Oleh Syahid Ayatullah Murtadha Muthahhari
“Apa yang disebut dengan
kezuhudan adalah meninggalkan urusan dunia untuk mengurus akhirat merupakan
anggapan yang keliru –lantaran Islam juga menganjurkan manusia untuk menggarap
urusan duniawi. Zuhud mencakup semua urusan (baik duniawi maupun ukhrowi)”. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu
kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu.”[1] Ayat ini menegaskan
bahwa ajaran Islam secara keseluruhan menganugerahkan kehidupan dalam semua
aspeknya kepada manusia. Ajaran Islam yang telah bersemayam dalam jiwa
seseorang akan memberikan semangat, kehidupan, penglihatan, dan gerakan. Atas
dasar itu, ajaran yang tidak memberikan pengaruh hidup, bahkan menimbulkan
kematian, menghilangkan penglihatan dan gerakan, serta membekukan pemikiran
manusia, bukan ajaran yang dimaksud dalam kandungan ayat di atas, dan juga
bukan berasal dari ajaran Islam.
Al-Quran menegaskan bahwa
ajaran Islam adalah ajaran yang memberikan spirit kehidupan, dan sejarah Islam
telah memberikan kesaksian tentangnya. Selama berabad-abad, sejarah Islam telah
menunjukkan bagaimana ajaran ini memberikan spirit kehidupan seperti yang
diungkapkan al-Quran. Dewasa ini, seringkali kita saksikan bagaimana pengertian
dan konsep Islam yang kita miliki tidak memberikan atau menciptakan kehidupan.
Kita harus memperbaiki pandangan kita sehubungan dengan pengertian dan konsep
ini. Barangkali kita keliru dalam menggambarkan dan memahami konsep serta
ajaran Islam. Pola pikir kita harus segera diperbaiki. Inilah yang dimaksud
dengan menghidupkan kembali pemikiran Islam. Pola pikir dan cara pandang kita
terhadap Islam harus dibenahi. Perspektif yang kita gunakan selama ini untuk
meneropong Islam bukanlah perspektif yang benar. Dengan begitu, perspektif dan
pola pemikiran kita harus segera diperbaiki.
Dalam pertemuan sebelumnya,
telah saya kemukakan beberapa konsep moralitas Islam, seperti kezuhudan dan
ketakwaan. Sedikit banyak, saya telah mencoba menelaah ihwal kezuhudan. Memang,
pembahasan tersebut tidaklah lengkap. Masih banyak aspek yang belum ditelaah.
Karena itu, saya ingin menguraikan lebih rinci, konsep serta ajaran mendasar
tentang Islam, pada malam ini.
Meninggalkan Kehidupan
Duniawi
Potret kezuhudan serupa
dengan potret keberadaan budak dunia dan pengabaian dunia. Meskipun tidak
tertera dalam al-Quran, namun kata zuhud banyak dijumpai dalam ucapan Nabi,
perkataan Imam Ali, serta para imam suci. Tidak diragukan lagi bahwa kezuhudan
merupakan pengertian dan konsep yang suci. Islam senantiasa mengajak manusia
kepada kezuhudan. Dalam sastra Persia dan Arab, masalah kezuhudan acapkali
diekspresikan dalam bentuk puisi dan prosa. Persoalannya sekarang, bagaimana
kita menggunakan metode pemikiran yang Islami tentang kezuhudan berdasarkan
bukti-bukti, dalil-dalil, serta penjelasan al-Quran. Dari segi bahasa (Arab),
istilah zuhud memiliki
arti ‘tidak suka atau tidak menginginkan’. Jika orang Arab menggunakan
kata zahada, itu
berarti ia tidak menyukai sesuatu. Zahada
fîhi berarti ‘tidak menyukai’. Namun, yang pasti, kezuhudan dalam
ajaran Islam, Kristen, dan non-Kristen digunakan sehubungan dengan kehidupan
duniawi yang kemudian menjadi terminologi tersendiri.
Orang zuhud secara alamiah
tidak menyukai sesuatu. Umpama, orang sakit yang enggan makan, atau orang yang
membenci dan tidak menyukai makanan yang manis-manis. Atau juga orang yang
dikarenakan memiliki kelainan seks tidak menyukai wanita. Inikah yang dimaksud
dengan orang zuhud? Tak seorang pun yang tidak mencintai kehidupan duniawi
berdasarkan naluri alamiahnya. Kezuhudan merupakan salah satu konsep moral.
Orang zuhud secara naluriah menyukai kenikmatan materi. Namun, dikarenakan
tujuan dan maksud-maksud tertentu, pebuatan dan sikapnya menunjukan dirinya
tidak menyukai sesuatu. Maksudnya, ia akan meninggalkan segenap hal yang
disukainya demi suatu tujuan. Dalam hal ini, pengertian dari ‘mengarahkan jiwa
dan pemikiran kepada sesuatu berdasarkan tujuan dan aktivitas’ tentu berbeda
dengan pengertian ‘tidak menyukai sesuatu secara alamiah’. Makna kezuhudan
adalah ketidakpedulian terhadap hal-hal yang diinginkan secara alamiah. Inilah
pengertian zuhud menurut masyarakat umum.
Kezuhudan menjadikan
seseorang meninggalkan sesuatu yang disukai demi suatu tujuan. Sekarang, kita
akan menelaah tentang tujuan tersebut serta menentukan pandangan Islam sekaitan
dengan masalah ini. Pertama-tama, kita harus melihat apakah Islam menganggapnya
sebagai suatu kewajiban atau sekadar mustahab (sunah)? Maksudnya, apakah Islam mewajibkan atau
sekadar menganjurkan secara mustahab
kepada seseorang untuk menutup mata dari kenikmatan duniawi yang
disukainya? Apakah pada dasarnya Islam tidak pernah menganjurkan manusia untuk
meninggalkan kenikmatan duniawi demi suatu tujuan? Anggaplah hal seperti ini
terdapat dalam Islam. Namun, timbul suatu pertanyaan, apakah tujuan Islam dalam
menganjurkan kezuhudan? Tujuan-tujuan agung apakah yang akan dicapai manusia
sehingga harus meninggalkan kenikmatan duniawi?
Tujuan-tujuan apakah yang
mengharuskan manusia berpaling dari kelezatan duniawi? Berpaling dari kelezatan
duniawi bukan saja dianggap sebagai perbuatan baik, bahkan Islam menerima dan
menganjurkan manusia untuk melakukannya. Sebagian orang beranggapan, filsafat
kezuhudan menghendaki keterpisahan antara ihwal keagamaan dengan ihwal
keduniawian —seperti perdagangan, pertanian, dan industri. Urusan agama hanya
berkenaan dengan masalah peribadatan, sedangkan di luar itu (pencarian materi,
perdagangan, pertanian, manajemen, dan sebagainya) merupakan urusan duniawi.
Apa yang disebut dengan kezuhudan adalah meninggalkan urusan dunia untuk mengurus
akhirat. Ini merupakan anggapan yang keliru, lantaran Islam juga menganjurkan
manusia untuk menggarap urusan duniawi. Zuhud mencakup semua urusan (baik
duniawi maupun ukhrowi). Terdapat dua jenis kezuhudan yang bukan bersumber dari
ajaran Islam, melainkan dari agama-agama lain.
Yang pertama adalah bentuk
kezuhudan yang memisahkan ihwal keduniawian dengan keakhiratan. Dalam hal ini,
praktik kezuhudan memisahkan secara kontras dua bentuk urusan. Sebagian
berhubungan dengan keduniawian, seperti mencari nafkah, berdagang, bertani,
industri, mencari rezeki, dan memperoleh harta. Semua yang berhubungan dengan
kehidupan merupakan urusan duniawi. Harta berhubungan dengan alam kehidupan di
dunia (dengan urusan duniawi) dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan alam
kehidupan lainnya. Sebaliknya, terdapat pula persoalan yang tidak berhubungan
dengan kehidupan dunia. Tepatnya, persoalan tersebut tidak menimbulkan pengaruh
apapun terhadap kehidupan duniawi. Inilah yang disebut dengan Ibadah, seperti
berdoa, berpuasa, dan membersihkan jiwa. Jadi, kezuhudan berarti meninggalkan
kehidupan dunia lantaran ingin menyendiri demi menjalankan urusan keakhiratan
(ibadah).
Al-Munjid merupakan buku kamus berbahasa Arab. Ada juga buku
lain yang hampir mirip dengannya yakni Aqrobul Mawârid. Bahkan buku al-Munjid banyak menyadur
darinya. Dalam al-Munjid, kata
zuhud memiliki arti seperti yang telah saya sampaikan, yang pada dasarnya
merupakan ajaran orang Nasrani, yakni ‘meninggalkan dunia untuk menyepi guna
beribadah’. Maksudnya, manusia harus meninggalkan segenap urusan duniawi untuk
menyepi dan beribadah. Berdasarkan pendapat ini, urusan dunia terpisah dari
urusan akhirat. Segenap hal yang berkenaan dengan kehidupan duniawi tidak
berhubungan dengan kehidupan ukhrawi. Yang berhubungan dengan kehidupan ukhrawi
disebut dengan ibadah. Dan ibadah sama sekali tidak berhubungan dengan
kehidupan duniawi.
Dengan demikian, kezuhudan
berarti meninggalkan urusan duniawi untuk mencapai urusan ukhrawi. Untuk
menjadi orang zuhud, seseorang harus memutuskan hubungan sosialnya dengan
masyarakat. Jalan kezuhudan adalah mengasingkan dan mengucilkan diri,
serta rahbaniyyah (persemediaan)
dan bertapa. Karenanya, zuhud dalam pengertian semacam ini identik dengan rahbaniyyah yang diajarkan dalam
agama Nasrani.
Apakah Islam menerima
bentuk kezuhudan seperti ini? Tidak! Alasan untuk ini sudah jelas sekali dan
untuk membuktikannya tidak diperlukan dalil atau argumen. Saya pernah menulis
buku tentang hijab. Sebagian orang beranggapan bahwa filsafat hijab cenderung
pada persemedian (rahbaniyyah). Islam
menolak persemedian. Saya telah jelaskan secara mendetail bahwa Islam sama
sekali menentang persemedian atau pengucilan diri dari lingkungan masyarakat.
Nabi dengan tegas mengatakan: “Tidak
ada rahbaniyyah (persemedian)
dalam Islam.”
Nabi pernah
bersabda: “Rahbaniyyah umatku
adalah jihad.” Islam justru menganjurkan untuk melakukan
hal-hal yang dianggap aliran lain sebagai urusan duniawi, bahkan menganggapnya
sebagai ibadah. Ada yang mengatakan bahwa kata zuhud tertera dalam al-Quran: “…dan mereka merasa tidak tertarik
hatinya kepada Yusuf.”[2]
Saya telah memperhatikan
teks suci ini. Kata zuhud memiliki pengertian etimologis maupun terminologis.
Dalam ayat ini, kata zuhud merujuk pada makna etimologisnya. Sebagai buktinya,
kata zahada fihimemiliki
arti ‘tidak menyukai’ atau ‘tidak menginginkan sesuatu’. Ayat ini berbicara
tentang Nabi Yusuf. Dikarenakan ketidaktahuannya akan keutamaan Nabi Yusuf,
mereka menjual beliau dengan beberapa dirham saja. Kata zuhud secara
terminologis tidak terdapat dalam al-Quran. Segenap hal yang dalam pengertian
Nasrani merupakan bagian duniawi, dianggap Islam sebagai bagian dari urusan
ukhrawi yang dilakukan semata-mata untuk Allah. Islam tidak menyatakan adanya
perbedaan antara keberadaan dunia dan akhirat.
Menurut pandangan Islam,
perniagaan atau pertanian bisa menjadi urusan duniawi sekaligus ukhrawi,
asalkan perbuatan serta tujuannya saling terkait satu sama lain. Jika Anda
bekerja dan mencari nafkah, carilah dengan cara yang sesuai dengan syariat
Islam. Jika Anda berdagang, janganlah memakan uang riba. Janganlah Anda
melakukan tipu daya dalam bertransaksi. Anda harus bersikap adil. Tujuan Anda
berdagang adalah untuk menghasilkan kekayaan dan menyelamatkan diri dari
kehinaan mengemis. Selain pula bertujuan untuk berbakti kepada masyarakat serta
turut meningkatkan kekuatan ekonomi masyarakat. Menurut Islam, sikap semacam
ini merupakan ibadah. Bertani dan bekerja termasuk dalam kategori beribadah
apabila dilakukan seperti ini. Atas dasar ini, perbuatan tersebut tidak akan
keluar dari ihwal keakhiratan. Apabila orang yang memahami dan mencoba
mewujudkan tujuan-tujuan Islami, melakukan seluruh perbuatan tersebut, maka ia
bisa disebut sebagai orang yang sedang beribadah. Segenap hal yang dianggap
ibadah oleh aliran-aliran lain, akan dipandang Islam sebagai bagian dari urusan
duniawi. Ibadah shalat dan puasa tidak hanya bernuansa keakhiratan semata,
namun juga bernuansa keduniawian. Ibadah doa berhubungan, baik dengan kehidupan
ukhrawi maupun kehidupan duniawi. Sebagaimana berdagang dan bertani bisa
berhubungan dengan kehidupan akhirat, demikian pula ibadah yang juga bermanfaat
bagi kehidupan dunia.
Berdasarkan semua itu,
Islam tidak pernah mengartikan kezuhudan sebagai pemisahan antara kehidupan
dunia dan akhirat. Tujuan penghalalan dan pengharaman Islam terhadap sesuatu
memiliki dua dimensi; untuk kehidupan dunia dan akhirat. Islam mengharamkan,
misalnya, minuman keras dikarenakan hal itu berbahaya bagi kehidupan dunia
maupun akhirat. Perjudian dan riba hukumnya haram lantaran keduanya
membahayakan kehidupan dunia dan akhirat. Saya mempersilahkan jika Anda ingin
menganggap hal tersebut semata-mata sebagai urusan duniawi. Semua itu merupakan
makna kezuhudan dalam pandangan Nasrani yang tidak sesuai dengan pandangan
Islam. Namun sangat disayangkan, kebanyakan dari kita memahami pengertian zuhud
sama seperti yang diajarkan agama Nasrani.
Kesimpulan Keliru tentang Zuhud
Kali ini saya akan
menjelaskan pengertian lain dari istilah zuhud. Namun, penjelasan saya tidak
berkenaan dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Seluruh urusan duniawi merupakan
tugas yang harus kita laksanakan. Akan tetapi, kenikmatan duniawi jelas berbeda
dengan kenikmatan ukhrawi. Dilema yang timbul darinya adalah, apakah kita harus
merasakan kenikmatan duniawi dan menjauhkan diri dari kenikmatan ukhrawi,
ataukah kita harus mencari kenikmatan ukhrawi dan menghindarkan kenikmatan
duniawi. Pola pikir semacam ini juga keliru. Mereka mengatakan, manusia tidak
harus meninggalkan pekerjaan, pencarian nafkah, serta seluruh urusan duniawi.
Seseorang harus bekerja dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai manusia.
Tetapi ia harus berusaha keras untuk tidak menikmati dunia. Apabila ia sampai
menikmati dunia, otomatis kenikmatan ukhrawi akan berkurang.
Pada saat manusia merasa
bahagia di dunia, pada saat itu pula kebahagiaan ukhrawinya berkurang. Jadi,
kita harus meninggalkan kenikmatan duniawi supaya bisa memperoleh kenikmatan
ukhrawi. Abu Ali Sina dalam kitab Isyârât, bagian
kesembilan, mengatakan: “Orang
yang berpaling dari kenikmatan dunia untuk mencapai kenikmatan
akhirat, disebut orang yang zuhud.” Bagaimana sebenarnya
pendapat ini? Apakah benar-benar terdapat konsep ganti rugi kenikmatan? Apakah
Islam mengatakan adanya dua macam kenikmatan? Apakah Islam meyakini bahwa bila
menikmati kelezatan dunia, manusia akan kehilangan nikmat ukhrawinya? Apakah
Islam meyakini, apabila menjauhkan diri dari kenikmatan dunia dan
melepaskannya, manusia akan memperoleh ganti rugi (di akhirat)? Dengan kata
lain, apakah setiap orang berhak mendapatkan ukuran tertentu dari kenikmatan
yang harus dicapai, baik di dunia dan di akhirat? Apakah orang yang telah
mendapatkan kenikmatan di dunia, tidak akan kebagian nikmat akhirat?
Sebaliknya, apakah orang yang belum memperolehnya ketika di dunia akan mendapat
bagiannya di akhirat? Mereka sebenarnya keliru dalam memahami ayat yang
berbunyi:
“Kamu
telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja)…”[3]
Pemahaman semacam ini
jelas keliru! Jika dalam kehidupan dunia seseorang menjauhkan diri dari
kenikmatan yang terkandung di dalamnya, bahkan melepaskannya, ia tidak akan
merasakan kenikmatan duniawi. Dan di akhirat nanti pun, ia tetap tidak akan
memperoleh kenikmatan. Kenikmatan ukhrawi diperoleh melalui berbagai faktor
lain, dan bukan disebabkan oleh pengabaian kenikmatan duniawi secara sengaja.
Aspek lain dari persoalan
ini adalah; apakah dengan menikmati dunia, kita tidak lagi berhak memperoleh
kenikmatan lain? Jika memang demikian, berarti Anda harus menanggung nasib
buruk, yakni penderitaan di dunia dan juga di akhirat. Keduanya tidak mungkin
diperoleh secara bersamaan. Menurut logika Islam, pendapat semacam ini tidaklah
masuk akal.
Imam Ali as dalam kitab Nahjul
Balaghah mengatakan: “Orang-orang
yang takwa kepada Allah telah ikut serta dalam kegembiraan dunia yang fana
ini maupun dunia akhirat, karena mereka ikut serta dengan manusia dunia
dalam urusan duniawi mereka sementara manusia dunia tidak menyertai mereka
dalam urusan akhirat. Mereka hidup di dunia ini dalam cara hidup yang terbaik
dan memakan makanan yang paling terpilih dan karenanya mereka menikmati di sini
segala yang dinikmati orang yang hidup enak.”
Islam telah menjatuhkan
vonis haram terhadap sejumlah kenikmatan duniawi. Kenikmatan duniawi yang
diharamkan tersebut bisa menjadikan manusia tidak dapat menikmati kelezatan
duniawi. Bahkan lebih dari itu, akan menimbulkan akibat buruk bagi kehidupan
manusia di dunia. Kenikmatan berzina akan menjadikan manusia kehilangan
kenikmatan ukhrawi, bahkan menyebabkan siksa di akhirat. Kenikmatan minuman
keras akan menjauhkan manusia dari kenikmatan duniawi. Begitu pula dengan
kenikmatan berjudi (jika memang nikmat), menggunjing, berbohong, dan seluruh
perbuatan haram lainnya. Lain halnya dengan kenikmatan yang halal. Al-Quran
menghalalkan kebahagiaan di dunia. Semua yang membahagiakan, membersihkan,
menyucikan, serta tidak membahayakan manusia, akan dihalalkan al-Quran.
Kenikmatan yang diharamkan
al-Quran pada hakikatnya bukanlah kenikmatan. Sebaliknya, semua itu merupakan
penderitaan belaka. Apabila Anda menganggap minuman keras membawa kebahagiaan
dan kenikmatan, maka Anda telah mengabaikan sama sekali seluruh akibat buruk
yang akan ditimbulkannya terhadap jiwa manusia, kesehatan tubuh, dan kehidupan
masyarakat. Anda hanya melihat kenikmatan berzina yang bersifat temporer, dan
tidak memperhatikan akibat buruk yang ditimbulkannya. Al-Quran mengharamkan
perzinaan dikarenakan itu merupakan perbuatan keji dan membahayakan. Semua
perbuatan yang menimbulkan akibat baik akan dihalakan al-Quran. Dalam hal ini,
al-Quran mengatakan: “…dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka
segala yang buruk.…”[4]
Perhatikan dengan cermat,
betapa ayat ini mengandung logika yang amat tinggi! Setiap kebahagiaan yang
tidak bersifat sementara dan tidak menimbulkan dampak buruk, entah yang
berkenaan dengan tubuh, jiwa, serta kehidupan masyarakat, hukumnya halal. Dan
setiap hal yang membahayakan, hukumnya haram. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan
perhiasan dari AUah yang telah dikeluarkan-Nya. untuk hamba-hamba-Nya dan
(siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?”[5]
“Makanlah
di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu….”[6]
Jadi, kezuhudan dalam
Islam bukan bermakna menutup mata dari kenikmatan duniawi yang halal agar
memperoleh ganti rugi kenikmatan di akhirat. Ganti rugi semacam ini tidak
pernah ada.
Konsep dan Tujuan Zuhud
Konsep zuhud jelas
terdapat dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, kezuhudan bukanlah sesuatu
yang diwajibkan. la merupakan keutamaan dan kesempurnaan. Namun, keutamaan dan
kemuliaan bukanlah tujuan kezuhudan. Dalam beberapa keadaan, Islam menganjurkan
manusia menjalani kezuhudan demi tercapainya tujuan atau maksud tertentu. Islam
menganjurkan agar manusia tidak menjadi penyembah berhala kenikmatan duniawi
dan tenggelam di dalamnya. Kendatipun jika terbenam dalam berbagai kenikmatan
yang halal, seseorang tidak akan dianggap telah melakukan perbuatan yang haram.
Namun, apabila tidak melakukannya, berarti manusia telah melakukan pekerjaan
moral yang agung. Islam tidak menyetujui praktik penyembahan kenikmatan duniawi
meski dengan cara yang halal.
Untuk sejumlah tujuan,
Islam bisa menerima konsep kezuhudan yang memiliki makna ‘menutup mata dari
kenikmatan halal duniawi’. Tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih
memerlukan dan membutuhkan, apa yang mesti dilakukannya? la harus mendahulukan
kepentingan orang lain ketimbang kepentingan dirinya sendiri, serta harus
bersikap dermawan. Kenikmatan halal yang diperbolehkan baginya, harus diberikan
kepada orang lain (yang membutuhkan, —peny.). la
tidak akan makan sebelum memberi makan orang lain. Ini bukan berarti ia
membuang makanannya dengan harapan di akhirat kelak ada orang yang memberinya
makan. Jika tetap melakukan hal seperti itu, kelak ia akan mendapat teguran di
akhirat: “Kamu telah melakukan perbuatan bodoh dengan membuang-buang makanan
dan menganggap kami akan memberimu makan.”
Ia tidak akan mengenakan
pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. la juga tidak mau makan sampai
orang lain bisa beristirahat dan merasa tenang. la tidak mau merasakan
kenikmatan duniawi dikarenakan ingin memberikannya kepada orang lain. Inilah
bentuk îtsâr (sikap lebih
mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang
sangat tinggi dan agung. Salah satu sikap yang manusiawi adalah îtsâr. Kezuhudan semacam ini
merupakan kezuhudan yang benar, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Kezuhudan
semacam inilah yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib as. Beliau tidak makan,
namun juga tidak membuangnya. Beliau bekerja keras, tetapi tidak memakan
upahnya lantaran dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Beliau
tidak berpakaian (bagus-bagus, -peny.) agar
bisa memberi pakaian kepada orang lain. (Dalam al-Quran disebutkan): “Dan mereka memberi makan yang mereka
sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan
perang. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha
Allah, serta tidak mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih.“[7] Apakah Islam menerima
makna kezuhudan semacam ini, yakni berpaling dari kenikmatan duniawi demi
mendahulukan kepentingan orang lain? Jelas sekali, Islam akan menerimanya. Akal
dan hati siapa yang akan menolak kezuhudan seperti ini? Agama yang tidak
menyarankan îtsâr,pada
hakikatnya bukanlah agama. Mazhab akhlak yang tidak menganjurkan kezuhudan
semacam ini adalah mazhab yang tidak memahami ajaran serta nilai-nilai
kemanusian yang pal-ing tinggi.
Semua itu merupakan tujuan
filosofis dari kezuhudan yang bisa terima akal dan hati sanubari. Islam
menganjurkan kezuhudan seperti ini. Tentang sejumlah sahabat Nabi dari Anshor
dan orang-orang mukmin yang tinggal di Madinah, al-Quran mengatakan: “… dan mereka mengutamakan or-ang’Orang
muhajirin atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan….”
Imam Ali Zainal Abidin
senantiasa berpuasa. Beliau menyuruh para sahabamya untuk menyiapkan santapan.
Makanan yang dimasak waktu itu berupa daging kambing. Tak lama kemudian, mereka
pun memasaknya. Ketika tiba waktu berbuka puasa, Imam kemudian duduk di hadapan
hidangan dan menyuruh budaknya membawa makanan tersebut untuk dibagikan kepada
para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Sedangkan untuk
keluarganya, beliau hanya menyisakan secukupnya. Dalam pandangan Islam,
kebutuhan keluarga harus didahulukan dari diri sendiri dan orang lain.
Sekonyong-konyong, datanglah seorang fakir meminta makan kepada beliau. Segera
saja Imam Ali Zainal Abidin memberinya makanan yang beliau sisihkan tersebut.
Inilah yang disebut dengan perbuatan zuhud yang luar biasa dan bersifat manusiawi.
Perbuatan tersebut merupakan implementasi dari filsafat kezuhudan. Islam
mendukung kezuhudan seperti ini.
Dalam kezuhudan yang
Islami, seseorang harus lebih mengutamakan orang lain dan berempati terhadap
segenap duka deritanya. Menyertakan diri dalam penderitaan (orang lain)
merupakan salah satu tujuan kezuhudan yang Islami. Orang yang memiliki
kemampuan harus mengutamakan kepentingan orang lain. Namun, terkadang,
pengutamaan kepentingan orang lain tidak perlu dilakukan. Dalam kehidupan ini,
jumlah orang miskin sangat banyak. Pada kondisi demikian, seseorang tak mungkin
memberi pakaian yang melekat ditubuhnya kepada mereka semua. Atau tidak bisa
memberi makan dan membuat mereka semua kenyang hanya dengan (sedikit makanan)
yang dimilikinya. Juga tidak bisa memberi mereka semua uang yang ada dalam
sakunya.
Masyarakat yang kebanyakan
anggotanya terdiri dari orang-orang miskin, tentu akan menghadapi kondisi
perekonomian yang sangat memprihatinkan. Saking miskinnya masyarakat tersebut,
sampai-sampai para orang tua akan membiarkan anaknya memakan rumput-rumputan.
Apa yang bisa dilakukan seseorang di tengah-tengah masyarakat yang seperti ini?
Perbuatan mulia yang bisa dilakukan adalah ikut merasakan (empati) penderitaan
orang lain. la harus mengatakan pada dirinya sendiri, banyak saudara-saudara
saya yang tidak mendapatkan makanan untuk disantap, mengapa saya harus
menyantap (makanan mewah)? Saudara-saudara saya tidak memiliki baju untuk
dikenakan, mengapa saya mengenakan baju mewah? Dengan kata lain, sikap kebersamaan
dalam kedukaan merupakan bantuan moral yang bisa diberikan seseorang ketika
dirinya tidak mampu mengentaskan kemiskinan orang lain secara material. Saya
hanya bisa melakukan sebatas ini. Saya berusaha membantu mereka secara moral,
bukan secara material. Mendahulukan kepentingan orang lain merupakan bantuan
material. Ini juga memiliki makna filosofis.
Dalam berbagai ucapan Imam
Ali yang merupakan orang zuhud pertama di dunia, kita bisa menjumpai filsafat
tersebut. Imam Ali adalah orang zuhud yang memiliki tujuan. Imam Ali amat
mengetahui bahwa sebagai pemimpin umat, beliau memiliki tugas dan keharusan
untuk turut merasakan penderitaan orang lain. Apabila tidak bisa membantu orang
lain secara material, beliau akan melakukannya secara moral. Beliau tahu betul
bahwasannya penderitaan orang-orang lemah berada dalam tanggung jawab para
pemimpin. Imam Ali as sering mengatakan: “Saya tidak makan, dan dengan cara ini saya ingin membantu
menguatkan jiwa umatku yang lemah. Saya akan katakan: ‘Jika kamu tidak memiliki
sesuatu untuk di makan, maka saya pun tidak akan memakan makanan yang saya
miliki, supaya saya bisa seperti kamu.”
Pada kesempatan lain, Imam
Ali juga mengatakan: “Allah
menjadikanku sebagai Imam atas makhluk-Nya. Saya memiliki tugas khusus
yang mana dalam makan dan berpakaian saya harus seperti umatku yang paling
lemah. Supaya orang miskin bisa merasa tenang ketika
melihat keadaanku dan orang kaya tidak berbuat lalim karena kekayaannya.”
Terdapat sebuah cerita
dari seorang ulama Syi’ah yang bernama Wahid Bahbahani (Muhammad bin Baqir bin
Muhammad Akmal). Beliau merupakan ulama besar dan guru dari Syeikh Mirza
al-Qummi, Bahrul Ulum, dan Kâsyifiil Ghithâ’. Beliau kini tinggal di Karbala
(Iraq) dan memiliki sekolah agama yang penuh berkah di sana. Beliau memiliki
dua orang putra; yang satu bernama Muhammad Ali, penulis kitab Maqoom’, dan yang lainnya
Muhammad Ismail.
Pada suatu waktu, ulama
ini melihat menantu perempuannya (istri Muhammad Ismail) mengenakan pakaian
mahal dan mewah. Beliau menegur putranya, seraya mengatakan: “Mengapa kamu
membelikan baju seperti itu untuk istrimu?” Dengan jawaban yang jelas, putranya
mengatakan: “Katakanlah:
‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezeki yang baik?”[8]
Apakah ini merupakan
perbuatan yang haram? Siapa yang mengharamkan pakaian mewah dan indah? Ulama
tersebut mengatakan: “Anakku, ini memang halal, dan saya tidak mengatakan
haram. Saya melihatnya dari sisi lain. Saya seorang marja’ dan pemimpin umat.
Di tengah masyarakat,
terdapat orang miskin dan orang kaya, orang mampu dan orang yang tidak mampu.
Ada sejumlah orang yang mengenakan pakaian yang jauh lebih mewah dari ini.
Namun, banyak juga anggota masyarakat yang tidak mampu memiliki pakaian mewah
seperti ini. Mereka hanya mengenakan pakaian compang-camping. Kita tidak mampu
memberikan pakaian yang kita kenakan kepada masyarakat seperti itu.
Kita tidak mampu
mengentaskan mereka dari kemiskinan. Namun, satu hal yang bisa kita lakukan,
yakni mencoba merasakan penderitaan mereka. Tentu mereka akan memandang kebidupan
kita. Ketika diminta oleh istrinya untuk dibelikan baju mewah, seorang
laki-laki miskin bisa menenangkan hati istrinya tersebut dengan mengatakan:
‘Tak usah kita meniru orang kaya. Biarlah kita menjalani kehidupan seperti
istri Syeikh Wahid. Coba kamu perhatikan, istri Syeikh Wahid mengenakan pakaian
seperti yang kamu pakai.’ Bagaimana jadinya jika keadaan kita seperti
orang-orang kaya? Kita tidak akan bisa menghibur hati orang miskin. Dengan
alasan inilah, saya mengingatkanmu. Kita harus hidup zuhud. Kita menjalankan
kezuhudan dengan merasakan penderitaan orang lain. Kelak, jika orang-orang
miskin mengenakan pakaian mewah, kita juga akan memakainya.”
Turut merasakan
penderitaan orang lain merupakan tugas semua orang. Namun, tugas tersebut harus
lebih sungguh-sungguh dijalankan para pemimpin. Kisah yang akan saya sampaikan
ini tertulis dalam kitabNahj
al-Balâghah, yang tentunya sudah acapkali kalian dengar:
Setelah perang Jamal
berakhir dengan kemenangan, Imam Ali as mendatangi kota Basrah. Amirul mukminin
pergi menjenguk keadaan sahabatnya al-’Ala’ ibn Ziyad al-Haritsi. Tatkala
melihat rumahnya yang besar, beliau berkata: “Apa yang Anda lakukan dengan
rumah besar ini di dunia, padahal Anda lebih memerlukannya di akhirat? Apakah
Anda hendak membawanya ke akhirat? Di dalamnya, Anda dapat menerima para tamu,
bersikap hormat terhadapnya, senantiasa menjalin persaudaran, dan menjalankan
semua kewajibanmu berdasarkan besarnya rumah ini. Dengan jalan tersebut, kamu
akan membawanya ke akhirat.”
Kemudian al-’Ala’ berkata
kepada beliau: “Ya Amirul Mukminin, saya hendak mengadukan kepadamu tentang
saudara saya, ‘Ashim ibn Ziyad.” Amirul Mukminin bertanya: “Ada apa dengannya?”
Al-’Ala’ berkata: “la mengenakan baju yang terbuat dari bulu domba (kasar) dan
menjauhkan dirinya dari dunia.” Amirul Mukminin berkata: “Bawalah ia ke hadapan
saya.” Tatakala ‘Ashim tiba, Amirul Mukminin langsung berkata: “Wahai musuh
diri sendiri. Sungguh Iblis telah menyesatkan Anda. Apakah Anda tidak merasa
kasihan terhadap istri dan anak-anak Anda? Apakah Anda percaya bahwa jika Anda
memakai pakaian yang dihalalkan Allah bagimu, Dia tidak akan menyukai Anda?
Karena itu, diri Anda menjadi sangat tidak penting bagi Allah.” la berkata: “Ya
Amirul Mukminin, Anda pun mengenakan pakaian kasar dan memakan makanan yang
keras.” Kemudian Imam Ali menjawab: “Celakalah Anda, saya tidak seperti Anda.
Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi mewajibkan kepada pemimpin yang
sesungguhnya supaya memelihara diri pada tingkat rakyat yang paling rendah sehingga
orang miskin tidak menangis lantaran kemiskinannya.”
Hal ini juga merupakan
filsafat zuhud lainnya. Apakah Islam menerima sikap mementingkan orang lain dan
memberikan bantuan secara material? Apakah Islam juga menerima sikap empati,
yakni ikut merasakan penderitaan orang lain dan memberikan bantual moral?
Tentu! Islam tentu akan menerima semua sikap tersebut. Sebab, semua itu
merapakan perbuatan orang-orang yang memiliki tujuan rasional dan sesuai dengan
syariat.
Masih terdapat sejumlah
tujuan lain yang terkandung kezuhudan yang Islami. Tujuan-tujuan tersebut, yang
akan saya sampaikan dalam kesempatan lain, pada gilirannya akan membentuk
kezuhudan sebagai sebuah upaya rasional dan manusiawi.
Catatan: