Ketika
Sufi Kenthir menyampaikan kepada para sufi tulisan KH. Thabary Syadzily al
Bantani di Facebook tentang Syekh Abdul Hadi asal Jaha Cilegon Banten, keluarga Syekh Nawawi bin Umar
Al-Bantany yang dibantai kaum badui Salafi-Wahabi di Makkah saat memangku
cucunya, membuat Sufi Jadzab menangis tersedu-sedu. Lalu seperti tidak perduli
dengan orang-orang di sekitarnya, dengan suara lantang seperti orang membaca
puisi, Sufi Jadzab dengan terisak-isak berkata ,”Sewaktu ramalan Rasulullah Saw
tentang bakal munculnya kaum sesat dari sebelah timur Madinah yang membahayakan
umat Islam telah menampakkan tanda-tanda yang nyata, darah pun tumpah ruah
membanjiri padang-padang gersang di atas gelak-tawa, raungan, jeritan, lenguhan,
geraman kaum sesat terkutuk yang merampok, menjarah, menganiaya, memperkosa,
membunuh, dan memangsa kaum muslimin dengan rasa bangga dan kepuasan maniac
psikopat. Waspadalah wahai orang-orang beriman! Waspadalah, karena kaum sesat
terkutuk yang diramalkan Nabi Saw itu sudah bergentayangan di sekitarmu dengan
mulut meneteskan liur darah, lidah bercabang yang terjulur dan taring tajam
yang berkilau karena haus darah kalian.”
Para
sufi diam. Sebagian menarik nafas berat. Sebagian terperangah dengan mulut
berdecak. Dullah yang duduk di samping Sufi tua, bertanya kepada Guru Sufi
ingin tahu,”Mbah Kyai, apakah kaum Salafi-Wahabi sebuas dan seganas yang
digambarkan Mbah Kasyful Majdzub?“
Setelah
menarik nafas berat, Guru Sufi berkata menjelaskan,“Semenjak Wahabi-Sa’ud
memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang berbeda pemahaman tauhid dengan
mereka pada tahun 1746 Masehi, tindak kekerasan berupa penggerebegan, razia,
penyiksaan, penjarahan, bahkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang mereka
nilai telah musyrik dan kafir. Tahun 1761 Wahabi-Sa’ud telah menguasai sebagian
besar Jazirah Arab, termasuk Najd, Arabiah tengah, ‘Asir, dan Yaman. Selama
rentang masa itulah para sayyid, syarif, habib mengaku ahlul bait keturunan
Sayidina Ali berduyun-duyun meninggalkan Jazirah Arab masuk ke Nusantara.
Pendek kata, di bawah Malik Abdul Aziz ibnu Sa’ud, faham Wahabi-Sa’ud mengalami
kejayaan sampai masa matinya Muhammad bin Abdul Wahab tahun 1791.”
“Bulan
Dzulqa’dah tahun 1216 Hijriyyah atau 1802 Masehi, Sa’ud ibnu Sa’ud putera
sulung Malik Abdul Aziz membawa 12.000 orang pasukan menyerang Karbala. Dengan
ganas mereka merusak dan menjarah makam Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib,
membantai siapa pun penduduk yang berada di sekitar makam dan membasmi siapa
pun yang berusaha menghalangi. Sekitar 5000 orang penduduk Karbala tewas
dibantai. Hartanya dijarah sebagai pampasan. Sewaktu kabar ini sampai ke
negeri-negeri muslim lain, Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak
karena gagal menjaga makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi. Jadi yang
diucapkan Mbah Kasyful Majdzub tidak asal mengigau, tapi ada fakta sejarahnya.”
“Maaf
Mbah Kyai, adakah buku rujukan yang bisa dipakai sebagai dasar pijakan tentang
peristiwa kebiadaban Wahabi-Sa’ud itu?” tanya Dullah ingin penjelasan.
“Cari
dan baca tulisan Charles Allen yang berjudul God’s Terrorist, The Wahhabi Cult
and the Hidden Roots of Modern Jihad (2006),” kata Guru Sufi menjelaskan,”Semua
memuat data sejarah dari tindak kebiadaban kaum badui biadab itu.”
“Tapi
Mbah Kyai,” sahut Dullah berkilah,”Mana mau Salafi-Wahabi mengakui fakta
sejarah yang ditulis orang kafir seperti Charles Allen? Mereka pasti akan
menolak kenyataan historis yang dipaparkan Charles Allen itu sebagai fitnah,
sebagaimana kita faham watak mereka.”
“Lho
itu sejarah faktual bukan soal ditulis oleh siapa,” kata Guru Sufi menjelaskan
lebih rinci,”Soalnya, sejarawan Wahabi sendiri, yaitu Utsman ibnu Abdullah ibnu
Bisyr an-Najdi dalam tulisan berjudul Unwan al-Majd fi Tarikh Najd,
menggambarkan tragedi pembantaian Karbala itu seperti ini,“Pasukan yang
dipimpin Sa’ud yang menunggangi kuda-kuda pilihan yang terbaik, yang terdiri
dari orang-orang badui Najd, orang-orang selatan, Hijaz, Tihamah dan lainnya,
bergerak menuju Karbala,…maka orang-orang Islam memenuhi kota itu, mengepung
dinding-dindingnya, dan masuk ke daerah tersebut dengan paksa. Mereka membunuhi
hampir seluruh penduduknya di pasar-pasar dan di rumah-rumah. Mereka
menghancurkan kubah yang ada di atas makam al-Husein, kubah yang dihiasi dengan
zamrud, yakut, dan beragam permata indah lainnya. Mereka merampas semua yang
ada di negeri itu seperti uang, senjata, pakaian, kuda, emas, perak,
mushaf-mushaf mahal, dan sebagainya. Mereka melakukan penyerbuan itu dengan
cepat, sehingga mendekati dhuhur, mereka telah keluar dengan membawa semua
harta itu, dan telah membunuhi penduduk sekitar 2000 orang.”
“Weleh
weleh, jadi orang Wahabi-Salafi sendiri mengakui fakta tentang pembantaian itu,
ya Mbah Kyai, tetapi jumlah korbannya mereka kurangi sehingga hanya 2000 orang,
begitukah?” tanya Dullah menyimpulkan.
“Ya
watak mereka memang begitu, biasa memutar-balik, memanipulasi, menghapus,
menambahi, dan menginterpolasi data dan fakta.”
“Kenapa
Wahabi-Sa’ud begitu antipati dengan orang Syi’ah, dan menganggap halal darah
orang Syi’ah, Mbah Kyai?” tanya Sukiran tiba-tiba menyela.
“Karena
Muhammad ibnu Abdul Wahab menganggap Syi’ah musyrik dan kafir karena menyembah
makam imam mereka dan menjadikan Ali ibnu Abi Thalib sebagai wasilah,” kata
Guru Sufi memaparkan.
“Woo
begitu ya, Mbah Kyai,” sahut Sukiran mengangguk-angguk heran.
“Ya
Muhammad ibnu Abdul Wahab dalam Ad-Durar as-Saniyyah,” kata Guru Sufi
menjelaskan,”Telah tegas-tegas menyatakan halalnya darah orang musyrik. Bahkan
orang Islam yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, yaitu Khilafah Turki
Utsmani, para penyembah kuburan, penyembah orang-orang saleh, pengganti sunnah
dengan bid’ah, maka akan menjadi kafir juga. Ibnu Abdul Wahab dalam Nawaqidh
al-Islam menyatakan bahwa barang siapa tidak mengkafirkan orang-orang musyrik
atau ragu dalam mengkafirkan mereka, atau membenarkan mazhab mereka, maka dia
kafir. Ibnu Taimiyyah juga telah berkata, bahwa siapa saja yang
memanggil-manggil Ali ibnu Abi Thalib, maka dia benar-benar kafir, dan siapa
saja yang ragu untuk mengkafirkannya maka dia juga telah kafir. Jadi
orang-orang Syi’ah di Karbala yang dianggap menyembah kubur Imam Husein dijagal
habis-habisan karena dianggap telah musyrik.”
“Bahkan
dalam Ad-Durar as-Saniyyah, ibnu Abdul Wahab tegas-tegas menyatakan:
sesungguhnya aku mengajak kalian kepada tauhid dan meninggalkan syirik kepada
Allah. Semua yang ada di bawah tujuh lapis langit ini telah benar-benar
musyrik, dan barangsiapa yang membunuh orang musyrik maka dia mendapat durga.
Siapa saja yang masuk ke dalam dakwah kami, maka dia memiliki hak dan kewajiban
sama dengan kami, dan siapa saja yang tidak masuk bersama kami, maka dia kafir,
halal nyawa dan hartanya.”
“Itu
pas sekali dengan faham jiwa dan semangat orang-orang badui gurun yang suka
menggarong dan menyamun penduduk yang lewat wilayah mereka. Bedanya,
Salafi-Wahabi ini merompak dan menyamun serta membunuh dengan mengatas-namakan
agama,” kata Dullah berkomentar.
“Karena
itu, “ sahut Sufi tua yang sejak tadi diam,”Orang-orang yang menganut faham
Salafi-Wahabi, jiwa dan pikiran serta nalurinya tidak akan jauh dari badui
gurun.”
“Tapi
maaf Mbah Kyai,”sahut Dullah menyela,”Benarkah Nabi Saw pernah meramalkan bakal
munculnya kaum sesat dari wilayah Nejd – daerah kelahiran kaum badui – yang
terletak di timur kota Madinah seperti dikatakan Mbah Kasyful Majdzub?”
“Jangan
terlalu serius bicara soal Salafi-Wahabi, santai saja,” kata Guru Sufi meminta
kopi dan makanan ringan dikeluarkan,”Kita minum kopi sambil makan singkong
bakar. Nanti soal Salafi-Wahabi, bisa disambung setiap waktu,” kata Guru Sufi
meminta Sufi Sudrun untuk mengeluarkan kitab-kitab tentang Wahabi-Salafi dari
perpustakaan.
Tak
Perduli Bayi, Penduduk Thaif Dijagal Tanpa Ampun
Ketika
sedang menikmati kopi dan singkong bakar tiba-tiba Johnson, keponakan Sufi tua
datang menyampaikan titipan buku dari penerbit LKiS Jogja kepada Sufi Sudrun.
Buku yang ditulis Syaikh Idahram itu ternyata mengupas sejarah berdarah Salafi
Wahabi dalam membantai umat Islam. Tentu saja, diskusi jadi makin hangat.
Ketika
perbincangan dimulai lagi, Sufi Kenthir yang ditugasi membaca tulisan Muhammad
Muhsin al-Amin yang berjudul Kasyf al-Irtiyah mengungkapkan bagaimana setelah
melakukan pembantaian di Karbala atas orang-orang Syi’ah, para badui
Salafi-Wahabi bergerak dari gurun Najd menuju ke Thaif pada bulan Dzulqa’dah
tahun 1217 Hijriyah atau 1803 Masehi. Saat itu Thaif di bawah kekuasaan
gubernur Makkah as-Syarif Ghalib, yang sudah menjalin kesepakatan dengan pemuka
Salafi-Wahabi. Namun seperti biasa, Salafi Wahabi ingkar. Begitu masuk Thaif,
mereka menggiring para ulama untuk menyatakan sumpah setia mengikuti akidah
Salafi Wahabi. Ulama yang menolak, pasti terhapus dari daftar hidup manusia.
“Selama
menduduki kota Thaif,” kata Sufi Kenthir mengutip tulisan Muhammad Muhsin
al-Amin,”Salafi Wahabi membunuh ribuan penduduk, termasuk wanita dan anak-anak.
Bahkan yang paling biadab, badui-badui berakhlak bejat itu menyembelih
bayi-bayi yang masih di pangkuan ibunya dan membunuhi wanita-wanita hamil.
Setelah merampas, merusak, menjagal orang-orang tak bersalah, dan melakukan
kebiadaban tak terbayangkan atas umat islam, binatang-binatang rendah penghuni
gurun Najd itu bergerak menuju Makkah. Namun mereka berbalik ke Thaif, karena
mengetahui saat itu umat Islam sedang menunaikan ibadah haji. Setelah para
jama’ah haji kembali ke negeri masing-masing, barulah badui-badui Salafi Wahabi
bergerak menuju Makkah.”
“Gubernur
Makkah as-Syarif Ghalib tidak kuasa menahan kemarahan badui-badui Salafi Wahabi
yang telah sampai di Jeddah. Pada akhir bulan Muharram 1218 Hijriyah,
badui-badui biadab itupun masuk Makkah dan menetap di situ selama 14 hari.
Selama waktu itu melakukan perusakan dan melakukan pelarangan menziarahi makan
nabi-nabi dan makam orang-orang saleh.”
“Coba
baca tulisan Mufti Makkah Sayyid Ahmad ibnu Zaini Dahlan!” kata Guru Sufi
menunjuk Sufi Majnun untuk membaca kitab berjudul Umara ul-Baladil Haram.
Sufi
Majnun dengan menahan perasaan membaca tulisan Sayyid Ahmad ibnu Zaini Dahlan
itu dengan suara sesekali tersekat, yang intinya sebagai berikut:
“Ketika
memasuki Thaif, Salafi Wahabi melakukan pembunuhan menyeluruh, termasuk orang
tua, kanak-kanak, tokoh masyarakaty dan pemimpinnya, membunuhi golongan syarif
dan rakyat biasa. Mereka menyembelih hidup-hidup bayi-bayi yang masih menyusu
di pangkuan ibunya, membunuh umat Islam di dalam rumah-rumah dan kedai-kedai.
Jika mereka mendapati satu jamaah umat Islam mengadakan kajian al-Qur’an,
mereka cepat-cepat membunuhnya sehingga tidak tersisa lagi orang-orang dari
kalangan mereka. Sewaktu memasuki masjid, mereka membunuhi orang-orang yang
sedang rukuk dan sujud, merampas uang dan harta mereka. Mereka menginjak-injak
al-Qur’an, kitab-kitab Imam Bukhari, Muslim, kitab fiqih, nahwu, dan
kitab-kitab lain yang mereka robek-robek dan mereka tebarkan di jalan-jalan.
Mereka merampas harta umat Islam, lalu membagi-bagikan di antara mereka seperti
pembagian ghanimah dari harta orang kafir.”
Sufi
Sudrun membaca tulisan Syaikh Idahram yang mengutip tulisan Dr Muhammad ‘Awadh
al-Khatib dalam buku berjudul Shafahat min Tarikh al-Jazirah al-Arabiyah
al-Hadits tentang bagaimana badui-badui Salafi Wahabi membunuh mereka yang
menolak ajakan dakwahnya. Salafi Wahabi juga mengumpulkan mereka yang berusaha
lari ke satu tempat untuk dipenggal, dan sebagian lagi digiring ke lembah Wadi
Aluj, yang jauh dari hunian dalam keadaan telanjang antara laki-laki dan
wanita. Mereka menggeledah dan menjarah harta benda penduduk. Setelah merampas
harta penduduk dan membunuh mereka, badui-badui Salafi Wahabi meninggalkan
Thaif, membagi rata hasil rampasan dan kemudian mengirimkan seperlima bagian
kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
“Catatan
sejarah tentang kebiadaban Salafi Wahabi itu,” lanjut Sufi Sudrun dengan suara
ditekan tinggi,”Ternyata dibenarkan oleh sejarawan Wahabi, Syaikh Abdurrahman
al-Jibrati dalam buku berjudul Tarikh ‘Ajaib al-Atsar fi at-Tarajum wa
al-Akhbar. Dalam buku itu Syaikh Abdurrahman al-Jibrati menyatakan bahwa
orang-orang Wahabi menyerang Thaif dan memerangi penduduknya selama tiga hari,
sampai semua takluk. Orang-orang Wahabi mengambil alih kota itu dan
memerintahnya dengan keras. Mereka membunuhi kaum lelakinya, menyandera
perempuan dan anak-anaknya. Begitulah pandangan Wahabi terhadap orang-orang
yang mereka perangi.”
“Biadab!
Bejat! Binatang!” seru Dullah dengan dada naik turun menahan perasaan,”
Bagaimana kawanan hewan buas yang tidak memiliki hati nurani itu bisa menepuk
dada sambil menyatakan bahwa merekalah yang paling benar dan haqq dalam
menjalankan agama. Jelas itu bukan kelakuan orang Islam. Rasulullah Saw tidak
pernah mencontohkan kebiadaban seperti itu.”
“Benar
kang,” sahut Sukiran dengan mata berkilat-kilat menimpali,”Mereka itu mesti
penganut ajaran Musailamah al-Kadzab yang membalas dendam kepada umat Islam.
Sungguh berbahaya agama baru dari Najd yang sesungguhnya adalah agama lama
bikinan Musailamah.”
“Perhatian!
Perhatian!” seru Sufi tua mengangkat tangan kanan ke atas,”Dilarang emosi dan
marah-marah. Kepala boleh panas, hati harus tetap dingin. Mohon sabar, kita
masih akan membahas kebiadaban badui-badui biadab itu pada perbincangan
lanjutan.”
“Kebiadaban
di mana lagi, pakde?” seru Dullah ingin tahu.
“Di
mana lagi kalau bukan di Makkah dan Madinah?” sahut Sufi tua.
“Apa?”
sergah Dullah dan Sukiran bersamaan,”Wahabi melakukan kebiadaban di Haramain?”
Jama’ah
Haji Dibantai, Laki-laki Dibunuh, Anak-anak Disandera
Kebiadaban
kawanan badui Salafi Wahabi di Thaif membuat Dullah dan Sukiran geleng-geleng
kepala dan saling pandang satu sama lain. Johson yang duduk di samping Sufi tua
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Suasana hening. Tapi sejenak kemudian,
Dullah bertanya,”Benarkah seperti yang dikatakan pakde, orang-orang badui
biadab itu melakukan kebiadaban di Haramain?”
“Itu
benar Dul,” sahut Sufi Kenthir,”Menurut sejarawan Abdullah ibnu Asy-Syarif
Husain dalam kitab Sidqu al-Akhbari fi Khawariji al-Qarni ats-Tsani ‘Asyar,
setelah menebar kebinasaan di Thaif pada bulan Dzulqa’dah kawanan badui Wahabi
asal Nejd itu memasuki Makkah al-Mukarramah pada bulan Dzulhijjah tahun 1218
Hijriyah (1803 Masehi).”
“Apakah
mereka melakukan kebiadaban di bulan suci itu?” tanya Dullah penasaran.
“Menurut
tulisan Abdullah ibnu asy-Syarif Husain, badui-badui tak beradab itu membunuh
ribuan umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji,” sahut Sufi Kenthir.
“Astaghfirullah!”
sahut Dullah dan Sukiran dan Johnson bersamaan.
“Itu
bukan fitnah,” sahut Sufi Kenthir,”Sebab sejarawan Wahabi sendiri, Utsman ibnu
Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh
Najd memaparkan bagaimana pembantaian terhadap jama’ah haji itu dilakukan
Wahabi. Hanya dia mencatat peristiwa itu terjadi pada bulan Muharram tahun 1220
Hijriyah (1805 Masehi). Kitab Tarikh al-Aqthar al-Arabiyah al-Hadits menuturkan
bahwa yang dibantai Wahabi bukan hanya jama’ah haji, tapi penduduk Makkah
al-Mukarramah juga. Bahkan banyak yang sekedar disiksa dan kemudian dipotong
tangan dan kakinya karena menolak dakwah Wahabi. Para ibu warga Makkah
al-Mukarramah dipaksa menjual hartanya untuk menebus bayi dan anak-anaknya yang
masih kecil yang dijadikan sandera Wahabi. Dan seperti yang dilakukan di Thaif,
kawanan badui Wahabi itu menjarah dan merampas semua harta dan makanan milik
warga Makkah al-Mukarramah. Akibatnya, terjadi kelaparan. Anak-anak dan
orang-orang tua mati kelaparan, mayatnya bergelimpangan di mana-mana. Badui
Wahabi ketawa-ketiwi mengusung harta benda penduduk yang mereka anggap sebagai
ghanimah.”
“Sejarawan
Wahabi Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam kitab ‘Unwan
al-Majd fi Tarikh Najd menyatakan bahwa di tengah suasana Makkah al-Mukarramah
krisis pangan, orang-orang Wahabi menjual daging keledai, daging anjing dan
bangkai hewan kepada penduduk dengan harga tinggi. Banyak di antara mereka yang
diam-diam meninggalkan kota Makkah karena takut. Saat itu bangkai manusia yang
membusuk berserakan di mana-mana.”
“Teror
badui-badui biadab atas Makkah al-Mukarramah berlangsung selama enam tahun
setengah. Selama rentang waktu horor itu, badui-badui Wahabi melakukan
pembunuhan-pembunuhan dan pemaksaan-pemaksaan kepada sisa-sisa penduduk agar
menganut ajaran Wahabi. Pekuburan dan tempat-tempat bersejarah dihancurkan.
Buku-buku selain Qur’an dan hadits, dibakar. Perayaan Maulid Nabi dilarang
keras. Membaca Khasidah Barzanji dilarang. Pembacaan mau’idzah hasanah sebelum
khotbah Jum’at dilarang. Demikian catatan sejarah yang ditulis Yusuf al-Hijiri
dalam al-Baqi: Qishah Tadmir al-Sa’ud li al-Atsar al-Islamiyah fi Hijaj.”
“Maaf
kang,” sahut Johnson menyela,”Saya kok seperti mendengar kisah penaklukan Jenghiz
Khan yang ditandai pembantaian-pembantaian biadab di luar kemanusiaan. Apa ciri
badui itu memang seperti itu? Soalnya, Jenghiz Khan itu kepala suku badui di
padang rumput dan gurun Mongolia yang tidak cukup mengenal peradaban.”
“Ada
kesamaan dan ada perbedaan,” sahut Sufi Kenthir,”Persamaannya, kawanan Wahabi
di bawah Ibnu Sa’ud dan pasukan Mongol di bawah Jenghiz Khan adalah sama-sama
badui tak beradab. Bedanya, badui Wahabi mengibarkan bendera Islam dan
menganggap tindakannya sebagai amalan suci membersihkan agama Allah dari bid’ah
dan khurafat. Jadi di mana pun mereka berada, mereka selalu berteriak “Ana
Khoiru minhu” – “Aku lebih baik dari dia” sambil menebar kebinasaan pada
orang-orang yang dianggap kafir dan musyrik.”
“Charles
Allen dalam God’s Terrorist, The Wahhabi Cult and The Hidden Roots of Modern
Jihad menuturkan bagaimana pada tahun 1803-1804 Masehi golongan Wahabi menyerbu
Makkah dan Madinah, membunuhi para syaikh dan penduduk yang tidak bersedia
mengikuti ajaran Wahabi. Perhiasan dan perabot indah yang mahal yang
disumbangkan oleh para raja dan pangeran dari seluruh dunia untuk memperindah
Masjidil Haram, makam Nabi Muhammad Saw, makam para wali dan makam orang-orang
saleh di Makkah dan Madinah, dijarah dan dibagi-bagikan di antara kawaban
Wahabi dan tokoh-tokohnya. Dunia Islam guncang ketika terdengar makam Nabi Saw
dinodai dan dijarah, rute jama’ah haji ditutup, segala bentuk peribadatan yang
tidak sesuai Wahabi dilarang.”
“Kebenaran
tulisan Charles Allen itu bisa dirujuk pada fakta sejarah yang ditulis
sejarawan Wahabi Utsman ibnu Abdullah ibnu Bisyr al-Hanbali an-Najdi dalam
kitab ‘Unwan al-Majd fi Tarikh Najd dan tulisan sejarawan Ja’far ibnu Sayyid
Ismail al-Madani al-Barzanji dalam Nuzhatu an-Nazhirin fi Tarikhi Masjidi
al-Awwalin wal Akhirin yang menggambarkan bagaimana setelah menguasai Makkah
al-Mukarramah, orang-orang Wahabi pada bulan Dzulqa’dah 1220 Hijriyah (1805
Masehi) menguasai Madinah. Mereka menggeledah Masjid Nabawi dan kediaman Nabi
Saw. Harta benda sumbangan para raja dijarah. Kekejaman yang ditunjukkan di
Karbala, Thaif dan Makkah al-Mukarramah dipamerkan lagi di Madinah, sehingga
banyak penduduk melarikan diri termasuk Syaikh Ismail al-Barzanji dan Syaikh
Dandrawi. Seperti kubah pekuburan Baqi’, kubah Ahlul Bait serta pekuburan kaum
muslimin dihancurkan. Lampu-lampu yang menghiasi kota Madinah diambil, sebagian
dihancurkan dan yang lain dibagi-bagikan kepada pengikut Wahabi. Madinah
kemudian ditinggalkan dalam keadaan sunyi dan sepi, selama beberapa hari tanpa
adzan, tanpa iqamah dan tanpa shalat.”
“Naudzubillah
tsumma naudzubillahi min al-Wahabi rojiim!” sahut Dullah dan Sukiran dan
Johnson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar