Oleh Sulaiman Djaya, esais dan
penyair (Dipublikasi secara bersambung di harian Tangsel Pos pada 12 dan 13
Agustus 2014)
Di masa yang jauh, yaitu
tepatnya di Najd tahun 851 H, ada sekelompok pria dari Bani Al Masalikh
keturunan dari Kaum Anza, yang membentuk sebuah kelompok dagang yang bergerak
di bidang bisnis gandum dan jagung dan bahan makanan lain dari Iraq dan
membawanya kembali ke Najd. Direktor perdagangan ini bernama Sahmi bin Hathlul.
Kelompok dagang ini melakukan kegiatan bisnis mereka sampai ke Basra, disana
mereka bertemu dengan seorang pedagang gandum Yahudi bernama Mordakhai bin
Ibrahim bin Moshe. Ketika sedang terjadi proses tawar menawar, si Yahudi itu
bertanya kepada kafilah dagang itu, “dari mana Anda berasal?” Mereka menjawab,
“dari kaum Anza, kami adalah keluarga Bani Al Masalikh”. Setelah mendengar itu,
orang Yahudi itu menjadi gembira dan mengaku bahwa dirinya juga berasal dari
kaum keluarga yang sama tetapi terpaksa tinggal di Basrah, Irak karena
perseteruan keluarga antara ayahnya dan anggota keluarga kaum Anza.
Syahdan, setelah itu,
Mordakhai kemudian menyuruh budaknya untuk menaikkan karung-karung berisi
gandum, kurma dan makanan lain ke atas pundak unta-unta milik kabilah itu. Hal
demikian adalah sebuah ungkapan penghormatan bagi para saudagar Bani
Al-Masalikh tersebut dan menunjukkan kegembiraannya karena berjumpa saudara
tuanya di Irak. Bagi pedagang Yahudi itu, kafilah dagang merupakan sumber
pendapatan dan hubungan bisnis. Mordakhai adalah saudagar kaya raya yang
sejatinya adalah keturunan Yahudi yang bersembunyi di balik wajah Arab dari
kabilah Al Masalikh. Ketika rombongan itu hendak bertolak ke Najd, si Yahudi
ini meminta diizinkan untuk bersama mereka karena sudah lama dia ingin pergi ke
tanah asal mereka, Najd. Setelah mendengar permintaan pria Yahudi itu, kafilah
dagang suku Anza ini pun senang dan menyambutnya dengan gembira. Pedagang
Yahudi yang sedang menyamar itu pun tiba di Najd dengan pedati-pedatinya
(kendaraan tunggangan).
Di Najd, dia mulai
melancarkan aksi propaganda tentang sejatinya siapa dirinya melalui sahabat-sahabat,
teman dagang dan teman-teman dari Bani Al Masalikh yang baru dikenalnya.
Setelah itu, di sekitar Mordakhai berkumpullah para pendukung dan penduduk
Najd. Tapi, tanpa disangka dia berhadapan dengan seorang ulama ‘yang menentang
doktrin dan pahamnya’. Dialah Sheikh Salman Abdullah At Taimi seorang ulama
karismatik dari daerah Al Qasem. Daerah-daerah yang menjadi lokasi dakwahnya
sepanjang distrik Najd, Yaman dan Hijaz.
Karena suatu alasan
tertentu, si Yahudi Mordakhai (yang menurunkan keluarga Saud itu), berpindah
dari Al Qasem ke Al Ihsa. Di sana dia merubah namanya dari Mordakhai ke Markhan
bin Ibrahim Musa. Kemudian dia pindah dan menetap di sebuah tempat bernama
Dlir’iya dekat Al Qateef. Di sana dia memaklumatkan propaganda dustanya bahwa perisai
Nabi saw telah direbut sebagai barang rampasan oleh seorang kuat musyrikin pada
waktu Perang Uhud antara Arab Musyrikin dan umat Islam. Katanya, “perisai itu
telah dijual oleh Arab Musyrikin kepada kabilah kaum Yahudi bernama Bani
Qainuqa’ yang menyimpannya sebagai harta karun”.
Selanjutnya dia
mengukuhkan lagi posisinya di kalangan Arab Badwi melalui cerita-cerita dusta
yang menyatakan bagaimana kaum Yahudi di Tanah Arab sangat berpengaruh dan
berhak mendapatkan penghormatan tinggi. Akhirnya, dia diberi suatu rumah untuk
menetap di Dlir’iya dekat Al Qateef. Dia berkeinginan mengembangkan daerah ini
sebagai pusat Teluk Persia. Dia kemudian mendapatkan ide untuk menjadikannya
sebagai situs atau batu loncatan guna mendirikan negara Yahudi di tanah Arab. Untuk
memuluskan cita-citanya itu, dia mendekati kaum Arab Badui untuk memperkuat
posisinya, kemudian secara perlahan dia memberitakan dirinya sebagai raja
kepada mereka. Kabilah Ajaman dan kabilah Bani Khaled yang merupakan penduduk
asli Dlir’iya menjadi risau akan sepak terjang dan rencana keturunan Yahudi
itu. Mereka berencana menentang untuk berdebat dan bahkan ingin mengakhiri
hidupnya. Mereka menangkap Yahudi itu dan menawannya, namun berhasil meloloskan
diri.
Saudagar keturunan Yahudi
ini mencari suaka di sebuah peternakan bernama Al Malibed Ghusaiba yang dekat
dengan Al Arid (sekarang Riyadh). Di sana dia meminta suaka kepada pemilik
kebun tersebut untuk menyembunyikan diri dan melindunginya. Tuan kebun itu
sangat simpati lalu memberikan tempat kepadanya untuk berlindung. Tetapi, tidak
sampai sebulan tinggal di rumah pemilik kebun itu, kemudian Yahudi itu secara
biadab membantai tuan kebun bersama keluarganya. Sungguh tak tahu adat, memang,
air susu dibalas dengan tuba. Ketika itu, Mordakhai memang pandai beralibi, dia
katakan bahwa mereka semua telah dibunuh oleh pencuri yang menerobos masuk
rumahnya. Dia juga berpura-pura bahwa dia telah membeli kebun tersebut dari
tuan tanah sebelum terjadinya pembantaian tersebut.
Setelah merampas tanah
tersebut, dia menamakannya Al Dlir’iya yaitu nama tempat dari mana dia diusir
dan sudah ditinggalkannya. Kemudian Mordakhai dengan cepat mendirikan sebuah
markas dan tempat pertemuan bernama ‘Madaffa’ di atas tanah yang dirampasnya
tersebut. Di markaz inilah ia mengumpulkan para pahlawan dan kepala-kepala
propaganda (kaum Munafiq) yang selanjutnya mereka jadi ujung tombak propaganda
dustanya. Mereka mengatakan bahwa Mordakhai adalah Syekh kepada orang-orang
keturunan Arab yang disegani. Dia menabuh gendang perang terhadap Sheikh Shaleh
Salman At Taimi, sang musuh tradisionalnya. Akhirnya, Sheikh Salman tewas di
tangan anak buah Mordakhai di Masjid Al Zalafi.
Mordakhai pun berhasil dan
puas hati dengan aksi-aksinya. Dia berhasil membuat Dlir’iya sebagai pusat
kekuasaannya. Di tempat itu pulalah dia mengamalkan poligami, mengawini puluhan
gadis, melahirkan banyak anak yang kemudian diberi nama dengan nama-nama Arab.
Walhasil, kaum kerabatnya semakin bertambah dan berhasil menghegemoni daerah
Dlir’iya di bawah bendera Dinasti Saud. Mereka acapkali melakukan kejahatan,
menggalang beragam konspirasi untuk menguasai semenanjung Arab. Mereka
melakukan aksi perampasan dan perampokan tanah dan ladang penduduk setempat,
membunuh setiap orang yang mencoba menentang rencana mereka. Dengan beragam
cara dan trik, mereka melancarkan aksinya. Memberikan suap, memberikan
pemikat-pemikat wanita dan gratifikasi uang kepada para pejabat berpengaruh di
kawasan itu. Bahkan mereka ‘menutup mulut dan membelenggu tangan’ para sejarawan
yang mencoba menyingkap sejarah hitam dan merunut asal garis keturunan mereka
kepada kabilah Rabi’a, Anza dan Al Masalikh tersebut.
KELOMPOK WAHABI
Dan begitulah selanjutnya, seorang bernama Muhammad Amin At Tamimi (director/manager Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi) menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk keluarga Yahudi (keluarga Saudi) ini dan menghubungkan keturunan mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai imbalannya, ia mendapat sebesar 35.000 pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo, Mesir pada tahun 1362 H / 1943 M. Nama duta besar ini adalah Ibrahim Al Fadel. Seperti telah disebutkan di atas, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai) yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab tersebut telah melahirkan banyak anak. Dan saat ini, pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya dan mereka bertaut pada warisan pernikahan itu. Salah seorang anak Mordakhai bernama Al Maqaran (Mack Ren) memiliki anak bernama Muhammad dan anak yang lainnya bernama Sa’ud, dan dari sinilah Dinasti Saudi saat ini berasal.
Dan begitulah selanjutnya, seorang bernama Muhammad Amin At Tamimi (director/manager Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi) menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk keluarga Yahudi (keluarga Saudi) ini dan menghubungkan keturunan mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Sebagai imbalannya, ia mendapat sebesar 35.000 pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo, Mesir pada tahun 1362 H / 1943 M. Nama duta besar ini adalah Ibrahim Al Fadel. Seperti telah disebutkan di atas, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai) yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab tersebut telah melahirkan banyak anak. Dan saat ini, pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya dan mereka bertaut pada warisan pernikahan itu. Salah seorang anak Mordakhai bernama Al Maqaran (Mack Ren) memiliki anak bernama Muhammad dan anak yang lainnya bernama Sa’ud, dan dari sinilah Dinasti Saudi saat ini berasal.
Keturunan Saud (keluarga
Saud) pun memulai melakukan kampanye pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku
Arab dengan dalih mereka murtad, mengkhianati Islam, meninggalkan ajaran Al
Qur’an dan membantai mereka dengan mengatasnamakan Islam. Rakyat yang mencoba
bersuara memprotes kunjungan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang
Negara ini pun akan ditembak mati dan dipenggal lehernya. Di dalam buku sejarah
Keluarga Saud di halaman 98-101, misalnya, penulis pribadi sejarah keluarga
Saud menyatakan bahwa Dinasti Saud menganggap semua penduduk Najd menghina
Tuhan. Oleh karena itu, darah mereka halal, harta bendanya pun dirampas,
wanita-wanitanya dijadikan selir, tidak seorang Muslim pun yang dianggap benar
kecuali pengikut kelompok Muhammad bin Abdul Wahab.
Doktrin Wahabi memberikan
otoritas kepada keluarga Saud untuk menghancurkan desa dan penduduknya termasuk
anak-anak dan memperkosa wanitanya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan
anak-anak, kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan dengan
ajarannya yang kejam (brutal) tersebut untuk merampas semua harta kekayaan
milik orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran agama karena tidak
mengikuti ajaran Wahabi.
Keluarga Yahudi yang jahat
dan mengerikan ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama kelompok agama
palsu mereka (kelompok Wahabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi
untuk menabur benih-benih terror di dalam hati penduduk di kota-kota dan
desa-desa. Dan pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama semenanjung
Arab dengan nama keluarga mereka menjadi Saudi Arabia, seolah-olah seluruh
wilayah itu milik pribadi mereka dan penduduknya sebagai bujang atau budak
merdeka, bekerja keras siang dan malam untuk kesenangan tuannya, yaitu keluarga
Saudi.
Walhasil, mereka dengan
sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri itu seperti milik pribadinya. Bila
ada rakyat biasa yang mengajukan perlawanan atas kekuasaan sewenang-wenang
Dinasti Yahudi ini, dia akan dihukum pancung di lapangan terbuka. Seorang putri
anggota keluarga kerajaan Saudi beserta rombongannya sekali kesempatan
mengunjungi Florida, Amerika Serikat, dan menyewa 90 buah Suite Rooms di Grand
Hotel dengan harga $ 1 juta semalamnya. Rakyat yang mencoba memprotes kunjungan
sang puteri yang jelas menghamburkan uang Negara ini akan ditembak mati dan
dipenggal kepalanya.
FAKTA MENGGEMPARKAN
Sejumlah kesaksian yang meyakinkan menyatakan bahwa keluarga Saud merupakan keturunan Yahudi dan dapat dibuktikan dengan fakta-fakta berikut: Pada tahun 1960-an, pemancar radio ‘Sawtul Arab’ di Kairo, Mesir dan pemancar radio di San’a, Yaman, membuktikan bahwa nenek moyang keluarga Saud adalah dari keturunan Yahudi. Bahkan Raja Faisal tidak dapat menyanggah pernyataan itu ketika memberitahu kepada ‘The Washington Post’ pada tanggal 17 September 1969 dengan menyatakan bahwa, “kami (keluarga Saud) adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhan kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia adalah merupakan sumber awal Yahudi dan nenek moyangnya, lalu menyebar ke seluruh dunia”.
Sejumlah kesaksian yang meyakinkan menyatakan bahwa keluarga Saud merupakan keturunan Yahudi dan dapat dibuktikan dengan fakta-fakta berikut: Pada tahun 1960-an, pemancar radio ‘Sawtul Arab’ di Kairo, Mesir dan pemancar radio di San’a, Yaman, membuktikan bahwa nenek moyang keluarga Saud adalah dari keturunan Yahudi. Bahkan Raja Faisal tidak dapat menyanggah pernyataan itu ketika memberitahu kepada ‘The Washington Post’ pada tanggal 17 September 1969 dengan menyatakan bahwa, “kami (keluarga Saud) adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhan kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia adalah merupakan sumber awal Yahudi dan nenek moyangnya, lalu menyebar ke seluruh dunia”.
Pernyataan ini keluar dari
lisan Raja Faisal As Saud bin Abdul Aziz. Begitu pun Hafez Wahabi, penasehat
Hukum Keluarga Kerajaan Saudi menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul
‘Semenanjung Arabia’ bahwa Raja Abdul Aziz yang mati tahun 1953 mengatakan:
“pesan kami (pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi (lawan) dari suku-suku Arab,
kakekku, Saud Awal menceritakan saat menawan sejumlah Sheikh dari suku Mathir
dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk meminta membebaskan
semua tawanannya. Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk
memenggal kepala semua tawanannya, kemudian memalukan mereka dan menurunkan
nyali para penengah (orang yang ingin membuat negosiasi) dengan cara mengundang
mereka ke jamuan makan. Makanan yang disediakan adalah daging manusia yang
sudah dimasak, potongan kepala tawanan ditempatkan di atas piring”. Para
penengah atau negosiator itu pun menjadi terkejut dan menolak untuk makan
daging saudara mereka sendiri. Karena mereka menolak untuk memakannya, Saud
Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itu kejahatan yang sangat
mengerikan yang dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sebagai raja kepada
rakyat yang tidak berdosa karena kesalahan mereka menentang kebengisannya dan
memerintah dengan sewenang-wenang.
Hafez Wahabi selanjutnya
menyatakan bahwa berkaitan dengan kisah berdarah nyata yang menimpa Sheikh suku
Mathir dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta
pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz As Saud, yaitu
Faisal Ad Darwis, juga bukan isapan jempol semata. Diceritakan kisah
(pembunuhan Ad Darwis) tersebut kepada utusan suku Mathir dengan maksud untuk
mencegah mereka agar tidak meminta pembebasan pimpinan mereka. Jika tidak, akan
diperlakukan sama. Kesalahan Faisal Darwis waktu itu hanya karena dia
mengkritik Raja Abdul Aziz As Saud, yaitu ketika Raja menandatangani dokumen
yang disiapkan penguasa Inggris pada tahun 1922 sebagai pernyataan memberikan
Palestina kepada Yahudi. Tanda tangannya dibubuhkan dalam sebuah konferensi di
Al Qir tahun 1922.