Oleh Sulaiman
Djaya (Sumber: Radar Banten, 07 Juni 2014)
Dalam
Sad Pand va Hekayat Imam Ali diceritakan seorang perempuan tua dengan fisik
yang lemah sedang mengangkat tempat air besar. Dengan terseok-seok dan napas
yang terengah-engah perempuan tua itu melangkah menuju rumahnya. Tiba-tiba ada
seorang pria tak dikenal mendekatinya dan menawarkan untuk membawakan tempat
air yang berat itu. Perempuan tua itu menggerakkan bibirnya dan berterima kasih
kepada Allah Swt. Ia kemudian berkata pada pria yang tak dikenal itu, “Allah
mengirim engkau untuk menolongku. Insya Allah, engkau akan mendapatkan pahala
dari perbuatanmu ini dari Allah.” Rumah perempuan tua itu tidak terlalu jauh.
Ketika sampai, perempuan tua itu membukakan pintu. Anak-anaknya yang masih
kecil begitu gembira setelah tahu ibu mereka telah kembali. Tapi rasa ingin
tahu membuat mereka bertanya-tanya siapa orang asing ini.
Pria
tak dikenal itu kemudian meletakkan tempat air di tanah dan bertanya kepada
perempuan itu, “Jelas bahwa tidak ada pria di rumah ini, sehingga engkau
sendiri yang mengangkat air. Apa yang terjadi sehingga engkau tinggal sendiri?”
Perempuan itu menarik napas panjang dan berkata, “Suamiku dulunya adalah
seorang pejuang. Ia berperang bersama Ali bin Abi Thalib dalam sebuah perang
dan di sana ia meninggal. Ia meninggalkan saya dengan beberapa orang anak.”
Mendengar ucapan perempuan tua, pria tak dikenal itu tidak dapat berkata
apa-apa. Tapi dari wajahnya terlihat ia begitu sedih. Ia hanya bisa menundukkan
kepala, kemudian meminta diri dan pergi dari situ. Tapi tidak berapa lama ia
kembali ke sana sambil membawa sejumlah makanan.
Perempuan
tua itu mengambil makanan dari pria tak dikenal itu dan berkata, “Semoga Allah
meridhaimu!” Pria asing itu berkata, “Saya ingin membantu pekerjaanmu.
Perkenankan saya membuat adonan roti, membakarnya atau menjaga anak-anak ini.”
Perempuan itu berkata, “Baiklah! Jelas saya lebih baik dalam membuat adonan
roti dan membakarnya. Engkau mengawasi anak-anak, sampai aku selesai membakar
roti.” Pria asing itu menerima dan pergi menemui anak-anak itu. Tapi sebelum itu
ia menghampiri bungkusan yang dibawanya dan mengambil daging lalu membakarnya.
Setelah matang, dengan sabar ia menyuapi anak-anak itu. Ia berkata,
“Anak-anakku! Relakanlah Ali bin Abi Thalib, bila ada kekurangan yang dilakukan
terkait kalian…”
Adonan
roti telah siap. Perempuan tua itu berkata, “Wahai hamba Allah! Nyalakan api
untuk membakar roti ini…” Pria itu beranjak dari tempatnya dan pergi untuk
menyalakan api. Tungku telah menyala. Air mata telah menggenang di pelupuk mata
pria asing itu. Ia kemudian mendekatkan wajahnya ke api sambil berkata,
“Rasakan panasnya api! Inilah balasan orang yang tidak mengurusi anak-anak
yatim dengan baik dan tidak tahu kondisi para wanita yang menjanda…” Pada waktu
itu, ada tetangga perempuan yang rumahnya bersebelahan dengan perempuan tua itu
datang ke rumahnya. Ketika ia melihat pria tak dikenal itu, dengan segera ia
menghadapi perempuan tua itu dan berkata, “Celakalah engkau! Tahukah siapa pria
yang engkau perbantukan ini?”
Perempuan
tua itu terkejut dan berkata, “Tidak. Saya tidak mengenalnya. Ketika hendak
kembali ke rumah saya bertemu dengan dia dan langsung menawarkan diri untuk
membantu saya.” Tetangganya berkata, “Pria itu adalah Ali bin Abi Thalib, Amir
al-Mukminin!” Begitu mengetahui pria asing yang membantunya adalah Ali bin Abi
Thalib, perempuan tua itu langsung menundukkan wajahnya. Perlahan-lahan ia
mendekati pria itu dan berkata, “Wahai pria penolong! Maafkan saya yang tidak
mengenalmu dan memintamu untuk membantuku.” Imam Ali berkata, “Tidak! Saya yang
harus meminta maaf kepadamu. Karena saya tidak melaksanakan kewajibanku dengan
baik kepadamu dan anak-anak yatim ini.”
Setelah
itu, Imam Ali secara berkala mendatangi rumah perempuan tua itu dan menanyakan
keadaan mereka, sambil membantu makanan dan uang sesuai kemampuan beliau kepada
mereka. Cerita atau tarikh Islam ini menyarikan inti saripati tentang
keteladanan seorang pemimpin yang peduli dan menyatu dengan rakyatnya. Pemimpin
yang peduli dan terlibat, dan tak hanya duduk di kursi atau meja “kepemimpinannya”
semata.
MAHKOTA SEJATI PEMIMPIN
Yang
barangkali juga penting untuk disimak adalah bahwa saat terjadi krisis politik,
Imam Ali Bin Abi Thalib berjanji untuk meredam pemberontakan Muawwiyah Bin Abu
Sufyan, meski ada perasaan terpaksa dalam hati Imam Ali Bin Abi Thalib. Itu
semua karena menurutnya dan menurut mayoritas kaum muslim pada masa itu
pembangkangan Muawwiyah Bin Abu Sufyan lebih karena motif haus kuasa dan sifat
tamak, alias bukan atas dasar cita-cita kemaslahatan ummat, tetapi lebih karena
ambisi pribadi semata. Muawwiyah Bin Abi Sufyan sendiri memang dikenal haus
kuasa dan tak segan menggunakan segala cara, hingga istana pribadinya semegah
istana kekaisaran Persia dan Romawi. Berbeda dengan para sahabat di era awal
Islam, semisal Abu Dzar al Ghifari dan Salman al Farisi yang hidup sederhana,
misalnya.
Pada
suatu hari, misalnya, seorang Yahudi dari Bait al Maqdis hampir tak percaya
ketika berkunjung ke Madinah. Rasa heran orang Yahudi itu tak lain karena ia
tak mendapati istana megah khalifah. Karena rasa herannya itu, ia pun bertanya
kepada salah seorang penduduk Madinah yang ditemuinya: “Di manakah istana
khalifah?” Mendengar pertanyaan pengunjung Yahudi itu, salah-seorang penduduk
Madinah pun menjawab: “Istana khalifah ar Rasyidin adalah di akhirat kelak”.
Mendengar jawaban salah-seorang penduduk Madinah tersebut, sang pengunjung
Yahudi itu pun kembali bertanya: “Apakah khalifah ar rasyidin mengenakan
mahkota di kepala? Dan adakah mahkota khalifah terbuat dari emas atau berlian?”
“Mahkota khalifah ar rasyidin adalah mahkota budi pekerti dan sikap amanah.”
Begitulah salah-seorang penduduk Madinah menjawabnya.
Bagi
kita saat ini, ilustrasi tersebut tak ragu lagi mengandung sindiran atas budaya
dan perilaku korupsi yang masih menjalar di negeri ini. Di sisi lain, ilustrasi
tersebut juga menggambarkan keteladanan dan kesederhanaan para sahabat seperti
yang telah disebutkan, yang juga memang dikenal sebagai para pemimpin yang
berusaha hidup sederhana, agar mereka yang miskin dan kekurangan mendapatkan
kesepadanan dalam diri para pemimpin mereka, sekaligus tidak merasa iri dan
cemburu kepada para pemimpin mereka. Selain sederhana, mereka juga dikenal
sebagai para pemimpin yang tahu kebijakan apa dan kapan sebuah kebijakan
politik mesti dilakukan dengan keras atau tidak. Tentu saja, dengan berpegang
pada sikap adil dan benar. Ketegasan mereka didasarkan kepada rasa keadilan,
begitu pun ketika mereka harus mengambil keputusan dan kebijakan politik yang
keras, semisal perang, tak lain dalam rangka menegakkan keadilan dan stabilitas
ummat itu sendiri.
Jika
demikian, selain mereka juga dikenal sebagai para pemuka agama, mereka pun para
negarawan, yang seperti banyak diceritakan, bahkan keterpilihan Ali Bin Abi
Thalib, misalnya, menjadi khalifah tidak didasarkan kepada keinginan pribadi,
tapi atas permintaan ummat. Tak hanya itu, Ali Bin Abi Thalib bahkan tetap
bertanya kepada jamaah bila saja ada kaum muslim yang tidak setuju kepada
dirinya yang didesak sebagai khalifah.
Dalam
hal yang demikian itu, dapat dikatakan, dipilihnya seseorang untuk menjadi
seorang pemimpin mestilah karena keinginan dan kesepakatan rakyat dalam ummat
itu sendiri, bukan atas dasar desakan pribadi seseorang yang ingin menjadi
penguasa, semisal dicontohkan dengan sosok Muawwiyah Bin Abi Sufyan yang haus
kuasa dan ingin menjadikan dirinya sendiri sebagai kaisar, laiknya seorang
Kaisar Persia atau seorang Kaisar Romawi. Berbeda dengan khalifa ar rasyidin
yang tidak memiliki mahkota di kepala mereka, Muawwiyah Bin Abi Sufyan memahkotai
dirinya sendiri sebagaimana para kaisar Persia dan Romawi mengenakan mahkota.
Muawiyyah
Bin Abi Sufyan, dengan begitu, merupakan kebalikan 180 derajat dari keteladanan
dan kesederhanaan yang dicontohkan para figur Islam teladan, semisal Abu Dzar
al Ghifari dan Salman al Farisi. Pun, kita tahu, di jaman Muawwiyah itulah
budaya dan perilaku korupsi mulai merebak dalam lingkup kekuasaan dan
pemerintahan. Rupa-rupanya, sikap dan perilaku hidup yang kontras berbeda
antara para sahabat teladan dan Muawwiyah Bin Abu Sufyan itu juga menjadi
pengaruh faktor budaya dan politik yang juga sangat bersebrangan. Sementara, di
jaman Muawwiyah Bin Abi Sufyan, acapkali korupsi para gubernur tetap dibiarkan
sepanjang gubernur tersebut patuh kepada Muawiyah. Sedikitnya, situasi di jaman
Muawwiyah Bin Abi Sufyan itu agak mirip dengan di jaman orde baru, juga ketika
korupsi seakan-akan dibiarkan, yang memang demi melanggengkan kepatuhan para
pejabat dan birokrat kepada Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar