(Perkataan Imam Ali bin Abi Thalib As di Nisan Annemarie Schimmel: “Seluruh
manusia tertidur pulas. Ketika ajal tiba, mereka baru sadar.”)
Pakistan
menjadi fokus studi saya setelah meninggalkan Turki. Ada banyak perjalanan yang
membawa saya ke sana selama kurun waktu beberapa tahun hingga hari ini.
Saya menjadi begitu hafal setiap sudut dan tikungan dari negeri yang luas itu,
tidak hanya padang-padang stepa Sind yang dihiasi titik-titik musoleum di
sana-sini, tapi juga kemudian wilayah pegunungannya di utara. Saya tidak tahu
lagi, mana yang paling hebat dari 30 kali kunjungan saya ke Pakistan. Apakah
episode di Islamabad ketika saya menerima penghargaan Hilal-i Pakistan
– penghargaan tertinggi bagi masyarakat sipil di Pakistan – yang diberikan pada
sebuah upacara yang dihadiri oleh Aga Khan? Atau perjalanan ke Khunjrab Pass
yang berada di ketinggian 15.000 kaki di perbatasan Cina? Atau penerbangan di
sepanjang Nanga Parbat menuju ngarai di lembah Indus? Atau keramahan luar biasa
yang ditunjukkan oleh masyarakat termiskin di pedesaan, yang ditunjukkan oleh
ketergesaan seorang pengawal yang memberikan segelas air kepada tamu terhormat
dari Jerman? Atau mungkin perjalanan dengan helikopter kecil melintasi
Balochistan di wilayah selatan negeri menuju Las Bela, lalu menuju ke gua suci
Hinglaj di pegunungan Makran, sebuah tempat suci yang akhirnya mampu kami capai
dengan menunggang unta?
Saya
juga menyaksikan perubahan politik; berbicara panjang lebar dengan Bhutto dan
Jenderal Zia ul-Haqq; menyaksikan tumbuhkan industrialisasi; hilangnya
pola-pola kehidupan lama secara perlahan; meningkatnya ketegangan antara
faksi-faksi yang berbeda; hingga pergantian dan pembunuhan menteri dan kepala
negara. Namun keragaman kultural yang sangat kaya, serta persahabatan dengan
begitu banyak orang (yang biasanya mengenal saya dari seringnya saya tampil di
televisi), membuat saya benar-benar menemukan rumah saya di Pakistan.
Ketertarikan
saya terhadap Pakistan – dan seluruh Anak Benua tersebut – mendapatkan berbagai
macam dukungan. Pada tahun 1960, sebelum mendapat panggilan dari Universitas
Bonn untuk mengajar studi-studi keislaman dan bahasa-bahasa yang relevan dengan
subyek itu, saya sempat membantu penyelenggaraan Kongres Internasional Sejarah
Agama di Marburg. Lima tahun kemudian sejumlah kolega Amerika mengundang saya
untuk membantu mereka mengorganisir kongres kedua di Claremont, California. Itu
menjadi kunjungan pertama saya ke Amerika Serikat. Saya benar-benar
menikmatinya, mengunjungi dari Disneyland hingga Grand Canyon dan New York,
yang semuanya tak berhenti memikat hati saya. Konferensi itu sendiri secara
jelas menunjukkan pentingnya pendekatan kesejarahan terhadap studi-studi agama
yang diinisiasi oleh beberapa sarjana Eropa namun kemudian dikembangkan secara
lebih dinamis oleh sejumlah sarjana di Amerika Utara. Tapi yang membuat saya
lebih bingung dibanding tegang terhadap berbagai pendekatan ini, adalah
pertanyaan dari Wilfred Cantwell Smith tentang kesediaan saya untuk bergabung
dengan Harvard dan mengajar mengenai budaya Indo-Muslim. Itulah yang diidamkan
oleh pimpinan Minute-Rice [1] yang terkenal, seorang Muslim India kaya, yang
tergila-gila dengan puisi Urdu karya Mir (w.1810) dan Ghalib (w. 1869), yang
menginginkan agar karya-karya penyair pujaannya diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris untuk memikat Barat, seperti yang dilakukan Fitzgerald terhadap Rubaiyat
Omar Khayyam lebih dari seabad silam. Tidak, jawab saya; saya tidak tertarik
sama sekali – Urdu bukan bagian dari studi saya. Dan Amerika? Saya tidak pernah
bermimpi untuk menetap di sana.
Sampai
titik itu saya masih punya alasan untuk menolak tawaran tersebut, atau
setidaknya untuk bersikap ragu: setelah pindah ke Bonn pada 1961, saya menjadi
editor sejak tahun 1963 untuk sebuah jurnal budaya berbahasa Arah dengan Albert
Theile, salah satu dari sedikit elit jenius penulis budaya. Jurnal kami, Fikrun
wa Fann, sering dipuji sebagai jurnal paling cantik yang terbit di Jerman.
Saya bukan hanya bertanggungjawab atas naskah-naskah berbahasa Arabnya, namun
juga dalam komposisinya. Saya belajar bagaimana membuat lay-out secara
klasik, dengan menggunakan gunting dan lem hingga tercipta sebuah karya yang
sempurna. Untuk memilih artikel, penulis dan ilustrasi, kami harus mengunjungi
banyak sekali museum, teater, pertunjukan balet, sehingga wawasan saya terhadap
karya-karya seni terbuka lebar dan memungkinkan saya mengeksplorasi minat
artistik yang saya miliki: sesuatu yang dengan caranya sendiri menunjang
profesi akademis saya. Meninggalkan jurnal yang saya lahirkan ini? Tidak!
Namun,
siapa yang sanggup menolak tawaran dari Harvard? Saya akhirnya menerimanya,
terutama karena saya tak lagi melihat ada peluang untuk promosi lebih tinggi di
Jerman – ketika pimpinan saya mengatakan, “Miss Schimmel, kalau saja anda
seorang laki-laki, anda akan mendapatkan jabatan!”
Kontrak
saya dengan Harvard dimulai pada bulan Juli 1966, namun saya memanfaatkan
bulan-bulan pertama untuk membeli buku di India dan Pakistan. Sekembalinya dari
Iran, saya singgah ke Afghanistan, yang keindahan alamnya menawan hati – dan
danau berwarna safir Band-i Amir itu, bukankah seperti diambil begitu saja dari
mimpi kanak-kanak kita? Belakangan saya memang harus kembali beberapa kali ke
negara ini, menjumpai penduduknya yang sangat ramah, menempuh perjalanan dari
Sistan ke Balkh, dari Ghazni ke Heart, di mana setiap tempat dipenuhi dengan
kenangan mengenai sejarah Islam dan menggemakan kembali bait-bait puisi Persia.
Saya tinggal cukup lama di Lahore, lalu pindah ke India, yang di tahun-tahun
berikutnya semakin saya kenal dengan baik – tidak hanya bagian utaranya yang
menyimpan warisan Moghul, tapi juga bagian selatannya. Di sana saya menemukan
kota-kota bekas pusat kerajaan kecil Deccan – Gulbarga, Bidar, Bijapur,
Aurangabad, dan Golconda-Hyderabad. Begitu banyak saksi dan bukti mengenai
warisan literatur dan artistik yang luar biasa namun sangat sedikit diketahui.
Sekali lagi sebuah dunia baru untuk dibuka untuk saya. Sebuah dunia yang akan
saya coba paparkan kepada mahasiswa-mahasiswa saya di Harvard nanti. Sebuah
dunia yang memungkinkan saya menawarkan bantuan ketika Cary Welch menyiapkan
pameran istimewa bertajuk “INDIA!” pada tahun 1985 di Museum Metropolitan,
kelak.
Pada
bulan Maret 1967 saya tiba di Harvard dan mengalami badai salju yang sangat
buruk pagi itu. Tak seorang pun mengingatkan saya bahwa hal itu biasa terjadi.
Juga tak seorangpun merasa perlu mengenalkan saya pada rahasia administrasi di
Harvard: tumpukan peraturan yang meliputi soal tingkat, makalah,
pertemuan-pertemuan penting, perbedaan antara sarjana dan pasca-sarjana, dan
sebagainya. Bagaimana mungkin seseorang, yang berasal dari sistem akademis yang
sepenuhnya berbeda (Turki dan Jerman) diharapkan langsung memahami hal-hal
tersebut? Semester pertama sungguh penuh tantangan: saya tidak hanya dipaksa
untuk memberi kuliah pengantar sejarah Islam, bahasa Persia, Urdu, dan beberapa
mata kuliah lain, tapi juga di setiap waktu luang saya harus nongkrong
di pojok perpustakaan Widener untuk membuat daftar beratus-ratus buku berbahasa
Urdu yang didatangkan dari Anak Benua tersebut. Jika sebelumnya kami hanya
memiliki enam atau tujuh terbitan berbahasa Urdu – itu yang saya jumpai di katalog
pertama – maka sekarang Widener bisa menyombongkan diri sebagai salah satu
perpustakaan yang menyimpan karya berbahasa Urdu dan Sindhi terlengkap di
Amerika Serikat.
“Harvard
adalah tempat paling sunyi di dunia,” kata seorang kolega Amerika memperingatkan,
dan memang hanya karena mahasiswa-mahasiswa yang luar biasalah saya sanggup
bertahan melewati tahun-tahun pertama yang sungguh sulit. Mereka adalah
mahasiswa dari India, Pakistan, dari Carolina dan Pantai Barat, dari Iran dan
dunia Arab, penganut Yesuit, Muslim dan Budhis. Merekalah anak-anak saya, yang
menolong saya melewati masa-masa nyaris putus asa, serta yang datang kepada
saya untuk meminta bantuan atas persoalan yang mereka hadapi (baik terkait
pendidikan maupun problem pribadi), dan dengan demikian membantu mengatasi
persoalan saya sendiri. Kemudian, sebagaimana saya mengalami Istambul dari
kacamata penyair, demikian pula saya belajar mengenai “para wanita Cambridge
yang hidup dengan jiwa yang utuh” melalui puisi E.E. Cummings.
Masalahnya
adalah saya harus mengajar dalam bahasa yang bukan bahasa asli saya, dan
meskipun saya sangat menikmati mengajar dalam bahasa Turki, saya selalu ingat
pengalaman ketika saya hampir gagal dalam pelajaran bahasa Inggris ketika duduk
di bangku SMA, meskipun ketika itu saya sudah menerbitkan beberapa buku dalam
bahasa Inggris. Buruknya lagi, di Jerman saya bisa memanfaatkan karya-karya
terjemahan puitik yang luar biasa dari puisi Timur yang ditulis sejak tahun
1810, dan ketika karya yang diperlukan tidak tersedia maka saya akan
menerjemahkannya sendiri. Tapi di sini saya seperti bisu, karena tidak bisa
memberikan menjelaskan harta karun ini kepada para mahasiswa – atau setidaknya
itu yang saya pikir.
Ketika
Harvard menawari posisi tetap pada tahun 1970, saya merasa lebih aman dengan
pengaturan untuk mengajar satu semester dengan beban dua kali lipat, sehingga
saya bisa menghabiskan hampir seluruh musim gugur di Jerman dan Anak Benua
India, saya kira akan berkontribusi positif baik terhadap riset saya sendiri
maupun mahasiswa saya. Ketika akhirnya pengaturan itu diterima oleh pihak
universitas, maka itu terutama disebabkan oleh upaya dan jaminan komisaris
Minute-Rice, Mr. James R. Cherry, yang persahabatan serta nasihat-nasihat
bijaknya terus menemani sejak saya pertama kali menginjakkan kaki ke negeri
ini. Selama selang waktu tersebut, terutama setelah saya pindah ke Eliot House,
saya semakin merasa menjadi anggota sejati komunitas Harvard, bertemu dengan
kolega-kolega yang berasal dari latar belakang dan spesialisasi berbeda di
Senior Common Room – sesuatu yang oleh sekelompok kecil anggota departemen
“eksotis” perlukan untuk membangun sensitivitas terhadap aneka persoalan yang
dihadapi oleh sebuah universitas elit dan ternama.
Agak
aneh karena meskipun saya hidup di tiga benua, namun produktivitas menulis saya
terus tumbuh. Amerika Serikat memaksa saya untuk menulis dalam bahasa Inggris,
yang artinya saya menjangkau lebih banyak pembaca ketimbang sebelumnya, ketika
saya menulis dalam bahasa Jerman. Saya juga menikmati kesempatan untuk
mempelajari berbagai hal mengenai Amerika Utara, melalui berbagai seminar dan
konferensi yang mengantar saya ke kampurs-kampus utama. Di mana-mana saya
berjumpa dengan teman. UCLA adalah salah satu yang hampir secara rutin saya
kunjungi untuk menghadiri konferensi Levi-della-Vida, dan di salah satu
konferensi tersebut, tanpa saya duga, saya menerima penghargaan Levi-della-Vida
pada tahun 1987. Lalu Salt Lake City dan pemandangan alam yang amat memukau di
selatan Utah; kemudian Eugene (Oregon) dan Dallas; Chapel Hill dan Toronto
serta masih banyak lainnya; kemudian Chicago dengan sekelompok ahli sejarah
agama yang memasukkan saya ke jajaran editor Encyclopedia of Religion-nya
Mircea Eliade yang sangat prestisius. Juga harus saya sebutkan kuliah-kuliah
ACLS dalam Sejarah Agama pada musim semi 1980, yang memperjalankan saya dari
Tennessee dan Duke ke Edmonton, Alberta. Saya kira saya sudah memecahkan rekor
jumlah mata kuliah yang diajarkan mengenai aspek-aspek puitik sufisme dalam
Islam, yang kemudian terbit dengan judul Through a Veil. Waktu yang
saya habiskan di seberang lautan juga sebagian besarnya digunakan untuk
memberikan kuliah dari Swis ke Skandinavia, dari Praha ke Australia, dari Mesir
ke Yaman, dan juga berpartisipasi dalam berbagai perayaan terkait 2500 tahun
Iran pada 1971.
Saya
sering ditanya apakah tidak meletihkan menjalani hidup yang demikian: dari
kelas ke kelas, menulis, dan membicarakan berbagai topik di berbagai
kesempatan. Ya, mungkin demikian pada waktu-waktu tertentu, namun suka
cita yang dialami seseorang ketika bertemu dengan demikian banyak pribadi yang
menarik, menyibukkan diri dengan diskusi-diskusi yang hidup setelah kuliah usai
– sambil sarapan, makan siang atau makan malam – sudah tentu sangat
menyemangati, karena itu semua memenuhi pikiran kita dengan ide-ide segar.
Bahkan pertanyaan bodoh dari seorang wartawan yang tak terlatih, atau
pertanyaan sok tahu dari seorang pelajar SMA, semuanya menjadi petunjuk bahwa
kita harus menyelesaikan persoalan dengan lebih taktis, atau memformulasikan
jawaban dengan lebih jelas. Sudah barang tentu, pertanyaan yang paling sering
diulang, “Bagaimana mungkin, sebagai perempuan anda tertarik dengan Islam dan
semua itu?” akan membuat saya hilang sabar dan bahkan marah!
Lingkaran
kesarjanaan saya, yang hampir bisa disamakan dengan kehidupan saya sendiri,
kian meluas. Kenyataan bahwa pada sepupu saya Paul Schimmel (yang namanya
diambil dari almarhum ayah saya yang tidak pernah mengenalnya) juga mengajar di
MIT dan terpilih sebagai anggota American Academy of Arts and Sciences persis
pada hari yang sama dengan saya sendiri, terus menjadi sumber kebahagiaan untuk
saya. Saya bangga terhadapnya dan keluarganya yang penuh kasih, terutama pada
dua anak perempuannya yang sangat berminat terhadap kebudayaan Islam.
Sungguh
sebuah pengalaman yang luar biasa menyaksikan perkembangan para mahasiswa
(beberapa di antara mereka sekarang sudah pensiun sebagai duta besar, atau
menjadi guru besar senior). Tapi juga tak terkatakan rasanya melihat bagaimana
bibit-bibit spritualitas yang sejak lama disemai bersemi dan tumbuh menjadi
bunga-bunga indah dan buah yang membanggakan. Ketika saya mulai belajar
bagaimana menerapkan pendekatan fenomenologis terhadap agama, yang secara mudah
diartikan sebagai memahami manifestasi eksternal dari agama, untuk kemudian
secara bertahap masuk ke inti ajaran agama, saya yakin (dan masih terus yakin)
bahwa pendekatan ini akan mengantarkan pada toleransi yang amat kita butuhkan
sekarang ini, tanpa kekhawatiran akan lebur dalam pandangan-pandangan
“sinkretistik” yang membahayakan imannya dan mengaburkan semua perbedaan.
Tapi
bagaimana saya berani bermimpi bahwa suatu hari (tepatnya pada 1980) saya akan
terpilih sebagai Presiden dari International Association of the History of
Religion, perempuan pertama dan Islamolog pertama yang menduduki posisi ini?
Atau bagaimana orang akan meramalkan bahwa pada 1992 saya akan menyampaikan
kuliah di Gifford Lectures di Edinburgh, sesuatu yang selalu menjadi impian
setiap ahli sejarah agama, teolog dan filosof? Kalau saya mengingat lagi bacaan
Persia saya di semester kedua, ketika saya berusia 17 tahun, Safarnama,
karya filsuf besar Ismailia bad pertengahan Nasir-i-Khusraw (wafat setelah
1071), apakah saya membayangkan bahwa beberapa mahasiswa terbaik saya di
Harvard adalah anggota komunitas Ismaili, atau bahwa saya akan berhubungan erat
dengan Institute of Ismaili Studies di London, di mana saya selalu gembira
mengajar selama musim panas dan untuk siapa saya rela menerjemahkan (kali ini,
syukurlah, ke dalam bahasa Inggris!) puisi-puisi dari buku asli
Nasir-i-Khusraw?
Dan
ketika saya merasa nyaris putus asa di Arbeitsdients sebelum memasuki
universitas, menulis surat kepada seorang imam di Masjid Berlin memohon
bantuannya untuk mengenalkan pada sebuah keluarga di Lahore sehingga saya bisa
tinggal di sana untuk belajar bahasa Urdu (yang tentu nyaris terdengar sebagai
sebuah utopia pada waktu itu!) – siapa yang akan menyangka bahwa 40 tahun
kemudian, pada 1982, salah satu lorong paling indah di Lahore akan dinamai
dengan nama saya?
Seluruh
hidup saya, yang lingkarannya semakin luas, sebagaimana dikatakan Rilke, adalah
sebuah proses belajar tanpa henti. Sudah barang tentu, dari belajar dan belajar
lagi tentang sejarah, kadang membuat saya ngeri mengamati perubahan perspektif
yang terus-menerus terjadi dalam ranah politik di negara-negara yang dekat di
hati saya. Mungkin, ketika kita mengamati masyarakat-masyarakat Islam (tentu
saja bukan hanya Islam) di masa modern, kita jadi memiliki keterampilan untuk mengingat
pasang surut sejarah, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan Afrika Utara abad
ke-14, Ibn Khaldun, dalam muqaddima-nya yang terkenal –dan sempat saya
terjemahkan dahulu kala. Selain itu, dengan mempelajari sejarah orang akan
cenderung (dan ini juga saya rasakan) untuk mencari kekuatan tetap yang berdiri
di bawah samudra, di balik permukaan yang penuh gelombang peristiwa.
Orangtua
saya yang bijaksana mengajarkan hal ini dengan cara yang berbeda. Tanpa
pemahaman ayah mengenai inti ajaran agama, dan tanpa kebijaksanaan ibu yang
demikian mendalam serta kesabarannya yang seolah tanpa batas menghadapi
putrinya yang cenderung aneh, juga dukungan tanpa letihnya, bisa dipastikan
saya akan menjalani hidup yang berbeda. Sebagai gadis desa yang tak pernah
menamatkan pendidikan menengahnya dan murni seorang otodidak, ibu membaca
naskah-naskah yang saya tulis dan mengoreksi buku-buku serta artikel berbahasa
Jermah saya serta bertindak, seperti diistilahkannya, sebagai “suara orang
kebanyakan”. Dengan demikian mengajarkan pada saya untuk menulis dengan
membayangkan para pembaca awam. Namun di sisi lain, ibu juga menjadi
penyeimbang bagi kecenderungan saya tenggelam terlalu dalam di dalam
mimpi-mimpi spiritualitas cinta, dan karena ibu sendiri adalah seorang yang
supersensitif, ia menjaga agar saya tidak kehilangan ketenangan dan pemikiran
kritis saya.
Walaupun
tampaknya masa belajar itu akan segera berakhir, saya mengerti bahwa setiap
pengalaman – bahkan yang paling tidak menyenangkan sekalipun – mengajarkan
sesuatu kepada saya: bahwa setiap pengalaman itu harus disatukan untuk
memperkaya keseluruhan kehidupan. Tidak ada kata akhir untuk belajar,
sebagaimana tidak ada akhir untuk kehidupan. Iqbal menyatakan ini dalam
kalimatnya yang sangat berani: “Surga itu adalah tak ada hari libur!” katanya,
merujuk pada Goethe dan para pemikir lain. Bahwa kehidupan yang abadi sekalipun
adalah sebuah proses bertumbuh yang terus-menerus, dan itu artinya belajar –
belajar dengan cara yang misterius mengenai misteri-misteri keilahian yang
kerap tak terduga, yang menyembunyikan diri di balik berbagai pertanda.
Penderitaan adalah bagian dari proses ini, dan salah satu tugas paling sulit
dalam hidup ini adalah belajar kesabaran.
Belajar,
untuk saya, adalah proses mentransformasi pengetahuan dan pengalaman kepada
kebijaksanaan dan cinta, untuk menjadi matang. Seperti dikatakan oleh sebuah
nasihat dari Timur, bahwa batu biasapun bisa berubah menjadi rubi jika ia
mengizinkan dirinya terbakar cahaya matahari, dan meneteskan darah untuk sebuah
pengorbanan yang agung. Mungkin beberapa bait puisi yang saya tulis setelah
mengunjungi musoleum Maulana Rumi di Konya berikut ini secara lebih tepat
mengungkapkan apa arti belajar untuk saya:
Kau
tak akan pernah mencapai gunung perak itu
yang
tampak, seperti kumpulan awan sukacita,
dalam
cahaya malam
Kau
tidak akan pernah melintasi danau penuh garam
yang
terus tersenyum kepadamu
dalam
kabut pagi
Setiap
langkah di jalan ini akan membawamu semakin jauh
dari
rumah, dari bunga-bunga, dari musim semi.
terkadang
bayangan awan akan meneduhi jalanmu
terkadang
kau mendapati dirimu beristirah di puing-puing yang ditinggalkan kafilah,
mencari
Kebenaran dari balik kepulan asap jelaga,
terkadang
kau melangkah beberapa depa
bersama
jiwa yang kau kira keluarga
hanya
untuk kehilangan dirinya
Kau
akan terus melangkah, tercabik awan,
terbakar
matahari,
sementara
seruling sang gembala
mengabarkan
kepadamu tentang “Jalan darah”.
Sampai
kau tak sanggup lagi menangis
sampai
danau menjadi asin
oleh
air matamu yang mengering
yang
mencerminkan gunung sukacita
yang
lebih dekat kepadamu, daripada hatimu.
(Annemarie
Schimmel, 1993)
[1]
Minute-Rice adalah merek nasi instan terkenal yang pertama kali diperkenalkan
oleh General Food pada tahun 1949.
Hak
Cipta Terjemahan @ Nurul Agustina