Judul : Mengapa Kita Diciptakan?
Judul
Asli : Good of Life
Pengarang : Ayatullah Sayid Murtadha Muthahhari
Penerjemah : Mustamin
Al-Mandiri
Penerbit : RausyanFikr
Institute
Tahun
Terbit : 2012
Tebal
Buku : 109 hal
Menjelajah Pemikiran
Sayid Muthahhari Mengenai Tujuan Hidup
Manusia
Oleh
Elian CA
Ayatullah Sayid Murtadha
Muthahhari (selanjutnya, Prof. Muthahhari), adalah salah satu pribadi yang
unggul, dengan kemampuan inteleknya yang tinggi membuatnya mampu menyerap apa
yang disampaikan sang guru, seperti yang disebutkan Thabâthabâ’i, “kecerdasan
Muthahhari luar biasa dan semua kata-kataku kepadanya tidaklah sia-sia. Dia
menyerap segala yang kuajarkan padanya. Dia sangat saleh, penuh
perikemanusiaan, dan sangat bermoral”. Selanjutnya, “aku sungguh tidak tahu
bagaimana mengatakannya; kehadirannya dalam kuliah-kuliahku sedemikian
mencekamku sehingga ingin rasanya aku menari-nari kegirangan.[1]
Murid terdekat
Thabâthabâ’i dan Imam Khomeini ini Lahir pada 2 Februari 1920 di Fariman,
sebuah dusun – kini sebuah kotapraja – terletak enam puluh kilo meter dari
Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum Syi’ah yang besar di Iran Timur.[2] Tak terpisah sebagai kekhasan Prof.
Muthahhati pada karya-karya yang telah kami temukan, ia sering memulainya
dengan beberapa pertanyaan sebagai bentuk penegasan agar pembaca sedikit banyak
mendapatkan maksud dan tujuan dari pembahasan yang merupakan persoalan yang
ingin dijawabnya. Karya beliau pun terus berlanjut bagaikan air kehidupan yang
mampu memekarkan bunga-bunga intelektual, sehingga bagi yang membacanya tak
merasa jenuh melainkan menginnginkan karya selanjutnya.
Setiap saat, kita
beraktivitas demi kebutuhan hidup dan masa depan keluarga serta bangsa dan
Negara. Lalu apakah pernah terbesit pada benak kita, apa yang menjadi tujuan
hidup ini? Apakah kebutuhan akan suautu jabatan dan atau harta yang banyak
adalah tujuan, ataukah semua itu hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih tinggi? Apakah hidup ini adalah tujuan atau sarana menuju kepada
yang abadi, dan bagaimana dengan gerak kehidupan ini, apakah ia bergerak menuju
kesempurnaannya, aktualitasnya, atau ia statis dan berakhir dengan berakhirnya
gerak tubuh? Lalu mengapa harus berbuat baik dan tidak sebaliknya? Apakah
setiap pandangan bisa dikatakan “pandangan dunia” dan dapat mengantarkan kita
pada kesempurnaan dan tujuan yang hakiki atau tidak? Dan masih banyak lagi
pertanyaan mengenai tujuan hidup ini. Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab
Prof. Muthahhari pada karya ini dengan bahasa sederhana namun sangat mendalam
dan mencerahkan.
Tujuan Penciptaan
Pada pembahasan tujuan
penciptaan ini, Prof. Muthahhari
menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam, seseorang mesti pula menanyakan apa
filosofi dan tujuan diutusnya seorang Nabi. Tujuan diutusnya para nabi tak
lepas dari tujuan penciptaan manusia itu sendiri, mengajak dan membimbing
manusia untuk mengenal dan menemukan tujuan hidupnya yang hakiki. Dengan perantara seorang Nabi, manusia
memahami potensi (fitrah) yang ada pada dirinya dan mengaktualkan sesuai
dengan jalan yang benar.
Tujuan penciptaan itu
sendiri, seperti yang di utarakan Prof. Muthahhari, bukanlah demi kesempurnaan
atau keperluan Sang Pencipta, melaikan untuk kesempurnaan makhluk.
Penyempurnaan itu sendiri memiliki tahap-tahapan sebagai suatu proses, dan
terdapat perbedaan diantara setiap makhluk dalam tingkat penyempurnaannya.
Dapat dipahami bahwa salah satu tujuan diutusnya para
Nabi adalah “untuk membimbing manusia mencapai kesempurnaannya, dan membantunya
untuk mengatasi masalah yang dihadapinya baik secara individu maupun sosial”
dan itu hanya dapat dilakukan dengan bantuan wahyu ilahi sehingga dalam
perjalannya, manusia memperoleh kemudahan.
Selanjutnya, penyempurnaan
tersebut dan tujuan penciptaannya hanyalah menuju dan kembali kepada Rabb-nya.
Olehnya itu, manusia dituntut untuk mengenal fitrah yang ada padanya agar dapat
mengembangkan sesuai tujuan hidupnya. Pada pembahasan ini, Prof. Muthahhari
mengajukan beberapa konsep mengenai tujuan hidup dan kenabian, serta
membandingkannya dan menganalisisnya dengan kritis dan sempurna.
Landasan Etika Personal
dan Sosial
Setelah menjelaskan tujuan
penciptaan manusia, Prof. Muthahhari menjelaskan beberapa pandangan mengenai
individu (personal) dan hubungannya dengan masyarakat (social)
yang mengalami pergolakan. Sudah tentu, masyarakat akan mencari suatu sistem
yang akan digunakannya untuk mengatur lingkungannya demi kesejahteraan bersama.
Etika atau keadilan
menjadi berperan penting untuk mengatur suatu masyarakat. Di sini, terdapat
beberapa pandangan mengenai landasan etika yang dicetuskan oleh beberapa
pemikir yang oleh segelintir orang menjadikannya sebagai landasan dalam
bertindak, kemudian dipertanyakan dan dianalisis satu persatu sehingga
terlihatlah kebohongan serta nihil dari nilai luhur yang tersembunyi
dibalik topeng yang menutupi kekosongan itu.
Prof. Muthahhari menemukan
kelemahan-kelemahan di dalamnya, kemudian mengajukan suatu pandangan etika yang
berlandaskan Tauhid sebagai suatu sistem yang dapat mengatur kehidupan individu
dan masyarakat yang bertanggung jawab.
Agama Mazhab Pemikiran
dan Pandangan Dunia (World Vision)
Dalam BAB ini, Prof.
Muthahhari berbicara mengenai Agama sebagai Mazhab pemikiran dalam hubungannya
dengan pandangan dunia (world vision) dan membuktikan kebutuhan manusia
terhadap Agama dalam berideologi. Ideologi haruslah lahir dari pandangan dunia
yang menyeluruh terhadap manusia, masyarakat, alam dan sejarah dan pandangan
dunia yang memiliki landasan kerangka pikir (teori pengetahuan; epistemologi)
yang kokoh pula.[3]
Seperti halnya pandangan
dunia empiris yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak mengakui adanya sisi
non-material manusia, memandang alam ini hanya pada bagian tertentu dan berubah
sesuai zaman yang ada sehingga tidak dapat dijadikan sebuah ideologi dalam
mengarungi kehidupan yang harmonis, untuk mencapai tujuan yang hakiki. Suatu ideologi semestinya mampu menumbuhkan
kasih sayang dan keharmonisan pada kehidupan serta memiliki rasa tanggung jawab
pada setiap individu, memiliki landasan yang logis dan berlaku universal.
Mereka (kaum materialis),
menganggap kekacauan dan penindasan diakibatkan oleh faktor material semata,
dalam hal ini adalah ekonomi. Sehingga, mereka ingin menghapuskan kepemilikan
pribadi agar tercipta masyarakat tanpa kelas –karena inilah yang menurut kaum
materialis adalah masyarakat yang ideal. Namun, pemikir ulung Prof. Muthahhari
membuktikan kelemahan dan kegagalan mereka dalam merumuskan suatu sistem
sosial, baik itu ekonomi, politik, moral dan semacamnya kecuali hanya menyentuh
kulit-kulitnya saja.
Selain itu, ada pula yang
memandang kebebasan manusia sebagai sentral ideologi, seakan-akan dengan
memberikan dukungan kepada setiap individu untuk bertindak dengan hasrat
hewaninya sebagai suatu makhluk yang memiliki kebebasan adalah kesempurnaannya.
Akan tetapi, semua itu hanyalah celoteh yang tak berdasar semata, mereka tidak
mampu memahami arti kebebasan dan tanggung jawab. Hal ini terlihat dari
argumen-argumen yang dipaparkan oleh Prof. Muthahhari.
Muthahhari pun menjelaskan
hal-hal yang terkait dengan tauhid dan membagi tingkatan-tingkatan tauhid
menjadi tauhid zat, tauhid sifat, tauhid perbuatan dan
yang terakhir adalah tauhid penghambaan. Yang belakangan adalah aspek
praktis sedangkan tiga sebelumnya adalah teoritisnya. Penjelasan terhadapnya
memperlihatkan Ke-Esa-an Sang Khaliq dan kebutuhan kita terhadapnya agar
tercapai masyarakat yang ideal, bersatu pada jiwa dan raga menuju cita-cita
yang satu. Sebagai lawannya adalah kemusyrikan yang juga memiliki tingkatan
sebagaimana tauhid, dan menjadi penyakit dalam lingkungan kehidupan, melemahkan
sisi spiritualitas masyarakat.[4]
Pada akhirnya, kebutuhan
akan Tauhid ( dalam hal ini agama Islam yang benar) merupakan hal yang tak
terelakan lagi, karena ia merupakan jalan mencapai tujuan yang hakiki.
Islam dan Penyempurnaan
Manusia
Awal pembahasan (BAB Awal)
mengenai tujuan penciptaan, penjelasan yang diberikan adalah mengenai tujuan
hidup serta penciptaan. Penciptaan tersebut bukanlah untuk Pencipta melainkan
untuk makhluk itu sendiri dan demi kesempurnaannya.
Berbeda dengan sebelumnya,
pada bagian ini Muthahhari akan berbicara mengenai kesempurnaan dalam beberapa
pandangan, menyikapinya dan menjelaskan seperti apa kesempurnaan itu dan apa
ukuran atau kriteria dari kesempurnaan, apakah setiap makhluk memiliki kesamaan
atau terdapat perbedaan pada tingkat kesempurnaan (seperti yang telah kami
singgung)? Lalu bagaimana cara mengetahui kesempurnaan manusia, apakah kita
harus mengenali fisiknya atau sesuautu yang lain.
Untuk mengawalinya, Prof.
Muthahhari mempertanyakan tentang iman, apa yang dimaksud dengan iman. Beliau
mengatakan bahwa iman, pertama, adalah keyakinan kepada Allah. Kedua,
iman tersebut mencakup kepercayaan kepada (keberadaan) malaikat,
kitab-kitab Allah, para nabi, hari kebangkitan, dan lain-lain. Dari sini muncul
pertanyaan baru, apakah iman adalah karunia bagi manusia, atau sesuatu yang
bermanfaat? Kemudian Prof. Muthahhari menjelaskan maksud dari karunia dan
manfaat yang dimaksud, bawa “karunia adalah sesuatu yang masih memerlukan
penyempurnaan dalam dirinya sendiri, sementara sesuatu yang bermanfaat, sudah
pasti baik karena manfaat yang diberikannya.
Setelah mempertanyakan
iman, dilanjutkan dengan persoalan, hal-hal yang dipersyaratkan bagi
penyempurnaan manusia untuk selanjutnya mengetahui kedudukan iman dalam
hubungannya dengan kesempurnaan.
Seperti biasa, Prof.
Muthahhari selau mendeskripsikan dan mengkomparasi pandangan yang terkait pokok
bahasannya kemudian setelah memberi sanggahan terhadapnya, mulailah beliau
menyuguhkan suatu pandangan yang telah disiapkan. Penjelasan terkait, terdapat
lima pandangan mengenai kesempurnaan manusia. Di sini terlihat dengan jelas
bahwasannya pandangan yang mereka ajukan tak lebih seperti perkembangan yang
tidak sempurna pada organ tertentu makhluk hidup dan mengalami kecacatan disana
sini. Mereka hanya mengambil bagian-bagianya dan melihat dari sudut pandang
yang berbeda. Hal ini diakibatkan pandangan yang terbatas dan tidak menyeluruh,
sehingga mengira di situlah letak kesempurnaan manusia. Tentu, penafsirannya
pun berbeda, misalnya, konsep kekuatan atau kekuasaan yang dipahami Nietzsche
berbeda dengan pandangan Islam dan perbedaan tersebut yang pertama tidak
diakuinya, sisi spiritual manusia.
Tauhid Islam
Akhirnya, sampai pada
penghujung bahasan, di sini Prof. Muthahhari menampilkan kembali
pandangan-pandangan terkait kesempurnan manusia secara sistematis,
perbincangkan kembali keimanan dan Tauhid serta kebutuhan manusia akan keadilan
di alam dan berakhir pada yang satu, yaitu Tauhid, iman kepada Allah yang
menjadi tujuan tertinggi manusia. Prof Muthahhari memperlihatkan keterhubungan
kesemua pembahasan ini yang bermuara pada satu titik yang abadi, seperti yang
disebutkannya (hal. 105-106):
Iman kepada Allah adalah
tujuan itu sendiri. Adanya iman dan semua pengaruhnya dalam hidup manusia
menjadikan iman sebagai penghubung antara manusia dan Allah. Dan Islam
memandang, hubungan seperti inilah yang menjadi jalan dalam proses
penyempurnaan kemanusiaan, jalan yang tanpa batas dalam perjalanan manusia
kembali ke asalnya.
Seperti itulah
pencerahan-pencerahan yang diberikan Prof. Muthahhari, yang tidak bersifat
dokriner melainkan dapat diterima oleh orang yang memiliki akal dan tidak
fanatik buta. Walaupun dengan jumlah halaman yang dapat dikategorikan tipis dan
ukuran buku yang standar, namun buku ini sangat penting untuk dibaca tanpa
dikhususkan pada kelas tertentu. Terlepas dari hal tersebut, penyajiannya
dilakukan secara terstruktur, sistematis dan komprehensif namun tak sulit untuk
dicerna. Pada bagian akhir, dicantumkan indeks yang berisi nama tokoh, mazhab
dan semacamnya guna memudahkan pencarian. Untuk itu, kami sarankan kepada siapa
saja yang ingin memahami tujuan dan arti hidup yang bermakna untuk mencapai
kesempurnaan agar tidak melewatkan karya pemikir besar ini. Selamat
membaca!
Catatan:
[2] Lihat Filsafat
Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra Karya Muthahhari pada bagian
pendahuluan, dan Juga buku Para Filosof: Sebelum dan Sesudah Shadra
karya Muhsin Labib.