Oleh
H Rosihan Anwar
SETELAH pamit dengan Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Pr yang dibaringkan dalam peti jenazah di Gereja Katedral Jakarta saya dicegat oleh Bobby, reporter majalah Katolik ”Hidup" yang bertanya bagaimana pandangan saya terhadap Romo Mangun.
Sadar harus bicara dengan teknik wawancara televisi yaitu dengan soundbites, saya jawab singkat: "Beliau seorang role-model." Maknanya, Romo Mangun adalah suri tauladan bagi banyak orang. Dalam hal apa? Dalam memperjuangkan kerakyatan (demokrasi), kedaulatan rakyat, keadilan sosial serta insaniyah (kemanusiaan).
Tatkala meninggalkan jenazah Romo Mangun, setelah menatap mukanya yang tampak bagaikan telaga damai, mengiang di telinga saya judul sebuah sajak dalam bahasa Inggris yang dikirim oleh Romo untuk mengucapkan selamat atas hari ulang tahun saya ke-70, tujuh tahun yang lampau. Sajak itu ialah A Kind of Loving.
Ditanya oleh seorang wartawan kantor berita Katolik apakah hubungan saya dengan Romo Mangun akrab dan sudah berapa lama, saya jawab aneh bin ajaib hubungan saya secara fisik dengan Romo tidak begitu amat dekat. Saya berjumpa dengan Romo hanya biasanya di seminar atau konferensi kebudayaan. Kami lalu bersalaman, saling menanyakan kesehatan masing-masing. Romo bersikap selalu ramah, saya pun menunjukkan hormat saya. Sebenarnya hubungan saya dengan Romo lebih banyak bersifat intelektual dan spiritual.
Waktu pada tahun 1980 menjadi editor buku "Mengenang Sjahrir" dan menyunting sebanyak 28 buah karangan dari dalam negeri, maupun luar negeri, perhatian saya tertarik oleh tulisan Romo Mangun berjudul: Archetype Sutan Sjahrir. Intro tulisannya langsung memikat perhatian pembaca. Ia menulis: "Sutan Sjahrir tergolong negarawan yang dalam bahasa percaturan politik disebut kalah atau gugur. Dan sering karena itu, seperti Tan Malaka, Diponegoro atau Gandhi, interesan untuk para pencari hikmah yang kritis. Lagi, apa arti kalah atau menang dalam pengertian historis? Kalah taktis dan kalah strategis tidak identik".
Romo Mangun mengatakan di dalam Sjahrir yang pada usia 36 tahun menakhodai bahtera Republik Indonesia sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Dalam Negeri kita menemukan beberapa tema dasar yakni perikemanusiaan, antifasisme, kerakyatan, pemerintahan bersih, kejujuran berpolitik, kesadaran bersejarah, dan bahwa dunia Timur Lama dan Barat Lama kini sedang tenggelam dan kita menghadapi suatu fase histori manusia yang serba baru.
***
PERIODE awal Revolusi disorot oleh Romo Mangun. Pada hematnya Soekarno-Hatta-Sjahrir-Rakyat benar-benar merupakan suatu interaksi yang saling memperlengkap, tetapi dalam proses yang dialektis, dalam suasana saling mengritik, tetapi percaya pada kemampuan serta fungsi masing-masing di dalam aturan permainan yang dimufakati bersama. Ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari periode perjuangan 1945-50. Dalam diri kita masing-masing hiduplah citra dasar (archetype) kedua tokoh Soekarno dan Sjahrir.
Archetype Soekarno yang masih berakar dalam tradisi nasional masa lampau dan yang dengan dunia internasional dan hari depan.
Di pihak lain, citra dasar Sjahrir yang sudah hidup dengan ruang waktu supranasional, universal dalam humanismenya, namun yang setia mencoba menerapkan kebaktiannya secara konkret di Tanah Air di tengah kawan sebangsa yang barangkali dalam banyak hal tidak ia cocoki, namun ia cintai dalam kesetiakawanan yang sepi ing pamrih, demikian Romo Mangun.
Membaca tulisannya waktu itu saya memperoleh kesan kuat bahwa Romo Mangun seorang pengagum Sjahrir yang dikenalnya kebanyakan dari bacaan literatur, bukan dari pergaulan fisik intens. Mengikuti tulisan-tulisannya kemudian saya tidak ragu-ragu menarik kesimpulan Romo Mangun pada hakikatnya seorang sosialis-demokrat seperti halnya dengan Sjahrir, Hatta dan Soekarno muda. Itulah sebabnya saya merasa dekat sekali dengan Romo Mangun secara intelektual dan spiritual. Atensi pribadinya luar biasa sebagaimana dapat dibaca dari cerita berikut berupa kenang-kenangan saya kepada Romo Mangun.
Pada tanggal 10 Mei 1992 saya mencapai usia 70 tahun dan memperingati peristiwa itu ketua umum PWI M Soegeng Widjaja dan ketua Panitia Peringatan Jakob Oetama menyelenggarakan peluncuran buku berjudul H Rosihan Anwar Wartawan Dengan Aneka Citra bertempat di Gedung Dewan Pers. Buku itu disunting oleh Tribuana Said dan diterbitkan atas insiatif Jakob Oetama.
Dengan tiada saya duga Romo Mangun mengambil waktu menulis sepucuk surat kepada saya dari Yogyakarta, Jl AM Sangaji 20. Dia memulai suratnya dengan menulis:
Saudara Rosihan Anwar tersayang! Dengan hormat, dari bepergian jauh saya terlambat membaca di Kompas tentang HUT Anda 70 tahun. Luar biasa! Beter te laat dan nooit. Maka dengan gembira saya ucapkan Selamat Berulang Tahun 70 tahun.
Tanggal 10 Mei adalah hari Jerman invasi ke Nederland, awal kerontokan Nederlandsch Indie. Dan Anda aktif partisipasi dalam Revolusi dulu, di garis terdepan maupun belakang. Berbahagialah Anda memperoleh kesempatan sangat berharga itu dari Tuhan.
Walaupun demokrasi dan cita-cita kerakyatan yang Anda rintis itu kini berantakan sehingga pola-pola Nederlandsch Indie kembali lagi dihidupkan oleh generasi yang "sedang lupa", namun jasa-jasa saudara tidak akan percuma. Buku-buku memoar Anda selalu saya baca. Saya masih menunggu tulisan-tulisan dan memoar Anda dengan penuh harapan. Semoga damai, rahmat serta berkat Allah selalu menaungi Anda & keluarga Anda. Wassalam, YB Mangunwijaya.
DI SAMPING surat tadi dikirimnya pula sebuah kartu yang ditulisnya tanggal 10 Mei 1992, tepat pada HUT ke-70 saya. Romo Mangun mengatakan:
Ketika saya masih teenager ingusan saya sudah membaca karya-karya jurnalistik Anda sewaktu Revolusi. Berkat perintisan Anda kini saya coba-coba berjurnalistik pula. Puisi ini saya sampaikan selaku ucapan selamat usia 70 tahun. Semoga Rahmatullah selalu menaungi saudara Rosihan Anwar.
Saudara wartawan setiawan dan pejuang ulet yang menjadi suri teladan kami. Allah Yang Mahabaik adalah Pahala Sejati Saudara. Segala suka namun terutama duka derita Anda telah dan akan bertunas terus ke dalam kami para penulis pendatang baru. Semoga sang istri dan Keluarga Besar Rosihan Anwar selalu terberkati.
Adapun sajak dalam bahasa Inggris dilampirkannya sebagai berikut.
SETELAH pamit dengan Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya Pr yang dibaringkan dalam peti jenazah di Gereja Katedral Jakarta saya dicegat oleh Bobby, reporter majalah Katolik ”Hidup" yang bertanya bagaimana pandangan saya terhadap Romo Mangun.
Sadar harus bicara dengan teknik wawancara televisi yaitu dengan soundbites, saya jawab singkat: "Beliau seorang role-model." Maknanya, Romo Mangun adalah suri tauladan bagi banyak orang. Dalam hal apa? Dalam memperjuangkan kerakyatan (demokrasi), kedaulatan rakyat, keadilan sosial serta insaniyah (kemanusiaan).
Tatkala meninggalkan jenazah Romo Mangun, setelah menatap mukanya yang tampak bagaikan telaga damai, mengiang di telinga saya judul sebuah sajak dalam bahasa Inggris yang dikirim oleh Romo untuk mengucapkan selamat atas hari ulang tahun saya ke-70, tujuh tahun yang lampau. Sajak itu ialah A Kind of Loving.
Ditanya oleh seorang wartawan kantor berita Katolik apakah hubungan saya dengan Romo Mangun akrab dan sudah berapa lama, saya jawab aneh bin ajaib hubungan saya secara fisik dengan Romo tidak begitu amat dekat. Saya berjumpa dengan Romo hanya biasanya di seminar atau konferensi kebudayaan. Kami lalu bersalaman, saling menanyakan kesehatan masing-masing. Romo bersikap selalu ramah, saya pun menunjukkan hormat saya. Sebenarnya hubungan saya dengan Romo lebih banyak bersifat intelektual dan spiritual.
Waktu pada tahun 1980 menjadi editor buku "Mengenang Sjahrir" dan menyunting sebanyak 28 buah karangan dari dalam negeri, maupun luar negeri, perhatian saya tertarik oleh tulisan Romo Mangun berjudul: Archetype Sutan Sjahrir. Intro tulisannya langsung memikat perhatian pembaca. Ia menulis: "Sutan Sjahrir tergolong negarawan yang dalam bahasa percaturan politik disebut kalah atau gugur. Dan sering karena itu, seperti Tan Malaka, Diponegoro atau Gandhi, interesan untuk para pencari hikmah yang kritis. Lagi, apa arti kalah atau menang dalam pengertian historis? Kalah taktis dan kalah strategis tidak identik".
Romo Mangun mengatakan di dalam Sjahrir yang pada usia 36 tahun menakhodai bahtera Republik Indonesia sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Dalam Negeri kita menemukan beberapa tema dasar yakni perikemanusiaan, antifasisme, kerakyatan, pemerintahan bersih, kejujuran berpolitik, kesadaran bersejarah, dan bahwa dunia Timur Lama dan Barat Lama kini sedang tenggelam dan kita menghadapi suatu fase histori manusia yang serba baru.
***
PERIODE awal Revolusi disorot oleh Romo Mangun. Pada hematnya Soekarno-Hatta-Sjahrir-Rakyat benar-benar merupakan suatu interaksi yang saling memperlengkap, tetapi dalam proses yang dialektis, dalam suasana saling mengritik, tetapi percaya pada kemampuan serta fungsi masing-masing di dalam aturan permainan yang dimufakati bersama. Ada sesuatu yang bisa kita pelajari dari periode perjuangan 1945-50. Dalam diri kita masing-masing hiduplah citra dasar (archetype) kedua tokoh Soekarno dan Sjahrir.
Archetype Soekarno yang masih berakar dalam tradisi nasional masa lampau dan yang dengan dunia internasional dan hari depan.
Di pihak lain, citra dasar Sjahrir yang sudah hidup dengan ruang waktu supranasional, universal dalam humanismenya, namun yang setia mencoba menerapkan kebaktiannya secara konkret di Tanah Air di tengah kawan sebangsa yang barangkali dalam banyak hal tidak ia cocoki, namun ia cintai dalam kesetiakawanan yang sepi ing pamrih, demikian Romo Mangun.
Membaca tulisannya waktu itu saya memperoleh kesan kuat bahwa Romo Mangun seorang pengagum Sjahrir yang dikenalnya kebanyakan dari bacaan literatur, bukan dari pergaulan fisik intens. Mengikuti tulisan-tulisannya kemudian saya tidak ragu-ragu menarik kesimpulan Romo Mangun pada hakikatnya seorang sosialis-demokrat seperti halnya dengan Sjahrir, Hatta dan Soekarno muda. Itulah sebabnya saya merasa dekat sekali dengan Romo Mangun secara intelektual dan spiritual. Atensi pribadinya luar biasa sebagaimana dapat dibaca dari cerita berikut berupa kenang-kenangan saya kepada Romo Mangun.
Pada tanggal 10 Mei 1992 saya mencapai usia 70 tahun dan memperingati peristiwa itu ketua umum PWI M Soegeng Widjaja dan ketua Panitia Peringatan Jakob Oetama menyelenggarakan peluncuran buku berjudul H Rosihan Anwar Wartawan Dengan Aneka Citra bertempat di Gedung Dewan Pers. Buku itu disunting oleh Tribuana Said dan diterbitkan atas insiatif Jakob Oetama.
Dengan tiada saya duga Romo Mangun mengambil waktu menulis sepucuk surat kepada saya dari Yogyakarta, Jl AM Sangaji 20. Dia memulai suratnya dengan menulis:
Saudara Rosihan Anwar tersayang! Dengan hormat, dari bepergian jauh saya terlambat membaca di Kompas tentang HUT Anda 70 tahun. Luar biasa! Beter te laat dan nooit. Maka dengan gembira saya ucapkan Selamat Berulang Tahun 70 tahun.
Tanggal 10 Mei adalah hari Jerman invasi ke Nederland, awal kerontokan Nederlandsch Indie. Dan Anda aktif partisipasi dalam Revolusi dulu, di garis terdepan maupun belakang. Berbahagialah Anda memperoleh kesempatan sangat berharga itu dari Tuhan.
Walaupun demokrasi dan cita-cita kerakyatan yang Anda rintis itu kini berantakan sehingga pola-pola Nederlandsch Indie kembali lagi dihidupkan oleh generasi yang "sedang lupa", namun jasa-jasa saudara tidak akan percuma. Buku-buku memoar Anda selalu saya baca. Saya masih menunggu tulisan-tulisan dan memoar Anda dengan penuh harapan. Semoga damai, rahmat serta berkat Allah selalu menaungi Anda & keluarga Anda. Wassalam, YB Mangunwijaya.
DI SAMPING surat tadi dikirimnya pula sebuah kartu yang ditulisnya tanggal 10 Mei 1992, tepat pada HUT ke-70 saya. Romo Mangun mengatakan:
Ketika saya masih teenager ingusan saya sudah membaca karya-karya jurnalistik Anda sewaktu Revolusi. Berkat perintisan Anda kini saya coba-coba berjurnalistik pula. Puisi ini saya sampaikan selaku ucapan selamat usia 70 tahun. Semoga Rahmatullah selalu menaungi saudara Rosihan Anwar.
Saudara wartawan setiawan dan pejuang ulet yang menjadi suri teladan kami. Allah Yang Mahabaik adalah Pahala Sejati Saudara. Segala suka namun terutama duka derita Anda telah dan akan bertunas terus ke dalam kami para penulis pendatang baru. Semoga sang istri dan Keluarga Besar Rosihan Anwar selalu terberkati.
Adapun sajak dalam bahasa Inggris dilampirkannya sebagai berikut.
A Kind Of Loving
I sing songs for people I can't have
people I meet once and will never see again.
It is for me a kind of loving.
A kind of loving, for me.
I make words for people I've not met
those who will not turn to follow after me.
It is for me a kind of loving.
A kind of loving, for me.
Rod Mekuen.
Ikut menyanyi: YB Mangunwijaya.
Saya ceritakan di sini semua ini bukan karena mengenai urusan ego saya, bukan karena saya narsisus - mencintai diri sendiri secara berlebihan - seperti kata seorang ilmuwan Indonesia yang belajar di Jerman, melainkan karena hendak menggambarkan betapa agungnya kedermawanan dan kebaikan hati Romo Mangun. Romo Mangun, beristirahatlah dalam kedamaian. R.I.P.
Sumber: Kompas Jumat, 12 Februari 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar