oleh Andre
Vltchek* (Diterjemahkan oleh Crista
Priscilla)
Mungkinkah dua orang, tidak peduli bagaimana
besar dedikasi dan kejujuran yang mereka curahkan, menyelamatkan kota dengan
penduduk dua belas juta orang yang sudah bertahun-tahun terlihat dan berbau
seperti bangkai busuk? Dapatkah mereka mereformasi sistem kapitalis biadab yang
sudah memakan seluruh area perkotaan tersebut dan bahkan seluruh bagian dari
negara ini; mampukah mereka menegur semua tokoh yang selama ini sudah tidak
bermain secara jujur? Mungkinkah mereka dengan tiba-tiba menerapkan sistem ‘kapitalisme
yang lebih manusiawi’?
Pada titik ini, kebanyakan warga Jakarta,
sepertinya, siap untuk percaya pada dongeng apapun; kota mereka sudah berada
sampai pada kondisi sangat mengerikan di mana sepertinya tidak ada situasi yang
lebih buruk lagi daripada ini.
Polusi, sampah, kebobrokan dan air yang
terkontaminasi, begitu pula dengan jam-jam yang habis setiap harinya karena
masalah transportasi – semua hal ini menjadi fakta yang berakibat pada
kemampuan warga untuk berpikir jernih.
Dan jadilah baru-baru ini mereka ‘memilih’
pasangan hebat, dua orang pria yang datang, entah dari mana.
Sekarang ijinkan saya memperkenalkan mereka –
dua orang ‘pahlawan’ yang diharapkan oleh warga yang sudah putus asa ini untuk
menghentikan kebusukan dan memulai perjuangan epik demi kelangsungan hidup dan
kejayaan Jakarta.
Gubernur Jakarta yang baru ini sebenarnya
bukanlah seorang dengan latar belakang perencanaan kota ataupun arsitektur, ia
hanyalah seorang pengusaha yang bergerak di bidang properti dan mebel. Namun
kemudian ia melayani sebagai walikota Solo, Jawa Tengah. Namanya Joko Widodo,
dan seringkali disebut Jokowi. Dalam dongeng Indonesia yang terkini, dia adalah
koboi sang tokoh utama, atau seorang samurai ternama, seorang pembebas, atau
apapun ia layak disebut..
Wakilnya, yang dikenal dengan ledakan amarah
dan pernyataannya yang seringkali mengejutkan, adalah mantan anggota Komisi II
Dewan Perwakilan Rakyat. Namanya Basuki Cahaya Purnama.
Satu-satunya modal Jokowi dalam memimpin salah
satu kota terbesar di dunia adalah perjalanan bisnisnya ke Eropa, di mana ia
benar-benar ‘mengagumi kota-kota tersebut’ dan ingin mewujudkan konsep tersebut
pada sistem perkotaan Indonesia. Dia pun telah berhasil membersihkan beberapa
ruas jalan utama di Solo, -‘bersih’ sesuai standar Indonesia tentunya, saat
masih menjabat sebagai walikota di sana.
Tentu ada pencapaian lainnya yang dilakukan
oleh Jokowi, seperti: di Solo paling tidak dia sudah membangun satu trotoar
bagi pejalan kaki di tengah kota. Jangan ditertawakan: hal itu sebenarnya
adalah sebuah pencapaian hebat yang bisa dilakukan, karena ini adalah negara di
mana trotoar yang ‘layak’ justru dihalang-halangi pembangunannya oleh para
penguasa, bahkan di sebagian tempat justru difungsikan sebagai area parkir.
Dia juga mengoperasikan tram khusus turis di
Solo yang dijalankan sekali waktu di atas rel tua peninggalan era kolonial
Belanda: hal ini merupakan salah satu mimpinya yang menjadi nyata atas sistem
transportasi publik.
"Tidak cukup", seperti itulah respon
yang akan ia dapatkan di India atas apa yang sudah dia lakukan untuk Solo.
India bukan juga sebuah role model sosial, namun paling tidak ia adalah negara
di mana kota seperti Chennai dan Kolkata, bukan New Delhi, sudah memiliki
sistem transportasi publik yang modern dan berfungsi dengan baik. "Tentu
tidak cukup", kalau orang Cina yang mengatakannya. Bagaimana tidak, kalau
di negara mereka paling tidak selusin dari seluruh wilayah perkotaaannya sudah
bergantung pada sistem kereta bawah tanah yang ramah lingkungan, murah,
tersebar di penjuru kota dan tentunya nyaman, di mana terdapat banyak trotoar
luas bagi pejalan kaki, tanaman daur ulang, suplai air bersih, institusi budaya
di berbagai sektor, dan bahkan taman dan ruang publik yang besar dan indah.
Namun di Indonesia, seperti yang sering
dikatakan, bahkan seseorang dengan satu mata adalah raja. Dan harapan pun
tiada. Dan seperti itulah negara ini dijalankan..
Beberapa bulan yang lalu, di artikel yang lain,
saya menyarankan: “Tinggalkan semua harapan yang ada waktu anda memasuki kota
ini.” Saya tentu lupa menambahkan: “Tapi jangan lupa membawa masker gas dalam
tasmu, dan pastikan memakai tas yang mudah dibuka sewaktu-waktu!”
Kemacetan total, yang merupakan sebuah monster
yang menakutkan yang telah melebarkan tentakelnya ke seluruh pelosok jalanan
Jakarta yang rusak, depresif dan sesak selama puluhan tahun, akhirnya menyekik
kota ini. Banyak orang terlambat untuk meeting, meninggal dalam perjalanan ke
rumah sakit, dan kehidupan sosial pun kolaps, sebagaimana tidak ada orang yang
rela duduk selama 2 jam di dalam kendaraan hanya untuk menikmati secangkir
kopi.
Tetapi apa yang bisa kita rasakan sekarang,
sesungguhnya hanyalah sebuah pandangan sekilas akan horor yang lebih mengerikan
yang menanti. Bagaimanapun juga, lalu lintas masih perlahan melaju, kecuali
ketika hujan mulai turun, atau di saat pagi hari, jam makan siang, jam pulang
kantor, jam kerja, atau saat liburan.
Rachmad Mekaniawan, seorang insinyur sipil
mengatakan pada saya:
“Suatu hari saya terbang dari Balikpapan ke
ibukota. Perjalanan udara tersebut menempuh waktu 1 jam 45 menit. Saya tiba di
bandara Jakarta pada pukul 5.45 sore. Lalu saya putuskan untuk menaiki bis ke
arah blok M. Bisnya penuh sesak, seperti yang sudah saya prediksi. Tapi yang
tidak saya duga adalah perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu 30 menit,
menjadi 5 jam di hari itu!”
Dua tahun lalu, JICA (Japan International
Cooperation Agency) mengeluarkan sebuah studi dan memperingatkan bahwa kota ini
akan lumpuh oleh kemacetan total pada tahun 2014. Ibukota dari bangsa
turbo-kapitalis ini sudah rusak akibat dari ketamakan dan korupsi yang parah
("Tamak itu bagus", seperti bagaimana sering dikatakan oleh Barat.
Awalnya Indonesia mampu menolak ideologi dari para elit ini di tahun 1965, dan
bahkan tidak memerlukan usaha keras dalam ‘penolakannya’). Semua yang tidak
mengasilkan laba harus dikesampingkan. Termasuk mendaur ulang sampah, kontrol
polusi, pusat kesenian, transportasi publik, bahkan pohon-pohon rindang dan
taman kota.
Akhir dari korupsi yang berkepanjangan,
transparansi, dan pemerintahan yang bersih. Itu semua adalah gol utama dari
perjuangan Jokowi dan wakilnya. Mereka juga menjanjikan beberapa sistem
transportasi umum yang terintegrasi, bahkan dilengkapi dengan tram, monorel dan
MRT.
Namun semua ini masih berada dalam tahap
slogan yang belum kelihatan wujudnya: maklum saja, ini adalah salah satu
tipikal dunia angan-angan ala Indonesia. Kelihatan terlalu indah untuk menjadi
kenyataan - seperti dongeng, seperti yang sering kita lihat di program televisi
lokal atau kartun-kartun Disney.
Dua hari yang lalu, saya diundang dalam jamuan
makan oleh seorang businessman Indonesia yang sukses, yang sekarang tinggal di
luar negri. Dia bisa dibilang cukup dekat, atau bahkan mungkin bagian dari para
elit politik dan bisnis di negara ini, yang juga di waktu yang sama terus
mengkritisi kondisi negaranya. Sebagai seorang yang cukup gemar mengikuti
tulisan-tulisan saya tentang Indonesia, dia menyadari bahwa saya sedang berada
di Jakarta saat itu dan mengundang saya ke sebuah restoran hidangan laut Cina
untuk kami bertemu di sana.
Dengan segera saya mengetahui bahwa tujuannya
mengajak saya bertemu sebenarnya untuk memberi saya banyak ‘informasi dalam’,
dan bukan sekedar ingin menjamu saya dengan udang dan kerang. Dia bercerita
mengenai kefrustrasiannya; dia juga memberi tahu saya beberapa data yang cukup
konfidential. Namun sebagai gantinya, saya harus berjanji tidak akan mengumbar
nama orang dan perusahaan yang ia sebutkan.
“’Orang dalam’ yang bekerja di salah sebuah
perusahaan mobil terbesar di Indonesia baru baru ini berkata pada saya bahwa
atasannya membayar beberapa juta dollar dalam biaya tahunan, yang bisa disebut
juga ‘gaji tahunan’, dalam rangka mencegah atau setidaknya menunda tanpa batas
waktu, semua proyek transportasi umum utama di kota ini. Bahkan dulu di tahun
1992, pembayaran untuk kasus semacam ini yang ditujukan pada pemerintah sudah
bernilai sekitar 10 juta dollar.”
Lalu dia melanjutkan: “Pemiliknya sendiri
bahkan berkata pada saya: ‘Tidak akan mungkin ada MRT di Jakarta, tidak akan
pernah.. kecuali hingga benar-benar seluruh Jakarta ini macet dan mampet
total’. Yang dihalang-halangi tidak hanya itu, namun juga pembangunan trotoar,
dan apapun yang bersaing dengan mobil. Tujuan utamanya adalah supaya negara ini
dibanjiri dengan mobil-mobil baru dan sepeda motor, sehingga bangsa ini
sepenuhnya bergantung pada kendaraan pribadi. ‘Satu perusahaan mobil asing’
yang beroperasi di Indonesia ini terlibat dalam korupsi besar-besaran, di mana
perusahaan mobil lainnya pun terlibat, hanya saja dalam jumlah yang lebih
kecil."
Sambil berpisah ia menambahkan, “Banyak orang
sudah tidak sanggup hidup di kota ini lagi. Anda tahu, saya rasa situasi ini
sudah sedemikian buruknya bahkan hingga misalnya ada sebuah tim yang
beranggotakan politikus dan pengusaha yang benar-benar bersih untuk memerintah
Indonesia besok, tetap saja akan membutuhkan waktu 3 generasi untuk mengubah
kondisi di sini..”
Hampir semua kaum elit Indonesia tidak tinggal
di sini lagi. Kebanyakan dari mereka kalau tidak menjalankan usahanya dari luar
negeri, atau bolak-balik dari luar ke dalam negri. Tidak perlu repor-repot
menganalisa secara rumit korupsi yang ada dan menghubungkannya dengan subsidi
bahan bakar atau lahan parkir. Korupsi di Indonesia tersebar di mana-mana, ia
endemis dan melumpuhkan seluruh kota. Kepentingan pribadi selalu menjadi yang
harus diutamakan bahkan di atas kepentingan publik. Di mana 1% orang hidup
bergelimang harta, menghabiskan jutaan uang yang dicuri dari bangsa sendiri,
dan 90% warga Indonesia lainnya tinggal dalam kebobrokan dan sengsara.
Bulan lalu, di bandara Istanbul, saya bertemu
dengan seorang wanita – nampaknya yang berasal dari kumpulan istri-istri pengusaha
sangat kaya Indonesia – sedang mengeluhkan tidak adanya satu pun daerah laut
yang layak di Indonesia. Ia mengatakan pada saya, sambil menunjukkan kulitnya
yang kecoklatan hasil berjemur, bahwa ia baru saja menghabiskan 2 bulan
mengarungi Laut Mediterania. Ketika saya coba menjelaskan kepadanya mengenai
buku yang saya tulis tentang negaranya, dan film apa saja yang sedang saya
kerjakan, dia tidak dapat memahaminya. Menurutnya orang asing seharusnya
berbicara soal gadis-gadis Indonesia, resort di Bali dan pesta-pesta liar,
bukannya ocehan ala Bolshevik seperti ini!
Mari kembali ke korupsi.
Tidak ada satupun yang bergerak di sini. Anda
tidak akan bisa terhindar dari becak-motor 2-tak dari India itu –Bajaj-; yang
modelnya sudah kuno, yang bahkan tidak lagi dapat dijumpai di India sendiri!
Kelompok militer tertentu, polisi atau ‘kepentingan’ lain selalu ada di
belakang setiap operasi mereka. Sama halnya dengan para kopaja dan metro mini
yang kotor dan membuat polusi itu. Pemerintah hanya bisa melakukan usaha sekadar
mengancam, untuk sementara waktu, namun kemudian tidak lama kondisi pun kembali
seperti semula: sungguh sebuah skenario yang sudah bisa ditebak.
Iklan-iklan industri tembakau terpapar di
seluruh pojok jalan. Setiap pria muda dan dewasa, nampaknya, merokok, di kota
yang padahal sudah sangat kotor dan terpolusi ini: di jalanan, di dalam bis-bis
bobrok, bahkan di dalam mall. Peraturan ditetapkan, namun hanya untuk
dilanggar. Industri tembakau di Indonesia sangat kuat dan besar, dan anehnya
mereka pun memiliki lahan hijau yang tersisa di ibukota. Juga bahkan memiliki
sejumlah ‘anggota DPR’, yang seharusnya menjadi wakil rakyat.
Di bulan kedua masa pemerintahan Jokowi,
iklan-iklan rokok dalam ukuran besar masih menjadi dekorasi di kota ini. Dan
tentu mereka akan tetap berada di sana pada saat ia tidak lagi memerintah
ibukota. Bahkan di Plaza Indonesia, salah satu mall mewah di Jakarta, asap
rokok tersembul tebal hampir di setiap cafe. Hal ini tidak masuk akal bila
teraplikasi di kota-kota Asia Tenggara lainnya, mulai dari Singapura yang kaya
raya bahkan hingga Manila yang miskin. Tapi di Jakarta, hal ini biasa. Normal.
Bahkan orang-orang asing yang tinggal di
Jakarta, mengatakan kota ini adalah kota yang paling tidak layak ditinggali di
Asia Pasifik.
Gubernur baru itu menjanjikan upah minimum
tenaga kerja yang lebih tinggi. Dikatakannya bahwa sekarang upah minimum adalah
2,2 juta per bulan. Angka ini bahkan lebih tinggi daripada upah minimum di
Ukraina dan bahkan Bulgaria (1,5 juta per bulan), negara yang adalah anggota
dari Uni Eropa.
Pada 20 November 2012, Jakarta Globe
menuliskan:
"Gubernur Jakarta Joko Widodo menyetujui
kenaikan upah minimum tenaga kerja sebesar 44 percent pada hari Selasa, dalam
apa yang dilihat sebagai langkah besar dalam melobi para pengusaha di
Indonesia. Hal ini sudah ditetapkan bahwa angkanya adalah 2,2 juta rupiah,”
kata Jokowi pada Detik.com. “Saya sudah memukul palunya.”
Namun berapa banyak orang yang bisa berharap
mendapatkan upah minimum tersebut? Mayoritas besar warga Indonesia bekerja pada
sektor informal, di mana upah yang didapat bisa serendah 300.000 atau 400.000
rupiah; di mana ‘puluhan juta’ itu tidak akan pernah bisa diraih. Seorang ahli
statistik dari Kanada menjelaskan kepada saya, saat pemerintah dengan keras
kepala menetapkan angka sensus penduduk pada kisaran 237 hingga 250 juta,
jumlah yang akurat adalah sekitar 300 juta atau bahkan lebih. Mereka yang tak
terhitung adalah mereka yang sangat miskin. Orang-orang itu adalah mereka yang
bahkan seringkali tidak berpenghasilan sama sekali, bekerja dan hidup dalam
kondisi paling buruk seperti di masa feodal pre-industrial.
Tepat pada saat kenaikan upah tenaga kerja
disetujui, saya turun ke jalanan-jalanan di Jakarta dan menanyakan pertanyaan
yang sama: apakah para pekerja itu mendapatkan upah minimum? Benarkah mereka
sungguh-sungguh mendapatkannya?
Ya, mereka yang bekerja di restoran-restoran
besar, atau di perusahaan swasta, dan juga yang bekerja sebagai pegawai negri
sipil. Namun angkanya tidak mencapai seperempat dari seluruh pekerja di ibukota
ini.
“Upah minimum?” tanya seorang pekerja di
sebuah workshop mebel di daerah Klender, Jakarta Timur. “Saya dibayar
berdasarkan jumlah mebel yang saya kerjakan. Kalau saya bekerja sampai mau mati
rasanya, saya bisa membawa pulang 2 juta rupiah per bulan, namun biasanya tidak
mungkin saya bisa memperoleh sebanyak itu.”
Siti, yang bekerja di sebuah pabrik garmen
Korea menjelaskan, “Banyak pekerja di dan sekitar Jakarta menghasilkan sekitar
2.500 rupiah per jamnya. Jika kami bekerja 10 jam per hari, kami dibayar
25.000. Dengan begitu kami bisa mendapatkan kira-kira 700.000 rupiah per bulan,
atau mungkin kurang. Ketika pengawas datang, para pekerja biasanya dikunci di
dalam sebuah ruang gelap sehingga tidak ada satupun dari kami yang bisa
‘melapor’. Suatu ketika, saya dan seorang teman sedang berada di kamar mandi
ketika seorang pengawas datang. Mereka lalu menanyakan pada kami mengenai upah
kami. Dengan sendirinya kami tahu kami harus berbohong, pura-pura bahwa kami
dibayar layak dan bahkan jauh lebih banyak daripada realita yang kami terima.
Kalau ketahuan mengatakan yang sebenarnya bisa-bisa kami justru dipecat.”
Lupakan data statistik resmi yang mengatakan
bahwa separuh penduduk kota ini adalah kelas menengah ke atas (di sini
indikator kelas menengah ke atas adalah penghasilan 20.000 rupaih per hari).
Dan mulailah percayai apa yang anda lihat dengan mata kepala sendiri:
kemiskinan yang anda lihat di mana-mana, sampah yang menggunung dan berserakan,
sungai-sungai yang mampet, tidak tersedianya ruang publik dan trotoar, Ferarri
dan Porsche di atas jalanan yang rusak, mall-mall yang tak terhitung jumlahnya
yang seolah tidak memedulikan kampung-kampung kecil yang kumuh dan jauh dari
standar kelayakan di sekitarnya, desa-desa yang penduduknya bahkan ngos-ngos’an
untuk sekedar menyambung hidup di tengah kota yang bergelimang glamor ini.
Tepat ketika nampaknya tidak ada lagi harapan,
hanya kegelapan dan kesuraman menguasai, tiba-tiba terlihat secercah cahaya!
Dua pria, gubernur yang baru dan wakilnya, memasuki kota Jakarta dengan
kuda-kuda mereka, dengan pistol menggantung dan seperti pada era Barat kuno,
mata mereka bersinar memancarkan semangat dan kehormatan.
Tapi benarkah seperti itu?
Para media mainstream ingin orang-orang
percaya bahwa mereka dipilih dan terpilih tanpa ada campur tangan kepentingan
para kaum elit. Yang di mana hal semacam itu, mustahil. Di Indonesia semua hal
tunduk pada kepentingan bisnis-militer-bisnis. Bagaimana bisa rakyat dibodohi
seperti ini? Apakah karena semenjak peristiwa 1965 mereka dikondisikan untuk
tidak mampu menganalisa dan berpikir secara mandiri?
Dan apakah pencapaian yang sudah dilakukan
oleh pasangan ini semenjak masa pemerintahan mereka dimulai?
Wakil Gubernur Jakarta, Basuki T. Purnama
(yang lebih dikenal sebagai Ahok), dalam rapat resmi pada 8 November 2012
mengemukakan, dengan lantang dan mengejek semua yang ada dalam ruangan itu:
“Sebelum kita mulai, bisakah seluruh anggaran
ini dipotong 25%? Harga per unit yang anda punya di sini terlalu tinggi. Hanya
ada dua cara untuk menyelesaikannya: 1.) Potong anggaran sebesar 25% tanpa
mendebat saya. Atau 2.) Saya akan menghapus proyek ini dari portfolio anda.
Saya akan menggunakan dana pribadi saya, kemudian akan saya cocokkan dengan
proyek yang lalu. Saya akan mengungkapkan semua ‘penyakit lama’, saya akan
minta bantuan KPK juga. Mari kita sambut ‘Jakarta Baru!’.”
Perhatikan bahasanya.. Anda pasti tahu istilah
‘anjing menggonggong’.. Jika anda benar-benar menginginkan perubahan di kota
anda, dan menginvestigasi kasus-kasus korupsi yang begitu parah, apakah anda
akan berteriak-teriak di depan semua orang yang anda curigai sebagai
koruptor-koruptor? Atau justru anda mencoba menangkap basah mereka ketika
perbuatan itu sedang dilakukan?
Namun Ahok bertindak lebih jauh lagi, dan
membuat adegan ini benar-benar seperti dalam film koboi sungguhan:
“Bila ada orang yang ingin membunuh saya, akan
sangat mudah sekali melakukannya.. Saya tidak tahu siapa yang akan mencoba
melakukannya.. Saya memiliki banyak musuk.. Jika seseorang mencoba menembak saya
point blank, saya bahkan tidak akan berkedip.”
Seseorang seharusnya segera memeluknya dan
berkata, “Ahok, begini, tidak akan ada orang yang menembak anda.. Anda tahu..
Anda tidak akan berada di sini sekarang.. ‘Mereka’, para ‘pemerintah’ negara
ini, tidak akan pernah membiarkan anda terpilih bila anda dan atasan anda tidak
‘lolos’ dalam pemeriksaan berlapis-lapis yang menyatakan keberadaan dan
kekuasaan anda tidak mengancam rezim tersebut. Atau anda meminta kami untuk
percaya bahwa para kandidat benar-benar muncul secara independen, dan rakyat
akan memilih mereka begitu saja? Begitu? Di Venezuela, tentu.. Tapi di
Indonesia, Ahok sayang? Sunnguhkan itu bisa terjadi?”
Seakan mengkonfirmasi keraguan saya, beberapa
minggu setelah diangkat, Jokowi mendadak berakting seolah-olah ia adalah aparat
terpercaya dari rezim pemerintahan Indonesia. Yang dikatakan pada saya di
restoran Cina itu ternyata terbukti benar, bahkan saya tidak pernah
meragukannya.
Ia mengemukakan bahwa ia menunda konstruksi
pembangunan MRT. Ia ‘menaruh proyek ini dalam pengawasan yang teliti’ dan jelas
jadinya bahwa dalam beberapa waktu ke depan Jakarta akan tetap menjadi kota
yang dalam ukurannya menurut skala dunia, tidak memiliki metro. Salah satu
alasan yang dikemukakan olehnya, yang mengklaim ia mengerjakan ini semua demi
kepentingan rakyat, adalah bahwa ia tidak yakin berapa dana yang sebenarnya
dibutuhkan untuk proyek ini bisa terwujud!
Angki Hermawan, seorang insinyur lulusan
Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tinggal di Jakarta dan Calgary, Kanada,
mengomentari dalam laporannya:
“Menurut pendapat saya, tindakan Jokowi aneh
sekali! Dia mengatakan bahwa proyek MRT ini akan dilaksanakan atau tidak
bergantung pada ROI (Return On Investment), karena kalau tidak Jakarta
bisa-bisa bangkrut. Pernyataan ini sungguh absurd karena di belahan dunia
manapun, MRT adalah tulang punggung transportasi publik, kecuali sebuah kota
memiliki kurang dari 1 juta penduduk. MRT di Jakarta adalah sebuah keharusan!
Dan coba lihat apa yang dia katakan? Bahwa ROI dari MRT harus memenuhi syarat?
Bagaimana mungkin Jokowi tiba-tiba bertindak seperti seorang pengusaha
berpikiran sempit? ROI sebuah project yang akan bermanfaat bagi banyak orang
tidak bisa disamakan dengan ROI yang murni untuk bisnis. Cara mengkalkulasi
keuntungannya harus berdasarkan manfaat yang dirasakan secara sosial dan
bukannya uang.”
Namun pun bila nilai-nilai ekonomi secara
ketat dijalankan, Jakarta membutuhkan pemeriksaan secara menyeluruh akan sistem
transportasinya, sebagaimana yang ada sekarang justru mengakibatkan kerugian $3
milyar per tahun yang disebabkan oleh kemacetan.
Jadi kembali lagi ke sebagaimana biasanya:
tanpa rasionalitas, hanya beberapa pertimbangan ‘rahasia’ dan tidak transparan.
Dan pembangunan MRT pun tertunda lagi. Dan
pilar-pilar beton menyedihkan serta batangan-batangan metal yang seharusnya
digunakan untuk pembangunan monorel – proyek yang terkorupsi dan dibatalkan
bertahun-tahun lalu, di mana dana yang dikucurkan tidak sedikit, wajah jalanan
kota yang sudah tergores, dan tidak ada yang dipenjarakan karena kasus
korupsinya – masih di sana, berdiri tegak selayaknya para kaum elit lokal
‘menyapa’ warga Jakarta.
Dan bagaimana dengan rencana Ahok untuk
menghidupkan kembali kawasan kota tua yang semrawut itu?
“Bila kita ingin mengembangkan kawasan
tersebut, kita harus meningkatkan segala aspek di dalamnya,” Kata Ahok. “..Kota
Tua harus dibuat mahal dan bergengsi supaya bisa berkembang.” Begitu yang
Jakarta Globe laporkan.
Jelas sekali bahwa ia tidak akan meminta
bantuan UNESCO untuk mengembangkannya, seperti yang dilakukan oleh Hanoi
misalnya. Justru mungkin ia akan meminta bantuan Gucci, LV, atau Lamborghini.
Saya sudah melihat beberapa ‘usaha’ untuk
menyelamatkan kota-kota di Indonesia. Banyak dari mereka yang sangat
menyedihkan hingga seakan-akan usaha tersebut seperti seorang anak berumur 5
tahun yang berkata kepada orang tuanya: “Saya mau membuat sebuah pesawat yang
bisa terbang. Saya sudah punya 2 batang kayu sebagai sayapnya. Dan sebuah
plastik untuk menjadi badan pesawatnya..”
Semua kota di Indonesia bisa dikatakan rusak.
Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Semarang bahkan Yogyakarta. Akan
membutuhkan puluhan tahun dan usaha yang benar-benar keras untuk membawa mereka
paling tidak kepada standar Asia Pasifik.
Dua tahun lalu, saya bertemu dengan walikota
Surabaya, Ibu Tri Rismaharini. Dia masih sangan populer kala itu, masih banyak
harapan yang bisa dimimpikan. Dia menjanjikan pemerintahan yang bersih dan
perubahan infrastruktur yang dramatis.
Saya bertanya pada beliau apakah ia memiliki
nyali untuk mengkonfrontasi kasus-kasus korupsi, parkir liar kendaraan dan
hal-hal patologi lain di kota tersebesar kedua di Indonesia ini. Seorang wanita
yang jujur, seorang Muslim yang berkerudung, ia nampaknya tidak ingin berbohong
kepada saya. Dengan halus ia menolak untuk menjawab.
Malahan ia bercerita kepada saya mengenai
kecintaannya terhadap flora dan tanaman. Ia menunjukkan kepada saya foto-foto
dan menjelaskan bahwa ia sudah berkeliling di seluruh pelosok kota, menanam
banyak pohon, mengubah lahan kosong menjadi taman kota. Bahkan terkadang ia
melakukannya sendiri.
Ia orang yang sangat baik, itu yang saya ingat.
Saya menyukai dia, bahkan sangat menyukai dia. Saya akan senang sekali menjadi
tetangganya. Namun kota Ibu Risma ini sedang terluka dan berdarah, tanpa sistem
transportasi yang baik kecuali angkot-angkot bau dan privat, hampir tanpa
situs-situs budaya dan intelektual, tanpa perencanaan kota yang jelas dan
lagi-lagi.. tanpa harapan.
Ketika kami berpisah, beliau mengundang saya
untuk datang dan bertemu dengannya lagi kapanpun saya kembali ke kotanya.
Saya kembali September ini, dan jujur saja,
saya tidak melihat perubahan yang konkrit. Surabaya memang terlihat lebih
bersih, ada beberapa trotoar besar dan lapang bagi pejalan kaki di jalanan
utama dan juga beberapa taman kota kecil. Tapi itu saja. Surabaya masih
tersedak oleh kemacetan, tidak ada tempat lain untuk dikunjungi di sore hari
kecuali mall.
Saya memutuskan untuk tidak menemui Ibu
Rismaharini. Apa yang akan saya katakan? Apa yang harus saya tanyakan? Akan
sangat memalukan pertemuan kami nantinya!
Pada 20 November 2012, saya mempertontonkan
film dokumenter saya tentang Dadaab –“One Flew Over Dadaab”; di Universitas
Indonesia, dan lalu membicarakan tentang kehancuran negara ini. Salah satu
mahasiswa kemudian bertanya kepada saya: “Lalu apa yang bisa kami lakukan?
Bagaimana caranya menyelamatkan Indonesia?”
Saya menjawab bahwa saya tidak bisa memutuskan
bagaimana cara; ini adalah negaranya – bukan negara saya. Saya tidak bisa
menyembuhkan, saya hanya membantu mendiagnosa.
Namun siang itu saya berkata pada mereka, para
mahasiswa dan professor yang ada di sana, mengenai kolaborasi antara kaum elit
mereka dan militer dengan campur tangan Amerika dan Eropa. Saya menceritakan
pada mereka bagaimana Indonesia sangat dicintai oleh Barat, oleh kaum ekonomi
elit Barat dan rezim politik Amerika dan Eropa. “Rakyat Indonesia ini
kelaparan, mereka sudah kehilangan semuanya, namun dengan murah hati mereka
masih saja memberi makan kaum Barat. Mereka mengorbankan segalanya demi
kesejahteraan Amerika, dan juga perusahaan-perusahaan multi-nasional lainnya.”
Saya juga menjelaskan pada mereka bahwa selama
mereka menghancurkan hutan-hutan yang ada, menambang habis apa yang tersisa di
lapisan bumi di atas negara ini, mengkonsumsi produk asing dan tidak melakukan
apapun demi kesejahteraan rakyatnya sendiri, Indonesia akan tetap disebut
‘demokratis’, ‘toleran’ dan bahkan ‘sukses’.
“Negara anda sudah dikolonisasi dan dirusak
oleh Eropa; lalu dihancurkan oleh kudeta yang didukung oleh Amerika di tahun
1965 dan oleh sistem kapitalis liar. Kader jihad yang juga melangsungkan
pembunuhan pada 1965 dan berperang demi Barat di Afganistan sekarang sedang
menghancurkan sisa-sisa semangat sekuler di era Sukarno.”
“Dan lalu kaum ‘oposisi’ kalian, rakyat
‘sipil’ itu: ke mana mereka mencari pertolongan? Kita semua tahu: Mereka
kembali lagi kepada Barat! Mereka berpergiaan antara Jakarta dan Amsterdan,
antara Jakarta dan Berlin, London, New York! Mereka mendapatkan semua
pendanaannya di sana. Apakah anda yakin dan dengan polos berpikir bahwa Barat
akan mendanai kaum oposisi demi kepentingan ekonomi dan geo-politik? Yang benar
saja!”
Saat itu saya berbicara di universitas yang
menempatkan sistem kapitalis paling parah, semenjak 1965; universitas yang
berkolaborasi penuh dengan Von Hayek dan konsep ekonomi Friedman tentang sistem
kapitalis yang tidak diawasi dan tidak terlarang. Universitas yang pada
dasarnya sudah ‘dibeli’ oleh Barat, guna mengimplementasikan apa yang Naomi
Klein sebut sebagai “Shock Doctrine”, untuk diujicobakan langsung pada manusia.
Mereka mengijinkan saya untuk berbicara. Namun
saya sadar bahwa tidak ada satupun yang benar-benar peduli, tidak ada satupun
yang takut mendengar apa yang saya sampaikan. Apa yang saya utarakan saat itu,
hanya terserap oleh dinding-dinding universitas. Kehadiran saya tampaknya
hanyalah sebuah pertujukan ‘badut’.
Seseorang kemudian bertanya lagi tentang
"bagaimana merubah kondisi yang ada sekarang?" Semua tokoh-tokoh
besar yang saya kenal, mulai dari Eduardo Galeano hingga Pramoedya Ananta Toer
langsung alergi dengan pertanyaan semacam itu, dan juga saya, akhir-akhir ini.
Saya mengingatkan mereka akan kata-kata
terakhir dari mendiang Ananta Toer, novelis terhebat di Asia Tenggara, yang
dikatakannya kepada saya. Ia adalah seorang tahanan di masa pemerintahan
Suharto, seorang penulis yang karya-karyanya dibakar habis, yang disisihkan dan
sepanjang hidupnya memiliki kepahitan akan negara ini:
“Bukan reformasi – revolusi!”
Diproklamasikannya dengan lantang di depan lensa kamera saya. “Indonesia tidak
akan pernah bisa berubah melalui sebuah reformasi, hanya dengan revolusi!”
Menunggangi kuda kayunya, Jokowi dan wakilnya
tidak mengusung janji revolusioner apa-apa. Coba lihat lebih dekat pistol
plastik produksi massal mereka; dengarkan baik-baik kalimat-kalimat mereka.
Jokowi bukanlah seorang Hugo Chavez versi Indonesia,
atau Evo Morales, Lula atau Ho Chi Minh.
Saya sendiri sebenarnya tidak tahu siapa dia.
Saya hanya tahu dia bukan siapa.
Artikel ini dimuat di buletin berita Amerika
Serikat, Counterpunch, dengan judul ”Governor Jokowi Enters Jakarta On A Wooden
Horse”, edisi 23-25 November 2012.
Link ke artikel asli: http://www.counterpunch.org/…/governor-jokowi-enters-jakar…/
*Andre
Vltchek adalah seorang penulis novel, analis politik, pembuat film dan
jurnalis investigatif. Dia hidup dan bekerja di Asia Timur dan Afrika. Ia juga
menulis sebuah novel politik yang baru saja dirilis kembali, “Point of No
Return”, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Diskusinya dengan Noam
Chomsky mengenai teror yang dilakukan oleh kaum Barat di seluruh dunia baru
saja diterbitkan, “On Western Terrorism”. Penerbit Pluto di Inggris juga telah
menerbitkan buku kritiknya atas Indonesia (”Archipelago of Fear”) di bulan
Agustus 2012. Dia dapat dihubungi lewat situs internetnya dihttp://andrevltchek.weebly.com/ atau akun Twitternya,
@AndreVltchek.