍ فَجَعَلَ يَنْكُتُ وَقَالَ فِي حُسْنِهِ شَيْئًا فَقَالَ أَنَسٌ كَانَ أَشْبَهَهُمْ
بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَخْضُوبًا بِالْوَسْمَةِ
Artinya:
Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Alhusain bin Ibrahim berkata, telah
bercerita kepadaku Husain bin Muhammad, telah bercerita kepada kami Jarir dari Muhammad
dari Anas bin Malik ra: “Ubaidullah bin Ziyad disodorkan (kepadanya) kepala
Alhusain as (setelah dipenggal orang), maka dia meletakkannya ke dalam baskom
kemudian memperolok-olokkannya, lalu berkata tentang segala kebaikannya.”
Anas berkata: “Alhusain adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw
diantara mereka (Ahlul Bait) dan dia diwarnai dengan wasmah (pewarna dari
tumbuh-tumbuhan yang kehitam-hitaman).”[24]
حَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
أَبِي يَعْقُوبَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ
وَسَأَلَهُ عَنْ الْمُحْرِمِ قَالَ شُعْبَةُ أَحْسِبُهُ يَقْتُلُ الذُّبَابَ فَقَالَ
أَهْلُ الْعِرَاقِ يَسْأَلُونَ عَنْ الذُّبَابِ وَقَدْ قَتَلُوا ابْنَ ابْنَةِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنْ الدُّنْيَا
Artinya:
Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar, telah bercerita kepada kami
Ghundar, telah bercerita kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Abu Ya'qub, aku
mendengar Ibnu Abu Nu'min, aku mendengar Abdullah bin Umar ra(ma) yang ketika
itu ada orang yang bertanya kepadanya tentang muhrim (orang yang sedang ihram).
Syu'bah berkata: “Seingatku orang itu telah membunuh lalat ketika sedang
ihram”. Maka Abdullah bin Umar ra(ma) berkata: “Penduduk Iraq bertanya
tentang lalat padahal mereka telah membunuh putra dari putri Rasulullah saw
sedangkan Nabi saw telah berkata bahwa: ‘Keduanya (Alhasan dan Alhusain) adalah
aroma wewangianku dari dunia’.”[25]
Mereka
itulah agaknya yang dimaksud Nabi saw dalam doanya yang tersebut dalam Alquran:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan-pasangan kami, dan
keturunan kami, (agar mereka menjadi) penyenang hati (kami), dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”[26]
Gambaran
Peristiwa: Episode Muharram
Sesaat
sebelum Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb menghembusan nafasnya yang terakhir,
dia secara sepihak mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah, menjadi
penggantinya. Maka sejak saat itu, semakin kuatlah prasangka sebelumnya bahwa
Muawiyah saat memberontak kepada penguasa yang sah dan Khalifah Rasyidin yang
ke-4, Ali bin Abu Thalib, sebetulnya sedang berusaha membangun monarki (sistem
kerajaan) yang berporos pada keturunan (dinasti) Umayya. Melalui Gubernurnya di
Madinah, Walid bin Uthbah[28]—yang merupakan putra dari Utbah bin Rabi’ah,
yang terbunuh oleh Hamzah bin Abdul Muththalib di Perang Badar, dan saudara
kandung dari Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan bin Harb dan ibu dari
Muawiyah atau nenek dari Yazid)—Yazid mendesak penduduk Madinah untuk berbaiat
kepadanya. Tetapi ajakan itu mendapat resistensi dari beberapa tokoh sahabat.
Alhusain adalah figur yang paling terdepan dan paling gigih menentang
kepemimpinan Yazid bin Muawiah.
Imam
As-Suyuthi menulis dalam Tarikh Khulafa’-nya tentang Yazid ini: “Naufal bin
Abul Furat berkata: Saya bersama Umar bin Abdul Azis, kemudian seorang
laki-laki membicarakan tentang Yazid. Orang itu berkata, ‘Amirul Mukminin Yazid
bin Mu’awiyah berkata.’ Umar bin Abdul Azis berkata, ‘Kamu menyebutnya sebagai
Amirul Mukminin?’ Kemudian Umar menyuruh orang itu untuk dicambuk sebanyak dua
puluh kali.”[29]
Alhasil,
Walid bin Uthbah tidak sanggup menaklukkan hati Alhusain. Tekanan Gubernur
justru membuat cucu Nabi tersebut meninggalkan Madinah pada tanggal 28 Rajab
60H menuju Mekah. Selama bulan Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Zulqaiddah, dan awal
Zulhijjah, Alhusain mukim di Mekah di rumah Abbas bin Abdul Muththalib. Keadaan
ini tentu membuat waswas Yazid karena jamaah haji sudah mulai banyak
yang memahami sikap tegas Alhusain. Dia lalu mengeluarkan perintah untuk
membunuh Alhusain. Pada saat yang sama putra Fathimah Zahra binti Muhammad saw
itu menerima begitu banyak surat dari penduduk Kufa dan Bashra yang menyatakan
dukungan dan kesetiaan kepadanya. Untuk mengecek kebenaran itu, beliau pun
lantas mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk memastikan kebenaran berita
itu.[30]
Begitu
menerima surat yang meyakinkan dari Muslim dan demi menghindari pertumpahan
darah di Tanah Haram, Alhusain segera meninggalkan Mekah pada tanggal 8
Zulhijjah 60H atau 12 September 680M menuju Kufah (Irak) setelah sebelumnya
menyampaikan pidatonya kepada jamaah haji dan penduduk Mekah.[31]
Mendengar
keberangkatan Alhusain menuju ke Kufah, Yazid segera memerintahkan Gubernurnya
di sana, Ubaydullah bin Ziyad, untuk membunuh Alhusain. Kafilah Alhusain dihadang
oleh Panglima pilihan Ibn Ziyad, yaitu Al-Hurr bin Riyahi bersama 1000-an
tentaranya, dan dipaksa menghetikan perjalanannya di Padang Karbala.
Selanjutnya, menurut Imam As-Suyuthi, “Ziyad mengirim pasukan sebanyak empat
ribu orang yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash.... Alhusain
dibunuh dan kepalanya mereka letakkan di dalam baskom (lalu mereka bawa--pen)
ke hadapan Yazid bin Muawiyah.... Alhusain dibunuh di Karbala. Tentang
pembunuhannya terdapat kisah yang sangat memilukan dimana hati kita tidak
mungkin sanggup menanggungnya. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun...”[32]
Imam
As-Suyuthi lalu mengutip beberapa riwayat. “Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari
Salma dia berkata: Saya menemui Ummu Salamah yang saat itu sedang menangis.
Saya tanyakan kepadanya, ‘Apa yang menyebabkanmu menangis?’ Dia berkata, ‘Saya
semalam melihat Rasulullah dalam mimpi. Saya lihat kepala dan jenggotnya
berdebu. Saya bertanya kepada Rasulullah, ‘Mengapa engkau wahai Rasulullah?’
Rasulullah menjawab, ‘Saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.’
Imam
Al-Baihaqi dalam kitabnya Dalail An-Nubuwah meriwayatkan dari Abdullah
bin Abbas: Saya melihat Rasulullah dalam mimpi. Saat itu tengah hari.
Rasulullah kelihatan berambut acak-acakan dan berdebu—sedangkan di tangannya
ada botol dengan darah di dalamnya. Lalu saya katakan, ‘Demi ayah dan ibuku,
apakah itu wahai Rasulullah?’ Rasulullah berkata, ‘Ini adalah darah Al-Husein
dan teman-temannya. Sejak hari ini saya mencarinya.’ Lalu dia menghitung
ternyata hari itu adalah Hari Asyura.”[33]
Kesimpulan
Kehidupan
sekarang adalah kelanjutan dari kehidupan generasi-generasi terdahulu yang
terbentang di sepanjang sejarah. Apakah yang kita warisi sekarang adalah
generasi terdahulu yang benar atau yang salah, yang memandu kemanusiaan atau
yang menghancurkannya, dibutuhkan analisis yang mendalam, sebelum menentukan
penilaian kita. Tetapi akurat tidaknya analisis itu sangat tergantung pada
sempurna tidaknya bangunan peristiwa itu kita susun kembali, setelah sebelumnya
memilah dan memilih mana yang faktual-rasional dan mana yang
imajinal-irasional. Ini penting, karena setiap peristiwa, dimana pun
kejadiannya dan siapa pun yang menjadi objek kejadian itu, selalu menjadi milik
manusia dan kemanusiaan. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat
pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Alquran itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman.”[34]
*)
Disajikan pada sebuah Seminar Sejarah di UIN Syarif Hidayatullah pada hari
Senin, 19 November 2012.
**)
Guru ngaji di rumah-rumah dan masjid-masjid.
[1]
Dikutip dari “History Definition”, A Collection of the Definition of History
oleh K. Kris Hirst, About.com Guide, dalam
http://archaeology.about.com/od/hterms/qt/history_definition.htm
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/History
[9] QS. Al-Baqarah (2): 26
[10] Shahih Bukhari no. 5535 (juga terekam dalam
Sunan Tirmidzi no. 3707, dan Musnad Ahmad no. 5417 dan 5670)
[11]
http://www.brainyquote.com/quotes/quotes/k/karlmarx382655.html#paXDVWqc2Jk1fG2P.99
[12] A Literary History of Persia, London, 1919,
hal. 227.
[13] Kutipan-kutipan itu disadur dari:
www.islamicwisdom.net/imam-hussain-views-of-non-muslim-scholars.
[14] Musnad Ahmad no. 13050 dan 13293. Juga di
no. 25315, tetapi dengan matan yang lebih pendek dan menyebut Ka’bah sebagai
tempat Malaikat menemui Nabi mengabarkan cikal-bakal berita duka itu.
[15] Sunan Tirmidzi no. 3664 dan disahihkan oleh
Syeikh Nashiruddin Al-Albani.
[16] Sunan Tirmidzi no. 3665 dan disahihkan oleh
Nashiruddin Al-Albani.
[17] Sunan Tirmidzi no. 3669 dan disahihkan oleh
Syeikh Nashiruddin Al-Albani.
[18] Shahih Bukhari no. 3353
[19] Shahih Bukhari no. 3437 dan 3483
[20] Shahih Bukhari no. 4829
[21] Shahih Bukhari no. 4828
[22] Sunan Tirmidzi no. 3129 (dishahihkan oleh
Nashiruddin Al-Albani), no. 3719, dan 3806. Juga dinukil Oleh Imam Ahmad dalam
Musnadnya no. 25300, 25339, dan 25383.
[23] Shahih Bukhari no. 3120
[24] Shahih Bukhari no. 3465
[25] Shahih Bukhari no. 3470
[26] QS. Al-Furqan (25): 74
[27] http://www.al-islam.org/short/Karbala.htm
[28] http://en.wikipedia.org/wiki/Walid_ibn_Utba
[29] Imam As-Suyuthi, TARIKH KHULAFA’, Penerjemah:
Samson Rahman, MA. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Cetakan Ketujuh,
Februari 2010, hal. 247.
[30]
http://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Karbala
[31]
http://indonesian.irib.ir/sejarah/-/asset_publisher/Q9nN/content/karbala-perjalanan-cinta
[32] Imam As-Suyuthi, TARIKH KHULAFA’,
Penerjemah: Samson Rahman, MA. Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Cetakan
Ketujuh, Februari 2010, hal. 245.