Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
“Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru
kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[1]
Mengenang Pemikir
Muhammad Iqbal
Topik kajian yang
sebelumnya telah saya siapkan untuk pertemuan ini, yang bertepatan dengan
hari Arbain (peringatan 40 hari syahadahnya Imam Husain as)
adalah “berhubungan dengan para syuhada”. Penyajian hal ini juga saya
pikir sangat mengena mengingat pada hari ini telah terjadi dua peristiwa
penting dalam sejarah. Dua buah peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya
acara peringatan Arbain. Salah satunya adalah sejarah masuknya penziarah
resmi pertama ke makam Imam Husain as, Karbala, yang datang dari Madinah, yakni
Jabir bin Abdullah al Anshori. Dan peristiwa lainnya yang berkenaan dengan
diresmikannya ziarah kepada Imam Husain pada hari ini. Banyak riwayat yang
menganjurkan untuk berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain. Hari Arbain merupakan
hari yang dikhususkan untuk berziarah kepada Imam Husain as. Kedatangan Jabir
bin Hayyan untuk berziarah ke pusara suci Imam Husain as, ataupun berziarah
kepada beliau as dari jarak jauh dengan membaca doa ziarah sebagaimana yang
dianjurkan dalam berbagai riwayat, bertujuan untuk “menjalin
hubungan” dengan para syuhada.
Sebenarnya saya ingin
menjelaskan makna filosofis dari pergi berziarah dan membaca doa ziarah dari
jarak jauh. Namun kajian ini akan saya sampaikan pada kesempatan lain.
Dikarenakan sebelumnya telah diadakan tiga kali pertemuan yang membahas topik
tentang “menghidupkan pemikiran agama” dan dalam rangka mengenang tokoh besar
reformis Islam asal Pakistan, Muhammad Iqbal, saya akan menentukan topik pertemuan
kita kali ini yakni “Muhammad Iqbal dan
menghidupkan pemikiran agama”. Pembahasan ini akan saya uraikan selama
setengah jam. Mengingat waktunya sudah lewat, saya mengusulkan untuk membahas
masalah filsafat ziarah pada lain kesempatan. Dari sisi lain, pembahasan
tentang “Muhammad Iqbal dan menghidupkan pemikiran Islam” merupakan pembahasan
yang tidak akan tuntas dikaji dalam setengah jam. Pengalaman membuktikan,
setiap kali masalah seperti ini dibicarakan dalam waktu singkat, akan timbul
ketidakjelasan, kesamar-samaran, dan sulit dimengerti. Oleh sebab itu, saya
ingin mengatakan bahwa untuk membicarakan topik “menghidupkan pemikiran Islam”,
perlu kiranya diadakan pertemuan yang intens. Topik ini juga mendapat sambutan
hangat dalam konferensi di Pakistan. Suatu konferensi yang benar-benar
bernuansa ilmiah dan sosial. Saya pun berniat membicarakan topik ini.
Intelektual Pakistan ini
telah menerbitkan sebuah buku yang merangkum tujuh konferensi yang dihadirinya di
Pakistan, yang nampaknya kemudian diintroduksikan ke dalam lingkungan
universitas. Karena bobot konferensi ini sangat tinggi, tentunya hasil-hasilnya
tak mungkin diintroduksikan ke kalangan masyarakat umum. Seluruh rangkuman
hasil konferensi tersebut hanya mungkin diintroduksikan ke dalam lingkungan
masyarakat ilmiah dan terpelajar. Isi rangkuman tersebut berbicara tentang “Menyambut dan Menghidupkan Pemikiran
Agama”. Setiap konferensi yang dimaksud memiliki topik pembahasan
masing-masing. Seperti topik “Eksperimen Agama”, “Pembahasan-pembahasan
Filsafat dalam Eksperimen Agama”, “Kebebasan dan Keakuan Manusia”, “Inti
Tradisi dan Peradaban Islam”, “Asas Gerakan Islam”, “Apakah Agama sesuatu yang
Mungkin?”, serta “Pemahaman tentang Tuhan dan Pengertian Ibadah”. Semua topik
tersebut ditelaah di bawah judul besar “Menghidupkan Pemikiran Agama”.
Saya tidak ingin
mengatakan bahwa semua pendapat yang disampaikan sekaitan dengan topik tersebut
bebas dari kritik, atau membenarkan semua pendapat yang telah dipaparkan
penulis asal Pakistan ini. Pendapat yang disampaikan merupakan hasil dari upaya
pemikir Islam yang mengkaji masalah tersebut dan sangat layak mendapatkan
pujian dan sanjungan. Dalam hal ini, pembicaraan saya akan banyak berkisar pada
upaya menanggapi berbagai pendapat yang dilontarkan intelektual Islam Pakistan
ini. Mudah-mudahan pembahasan ini akan ditindaklanjuti dengan kajian yang lebih
mendalam. Barangkali saya juga akan mencari kesempatan untuk membahas tema
“Menghidupkan Pemikiran Islam” dalam pertemuan-pertemuan selanjumya. Namun
pertama-tama, saya ingin menyampaikan sejumlah hal penting yang berkenaan
dengan pemikiran tokoh Islam ini.
Muhammad Iqbal, yang
pernah pergi ke Eropa dan mengenal persis seluk beluk benua itu, adalah orang
yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. la dikenal oleh bangsa
Eropa sebagai pemikir, tokoh, dan pakar agama. Iqbal bukanlah tipe laki-laki
yang duduk mengasingkan diri di sudut dan lorong-lorong India, yang memandang
Eropa dari kejauhan dan setelah itu menyampaikan kritik terhadap dunia barat.
la melihat Eropa, memahami, menyelidiki, dan menganalisanya dari dekat. la
sangat menggemari ilmu-ilmu baru dan mendorong para pemuda muslim untuk
mempelajarinya juga. Dirinya tidak menentang ilmu-ilmu baru atau melarang kaum
muslimin mempelajarinya. Muhammad Iqbal telah memperoleh pendidikan tinggi di
Eropa. la benar-benar mengenali dunia barat dan mengakui pentingnya mempelajari
ilmu-ilmu baru. Hal pertama yang menarik perhatian sekaitan dengan ucapan tokoh
ini adalah slogan yang dikemasnya dalam bentuk puisi. Slogan tersebut, dewasa
ini dikenal dengan sebutan “Peradaban Eropa”, yang berarti sekumpulan urusan
kehidupan ala Eropa, yaitu idealisme yang menciptakan peradaban Eropa pada masa
kini. Jalan yang diajarkan dunia barat kepada umat manusia, serta nilai moral
dan budaya bangsa tersebut yang merupakan hasil dari perjalanan hidupnya, bukan
saja tidak memberikan manfaat sama sekali, lebih dari itu menjadi sesuatu yang
sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan masyarakat Eropa itu sendiri.
Iqbal pernah mengunjungi
Eropa dan memiliki pemahaman tentangnya. Menurutnya, gambaran masa depan Eropa
sangat mengerikan dan berbahaya. Ucapan-ucapan ini acapkali diungkapkan dalam
berbagai ceramahnya. Saya ingin membacakan untuk Anda beberapa bagian dari
tulisan Iqbal. Darinya Anda bisa melihat bagaimana pandangan tokoh ini
berkenaan dengan peradaban Eropa masa kini dan terhadap berbagai keburukan yang
terkandung dalam pandangan Barat. Selain itu, Anda juga dapat mengetahui,
sejauh mana pemikirannya berpengaruh terhadap masyarakat di belahan Timur,
khususnya kaum muslimin, hingga mereka tidak terpengaruh oleh peradaban Eropa. Salah
satunya, Iqbal pernah mengatakan: “Mata
mereka telah dibutakan sikap mengikuti sehingga mereka tidak mampu memahami
kebenaran. Budaya dan peradaban Eropa yang hampir mati bagaimana mungkin bisa
memberikan kehidupan baru kepada bangsa Iran dan Arab, sementara mereka berada
di ambang kematian”. la juga mengatakan: “Sejarah baru, sangat cepat datangnya. Islam dengan perubahan cepat
dari sisi spiritual tengah bergerak menuju belahan bumi bagian Barat”.
Selanjutnya, diungkapkan: “Sejarah baru
negara-negara ini merupakan perjalanan yang sangat cepat yang tengah bergerak
menuju belahan bumi barat”.
Kemudian untuk memisahkan
antara pengetahuan dan peradaban Barat, Iqbal mengatakan: “Dalam gerakan ini, sama sekali tidak terdapat kebatilan dan kesesatan.
Budaya Eropa dari sisi rasional (yaitu sisi pengetahuan dan pemikiran),
mengambil dari beberapa tahapan budaya Islam”. Maksudnya, jika kita
memperhatikan sisi pemikiran dan pengetahuan Barat, dan melangkah jauh
kepadanya, tidak akan berbahaya bagi kita karena yang diperoleh darinya tak
lebih dari ilmu pengetahuan. Dalam hal
ini, ilmu adalah ilmu. Di dunia barat, ilmu yang dihasilkan banyak
bersumber dari pengetahuan-pengetahuan Islam. Budaya barat —tepatnya, ilmu
pengetahuan barat— diilhami dari budaya Islam. “Ketakutan kita muncul dari
fenomena budaya barat yang membingungkan yang menghalangi langkah kita dan kita
takut jikalau budaya barat akan mencapai tujuannya”. Iqbal berpendapat, kita merasa takut tatkala menyaksikan fenomena
kemajuan barat dalam banyak bidang. Kita menyaksikan kemajuan mereka dalam
bidang industri dan pengetahuan biologi. Adapun aspek batin yang mengantarkan
manusia ke arah kemajuan tidak kita saksikan sama sekali. Kita harus mampu
meneliti dan menganalisis hal tersebut.
Dalam bukunya yang lain
lain, Iqbal mengatakan: “Akal dengan
sendirinya tidak mampu menyelamatkan manusia. Kekurangan budaya Barat yang
terbesar adalah keinginannya untuk menggunakan akal secara otonom tanpa bantuan
kekuatan jiwa, perasaan, dan iman. Hanya mengandalkan kekuatan akal, tentu
tidak akan bisa menyelamatkan bahtera kemanusiaan dari kehancuran”. la juga
mengatakan: “Idealisme Barat sama sekali bukan menjadi faktor utama dalam
kehidupan mereka.” Misâligari Barat memiliki arti “idealisme Barat”. Semua
tuntutan serta ajaran-ajaran yang diberikan budaya barat bagi manusia, dan
berbagai aliran yang terdapat di sana, muncul lantaran didorong oleh anggapan
bahwa dirinya (dunia barat) mampu menyelamatkan umat manusia.
Iqbal mengatakan bahwa
aliran-aliran tersebut pada kenyataannya tidak mampu menguraikan hakikat
(orang) Barat, terlebih menjadikannya manusiawi. Dengan ungkapan lebih jelas
lagi, orang Barat dan dunia Barat banyak melakukan kebaikan dan tindakan
kemanusiaan sebatas dalam pembicaraan, tulisan, dan slogan-slogan retorik
belaka. Disebabkan ide-ide mereka semata-mata bersumber dari pemikiran akal dan
tidak melalui kekuatan jiwa, maka apapun yang mereka katakan tak akan pernah
berpengaruh dalam jiwa mereka sendiri. Orang
Barat mengatakan bahwa dirinya adalah manusia. Namun secara praktis mereka
tidak memiliki perikemanusiaan. Barat sangat getol menggembar-gemborkan hak
asasi manusia. Namun dalam praktik dan kenyataannya, mereka tak pernah
menghargai manusia beserta segenap hak asasinya. Melalui aliran budayanya,
orang Barat meneriakkan suara kebebasan. Tapi pada kedalaman jiwanya, ia tidak
meyakini adanya kebebasan. Mereka meneriakkan persamaan hak dan keadilan, namun
dalam lubuk jiwanya, semua itu sama sekali ditolaknya.
Iqbal mengatakan: “Hasil
semua itu adalah “keakuan” yang gamang (yaitu jiwa yang bimbang) yang mana di
tengah-tengah alam demokrasi tidak terdapat solidaritas satu sama lain untuk
mencari jati diri. “Keakuan” yang gamang yang disebarkan oleh orang-orang
Darwis, kelak menguntungkan kaum kapitalis. Dihasilkan dari apakah seluruh
suara keadilan yang digaungkan, serta seluruh aliran yang timbul di Eropa yang
saling berkontradiksi satu sama lain? Kepentingan kaum kapitalis untuk
mengambil keuntungan dari segenap upaya yang dilakukan kaum Darwis. Dan pada
saat bersamaan, kaum kapitalis tersebut juga mengambil keuntungan dari bentuk
aliran lainnya. Kemudian Iqbal menambahkan: “Percayalah dengan ucapan saya,
Eropa pada masa sekarang merupakan penghalang besar bagi kemajuan moral umat
manusia.” Pendapat semacam ini acapkali disampaikan dalam berbagai kesempatan.
la memiliki hubungan yang kuat dengan kaum muslimin, khususnya pemuda-pemudi
muslim. Orang yang sedikit banyak mengenal fenomena budaya barat, pasti
mengetahui padangan Iqbal tersebut.
Segenap kelemahan yang
terdapat dalam budaya dan peradaban Eropa, tidak terdapat dalam budaya dan
peradaban Islam. Berbagai kritikan tajam dan mendasar, yang ditujukan kepada
budaya Eropa, tidak bisa ditujukan kepada Islam. Atas dasar itu, dalam
pembicaraan lain, Iqbal berupaya keras mengintroduksikan fondasi-fondasi dan
aspek-aspek kebudayaan serta peradaban Islam. Saya ingin menelaah sebagian
pembicaan Iqbal yang berkenaan dengan hal tersebut. Setelahnya, saya akan
mengkaji masalah yang berkenaan dengan upaya menghidupkan pemikiran Islam.
Iqbal mengatakan: “Kaum muslimin memiliki pemikiran yang berdasarkan wahyu Ilahi
yang merupakan kesempurnaan mutlak, karena Islam menjelaskan sisi paling subtil
dari intisari kehidupan yang menampilkan sebuah warna spiritual. Garis
spiritual kehidupan bagi kaum muslimin merupakan perkara keyakinan (akidah).
Dan untuk membela akidah ini, muslimin siap mengorbankan jiwa dan raganya.”
Saya ingin menjelaskan
ringkasan dari ucapan Iqbal. Beliau mengatakan bahwa ajaran Islam berpijak di
atas keimanan. Ajaran Islam bersumber dari Wahyu Ilahi, sehingga mampu menembus
sisi batin manusia. Bukti tentangnya telah eksis di masa lalu dan akan tetap
terbukti pada masa sekarang; bahwa ajaran Islam memiliki kekuatan ajaran yang
mampu menembus sisi batin manusia. Islam
mengajarkan kebebasan, keadilan, mencintai sesama manusia, dan hak-hak asasi
manusia. Ajaran-ajaran ini juga sekaligus memberikan jaminan dalam jiwa manusia
bahwa ia bisa diterapkan dalam kehidupan ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran
yang disampaikan dunia barat tidaklah demikian. Semua ajaran tersebut tidak
memiliki garansi untuk bisa diterapkan secara konkret. Pada masa kini, manusia
membutuhkan tiga hal:
[1] Memandang Dunia Dari Sisi Metafisikal
Hal pertama yang
dibutuhkan manusia adalah memandang dunia dari sisi metafisikal, bukan dari
sisi material. Aliran yang mengakibatkan pemikiran dan akidah tidak
termanifestasi dalam bentuk keimanan dan kenyataan adalah idealisme. Aliran ini
memandang keberadaan dunia hanya terbatas pada aspek materialnya belaka. Segala
sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah materi. Dunia ini buta, tidak
berperasaan, bodoh, dungu, dan tidak bertujuan. Dunia tidak memahami kebaikan
dan kebatilan. Dunia tidak memahami kebenaran dan kekeliruan. Di jagat semesta,
kebenaran dan kebatilan tak bisa diukur dan ditimbang. Tak ada sesuatu pun di
dunia ini yang memiliki tujuan. Kita diciptakan secara sia-sia. Iqbal
mengatakan bahwa pemikiran semacam ini menyesatkan dan menghancurkan norma
peradaban kemanusiaan. Jadi, hal pertama yang dibutuhkan manusia adalah
memandang dunia dari sisi metafisikal (bahwa dunia diciptakan dengan tujuan).
Dalam sebuah ayat disebutkan: “Apakah
kalian menyangka bahwa kalian diciptakan secara sia-sia?”[2] Tak ada kesia-siaan dalan
penciptaan alam semesta. Segala apa yang ada di jagat raya ini harus mempunyai
pemilik yang disebut dengan Tuhan. Dunia diciptakan di atas prinsip kebenaran.
Dunia diciptakan di atas prinsip keadilan. Di alam semesta ini terdapat
kebaikan dan keburukan. Keberadaan alam semesta ini diciptakan Tuhan yang Maha Mendengar
dan Maha Melihat. “Allah tidak pernah lupa dan tidak tidur,”[3] Tuhan Maha
Mengetahui dan Maha Berilmu. Namun, keberadaan dunia ini tidak cukup hanya
dipandang dari sisi metafisikal semata. Untuk itu, kita perlu melengkapinya
dengan beberapa faktor lain.
[2] Kebebasan Spiritual Individu
Kebebasan spiritual
individu bertentangan dengan ajaran Kristen. Kebebasan individual berarti
meyakini bahwa seseorang memiliki kepribadian yang unik. Jika seseorang tidak
memandang dunia dari sisi metafisikal serta tidak meyakini adanya kepribadian
yang khas dari masing-masing individu, maka potensi-potensi yang terkandung
dalam diri manusia tidak akan pernah nampak. Terdapat beberapa kaidah yang
memiliki pengaruh universal dan sanggup mengarahkan manusia pada kesempurnaan
masyarakat yang berdasarkan pada prinsip spiritual. Yang dimaksud dengan kaidah
tersebut adalah berbagai ketetapan dasar dari ajaran Islam. Dalam pembahasan
kali ini, saya tidak akan memaparkan ucapan-ucapan Iqbal lebih jauh lagi.
Apakah seperti kebanyakan kita, kajian yang dilakukan Iqbal hanya berhenti
sampai di sini? Maksudnya, apakah setelah melihat berbagai kekurangan peradaban
Eropa dan kemudian melihat Islam sebagai bentuk alternatif yang hidup, ia
kemudian mengatakan: “Pembahasan sudah selesai”? Tidak. Justru Iqbal
menguraikan bagian ketiga tersebut secara lebih mendalam dalam risalahnya
sendiri, risalah setiap muslim, dan risalah para cendikiawan mukmin. Tujuh
rangkuman yang ditulis Iqbal di bawah topik “Menghidupkan Pemikiran Agama dalam
Islam”, ditujukan tak lain untuk menopang persoalan yang terdapat pada bagian
yang ketiga tersebut. Dalam sejumlah slogan yang disampaikan Iqbal, sedikit
banyaknya disampaikan tujuan dari bagian yang ketiga ini, sembari pula sedikit
menyinggung tujuan dari bagian yang pertama.
Matinya Semangat Islam
Dalam slogan-slogan yang diserukan Muhammad Iqbal,
terkandung berbagai kecaman keras terhadap sikap kaum muslimin yang mengikuti
peradaban Barat secara membabi buta.
Sementara dalam slogannya yang lain, Iqbal juga menyampaikan keharusan untuk
melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Bagian ketiga yang dibutuhkan kaum muslimin
adalah: Sesungguhnya, Islam macam apakah
yang dewasa ini ada di tengah-tengah kaum muslimin?
Iqbal memperlihatkan
sebuah noktah yang terbilang penting bahwasannya Islam (yang sebenarnya) ternyata eksis, namun tidak berada di
tengah-tengah kaum muslimin. Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin
hanyalah Islam yang ditampilkan dalam bentuk slogan-slogan, gema suara azan,
dan perginya kaum muslimin ke masjid-masjid di waktu sholat. Hanya simbol
keislaman belaka yang tampil ke permukaan. Untuk menunjukan citra
keislaman, mereka biasanya menggunakan nama-nama Islami seperti: Muhammad,
Hasan, Husain, Abdurrahim, Abdurrahman, dan sejenisnya. Namun, pada hakikamya,
intisari Islam yang sebenarnya tidak terdapat dalam masyarakat. Intisari Islam
dalam masyarakat yang Islami sesungguhnya telah mati. Kita membutuhkan
kehidupan Islam yang baru. Kehidupan Islam harus diperbaharui. Dan itu mungkin
saja terjadi, mengingat pada hakikatnya
Islam tidak pernah mati, melainkan kaum musliminlah yang mati. Islam tidak
akan pernah mati, mengapa? Karena di sana terdapat Kitab langit (al-Quran) dan
sunah (hadis) Nabi. Keduanya tampil dalam bentuk yang hidup. Dunia tak akan
mampu memberikan sesuatu yang lebih baik dari al-Quran dan sunnah Nabi. Ajaran
al-Quran tidak seperti teori Ptolomeus yang bisa dipatahkan teori lain. Islam
itu sendiri hidup dan berpijak di atas pada landasan yang hidup pula. Lantas,
di manakah letak kekurangannya? Kekurangannya terletak pada pemikiran kaum
muslimin sendiri. Pemikiran dan cara penerimaan kaum muslimin terhadap ajaran Islam
bukan dalam bentuk yang hidup, melainkan dalam bentuk yang mati. Misalnya,
dalam menanam benih unggul, Anda tidak menggunakan cara-cara pertanian yang
benar. Akibatya, benih yang ditanam dalam tanah tidak akan membuahkan hasil
apapun. Akar-akar benih tersebut tidak akan tertanam dengan kuat. Benih
tersebut akan tumbuh menjadi pohon kecil yang mudah dicabut dan dipindahkan
dari satu tempat ke tempat yang lain. Pohon tersebut sekarang tumbuh dan hidup.
Akan tetapi, apabila Anda mencabut dan menanamnya kembali dalam posisi terbalik
(akar di atas dan daunnya di tanam), pohon tersebut tentu akan mati.
Imam Ali menyampaikan
kata-kata yang sangat indah sehubungan dengan masa depan Islam dan kaum
muslimin. Beliau mengatakan: “Islam
dikenakan baju secara terbalik.”[4] Maksudnya adalah masyarakat Islam memang mengenakan baju
keislaman. Namun baju yang dikenakan tersebut ternyata terbalik. Pakaian
musim dingin dikenakan untuk menangkal hawa dingin. Terkadang ada juga orang
yang menanggalkannya dan menghadapi musim dingin dengan tubuh tanpa pakaian.
Ada juga orang yang mengenakan baju tapi tidak dengan cara yang semestinya;
maksudnya mengenakan pakaian secara terbalik. Sisi pakaian yang semestinya
diarahkan ke luar malah diarahkan ke dalam, sebaliknya sisi yang seharusnya
diarahkan ke dalam justru diarahkan ke luar. Orang yang mengenakan pakaian
secara terbalik akan nampak lucu dan bakal menjadi bahan tertawaan orang lain.
Imam Ali mengatakan bahwa masyarakat mengenakan “baju”
keislaman dengan cara yang terbalik. Di satu sisi, mereka memiliki baju
keislaman, sementara pada sisi yang lain tidak memilikinya. Kendati
memilikinya, mereka mengenakannya secara terbalik; yang semestinya di luar
malah di dalam, dan yang semestinya di dalam malah di luar. Kesimpulannya,
Islam yang eksis di tengah-tengah kaum muslimin adalah Islam yang tidak
memiliki keutamaan dan pengaruh. Keislaman semacam itu tidak akan mampu
menginspirasikan semangat, gerakan, kekuatan, dan pemahaman. Islam semacam itu
lebih menyerupai pohon yang dipenuhi dengan benalu. Lantas dari mana kemunculan seluruh hal tersebut?
Ini erat kaitannya dengan cara kaum muslimin menerima Islam. Yakni, bagaimana
proses kepengikutan mereka terhadap agama Islam dan bagaimana pula cara mereka
menganutnya. Apakah mereka mengambilnya dari kepala, dari kaki, dari tubuh,
ataukah secara acak? Mereka mengambil sebagian ajaran Islam dan meninggalkan
sebagian lainnya. Mereka hanya mengambil
kulitnya, sementara intisarinya tidak. Atau sebaliknya, mengambil
intisarinya dan meninggalkan kulitnya. Pada akhirnya, Islam yang mereka anut
tampil dalam bentuk “Tidak mati di dalamnya dan tidak pula hidup”[5] Islam yang dipeluk tidak
hidup juga tidak mati. Tidak bisa dibilang eksis juga tidak dapat dikatakan
tidak eksis. Ini merupakan noktah paling mendasar yang harus dipikirkan
bersama. Jika tidak dipikirkan secara mendalam, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kritik terhadap peradaban dan
budaya Eropa, sementara budaya dan saripati Islam yang kita miliki belum
otentik. Jika masyarakat dunia mengikuti kita, mereka tentu tidak akan
pernah maju. Apabila masyarakat dunia menjejaki langkah kita, mereka pasti akan
senasib dengan kita yang kini berada dalam kondisi yang nyaris binasa.
Dalam al-Quran disebutkan
tentang bentuk kehidupan yang Islami, kehidupan pemikiran yang Islami.
Sebagaimana dengan jelas diungkapkan dalam ayamya yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang
memberi kehidupan kepada kamu”.[6] Apakah ciri-ciri kehidupan
tersebut? Apa yang dimaksud dengan “hidup”? Al-Quran menyebutkan bahwa
masyarakat Jahiliyah adalah masyarakat yang mati. Dalam sebuah ayat disebutkan:
“Sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikan orang-orang yang mati mendengar.”[7] Dalam Ayat lain juga
dikatakan: “Dan kamu sekali’kali
tidak sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.”[8] Masyarakat Jahiliyah merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang
mati yang bergerak. Mereka adalah orang-orang mati yang berjalan di muka
bumi. Orang-orang seperti mereka tjdak bisa disebut sebagai orang-orang yang
hidup. Adapun berkenaan dengan orang-orang yang beriman, al-Quran menyerukan
ajakan untuk menerima ajaran yang mampu menganugerahkan kehidupan. Ajaran Islam
memberikan jiwa, kekuatan, serta kehidupan kepada manusia. Apa ciri-ciri
kehidupan? Saya persilahkan Anda bertanya kepada orang pandai, atau para
filosof yang bisa mendefinisikan kehidupan, tentang ‘bagaimana sesuatu bisa
dianggap hidup’. Apa arti hidup? Tak seorangpun yang akan mengaku dirinya mampu
mendefinisikan hidup. Hidup bisa diketahui melalui tanda-tanda dan
dampak-dampaknya. Hidup adalah hakikat yang tidak diketahui, yang memiliki dua
karakter: Pengetahuan dan gerakan.
Dikarenakan memiliki
pengetahuan yang lebih, manusia akan memiliki hidup yang lebih pula. Segala
sesuatu yang memiliki gerakan lebih banyak, akan memiliki hidup yang lebih
banyak pula. Segala sesuatu yang berpengetahuan minim akan menjadi sangat bodoh
dan sangat mati. Setiap kejumudan mencirikan kematian, dan setiap kejumudan
yang sangat akan menjadi kematian yang sangat pula. Segala sesuatu yang
benar-benar kosong dari pengetahuan akan mengalami kematian dalam kematian.
Begitu pula halnya dengan segala sesuatu yang benar-benar jumud. Sekarang coba Anda simak, apakah kaum
muslimin yang ada sekarang ini merupakan masyarakat yang progresif ataukah
stagnan? Kita lebih banyak diam ataukah bergerak? Maksudnya, apakah masyarakat
kita lebih menghormati orang yang progresif ataukah orang yang jumud dan
stagnan? Anda bisa saksikan bahwa masyarakat kita lebih menghormati orang yang
stagnan ketimbang orang yang dinamis dan kritis. Ini merupakan ciri kematian
suatu masyarakat, di mana setiap orang yang kosong dari pengetahuan lebih
dihormati dan dikagumi. (Orang yang lebih banyak diam dan stagnan
menandakan dirinya tidak memiliki banyak pengetahuan, sedangkan orang yang
dinamis menunjukkan dirinya lebih banyak memiliki pengetahuan).
Logika Kereta Uap
Saya pernah bertanya
kepada salah seorang teman tentang apakah yang dimaksud dengan logika kereta
uap? Dia menjawab: “Saya mendapatkan pelajaran berharga dari kereta uap dan
saya memahami masyakat melalui logika tersebut.” “Ketika saya masih kecil,
kereta api yang ada pada waktu itu tidak seperti yang ada sekarang ini. Saya
menyaksikan saat kereta api tersebut berhenti di stasiun, anak-anak kecil
berlarian mendatangi dan menontonnya. Mereka memandanginya dengan penuh keheranan
dan kekaguman. Nampaknya mereka mengagumi betul kereta api yang sedang berhenti
tersebut. Cukup lama mereka memandangi kereta itu dengan rasa kagum hingga tiba
jam pemberangkatan, dan kereta tersebut kembali bergerak. Saat kereta api mulai
melaju, anak-anak itu segera mengambil batu dan melempari kereta tersebut. Saya
sungguh terkejut melihat sikap mereka. Jika memang harus dilempari, mengapa
mereka tidak melakukannya di saat kereta tersebut berhenti, meskipun hanya
dengan batu kerikil? Jika merasa kagum melihat kereta api yang sedang diam,
mereka juga semestinya lebih kagum saat melihat kereta tersebut bergerak.”
Inilah perkara yang
membingungkan saya. Ketika saya beranjak dewasa dan terjun ke tengah-tengah
masyarakat, saya menyaksikan bahwa gaya hidup masyarakat kita (orang-orang
Iran) pada umumnya hanya menghormati seseorang selama ia diam. Tatkala
seseorang bersifat statis, ia akan lebih dihormati dan dikagumi. Namun tatkala
dirinya bergerak dan melangkah secara progresif, masyarakat pun mulai mencela dan
menghinanya. Sikap seperti ini menandakan bahwa masyarakat tersebut telah mati.
Masyarakat yang hidup akan menghormati orang yang berbicara dan bertindak
kreatif, bukan orang yang hanya berdiam diri. Masyarakat yang hidup akan
menghormati orang yang progresif, kreatif, dan berwawasan luas. Inilah
tanda-tanda kehidupan dan kematian. Kedua hal ini merupakan sinyal yang paling
jelas, di samping masih terdapat pula berbagai sinyal-sinyal lainnya.
Keterkaitan Salah Satu
Tanda Kehidupan
Salah satu tanda dari
suatu masyarakat yang dinamis adalah keterkaitan antar-individu yang ada di
dalamnya. Ciri-ciri masyarakat yang mati adalah tidak terdapatnya keterikatan
antar anggota, saling berpecah belah serta saling terpisah antara satu sama
lain. Sementara ciri-ciri masyarakat yang hidup adalah adanya saling
keterkaitan dan kerja sama di antara anggotanya. Masyarakat Islam pada masa
sekarang merupakan masyarakat yang hidup ataukah masyarakat yang mati?
Masyarakat Islam dewasa ini adalah masyarakat yang mati. Ini terbukti dengan
terjadinya pembunuhan, perang saudara, dan konflik yang mencuat di kalangan
internal sendiri, sehingga mengakibatkan musuh-musuh Islam mampu memanfaatkan
keadaan untuk terus melemahkan kaum muslimin. Sehubungan dengan persatuan kaum
muslimin, Rasulullah SAWW pernah menyampaikan ungkapan yang sangat indah: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam
saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah
di antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh
merasa sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur dan
merasa demam.”[9] Mereka adalah manifestasi
dari ayat yang berbunyi: “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[10]
Jika salah satu anggota
tubuh terkena infeksi, dengan segera rasa demam akan menguasai seluruh badan.
Tatkala terjadi peradangan di dalam usus seseorang dan dokter masih belum bisa
mengetahui jenis penyakit apa yang dideritanya meskipun telah dilakukan
diagnosa secara maksimal, seluruh anggota tubuhnya akan merasakan panas yang
luar biasa. Reaksi tubuh semacam ini menunjukkan adanya kehidupan di dalam
tubuh. Apakah kondisi kaum muslimin seperti ini? Apakah mereka akan bereaksi di
saat salah seorang anggotanya merasakan sakit dan menderita? Sekitar 500 tahun
silam, Andalusia yang merupakan salah satu anggota tubuh kaum muslimin yang
paling penting, mengalami musibah dan penderitaan. (Lihat, Dr. Ayati, Tarikh Andalus, Tehran
University). Namun, kaum muslimin di belahan dunia lain tidak memberikan
perhatian sama sekali kepadanya. Bahkan banyak yang di antaranya yang sama
sekali tidak mengetahui penderitaan yang mereka alami. Padahal, perkembangan
peradaban Islam dan dunia amat berutang budi pada Andalusia. Pada masa itu
meletus pertikaian antara kalangan Syi’ah dan Ahlusunnah. Sayang, kaum muslimin
pada umumnya tidak menyadari bahwa tragedi tersebut merupakan musibah yang
besar bagi dunia Islam.
Iqbal menyatakan bahwa dalam
sejarah, pemikiran yang Islami telah mati sejak 500 tahun lalu. Selama kurun
waktu itu, kaum muslimin hanya menampilkan gaya pemikiran Islam yang kering,
sembari mengubur bentuk pemikiran Islami yang hidup dan dinamis. Apakah saya
dan Anda ikut menderita oleh berbagai musibah yang dialami kaum muslimin pada
masa sekarang, seperti penderitaan yang dirasakan kaum muslimin di Palestina?
Rasa simpati apakah yang kita berikan pada mereka? Jika kita tidak menaruh
perhatian kepada mereka, kita bukanlah termasuk orang-orang Islam berdasarkan
hadis Nabi yang berbunyi: “Perumpamaan orang-orang yang beriman
dalam saling mencintai, saling menyayangi, dan saling bersikap ramah di
antara mereka bagaikan tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuh merasa
sakit, seluruh anggota tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak tidur
dan merasa demam.”[11] Hadis Nabi ini menjelaskan
tentang tanda-tanda kehidupan masyarakat Islam. Dalam hadis lain, beliau
bersabda: “Barang siapa yang mendengar seseorang menyeru memohon
pertolongan dari kaum muslimin dan yang mendengar tidak menolongnya, maka
dia bukan muslim.”[12] Barang siapa
yang tidak memiliki keterkaitan diri dengan saudara-saudara muslim lainnya,
maka dia bukanlah seorang muslim.
Apabila saya utarakan
seluruh persoalan ini tentu akan menyita banyak waktu. Namun yang terpenting
dari semua itu adalah bahwa kita harus menampilkan pemikiran Islami dalam
bentuk yang hidup dan dinamis. Telah saya jelaskan sebelumnya tentang bagaimana
kekeliruan kita dalam menerima ajaran Islam. Kita harus banyak melakukan
introspeksi diri, dan lihatlah, apakah kita mengenakan pakaian (keislaman)
secara terbalik. Ternyata kita memang mengenakan baju keislaman secara
demikian. Kita tidak menyadari bahwa pakaian tersebut telah dikenakan secara
terbalik, sampai-sampai orang lain mengingatkan kita. Kita harus benar-benar
memperbaiki cara berpikir kita. Sebabnya, barangkali kita memang mengenakan
baju keislaman secara terbalik sebagaimana pernah dikatakan Amirul Mukminin Ali
bin Abi Thalib as. Teman saya pernah melontarkan kritik dengan mengatakan:
“Apakah pengormatan terhadap Iqbal tidak menunjukkan penyembahan terhadap orang
yang sudah mati? Apakah kita baru menghormati orang besar setelah ia mati?”
Maksud dari kritiknya adalah mengapa kita tidak menghormati tokoh besar yang
masih hidup, meskipun kualitas keilmuannya berada di bawah Iqbal. Bahkan banyak
pula tokoh pemikir yang masih hidup yang memiliki kapasitas ilmu lebih tinggi
dari Iqbal tidak kita hormati?
Allamah Thabathaba’i
merupakan salah seorang tokoh besar yang masih hidup. Namun mengapa kita tidak
menghormatinya? Yang jelas, pertemuan kita kali ini bukan dalam rangka
menentukan siapa yang layak untuk dihormati dan memperoleh hak yang semestinya.
Namun lantaran masalah ini telah disinggung sebelumnya, maka saya akan
memberikan sedikit penjelasan tentangnya. Allamah Thabathaba’i termasuk salah
seorang tokoh yang banyak mengabdi kepada Islam. Beliau merupakan bentuk
konkret dari ketakwaan dan ketinggian nilai spiritual. Beliau telah mencapai
kedudukan yang tinggi dalam penyucian jiwa dan ketakwaan. Selama
bertahun-tahun, bahkan sampai sekarang, saya telah banyak menimba pelajaran
dari tokoh besar ini. Kitab tafsir Mizan yang ditulisnya merupakan salah satu
kitab tafsir al-Quran yang sangat luar biasa. Memang, al-Quran memiliki
kedudukan yang tinggi dan tidak satupun kitab tafsir yang mampu memenuhi hak
al-Quran dengan semestinya. Setiap ahli tafsir hanya memandang al-Quran dari
sisi tertentu. Sejak abad permulaan Islam sampai hari ini, kitab tafsir Mizan
merupakan kitab terbaik yang pemah ditulis di kalangan Syi’ah dan Ahlussunnah.
Allamah Thabathaba’i jelas merupakan tokoh besar dan agung. Merupakan tugas
kita semua untuk menghormati beliau yang kini telah berusia sekitar tujuh puluh
tahun. Tak ada satupun orang yang sudah lanjut usia seperti beliau yang
memiliki prestasi ilmiah semacam ini. Beliau menghabiskan umurnya untuk
mendalami studi moral, budaya Islam, dan sastra Arab. Mengapa orang seperti ini
layak dimuliakan dan dihormati? Sebabnya, beliau memiliki ilmu dan jiwa sosial
yang mengagumkan. Masyarakat yang tidak pernah belajar dari orang besar ini
hanya akan memperoleh sedikit manfaat. Kaum muslimin harus banyak belajar dari
tokoh besar ini supaya mendapatkan banyak keuntungan.
Perbedaan masa kita
sekarang dengan masa silam adalah tokoh-tokoh yang muncul pada masa sekarang
mudah terkenal (melalui medium percetakan buku dan sebagainya). Allamah
Thabathaba’i tidak hanya dikenal di kalangan orang Iran saja. Beliau juga
dikenal di seantero dunia Islam. Tafsir Mizan yang disusunnya telah
berkali-kali di cetak ulang secara diam-diam di Beirut, Lebanon. Ini
membuktikan bahwa pemikiran dan buku beliau sangat terbuka bagi dunia Islam.
Orang-orang orientalis pun mengenal siapa tokoh ini. Amerika dan Eropa mengenal
beliau sebagai seorang pemikir besar Islam. Allal al-Faasi juga termasuk salah
seorang tokoh dalam dunia Islam. Ketika datang ke Iran, ia berkunjung ke kota
Qom dan mendatangi rumah Allamah Thabathaba’i. Dia sangat kagum menyaksikan
ketinggian kedudukan spiritual Allamah Thabathaba’i. Kepribadian Allamah
Thabathaba’i tidak hanya terbatas sebagai pribadi Syi’ah semata, melainkan juga
sebagai orang yang memiliki ilmu yang bersifat universal. Namun sangat disayangkan,
pribadi mulia ini pernah menderita sakit jantung selama satu tahun. Saya
memohon kepada Allah agar berkenan menjaga tokoh besar ini untuk kita semua.
Beliau benar-benar tokoh mulia yang memiliki kedudukan spiritual yang tinggi.
Akhir-akhir ini, beliau menunjukkan sikap ikut merasakan penderitaan saudaranya
sesama muslim.
Saudara-saudara muslim
kita tengah menderita di Palestina, sementara Amerika tidak mampu memberikan
hak yang semestinya kepada mereka. Kita harus memberikan perhatian dan bantuan
kepada mereka. Allamah Thabathaba’i segera membuka rekening di bank untuk
membantu saudara-saudara muslimin di Palestina yang sedang kesusahan. Beliau
membuka rekening di bank Millie Iran, bankBozargoni, dan
bank Shaderaat. Beliau juga dibantu Ayatullah Sayyid Abul Fadhl
Musawi Zanjani yang merupakan tokoh mulia dan memiliki kedudukan spiritual yang
tinggi. Beliau adalah seorang mujtahid yang adil. Saya termasuk orang ketiga
yang ikut membuka rekening tersebut. Jadi rekening bantuan kemanusiaan untuk kaum
muslimin di Palestina tersebut dibuka atas nama tiga orang (Allamah
Thabathaba’i, Ayatullah Zanjani, Syahid Muthahhari, —pent). Program dana
kemanusiaan ini tidak memandang berapa banyak uang yang terkumpul. Jika semua
orang Iran mengumpulkan hartanya, barangkali tidak bisa menandingi banyaknya
harta yang dimiliki dua orang Yahudi kaya raya yang tinggal di Amerika, yang
meraup harta dengan jalan riba dan mencuri. Hal terpenting bagi kita adalah
bagaimana jiwa kita ikut merasakan penderitaan orang lain dan memiliki
keterikatan hati dengan mereka.
Saya ingin memberikan sebuah contoh berkenaan dengan
masalah ini. Sewaktu Nabi Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang sedang
rnembara, seekor burung Bul-bul terbang mendekati tempat Nabi Ibrahim dibakar.
Burung tersebut memenuhi paruhnya dengan air dan kemudian ditumpahkannya di
atas kobaran api yang tengah menjilat tubuh Nabi Ibrahim. Melihat tindakan
burung tersebut, Nabi Ibrahim bertanya dengan penuh rasa heran: “Wahai
burung kecil! Apakah air yang kamu tumpahkan dari paruhmu berguna untuk
memadamkan api yang besar ini?” Burung Bul-bul itu menjawab: “Dengan
cara ini saya ingin memperlihatkan akidah, iman, dan hubungan saya dengan
Nabi Ibrahim as.” Kendati Anda hanya menyumbang dengan sedikit harta, namun sumbangan
tersebut tetap bernilai. Dengannya, Anda telah menunjukkan perasaan dan
kepedulian Anda terhadap orang lain yang tengah menderita. Melalui tindakan
tersebut, Anda telah mempererat hubungan dengan Imam Husain as. Sebagaimana
telah saya sampaikan pada awal pembicaraan, bahwa hari ini merupakan hari untuk
“berhubungan dengan para Syuhada”. Mudah-mudahan kita semua digolongkan ke
dalam barisan orang-orang yang syahid. Kita harus selalu mengatakan: “Assalâmu
‘alaikum ya Abâ Abdillah, ya laitanâ kunnâ ma’aka fa nafûza fauzan
‘azhiman” (Salam sejahtera bagimu wahai Aba Abdillah, andai saja kami
bersamamu pada saat itu, maka kami akan sangat beruntung). Andai saja kami
bersamamu, wahai Husain. Imam Husain mengatakan bahwa Karbala tidak hanya
terjadi dalam satu hari saja. Tragedi Karbala akan senantiasa terjadi,
kapanpun, di manapun!
Salah satu bukti bahwa
masyarakat kita telah mati adalah pecahnya tragedi Karbala. Sekarang ini, kita
tengah memperingati hari Arbain (empat puluh hari syahadahnya Imam
Husain). Pada hari Arbain telah terjadi dua peristiwa penting;
datangnya Jabir bin Abdullah al-Anshori untuk berziarah ke makam Imam Husain
serta pembacaan ziarah Arbain yang disunahkan pada hari ini.
Keterangan lebih rinci tentangnya akan saya sampaikan pada lain kesempatan.
Disunahkan untuk berziarah kepada Imam Husain di mana saja kita berada,
sekalipun dari jarak jauh. Dalam kesempatan ini, saya akan menyampaikan suatu
peristiwa yang pada dasarnya tidak termaktub dalam seluruh buku standar
kesejarahan, kecuali dalam satu buku saja. Buku tersebut juga tidak bisa
dikategorikan sebagai buku sejarah yang mu’tabar (otentik).
Pengarangnya, yang merupakan salah seorang tokoh besar, menulis buku tersebut
ketika ia masih muda. Buku tersebut mencakup sejumlah peristiwa bohong yang
tidak terdapat dalam sejarah. Tak seorang pun dari kalangan sejarahwan, ahli
hadis, dan penulis maqtal Islam yang menceritakan peristiwa tersebut.
Mereka bahkan mengingkarinya. Terjadinya persitiwa tersebut juga tidak bisa
diterima oleh akal sehat. Kejadian bohong itu berkisar tentang datangnya Ahlul
Bait Nabi dan keluarga suci Imam Husain dari Syam ke gurun Karbala pada tanggal
20 Shafar 61 H. (hari Arbain).
Kita sering mendengar
kisah ini. Namun saya tidak ingat rinciannya. Barangkali kita tidak pernah
mendengar bahwa yang berziarah ke makam Imam Husain pada hari Arbain hanyalah
dua orang. Dalam seluruh majlis yang ada, kita pasti akan mendengar kisah
seperti ini. Diceritakan bahwa keluarga
suci Imam Husain datang ke Karbala dan menuju ke pusara Imam Husain as. Mereka
membacakan syair-syair, puisi-puisi kesedihan, dan memukul-mukul dada
masing-masing. Jelas, hal ini merupakan kebohongan belaka.
Inilah tanda-tanda
kematian suatu masyarakat. Menerima kebohongan begitu saja dan gagap terhadap
kebenaran serta kejujuran. Jabir bin Abdullah al-Anshori merupakan sahabat Nabi
yang menemani beliau sejak masa remaja. Di saat terjadi perang Uhud, Jabir
masih berusia 16 tahun dan baru menginjak masa baligh. Ketika Rasulullah wafat,
ia telah berumur kira-kira 22 atau 23 tahun. Atas dasar ini, maka usia Jabir
pada tahun 61 H Jabir adalah 72 tahun. Di akhir usianya, kedua matanya
mengalami kebutaan. la bertolak ke Karbala ditemani oleh Athiyah al-Aufâ,
seorang ahli hadis. Tatkala tiba di sana, Jabir terlebih dahulu pergi ke sungai
Furat untuk membersihkan dirinya sebelum melakukan ziarah. la mengambil
tumbuh-tumbuhan yang berbau harum dan menjadikannya sebagai pewangi yang
mengharumkan tubuhnya. Athiyah mengatakan: “Setelah selesai
membersihkan diri di sungai Furat, Jabir melangkah mendekati kubur Imam Husain
dengan perlahan-lahan sambil bibirnya mengucapkan zikir dan kalimat-kalimat
suci”.Jabir termasuk salah seorang pengikut Imam Ali dan Ahlul Bait Nabi. Usia
Jabir lebih tua dari Imam Husain, sekitar 12 tahun. Dengan langkahnya yang
perlahan-lahan, akhirnya sampai juga ia ke pusara Imam Husain. Setelah itu,
Jabir berteriak: “Habibi ya Husainl! Kekasihku, wahai Husain! Habîbun
lâ yujîbu habîbah? Mengapa kekasih tidak menjawab seruan kekasihnya? Akulah
Jabir bin Abdullah al Anshori, akulah temanmu, akulah sahabat dekatmu, akulah
budakmu yang tua renta! Mengapa engkau tidak menjawab seruanku, wahai Husain?
Husain kekasihku, engkau berhak untuk tidak menjawab seruanku, seruan budakmu
yang tua renta. Aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap urat’iirat
lehermu. Aku tahu kepala muliamu telah terpisah dari raga sucimu …“. Jabir
mengucapkan banyak mengeluarkan kata-kata hingga akhirnya tidak sadarkan diri.
Setelah siuman, ia menolehkan kepalanya ke sana kemari, seakan-akan dirinya
memandang dengan mata batin seraya mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum ayyatuhal arwâhil latî hallat bi finâ`il
Husain, salam sejahtera bagi jiwa-jiwa yang berguguran bersama gugurnya Imam
Husain.”
Setelah memberikan banyak
kesaksian, Jabir mengatakan: “Aku bersaksi bahwa aku bersamamu dalam
perjuangan ini.” Athiyah terkejut mendengar kata-kata Jabir. Apa maksud
kata-katanya? Apakah kita bersama mereka dalam perjuangan ini? Athiyah berkata
kepada Jabir: “Aku tidak mengerti maksud ucapanmu, bukankah kita
tidak berjihad bersama mereka? Kita tidak mengangkat pedang untuk
berjuang, mengapa kamu katakan bahwa kita bersama mereka dalam perjuangan
inil” Jabir mengatakan: “Saya mendengar Rasulullah
pernah mengatakan: ‘Barang siapa yang mencintai temannya dari kedalaman
hati, maka jiwanya akan menyatu dengannya dan bersama dalam suatu
perbuatan. Saya tidak bergabung dengan Imam Huscdn dalam perjuangannya
saat itu karena saya tidak mampu bersamanya pada saat itu. Saya tidak ikut
berjuang bersamanya, namun jiwaku terbang bersama Imam Husain. Jiwa kita
bersama jiwa Imam Husain sebelumnya, dan saya berhak mengaku bahwa saya turut
serta dalam perjuanganImam Husain.”
Catatan
[4] Nahjul Balâghah, “Faidhul
Islam”, Khutbah ke-70, hal. 324.
[5] Thâhâ: 74; al-A’lâ: 13.
[9] Al-Jâmi
ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[11] Al-Jâmi
ash-Shaghîr, Jilid II, hal.155.
[12] Wasâ`il as-Syi’ah: Jilid
XI, hal. 108 dan 560; Ushûl al-Kâfi, Jilid III, hal.239.