oleh Sulaiman Djaya,
esais & penyair
Kemusliman saya mulanya
karena saya lahir di keluarga muslim: karena tradisi dan pewarisan, di mana
‘pewarisan’ itu sudah dimulai sejak balita ketika saya mulai diajari membaca
Quran dan melafalkan beberapa sholawat oleh ibu saya sendiri. Belakangan baru
saya tahu, setelah memasuki pesantren, bahwa Islam yang dipraktikkan oleh ibu
saya sendiri dan tradisi yang hidup di kampung saya adalah ‘Tradisi Islam’ yang
disebarkan dan dimapankan oleh para ‘ulama, ustad, kyai dari gerakan tarekat Qadiri-Naqshabandi
yang mempraktikkan marhabanan, dalailan, maulidan, pembuatan bubur Syuro pada
10 Muharram (bubur merah dan bubur putih) dan yang lainnya.
Orang tua saya juga
berpesan di waktu saya masih remaja itu agar tak sampai terbawa pemahaman
Muhammadiyah dan PERSIS yang menurut mereka suka ‘usil’ dan acapkali mengkritik
tradisi-tradisi seperti ngariung, tahlilan, haulan bahkan peringatan maulid
Nabi.
Kemusliman saya yang
karena tradisi dan pewarisan itu memang adalah fondasi pertama yang
sesungguhnya diletakkan bukan oleh saya sendiri, tapi oleh orang lain, sebelum
akhirnya saya mengalami pergulatan dan peziarahan yang sifatnya intelektual
secara personal dalam dunia teks dan buku-buku.
Sejalan dengan itulah,
saya pun kemudian menjadi paham dengan pesan orang tua saya agar tidak
ikut-ikutan PERSIS dan Muhammadiyah, karena setelah berkenalan dengan literature
(buku-buku) politik dan sejarah Islam, dua organisasi itu yang paling
terpengaruh doktrin, pemikiran dan gerakan Wahabi sejak tahun 80-an hingga
90-an.
Ternyata yang
dikhawatirkan orang tua saya adalah Wahabi yang memang di jaman itu menganggap
syirik orang yang berziarah ke makam para ulama dan wali, menganggap syirik
orang yang mencium pagar makam Kanjeng Nabi, dan bahkan seorang ustadz di
kampung saya kemudian memberitahu saya bahwa dalam segi akidah, Wahabi
mempercayai Tuhan punya wajah dan tangan serta bertempat, padahal menurutnya
Tuhan itu mukhalafatu lil hawaditsi (tak serupa dengan makhluk) dan jika
bertempat maka tempat itu lebih besar dibanding Tuhan itu sendiri.
Namun tentu saja saat ini
keadaannya tak lagi sama. Sebagai contoh saat Muhammadiyah dipimpin Syafii
Ma’arif dan kemudian Din Syamsuddin, banyak anggotanya yang cenderung moderat
dan tak memiliki kecendrungan takfiri di mana kecendrungan takfiri ini sempat
digantikan posisinya oleh banyak oknum PKS (yang mana partai ini sesungguhnya
masih dicurigai berciri dan berideologi keagamaan Wahabi). Begitu pun PERSIS,
barangkali sudah tak lagi sama dengan PERSIS yang dulu.
Lalu seterusnya,
kemusliman saya (setelah karena pewarisan dan tradisi), membuat saya ingin
mengetahui dan membaca lebih banyak, karena berdasarkan pengalaman yang sedikit
itu saja sudah memberi tahu saya bahwa Islam sejak kehadirannya di abad ke-7 Masehi
sampai ketika saya mengenalnya telah berjalan dan berlangsung belasan abad
sehingga mustahil tak terjadi apa-apa selama perjalanannya yang lama dan sangat
panjang itu.
Beruntungnya, setelah
lulus pesantren, saya diterima di IAIN Banten dan di IAIN Jakarta (yang kini
keduanya telah menjadi UIN) ketika mendaftar di dua perguruan tinggi Islam itu,
dan entah atas pertimbangan dan motivasi apa, saya memilih IAIN (UIN) Jakarta.
Di Jurusan Perbandingan
Agama Fakultas Ushuluddin itu melalui sejumlah buku yang saya baca di
perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Kampus, saya jadi mengetahui
aliran-aliran (mazhab-mazhab dalam Islam) seperti Murjiah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Maturidiyah, Jabariah, dan Syi’ah. Beberapa buku yang saya baca itu
cenderung menilai minus Murjiah, Mu’tazilah, dan Syi’ah yang justru membuat
saya bertanya benarkah beberapa buku yang saya baca itu objektif dan justru membuat
saya ingin mengetahui lebih jauh.
Adalah sebuah kebetulan,
yang barangkali juga takdir, kemudian saya membaca buku-buku yang ditulis Ali
Syari’ati dan Murtadha Muthahhari serta buku-buku lain yang ditulis para
penulis yang menganut Mazhab Ahlulbait (Syi’ah 12 Imam Itrah Rasul) yang diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indonesia dan ada di perpustakaan Kampus dan Perpustakaan Iman
Jama’ di kawasan Jakarta Selatan. Saya pun jadi tahu Syi’ah yang dianggap buruk
dan sesat oleh banyak orang di Indonesia itu dari para penulis Syi’ah sendiri
yang justru sangat cemerlang dan sangat rasional dan meyakinkan. Sejak itulah
saya percaya kebenaran tetap kebenaran meski pengikutnya minoritas.
Kebetulan lainnya ketika
itu pamor dan aura Revolusi Islam Iran masih sangat kuat di kalangan akademisi
dan politisi. Sebenarnya, ketika saya membaca buku-buku Mazhab Ahlulbait itu
kemudian saya pun jadi tahu bahwa ada penganut Mazhab Ahlulbait di Indonesia
yang sebelumnya tidak saya ketahui.
Berkat
perjumpaan-perjumpaan dan peziarahan-peziarahan dengan dunia teks dan dunia
buku itu, saya pun kemudian memandang positif Mu’tazilah yang dipandang negatif
Asy’ariyah (teologinya kaum Sunni) sebagai kaum rasionalis Islam yang berusaha
memberikan pencerahan kaum beragama dalam domain intelektual dan pemikiran yang
menjadi konsen mereka dan saya pun dengan mantap 100 % menolak Jabariah yang
berpandangan bahwa segala perbuatan dan tindakan manusia ditentukan Tuhan.
Sebab jika segala perbuatan dan tindakan manusia telah ditentukan Tuhan,
berarti manusia tak berhak masuk surga atau neraka, tetapi mestinya Tuhan itu
sendiri.
Kaum Jabariah dengan
kedunguan mereka yang luar biasa mengingkari bahwa setelah Tuhan memberikan
petunjuk dan penerangan yang diantaranya lewat pengutusan para Nabi dan para
Rasul, di saat itulah manusia bebas untuk menentukan sendiri apakah ia akan
melakukan kebajikan atau keburukan, yang bahkan bagi segelintir orang
Mu’tazilah bahwa ketika manusia dianugerahi akal pada saat itu manusia mestinya
sanggup membedakan mana yang bajik dan mana yang buruk.
Sebenarnya sebelum
berjumpa dengan tulisan-tulisan dan buku-buku yang ditulis para filsuf Syi’ah,
saya telah menjadi ateis untuk hampir dua tahun sejalan dengan keakraban saya
pada buku-buku kaum liberal yang membuat saya ragu dengan otentisitas Islam dan
kema’shuman Kanjeng Nabi karena menurut kaum liberal dan sejumlah kaum Sunni
Kkanjeng Nabi tak luput dari salah.
Hal itu berlanjut dengan
meragukan agama dan Tuhan sejalan dengan keintiman saya dengan tulisan-tulisan
dan buku-buku kaum atheis dan kaum materialis-positivis dari Eropa dan Amerika.
Beruntunglah saya berjumpa
dengan akidah Syi’ah yang memberi saya kepuasan batin sekaligus kepuasan
intelektual karena kekuatan padunya yang menyeimbangkan dan memadukan
rasionalitas dan spiritualitas.
Dalam narasi kaum Liberal,
Sunni dan Wahabi misalnya ada kisah dan dongeng bahwa wahyu membenarkan Umar
dan menyalahkan Kanjeng Nabi. Saat membaca narasi yang demikian, saya
berkesimpulan jika seorang rasul tidak terjaga dari kesalahan, betapa rentan ia
dari subjektivitas dan kontaminasi sebagai pengemban risalah suci, sebagaimana
air yang suci bersih akan menjadi kotor jika ditempatkan di wadah yang kotor.
Padahal di saat kemudian
saya tahu, kenyataan sejarah Islam menunjukkan Umar tak pernah sanggup menjawab
polemik dan pertanyaan-pertanyaan sangat sulit yang diajukan Kaum Yahudi dan
Kaisar Bizantium yang menunjukkan bahwa Umar bukan orang cerdas seperti yang
didongengkan itu, sehingga dalam keadaan demikian, beberapa sahabat semisal
Salman, Ibn Abbas, Abu Dzar, dan lainnya acapkali harus menghadapkan Kaum
Yahudi itu ke Sayidina Ali atau memanggil Sayyidina Ali yang memang sanggup
menjawab dan membuat heran Kaum Yahudi yang dengan demikian Sayydina Ali telah
menyelamatkan wibawa Islam.
Umar juga dianggap oleh
kaum Sunni dan Wahabi sebagai jawara hebat. Hal lucu lainnya. Karena kenyataan
sejarah menunjukkan Umar kabur dalam beberapa perang seperti dalam Perang
Hunain dan Perang Uhud dan hanya Sayyidina Ali yang tak pernah kabur dalam
perang, bahkan Sayyidina Ali selalu menang ketika menjadi komandan seperti saat
menjadi komandan di Badar. Jawara-jawara Arab yang tak terkalahkan juga bukan
dikalahkan oleh Umar, tapi oleh Sayyidina Ali seperti Amr bin Abdul Wudd dari
kalangan oligarkhi Qurays dan Harits sang jawara Yahudi di Khaibar.
Barangkali Umar, ini hanya
barangkali saja dan boleh ditolak secara gamblang jika Anda tidak setuju,
memang prototipe atau ‘percontohan’ watak dan karakter kaum Liberal dan Wahabi
yang pengetahuan Islamnya tidak mendalam tapi sering protes dan gandrung
menafsirkan sendiri agama. Catatan sejarah Islam menunjukkan Umar pernah
meragukan kerasulan Kanjeng Nabi kepada Abu Bakar dan segera saja Abu Bakar
menepisnya. Hal itu berbeda dengan Sayyidina Ali sebagai pewaris Islam otentik
Kanjeng Nabi karena Sayyidina Ali adalah anggota rumah-tangga Kanjeng Nabi
(Ahlulbait) yang Kanjeng Nabi selalu meminta Sayyidina Ali untuk menuliskan
wahyu saat turun dan disampaikan kepada Kanjeng Nabi dan mengajarkan makna
lahir-bathinnya.
Yang lainnya lagi, sebagai
contoh kelucuan pula, dalam narasi Islam-nya Fazlur Rahman dan Karen Armstrong
Kanjeng Nabi digambarkan dan dikutipkan sebagai ‘ayan dan ketakutan saat
menerima wahyu. Jika Kanjeng Nabi ‘ayan sungguh berbahaya sekali bagi kesehatan
ruhaniahnya sebagai seorang utusan, dan jika Kanjeng Nabi ketakutan, berarti
saat beliau menerima wahyu bukan atas dasar kesadaran.
Kang Jalal (Dr. KH.
Jalaluddin Rakhmat) yang tulisan dan orasinya selalu enak disimak itu,
mengkritisi hal-hal di atas. Dan secara umum, akidah Syi’ah meyakini Kanjeng
Nabi itu ma’shum, terjaga dari salah dan dosa. Jangankan berbuat ma’shiyat,
niat berbuat ma’shiyat saja tidak. Dan tentu saja, Kanjeng Nabi itu bukan orang
bodoh, melainkan sangat jenius. Syi’ah menggambarkan Kanjeng Nabi sebagai Insan
Kamil (manusia paripurna). Di saat non-Syi’ah menganggap Kanjeng Nabi bisa
salah dan lupa. Sungguh aneh tapi nyata adanya di kalangan sebagian muslim.
Lalu kemudian ada pula
dongeng di kalangan masyarakat yang fanatik kepada Syekh Abdul Qadir Jilani
bahwa Kanjeng Nabi bisa sampai di puncak mi’raj berkat bantuan (ruh) Syekh
Abdul Qadir Jilani (sebelum dilahirkan ke dunia). Sebuah dongeng yang
mencerminkan kedunguan yang luar biasa karena dengan dongeng dan
takhayul-khurafat itu seakan-akan Syekh Abdul Qadir Jilani lebih hebat
dibanding Kanjeng Nabi. Sebuah dongeng yang mencerminkan Islam sebagai agama
takhayul dan khurafat bukannya agama yang mencerahkan dan mencerdaskan.
Pemitosan dan takhayul
yang berlebihan kepada figur-figur selain Kanjeng Nabi yang tak sesuai
kenyataan itu karena memang ada sejumlah narasi yang merendahkan Kanjeng Nabi.
Wajar jika kaum orientalis kemudian mengutipnya karena tradisi Islam
menyediakannya. Misalnya ada hadits (riwayat) palsu yang menarasikan Kanjeng
Nabi bermimpi tidur di pangkuan istri sahabat dan menggendong Aisyah untuk
menonton Sirkus Sudan. Sungguh terlalu!
Masih banyak narasi
lainnya yang bertendensi merendahkan Kanjeng Nabi dalam tradisi Sunni. Semisal
narasi yang ditulis sejarahwan Sunni yang kemudian dikutip Martin Lings
(muallaf Sunni) dalam buku Muhammad-nya bahwa Kanjeng Nabi dibelah dadanya oleh
Jibril untuk disucikan karena hatinya pernah disentuh Setan dan hanya Nabi Isa,
demikian dinarasikan buku Muhammad-nya Martin Lings itu yang hatinya tidak
disentuh Setan. Narasi yang demikian tentu saja secara jelas menyatakan bahwa
Nabi Isa lebih mulia ketimbang penghulu para Rasul, yaitu Kanjeng Nabi.
Narasi lucu lainnya dalam
tradisi dan narasi Sunni misalnya dikisahkan bahwa saat Kanjeng Nabi mi’raj, ia
diminta Nabi Musa untuk bernegosiasi dengan Tuhan untuk mengurangi jumlah
rakaat sholat. Dan Kanjeng Nabi pun harus bolak-balik beberapa kali. Padahal,
saat mi’raj Kanjeng Nabi langsung mendapatkan perintah sesuai dengan jumlah
waktu dan rakaatnya dan tak ada negosiasi bolak-balik seperti yang sering
disampaikan para penceramah Sunni saat peringatan Isra Mi’raj.
Kedunguan lainnya adalah
diterimanya narasi Jabariah ciptaan tiran Ummawi di kalangan muslim non-Syi’ah,
semisal bahwa Zulkarnain atas Kehendak Tuhan sanggup mengikatkan tunggangannya
ke langit. Sebuah kedunguan lain yang luar biasa!
Hal-hal yang demikian bila
kita teliti dan telaah literatur, sejarah dan tradisi Islam, akan memberikan
kedewasaan ilmiah bagi ummat Islam. Sehingga hal memperihatinkan semisal banyak
orang-orang awam berani menuduh sesat sesama muslim karena terhasut
ceramah-ceramah ustadz-ustadz takfiri dan propaganda politis atas dasar
kepentingan politik global Barat (Amerika dkk) yang belakangan ini merasa
memiliki kepentingan untuk menyerang Islam Syi’ah, dapat dikurangi. Sebab
pengaruh Islam Syi’ah dari Negara tertentu bisa menghidupkan kesadaran
perlawanan terhadap hegemoni global Barat (Amerika dkk).
Bisa dikatakan, mayoritas
muslim di Indonesia adalah mereka yang buta pada konstelasi dan kompetisi
politik global. Sehingga mereka rentan dan mudah sekali terhasut propaganda
yang disebarkan melalui ustad-ustadz dan media-media yang bekerja sesuai dengan
selera dan kepentingan Barat.
Tapi sesungguhnya saya
memiliki spekulasi lain: kenapa mayoritas muslim di Indonesia lebih cenderung
menyukai ustadz-ustadz yang mirip pelawak dan abal-abal seperti Abdul Somad
yang menyatakan bahwa virus Corona adalah tentara Allah, Adi Hidayat yang
menyatakan diri bisa memasukan Prabowo ke Surga, Bachtiar Nasir yang promosi
dan meminun air kencing unta, Felix Siauw sang promotor khilafah, Irene Handono
yang jualan dengan cara menjelek-jelekkan agama yang dulu dianutnya dan yang sejenis
mereka itu seperti Teungku Zulkarnain, AA Gym, dan Haikal Hassan, mungkin
karena mayoritas muslim Indonesia yang banyak kurang sejahtera lebih
membutuhkan hiburan ketimbang agama dan kurang bisa memaksimalkan nalar mereka
karena mereka masih terlalu bermasalah dengan perut mereka. Dan spekulasi ini
tentu saja bisa salah.
Perebutan Kekuasaan
Paska Wafatnya Kanjeng Nabi
Di perpustakaan Forum
Mahasiswa Ciputat (FORMACI), sewaktu saya masih aktif mengikuti darsah dan
kajiannya bersama teman-teman mahasiswa yang lain, saya menemukan buku Saqifah
yang ditulis oleh O. Hashem. Buku itu mencuri minat dan perhatian saya karena
sub-judulnya: Awal Perselisihan Umat. Segera saja buku yang mulai kusam itu
saya baca, dan segera saya pun jadi tahu kemelut perebutan kekuasaan di saat
Kanjeng Nabi Wafat, meski Kanjeng Nabi telah menetapkan Sayidina Ali sebagai
pemimpin penggantinya berdasarkan perintah wahyu ayat 67 Surah Al-Maidah yang
turun di Ghadir Khum saat Haji Wada’ yang beliau umumkan di hadapan jamaah haji
saat itu.
Peristiwa Saqifah adalah
kudeta pertama dalam sejarah Islam, ketika Umar dkk mengkudeta Sayidina Ali di
saat Sayidina Ali, Sayidah Fatimah, Imam Hasan, Imam Husain dan lainnya sedang
sibuk mengurus jenazah Kanjeng Nabi. Sungguh luar biasa! Di saat Kanjeng Nabi
wafat, mereka malah mengadakan konferensi Saqifah untuk mendirikan kekhilafahan
bukannya mengurus jenazah Kanjeng Nabi.
Sayidah Fatimah dan
sejumlah sahabat yang pro Sayidina Ali tentu saja menolak khalifah hasil
Konferensi Saqifah, semisal Salman, Abu Dzar, Malik Asytar, Bilal dan yang
lainnya dan mereka mengusulkan untuk memerangi kelompok Saqifah namun dicegah
dan dilarang oleh Sayidina Ali karena hanya akan menciptakan perang saudara. Tapi
apa lacur. Umar, Khalid bin Walid dkk memaksa ba’iat Sayidah Fatimah
sampai-sampai mereka membakar dan mendobrak pintu rumah Sayidah Fatimah hingga
menyebabkan luka, yaitu patahnya tulang rusuk Sayidah Fatimah, yang harus
ditanggung oleh Sayidah Fatimah dengan rasa sakit selama 75 hari sisa hidupnya
sebelum wafat paska wafatnya Kanjeng Nabi.
Buku yang ditulis oleh O.
Hashem itu membuat saya ingin melakukan kajian pustaka yang lainnya: apakah
peristiwa Saqifah dicatat oleh buku-buku lain. Dan ternyata sejumlah buku
Sejarah Islam membenarkan peristiwa Saqifah tersebut. Tradisi Sunni atau Kaum
Asy’ariyah-Maturidiyah menutupi sejarah Islam ini. Saya tidak tahu alasannya.
Tapi yang pasti, setelah saya tahu dan kemudian melakukan kajian pustaka
lanjutan, banyak penulis, perawi dan sejarahwan Sunni sendiri sebenarnya
mencatat peristiwa tersebut dalam kitab-kitab mereka, tapi secara tradisi
sejarah tersebut tidak diinformasikan di kalangan umat.
Peristiwa tersebut membuat
saya kemudian meragukan klaim kaum Asy’ariyah-Maturidiyah (Sunni) bahwa semua
sahabat itu ‘adil. Klaim yang tidak logis dan menentang fitrah memang. Karena
manusia dari dulu sampai sekarang tak pernah sama maqom dan derajatnya karena
ikhtiar dan kapasitasnya pun tidak-lah sama.
Kaum Sunni memiliki suatu
pandangan bahwa seluruh sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Al-Mustafa (tanpa
kecuali) adalah contoh-contoh dan suri teladan yang patut kita teladani dan
mereka itu pada masa hidupnya tak tersentuh oleh nafsu duniawi, mereka bersih
dari dosa, mereka tidak serakah dan senantiasa berbuat baik. Mereka juga memiliki
pandangan bahwa semua sahabat itu saling mencintai satu sama lainnya, mereka
bekerja sama untuk menuju cita-cita Islam, mereka jauh dari saling membenci dan
saling iri hati satu sama lainnya. Akan tetapi pandangan itu ternyata jauh
panggang dari api. Sebuah klaim ahistoris yang tak mendidik.
Pandangan itu tidak sesuai
dengan kenyataan sejarah. Memang, kita sebenarnya berharap bahwa hal itu benar,
akan tetapi fakta-fakta dan bukti-bukti sejarah malah tidak mendukung sama
sekali apa yang sudah diyakini sebagai kebenaran –yang ternyata politis ini.
Fakta-fakta sejarah yang kejam merobek-robek pandangan-pandangan itu, sehingga
orang-orang yang mengagumi para sahabat akan terhenyak di kursinya apabila
kenyataan sejarah yang sebenarnya sampai pada mereka semua.
Mereka hampir-hampir
semuanya tidak sanggup menerima kenyataan bahwa keutamaan-keutamaan para
sahabat yang mereka kagumi hanyalah mitos belaka. Seorang pengagum yang paling
fanatik pun tidak bisa menyangkal bahwa ada pergulatan kekuasaan diantara para
sahabat yang memuncak bahkan sebelum Rasulullah dikebumikan sekalipun. Mereka
tidak bisa menyangkal sedikitpun bahwa pergulatan politik seperti itu memang
ada dan pernah terjadi.
Oleh karena itu,
bukti-bukti sejarah yang melimpah yang tertulis dalam berbagai buku sejarah
Islam yang standar itu bisa kita pakai untuk merekonstruksi sejarah,
merekonstruksi pandangan kita terhadap para sahabat, merekonstruksi keyakinan
kita akan Islam karena dari para sahabatlah kita mendapatkan Islam. Sedangkan
para sahabat itu tidak semua bisa kita percayai sesuai dengan apa yang kita
lihat dalam sejarah.
Tidak masuk akal sehat
kita apabila para sahabat itu sama semua dari segala aspeknya termasuk aspek
keimanan dan ketakwaan. Bahkan para Nabi pun memiliki berbagai tingkatan
ruhaniah, apalagi para sahabat yang hanya manusia biasa. Tidak ada dua orang
yang memiliki semua tingkat keimanan dan ketakwaan yang serupa.
Ketika mereka menerima
Islam sebagai agama mereka, para sahabat Nabi itu adalah manusia biasa dan
mereka memiliki preferensi yang berbeda-beda terhadap Islam. Masyarakat Islam
yang ada pada waktu itu sama saja dengan yang ada pada hari ini. Masyarakat
Islam pada waktu itu terdiri dari berbagai umat manusia dengan setiap karakter
yang berbeda-beda.
Setelah memeluk Islam,
beberapa dari mereka sanggup mencapai derajat keIslaman yang tinggi bahkan
mencapai ke-ma’shuman seperti contohnya Sayidina Ali, sedangkan yang lainnya
tetap sama—keadaan sebelum dan sesudah masuk Islam sama saja. Adapun penolakan
Kaum Sunni terhadap Ghadir Khum dan pengangkatan Sayidina Ali sebagai pemimpin
pengganti Kanjeng Nabi, contohnya disindir oleh Ayatullah Montazeri:
Ada seorang alim Syiah
melewati kelompok Sunni. Mereka meminta agar alim Syiah itu bermalam di rumah
mereka. Ia menyatakan kesediaannya dengan syarat tidak terjadi diskusi mazhab.
Usai makan malam, berkatalah salah seorang ulama Sunni, “Bagaimana pendapatmu
tentang Abu Bakar?” Ia menjawab, “Abu Bakar adalah muslim yang utama, salat,
saum, haji, bersedekah, dan menyertai Nabi saw.” Kata alim Sunni, “Bagus,
teruskan.” Alim Syiah itu berkata, “Secara singkat, Abu Bakar itu lebih utama
dan lebih cerdas dari Rasulullah saw.” Orang yang hadir takjub mendengar itu
dan berkata, “Mengapa engkau berkata seperti ini?” Orang Syiah itu berkata,
“Rasulullah saw memerintah kaum muslimin selama 23 tahun tetapi ia tidak pernah
memikirkan wajibnya dan pentingnya mengangkat khalifah. Abu Bakar hanya
memerintah kurang dari tiga tahun tetapi ia mengerti dan memahami pentingnya
seorang khalifah. Dengan begitu, niscaya Abu Bakar lebih cerdas dari Nabi saw.”
Sindiran itu hanya ingin
mengatakan betapa mustahil dan tidak mungkinnya bila Kanjeng Nabi tak
memikirkan masa depan ummatnya sehingga ia tidak menyiapkan pemimpin
penggantinya yang sangat layak dan utama. Orang yang memang dalam kenyataan
sejarah lebih utama daripada para sahabat lainnya.
Sementara itu, dalam
sejarah Islam awal, Umar bin Khattab dkk dikenal sebagai kaum dan kelompok yang
menciptakan permusuhan dan perpecahan di kalangan ummat Islam. Ada bahkan yang
menyebut mereka sebagai kaum penyerobot. Sebenarnya pembangkangan Umar bin
Khattab, sebagaimana dicatat Ibn Abbas dan para sahabat lainnya, sudah ia
demonstrasikan saat menentang permintaan Kanjeng Nabi kala sakitnya di
pembaringan untuk didatangkan kertas dan pena di mana Kanjeng Nabi akan menulis
wasiat dengan kertas dan pena itu. Saat itu Umar bin Khattab berkata, “Orang
ini meracau….Kitab Allah adalah cukup bagi kita…” Perkataan Umar bin Khattab
itu pun menimbulkan kegaduhan dan perpecahan di kalangan para sahabat yang ada kala
itu dan contoh sikap kurang ajar sehingga Kanjeng Nabi mengusir Umar dan
kelompoknya dari rumah Kanjeng Nabi.
Selain itu, perkataan
Umar bin Khattab itu dengan jelas telah memisahkan Kitab Allah dengan Nabi
SAW ketika dia berkata di hadapan Kanjeng Nabi Saw: “Kitab Allah adalah cukup bagi kita”.
Kata-kata Umar itu secara langsung merendahkan martabat Kanjeng Nabi Saw.