Diskusi Wanda R. Taylor dan Seyyed Hossein Nasr
(Wawancara Wanda Romer
Taylor, redaktur majalah Voice Acros Boundaries, dengan Doktor Seyyed Hossein
Nasr, filsuf terkenal Iran dan dosen di berbagai universitas di Amerika ini
berkisar tentang sejarah kekerasan Islam dan Kristen juga seputar Osama bin Laden
dan hipokritas Barat-Amerika yang diterjemahkan oleh Nasir Dimyati)
WRT: Mengenai
agama Islam, harus kita katakan bahwa agama ini juga sama dengan agama Yahudi;
bersumber dari budaya perang dan kekerasan. Tapi setelah perkembangan awal
Islam, muncullah periode-periode panjang perdamaian dan kedewasaan
ilmiah-kultural serta toleransi agama. Apakah fenomena-fenomena historis ini
betul-betul terpisah antara satu dengan yang lain? Sudikah Anda menjelaskan
kronologi dan pengaruh kondisi nyata sejarah dasar-dasar Islam terhadap
terbentuknya agama?
SHN:
Sebelumnya perkenankan saya untuk mengoreksi kata-kata Anda. Dasar-dasar Islam
tidak punya ruang di dalam budaya perang dan permusuhan, melainkan bersumber
dari Tuhan, agama Islam muncul di Arab dan di tengah kabilah-kabilah yang
saling bermusuhan. Agama ini turun dari sisi Tuhan untuk mengakhiri permusuhan
antar kabilah. Sejarah peradaban manusia senantiasa sarat dengan peperangan,
dan Islam bukanlah pengecualian dalam hal ini.
Dibandingkan dengan
Kristen dan Yahudi, Islam tidak punya perang yang lebih banyak. Nabi saw.
terpaksa berhijrah dari Mekah ketika kehidupannya terancam bahaya besar di
sana. Beliau terpaksa melakukan perang pertahanan di Madinah. Tapi ketika
beliau kembali ke Mekah, beliau ciptakan perdamaian tanpa menumpahkan setetes
pun darah. Begitu pula halnya setelah beliau wafat, pada masa empat khalifah
yang pertama telah terjadi perang sektarianis, setelah itu adalah periode
panjang penuh damai dan kedewasaan kultural di semua bidang religius dan
budaya. Dibandingkan dengan mayoritas agama yang lain, bahkan agama Hindu yang
terkenal dengan toleransinya, ternyata Islam lebih memiliki toleransi agama
daripada yang lain. Fakta membuktikan bahwa Nabi saw. menghormati sekali
orang-orang Yahudi dan Kristen dan menyebut mereka sebagai Ahlikitab.
Peperangan beliau melawan
kelompok Yahudi di Madinah sama sekali bukan karena ke-Yahudian mereka,
melainkan karena persekongkolan mereka dengan musuh-musuh Islam di Mekah dan
pengkhianatan mereka, pelanggaran itulah yang menyebabkan sebagian orang Yahudi
terbunuh. Adapun orang-orang Yahudi dan Kristen lainnya, hidup di bawah naungan
perlindungan muslimin dan hidup dengan tenang serta damai di antara mereka.
WRT: Apa
pendapat Anda tentang sentimen anti-Yahudi dan anti-Israel yang populer di
kalangan umat Islam?
SHN: Ini
adalah fenomena baru yang merupakan reaksi dari kemunculan Zionisme sebagai
sebuah ideologi non agamis di kawasan dan pendudukan bumi Palestina serta
penganiayaan terhadap penduduk sana. Kapan saja persoalan antara dua belah
pihak Zionis dan Arab diselesaikan secara adil maka mayoritas sentimen
anti-Yahudi ini pasti tersingkirkan. Secara historis, kaum Kristen dan Yahudi
menjalani hidup di sebagian besar negara Islam tanpa menghadapi problem besar. Kehidupan
kaum Yahudi di tengah masyarakat muslim jauh lebih tentram dibandingkan
kehidupan mereka di tengah negera-negara Eropa. Setelah kaum Yahudi bersama
muslimin diusir dari Spanyol pada abad kelimabelas, mereka tinggal di Afrika
Utara dan Turki, mereka di sana hidup tentram dan terhormat. Bahkan, ketika
Amerika membombardir kota Baghdad pada tahun 1991, tidak ada seorang Kristen
pun yang diganggu oleh orang-orang muslim Irak.
WRT: Seperti
halnya kitab suci Yahudi dan Kristen, Al-Qur’an juga mengandung ayat-ayat
pembelaan terhadap tindakan damai dan juga kekerasan. Sudikah Anda menerangkan
aneka ragam penafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan
kekerasan? Apa penjelasan Al-Qur’an tentang konsep perang?
SHN: Ayat
tentang perang di dalam Al-Qur’an bisa dihitung dengan jari-jari, tapi sayang
sebagian orang di Barat selalu menarik ayat-ayat itu lalu mengkritiknya
seolah-olah mereka lupa bahwa jumlah ayat peperangan di dalam Taurat lebih
banyak. Perang, menurut Al-Qur’an, hanya diperbolehkan sebagai bentuk aksi
pertahanan, dan tidak boleh hukumnya membunuh penduduk sipil, wanita, dan
anak-anak. Adapun mengenai istilah ‘jihad’ yang biasanya di Barat diungkapkan
secara menyimpang, saya katakan bahwa ‘jihad’ berarti ‘usaha di jalan Tuhan’
dan maknanya yang paling dalam adalah perjalanan pribadi dalam diri dan bukan
perang suci. Meskipun demikian, ‘jihad’ juga terkadang berarti sebuah operasi
pertahanan yang dibutuhkan dalam rangka melindungi masyarakat muslim.
WRT: Inilah
letak perbedaan antara jihad akbar dan jihad asghar. Tolong beri kami
keterangan yang lebih tentang persoalan ini?
SHN: Memang
benar, jihad besar berarti usaha pribadi dalam diri untuk menaklukkan hawa
nafsu dan jiwa materialnya. Jihad kecil berarti perang pertahanan luar diri.
Setelah perang pertama melawan musuh-musuh dari Mekah, Nabi saw. mengucapkan
selamat kepada para pengikutnya dan kemudian memperingatkan mereka dengan
sabdanya, “Kalian baru saja selesai dari jihad luar diri dan sekarang
konsentrasilah untuk jihad dalam diri.” Beliau memperingatkan mereka bahwa
jihad dalam diri melawan hawa nafsu dan kemauan-kemauan material lebih penting
dan lebih besar daripada jihad luar diri.
WRT: Perang
dalam bahasa Arab adalah ‘harb’, apa bedanya konsep ‘harb’ dengan ‘jihâd’?
Kenapa kata jihad lebih populer dalam kajian-kajian Islam kontemporer?
SHN: ‘Harb’
berarti perang, dan Islam telah menetapkan berbagai undang-undang yang jelas
untuk itu. Sebagaimana kata jihad memiliki makna tersendiri menurut agama dan
berarti usaha demi Tuhan di jalur persambungan dengan-Nya, akan tetapi kata ini
juga telah digunakan untuk maksud yang lain. Sebagai contoh, coba perhatikan
kata masehi ‘crusade’ pada perang salib, di abad kesebelas dan tepatnya ketika
terjadi peperangan melawan Islam, Paulus Urban menggunakan kata ini dalam arti
perang suci, begitu pula di abad keduapuluh; presiden Johnson menggunakan kata
ini dalam arti perang melawan kemiskinan. Oleh karena itu pula kata jihad
terkadang digunakan dalam artinya yang hakiki dan terkadang digunakan dalam
artinya yang majasi, dan sebagaimana dalam masyarakat yang lain; sebagian
waktu, perang digelar atas nama-nama bohong. Di sepanjang sejarah, senantiasa
ada sultan atau penguasa yang mengumumkan ‘jihad’, padahal apa yang sedang
terlintas di dalam benak mereka tidak lain adalah ‘harb’ atau perang. Mereka
bermaksud untuk menduduki kawasan tertentu atau mengalahkan musuh, maksud itu
mendorong mereka untuk menggunakan slogan religius ‘jihad’ demi memberikan
pengesahan terhadap tindakan dan politik mereka. Permainan politik seperti ini,
baik secara hukum maupun secara teologis, sama sekali bukan jihad. Jihad hanya
berhak diumumkan oleh pemimpin pemerintahan Islam setelah bermusyawarah dengan
ulama agama. Presiden Mesir, contohnya, tidak berhak mengumumkan jihad, karena
dia presiden non-Islami sebuah negara.
Islam adalah agama yang
kandungannya betul-betul politis, dan secara historis sebagian reformis agama
dan politik menggunakan sarana kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Beda
halnya dengan agama Kristen; di sana Almasih berkata kepada para pengikutnya,
“Serahkan kepada Tuhan apa saja yang milik Tuhan, dan serahkan kepada Kaisar
apa saja yang milik Kaisar.” Menurut Islam, segala sesuatu milik Tuhan.
Undang-undang dan syariat Islam berdiri di atas dua fondasi, yang pertama
adalah wahyu yang sampai kepada Nabi saw. berupa Al-Qur’an, dan yang kedua
adalah hadis atau sunnah dan riwayat tindakan Nabi saw. Undang-undang suci
Islam (syariat) berlandaskan pada dua sumber asli yang paling mendasar ini. Di samping
itu, berlandaskan juga pada prinsip-prinsip lain seperti ijmak dan kias. Adapun
agama Kristen tidak punya undang-undang yang jelas di dalam kitab Injil. Beda
halnya dengan Musa dan Nabi Muhammad saw., Almasih tidak membangun
undang-undang tertentu, itulah sebabnya masyarakat-masyarakat Kristen terpaksa
menggunakan undang-undang yang ada dalam budaya-budaya lokal. Sedangkan di
dalam agama Islam, syariat bersetubuh lekat dengan agama dan tak terpisahkan
satu sama yang lainnya.
Selama dua abad setelah kemunculan Islam ada gelombang kuat penelitian di
tengah masyarakat muslim, karena itulah disiplin ilmu fikih atau undang-undang
Islam berkembang pesat pada waktu itu. Para fakih terdahulu bermaksud untuk
menegakkan norma-norma hukum tertentu sekiranya mencakup tuntunan-tuntunan
Al-Qur’an tentang pembangunan masyarakat yang bertakwa, sejajar dan adil. Para
sultan dan khalifah sepatutnya memerintah dan melindungi rakyat sipil sesuai
asas syariat. Namun, seperti halnya dalam masyarakat-masyarakat yang lain; sebagian
pemimpinnya lebih baik daripada yang lain, sebagiannya lagi gemar membunuh dan
menganiaya rakyat sehingga biasanya orang-orang yang tertindas berlindung pada
ulama dan pimpinan spiritual. Di berbagai kesempatan, sebagian kelompok merasa
bahwa pemimpin tiran jauh keluar dari jalur syariat dan menyimpang dari jalan
utama Islam yang berasaskan pada keadilan dan kesejajaran di hadapan
undang-undang, oleh karena itu mereka bertekad untuk melakukan gerakan politik
dan reformis yang menentang pemimpin-pemimpin tersebut. Dalam kondisi seperti
ini biasanya muncul aksi kekerasan. Pada kenyataannya, berhadapan dengan
masalah kekerasan adalah sebuah kenyataan dalam kehidupan sosial manusia. Islam
tidak melupakan kenyataan ini, melainkan ingin membatasi perang dan kekerasan
sebisa mungkin serta melarang aksi kekerasan terhadap rakyat sipil yang tak
berdosa, khususnya orang-orang tua, wanita, dan anak-anak kecil. Bagaimana pun
juga sejarah Islam jika dibandingkan dengan sejarah Kristen tidak menunjukkan
kekerasan yang lebih banyak.
WRT: Di
Barat, kita sering melupakan kenyataan bahwa perkembangan ilmiah, kultural, dan
filosofis dunia Islam di abad-abad pertengahan yang banyak membantu Eropa untuk
memasuki masa Renaisans dan Era Pencerahan. Dan pada abad ke-18 serta 19
ekonomi ekspansionis Eropa merusak keseimbangan kekuasaan dan berusaha untuk
menjajah berbagai masyarakat yang pada umumnya petani di Timur Tengah, Afrika
dan Asia. Sudikah Anda menerangkan dampak perubahan keseimbangan kekuasaan
dalam Islam?
SHN: Perkembangan
Eropa bahkan telah mulai dari awal abad ke-16. Mungkin Islam pada waktu itu
merupakan peradaban yang paling penting, dan Barat sampai batas-batas yang jauh
berhutang budi pada peradaban besar ini. Ilmu pengetahuan Barat telah dibangun
di atas ilmu pengetahuan Islami. Galileo Galilei tidak mungkin muncul tanpa
tokoh-tokoh terkemuka seperti Abu Ali Sina (Ibnu Sina) dan
astronomer-astronomer muslim lainnya. Meskipun ilmu pengetahuan Galileo dan
ilmuan modern lainnya yang berkembang terbangun di atas pandangan dunia yang
berbeda dengan ilmu-ilmu Islami, akan tetapi secara historis dunia Islam telah
melakukan sebuah kesalahan yang penting sekali. Dalam kapasitasnya sebagai
peradaban yang aktif dan dinamis, dunia Islam pada abad ke-16 dan 17 disibukkan
dengan persoalan-persoalan internal dan lalai terhadap kemajuan gradual Eropa
dan pembentukan sebuah kekuasaan yang dominan.
Muslimin pada waktu itu
memandang penduduk Eropa sebagai orang-orang yang hobi perang dan tidak
teratur, tapi kuat. Praktis, transaksi pada waktu itu terjadi hanya sepihak.
Eropalah yang ketika itu paling banyak berhutang budi pada dunia Islam.
Kekuasaan Islam kala itu terpusat di India Mongol, Iran Safawi, dan Imperatur
Islami. Ketika penduduk Eropa menduduki beberapa kawasan di Asia yang jauh,
kejadian ini tidak terhitung besar. Tapi baru ketika Napoleon menduduki Mesir
pada tahun 1798, dunia Islam terjaga dari tidurnya dan sadar. Mesir terletak di
jantung dunia Islam, dan meskipun berada di bawah tindasan Dinasti Utsmani dan
pemerintahan Mamluk, akan tetapi pemerintahan Mamluk itu merupakan satu-satunya
silsilah sultan muslim yang berhasil mencegah kehancuran Mesir secara total
akibat serangan pasukan Mongol dan mengalahkan mereka. Oleh karena itu,
kemenangan Napoleon terhadap Mesir adalah guncangan yang kuat sekali. Eropa
berubah menjadi kekuasaan yang dominan, karena kekuasaan itu menjadi sekuler.
Mungkin saja sebagian orang mengatakan bahwa Eropa pasca abad-abad pertengahan
telah menjual spiritualitas dan ruhnya dalam transaksi Faustian demi meraih
kekuasaan duniawi. Saya selalu mengatakan bahwa seandainya Islam juga mau
mengerahkan seluruh energinya untuk merenggut kekuasaan dunia dan tidak
menggunakannya untuk penemuan serta penelitian filosofis, agamis dan irfani,
niscaya Islam juga bisa mendapatkan sarana yang mampu menaklukkan dunia.
WRT: Dewasa
ini, ada sejumlah besar orang muslim yang hidup di Barat, begitu pula
sebaliknya; ada sejumlah besar orang Barat yang hidup di tengah berbagai
masyarakat muslim. Fenomena ini mungkin telah mengobrak-abrik pembatasan antara
apa yang secara tradisional disebut oleh muslimin sebagai Darus Salam atau
kawasan mayoritas muslim dengan tempat-tempat yang lain. Tolong jelaskan
tentang reaksi muslimin Darus Salam terhadap Barat?
SHN: Kita
harus kembali lagi ke periode Napoleon. Sewaktu dia menduduki Mesir, jantung
dunia Islam, muslimin terguncang dan tercengang. Sebaliknya dari sejarah
Yahudi, sejarah Islam adalah sejarah penaklukan dan kemenangan. Sebuah ayat di
dalam Al-Qur’an mengatakan, “Apabila Tuhan menolong maka tidak ada seorang pun
yang dapat mengalahkan kalian.” Muslimin berkeyakinan bahwa selama mereka
mengikuti agama Allah maka pasti mereka menang. Tapi nyatanya sekarang Islam
tengah menghadapi krisis spiritual, agama, dan politik yang sangat dalam,
mereka bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, mana letak kesalahan yang telah
mereka perbuat?
Ada tiga pandangan yang
menjawab pertanyaan ini; yang pertama mengatakan kekalahan besar ini adalah
tanda nyata akhir dunia dan kemunculan Mahdi atau penyelamat dunia; pandangan
kedua mengatakan muslimin tidak mematuhi ajaran-ajaran Islam sebagaimana
mestinya, dan seyogianya mereka kembali pada kepatuhan yang sesungguhnya
terhadap agama; pandangan ketiga mengatakan pesan Islam harus disesuaikan dengan
dunia modern agar dapat serasi dengan Barat yang dominan. Masing-masing dari
jawaban itu mempunyai pendukung tersendiri, sehingga terdapat tiga macam
gerakan pemikiran dalam menghadapi Barat yang modern pada abad ke-19.
Tiga gerakan ini mencakup
Mahdiisme atau gerakan-gerakan messianic, fundamentalisme minus intelektual
seperti Wahabisme di Saudi Arabia, dan gerakan-gerakan modern seperti Turk Muda
(Young Turks/ Jön Türkler/ Jeunes Turcs) dan Libralisme Arab. Gerakan-gerakan
ini muncul dalam dua tahap. Pertama pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20
serta periode pasca perang dunia kedua. Gerakan tahap kedua berbeda dengan
tahap pertama, meskipun dia mencakup berbagai gerakan Mahdiisme, Reformisme dan
Fundamentalisme. Gerakan ini juga akhirnya menimbulkan sesuatu yang disebut
oleh Barat dengan nama Islam Tradisional. Pada saat yang sama, kondisi baru
yang muncul di Barat telah menciptakan hubungan yang paling keruh antara dia
dan Islam. Setelah perang dunia kedua, muslimin menyadari keputus-asaan penduduk
Barat terhadap modernitasnya.
Kala itu, keadaan ini
tertuangkan dalam puisi-puisi T. S. Eliot atau dalam karya René Guénon tentang
krisis dunia modern, begitu pula dalam karya-karya lain yang semua itu kemudian
diterjemahkan dan tersebar di dunia Islam. Selain itu, kekayaan yang mengucur
ke dunia Islam telah mempercepat laju perindustrian dan modernisasi serta
menambah ketegangan antara Islam dan pengaruh Barat di dalam negara-negara
Islam. Mayoritas dunia Islam telah mencapai kemerdekaan politik dan mereka
ingin sekali mencapai kemerdekaan kultur dan sosial di samping itu. Sampai saat
itu agama masih mempunyai kekuatan yang tinggi di tengah masyarakat-masyarakat
muslim. Oleh karena itu, mayoritas muslimin sangat berharap untuk menghidupkan
kembali masyarakat Islam dan mendominasikan lagi budaya dan hukum Islam yang
sempat dihentikan oleh kekuasaan imperialis. Walau demikian, muslimin mendapati
diri mereka masih tergantung pada kekuatan ekonomi dan teknologi Barat, dan
secara politik juga masih berada di bawah dominasi kelompok tertentu yang
terdidik oleh Barat dan mempunyai kecenderungan kepada Barat serta menduduki
posisi strategis karena dukungan Barat. Siapa saja yang mengenal dunia Islam
pasti tahu bahwa ketegangan-ketegangan ini pada akhirnya menimbulkan berbagai
reaksi. Saya termasuk orang muslim pertama yang membicarakan topik ini pada
dekade lima puluh.
WRT: Anda
tadi menggunakan dua istilah Fundamentalisme dan Tradisionalisme, tolong
jelaskan apa perbedaan antara dua kelompok Islam itu?
Iya, dua kelompok itu
berbeda sekali. Fundamentalisme adalah konsep Barat yang berasal dari
Protestanisme Amerika dan pertama kali digunakan oleh Barat untuk Islam ketika
revolusi Islam pada tahun 1979 terjadi di Iran. Ini istilah fallacious yang
menyesatkan dan mengandung berbagai unsur yang tidak serasi. Contoh
Fundamentalisme yang paling masyhur adalah Wahabisme di Saudi Arabia. Hal-hal
yang disepakati oleh seluruh fundamentalis adalah kebencian dan
ketidakpercayaan terhadap Barat dan budayanya serta kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat. Mereka juga punya kecenderungan pada gerakan
aktif dan pada umumnya menentang dimensi-dimensi internal Islam seperti irfan,
filsafat dan seni.
Mereka lebih mendukung
pemahaman kulit (lahiriah) dan semi-ilmiah terhadap Al-Qur’an. Pada
kenyataannya, kecenderungan awam yang bisa juga disebut dengan Aliran Salafi
ini tidak sepenuhnya berada dalam kategori pandangan yang sejati dan resmi,
melainkan berada dalam kategori pinggiran Islam Ortodoks (Islam yang mungkin sekali
justru menyimpang). Fundamentalisme adalah wajah lain dari satu logam
Modernisme.
Dalam bentuknya yang
terkini, Fundamentalisme tidak mungkin ada tanpa Modernisme yang sekiranya dia
menuntut teknologi modern sekaligus menolak peradaban modern. Daya tarik ajakan
kelompok fundamentalis kuat sekali, karena sejak perang dunia kedua sampai
selanjutnya identitas Islam berada dalam bahaya yang besar. Namun walau
demikian, mayoritas muslimin bukan fundamentalis, melainkan tradisionalis.
Mereka (tradisionalis) ingin membangun kehidupan atas dasar pokok-pokok tradisi
Islam yang sekiranya mewarisi ilmu pengetahuan, seni, budaya dan spiritual
Islam yang kaya raya. Sedangkan Fundamentalisme adalah kelompok yang menepis
warisan itu. Kelompok fundamentalis menyukai tampilan luar dan kulit agama,
sedangkan kelompok tradisionalis menyukai dimensi-dimenasi internal, filsafat,
spiritual dan kualitas agama. Orang-orang tradisionalis selalu ada, tapi Barat
tidak pernah mau melihat kenyataan itu dan memandang keberadaan mereka. Para
ilmuwan Barat terpikat dengan perubahan, mereka bisa melihat reformasi dan
perubahan tapi tidak bisa melihat unsur-unsur yang konstan dan senantiasa
tetap. Sewaktu pergi ke Himalia, Anda bisa menghabiskan waktu Anda hanya untuk
memperhatikan longsornya dataran gunung atau batu-batu yang berjatuhan dan
berpindah tempat, tapi apabila Anda hanya memperhatikan hal itu maka Anda akan
tetap lalai akan gunung besar itu sendiri yang berdiri tegak di hadapan Anda.
WRT: Bagaimana
sosok seperti Osama bin Laden dapat digambarkan di sini? Di samping itu, apa
menurut Anda tentang penduduk Palestina yang melakukan operasi –bom– bunuh
diri?
SHN: Ada dua
hal yang berbeda di sini, dan masing-masing harus dipisahkan. Osama bin Laden
adalah produk Wahabi Saudi Arabia dan Barat yang tak beragama. Ketika Uni
Soviet menyerang Afganistan, Amerika pada awalnya tidak menunjukkan reaksi yang
cepat. Duta besar Amerika di Afganistan pada waktu itu adalah teman saya. Dia
berkali-kali mengirimkan pesan kepada pemerintah Amerika yang memberitahukan
bahaya dan kondisi Afganistan. Dan ketika pada akhirnya pemerintah Amerika mau
mendengar pesan-pesan itu, mereka mengarah kepada sekutu mereka di Saudi Arabia
dengan maksud mencari dukungan finansial untuk melancarkan serangan militer.
Osama bin Laden adalah delegasi yang dikirim ke Afganistan. Dia besar di tengah
keluarga kaya raya Saudi Arabia, ayahnya mempunyai hubungan erat dengan
kerajaan. Dia adalah orang yang hidup sederhana di antara keluarganya dan dia
memiliki masa depan yang cerah. Pihak Amerika mendidik dia dengan dana dari
Saudi, tapi Osama bin Laden adalah orang yang tumbuh besar dengan kebencian
terhadap kemerosotan masyarakat-masyarakat muslim yang terus bertambah parah
dan menurutnya hal itu disebabkan oleh Sekularisme Barat. Dia membenci
kehadiran Amerika di Saudi Arabia, khususnya keberadaan tentara-tentara Amerika
di tanah suci, dan sayang kebencian itu membuat dia melakukan
perbuatan-perbuatan yang menyedihkan sekali. Dia adalah seorang garis keras
yang bahkan bangkit melawan kekuasaan Wahabi. Seandainya duapuluh tahun yang
lalu Amerika pergi ke Afganistan tanpa bantuan Saudi Arabia maka tidak akan
terjadi tragedi 11 September.
Berdasarkan definisi yang
Anda sampaikan, Bin Laden termasuk fundamentalis yang menjadi reformis dan
secara sangat disayangkan telah menggunakan teknologi serta pendidikan modern
untuk melawan sekularisme modern.
Memang benar. Dia menolak
Barat tanpa mengerti apa itu Barat atau tanpa mengerti apa sebenarnya yang
sedang dia tolak.
Adapun operasi bunuh diri
adalah sebuah cerita yang tersendiri. Seandainya penduduk Palestina memiliki
senjata M-16 dan helikopter Apache niscaya mereka tidak akan menjadikan tubuh
mereka sebagai senjata perang. Ini satu-satunya yang tersisa untuk mereka. Dan
tentunya sampai batas-batas tertentu tindakan mereka merupakan balasan terhadap
perlakuan orang lain atas diri mereka. Satu contoh, andaikan Anda kembali pada
tahun 1967 dan menyerahkan Baitul Maqdis bagian timur kepada mereka sebagai ibu
kota dan memberikan ganti rugi finansial, seperti ganti rugi yang pernah
diterima oleh orang-orang Yahudi setelah perang dunia kedua –meskipun
sepertinya tidak mungkin memberikan pelayanan kepada semua orang palestina yang
pulang ke sana–, niscaya –menurut keyakinan saya– sentimen-sentimen itu akan
pupus. Tentunya, ini bukan pertama kalinya kita saksikan dalam sejarah, operasi
bunuh diri pernah terjadi di tempat-tempat lain seperti di antara orang-orang
Shinto Jepang dan orang-orang Hindu India.
WRT: Sebagai
pertanyaan terakhir, Anda terkenal dengan ide yang menegaskan bahwa perpisahan
sejati bukan antara Islam dan tradisi-tradisi lain, akan tetapi antara agama
dan Sekularisme.
SHN: Iya, memang benar; ketegangan terbesar tidak
terjadi antara Islam dan Barat, melainkan antara agama dan Sekularisme. Pada
saat ini, Sekularisme adalah sebuah ideologi tertutup yang paling dogmatis,
paling anti selainnya dan sama sekali tidak toleran. Dia menggilas segala
sesuatu yang ada di hadapannya. Tantangan terbesar Islam adalah cara menghadapi
atau pola hidup bersama dengan Sekularisme. Islam, sampai batas-batas tertentu
telah hidup damai dengan agama-agama yang lain, sedangkan Sekularisme sama
sekali tidak memberikan tempat kepada tradisi agamis apapun. Bahkan sebetulnya
ini merupakan tantangan bagi Barat juga. Anda punya dua pola pandang terhadap
dunia, yang pertama meyakini alam metafisik di balik alam materi, sedangkan
yang kedua hanya meyakini materi. Hubungan antara dua ini sangat pelik dan
samar, dan bagaimana caranya mendamaikan antara dua pandangan itu adalah
tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia masa kini.
(Seyyed Hossein Nasr)