Mungkin kita menganggap
Mesir merupakan negara Islam yang paling maju dalam sains karena sekarang
mereka sudah mempunyai 2 orang pemenang Nobel (sastra dan kimia). Namun saya
cukup terkejut membaca artikel artikel yang ditulis oleh D. A. King yang
dipublikasikan di Nature, edisi 15 Juli 2004 yang berjudul “The scientific
impact of nations” yang analisisnya menyatakan bahwa Iran merupakan
satu-satunya negara Islam yang termasuk dalam 31 besar negara yang paling maju
sains-nya di dunia.
Bagaimana D. A. King
sampai pada kesimpulannya tersebut? Di bawah ini diterangkan metoda
penilaiannya. Dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu, parameter penting
untuk menilai “scientific impact” adalah produktivitas; yaitu hanya dari
jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal, dan sekarang, parameter yang
menentukan kualitas dari hasil penelitian tersebut telah dikuantifikasikan ke
dalam parameter yang disebut sebagai “impact factor”. Perhitungan nilai impact
factor tersebut didasarkan kepada jumlah rujukan (citation) dari artikel yang
telah dipublikasikan. Artinya, jika artikel itu banyak dijadikan referensi di
artikel yang lain, maka impact factor-nya menjadi tinggi. Banyak
lembaga-lembaga pemberi dana riset dan universitas menggunakan impact factor
ini dalam menilai pencapaian dosen, peneliti dan mahasiswa.
Sekarang muncul indikator
yang lain yang disebut sebagai “Scientific Impact of Nations” yang
diusulkan oleh D. A. King. King telah menganalisis jumlah rujukan (citation)
dari artikel yang dipulikasikan dari lebih 8000 jurnal dari 36 bahasa yang
diindeks oleh ISI Thomson dari tahun 1993-2001, yang terdiri dari jurnal-jurnal
dalam bidang sains dan teknologi. Hasilnya, 31 negara ditemui sebagai
penyumbang terbesar terhadap 1% atau lebih dari artikel yang paling banyak
dirujuk di dunia. Amerika serikat adalah yang teratas diikuti oleh
negara-negara eropa, Jepang, Taiwan, Singapore dan nomor 30: Iran! Iran
merupakan satu-satunya negara Islam yang masuk dalam penyumbang terbesar dengan
2152 artikel yang banyak dirujuk di jurnal-jurnal yang dikenal oleh ISI. Jika
indikator ini dibandingkan dengan “wealth intensity” (GNP dibagi dengan
jumlah penduduk), Iran menjadi nomor 30, dan Amerika serikat tidak lagi menjadi
nomor satu. Yang menjadi nomor satu adalah Swiss, sehingga Swiss dapat dianggap
sebagai negara yang paling efektif dan pintar dalam memanfaatkan dana riset dan
menghasilkan hasil riset yang bermutu tinggi.
Perkembangan sains di Iran
dapat dilihat dari perkembangan publikasi ilmiah yang mereka hasilkan. Sebagai
contoh, setelah revolusi Iran pada tahun 1979, jumlah artikel yang
dipublikasikan di jurnal internasional menurun, yaitu dari 450 artikel pada
tahun 1979 menjadi hanya 120 pada tahun 1980. Tetapi, pada tahun 2002 jumlah
itu meningkat 20 kali menjadi 2224 artikel. Iran nomor 15 di dunia dalam
penelitian ‘string teory’. Hal ini juga berlaku dalam bidang kimia dan
matematika. Tidak dapat disangkal, dunia barat terkejut dengan perkembangan
sains di Iran ini.
Fenomena yang perkembangan
sains di Iran sangat menarik untuk dicermati, dan telah dicoba dijelaskan dalam
sebuah artikel yang ditulis oleh Prof. Farhad Khosrokhavar, profesor sosiologi
di E´cole des Hauts E´tudes en Sciences Sociales (EHESS), di Paris yang dimuat
dalam Critique: Critical Middle Eastern Studies, (Summer 2004), 13(2),
209–224.
Banyak saintis Iran yang
berimigrasi ke barat setalah revolusi Iran. Universitas telah ditutup selama 3
tahun pada masa itu. Perang dengan Irak (1980-1988) juga menambah larinya
saintis-saintis Iran ke luar negeri. Melihat keadaan tersebut agak
mencengangkan melihat Iran dapat bangkit mengejar ketinggalannya.
Melihat kenyataan bahwa
revolusi Iran telah menolak sains sebagai produk dari barat, dan mempromosikan
sains yang berbasiskan Islam, telah menyebabkan reaksi yang bebeda dari saintis
Iran pada masa itu. Sebahagian berhenti bekerja dalam sains dan menukar
profesinya, dan sebahagian lagi malah menjadi “lebih kuat dan bersemangat” dalam
mengejar idealisme mereka untuk menjadikan Iran sebagai negara Islam yang maju
dalam sains dan teknologi. Pada masa-masa sulit tersebut, sekumpulan
matematikawan dan fisikawan teoritis berkumpul setiap minggu di University of
Tehran’s Institute of Physics. Diantara mereka adalah matematikawan Reza
Khosroshahi, Hosein Zia, dan fisikawan Farhad Ardalan, Firooz Partovi, Hesam ed
dine Arfa, and Reza Mansouri dan beberapa professor dari universitas di luar
Tehran. Mereka inilah yang membangkitkan kegiatan saintifik di Iran. Yang
menarik adalah, kumpulan diskusi ini disatukan dengan ide yang tidak ada
sangkut pautnya dengan politik, mereka disatukan dengan ide mengenai keunggulan
saintifik! Inilah idealisme mereka. Mereka memilih untuk tidak masuk dalam perdebatan
politik dan hanya memikirkan dan berusaha bagaimana mencapai keunggulan dalam
sains.
Terdapat dua generasi
saintis di Iran yang terkait dengan perkembangan sains di Iran. Generasi
pertama dianggap sekuler, dan kebanyakan mereka mendapat pendidikan di barat.
Mereka tidak sensitif terhadap terhadap revolusi yang terjadi di Iran. Generasi
kedua merupakan generasi yang terlibat dalam revolusi yang menentang rezim Shah
Iran. Sebahagian mereka merupakan orang-orang berusaha menegakkan apa yang
mereka sebut sebagai “Islamization of knowledge’. Generasi kedua inilah
yang merupakan generasi penggerak dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Iran.
Atas inisiatif merekalah program doktor (PhD) pertama dibuka di Iran. Dengan
dibukanya program PhD ini, barulah timbul kepercayaan diri, bahwa Iran mampu
menghasilkan hasil-hasil penelitian yang bermutu tinggi. Institualisasi dari
penelitian ilimiah dalam bidang sains juga dimulai dengan program PhD ini.
Dengan banyaknya artikel yang bermutu tinggi yang dipublikasikan, dapat dicatat
bahwa bahwa mereka telah berhasil menanamkan idealisme keunggulan dalam sains
kepada mahasiswa-mahasiswa mereka. Lembaga yang terkenal dalam menghasilkan
sainstis tersebut adalah Zanjan Institute of Advanced Studies in Basic Science
(IASBS) and Institute for Theoretical Physics and Mathematics (IPM) di Tehran,
dan juga di Sharif University of Technology, University of Tehran dan
University of Shiraz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar