Testimoni
ini ditulis oleh seorang mantan kader PKS dari UI, AF, sebagai “note” pribadi
di facebook.
Pertama-tama,
saya menuliskan pengalaman saya ini tidak untuk menjatuhkan atau
menjelek-jelekkan salah satu partai besar di Indonesia. Saya hanya ingin
berbagi pengalaman untuk menjadi bahan renungan para pembaca agar dapat lebih
mengenal PKS dari dalam. Tulisan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengenal
PKS secara objektif, agar rakyat Indonesia mengetahui apakah PKS benar-benar
mengusung kepentingan rakyat Indonesia atau justru sedang mengkhianati
masyarakat dan para kadernya sendiri dengan sentimen keagamaan serta jargon
sebagai partai bersih. Sayangnya, banyak masyarakat dan orang-orang di dalam
tubuh PKS ini pun tidak menyadarinya.
Bagian
tersebut akan saya jelaskan secara singkat di akhir cerita saya, dan sekarang
saya ingin berbagi dulu kepada para pembaca mengenai sistem pengkaderan PKS
yang sangat canggih dan sistematis sehingga dalam waktu singkat membuatnya
menjadi partai besar. Saya waktu itu mahasiswa dan kader PKS mulai dari
‘amsirriyah sampai ke ‘am jahriyah. Mulai dari saya masih sembunyi-sembunyi
dalam berdakwah, sampai ke fase dakwah secara terang-terangan, sejak PKS masih
bernama PK sampai kemudian menjadi PKS. Dalam struktur pengkaderan PKS di
kampus, ada beberapa lingkaran, yakni lingkaran inti yang disebut majelis
syuro’ah (MS), lingkaran kedua yakni majelis besar (MB), dan lingkaran tiga
yang menjadi corong dakwah seperti senat (BEM), BPM (MPM), dan lembaga
kerohanian Islam.
Jenjangnya
adalah mulai dari lembaga dakwah tingkat jurusan, fakultas, sampai ke
universitas. Jika di universitas tersebut terdapat asrama dan punya kegiatan
kemahasiswaan, maka di sana pun pasti ada struktur seperti yang telah saya
terangkan. Universitas biasanya akan berhubungan dengan PKS terkait
perkembangan politik kampus maupun perkembangan politik nasional. Dari sanalah
basis PKS dalam melakukan pergerakan-pergerakan politik dalam negeri atas nama
mahasiswa baik itu yang berwujud demonstrasi ataupun pergerakan lainnya. Sistem
pergerakan, pengkaderan, dan struktur lingkaran yang terjadi di dunia kampus sama
persis dengan yang terjadi di tingkat nasional.
Kembali
ke dalam struktur lingkaran PKS di kampus, orang-orang yang duduk di MS
jumlahnya biasanya tidak banyak dan orang-orangnya adalah orang-orang yang
terpilih. Kebanyakan yang menjadi anggota MS adalah mahasiswa yang memang sudah
di kader sejak SMU. Tapi tidak banyak juga yang berhasil masuk ke dalam MS dari
orang-orang yang telah dikader pada saat kuliah. Saya termasuk orang yang masuk
ke dalam lingkaran MS yang baru dikader pada saat kuliah dan menduduki posisi
sebagai mas’ulah di asrama UI sehingga saya punya akses langsung untuk
berdiskusi dengan mas’ulah tingkat universitas. Dari sini juga saya akhirnya
banyak tahu sistem dalam PKS meskipun saya pada tingkat fakultas hanya masuk
sampai tingkat MB.
Dalam
MS dan MB memiliki mas’ul (pemimpin untuk anggota ikhwan) dan mas’ulah
(pemimpin untuk anggota akhwat). Masing-masing mas’ul (ah) ini membawahi MS
secara keseluruhan dan ada juga mas’ul (ah) yang membawahi sayap-sayap dakwah
yakni sayap tarbiyah (mengurusi pengkaderan khusus untuk ikhwah seperti
pemetaan liqoat, materi liqoat, dll), sayap syiar (mengurusi syiar Islam
khususnya dalam lembaga kerohanian formal dan menjaring kader baru), dan sayap
sosial & politik (mengurusi dakwah dalam bidang lembaga formal kampus yakni
BEM dan MPM).
Di
lingkaran kedua adalah majelis besar, anggotanya adalah ikhwah yang sudah
dikader juga dan tinggal menerima keputusan dari MS untuk dilaksanakan. Jadi,
MS ini adalah tink-tank dari seluruh kegiatan yang terjadi di kampus. Apabila
kader PKS duduk sebagai ketua BEM/Senat atau MPM/BPM, maka semua kegiatannya
harus mendapat ijin dari MS dan memang biasanya berbagai agenda di BEM/Senat
dan MPM/BPM ini dibuat oleh MS. Bagaimana sistem pengkaderan PKS itu sendiri?
Bagaimana PKS mengubah seorang menjadi kader yang militant? Jalan pertama
adalah menguasai Senat, BEM, BPM, dan MPM. Apabila lembaga formal ini sudah
dikuasai maka akan mudah untuk membuat kebijakan terutama pada masa penerimaan
mahasiswa baru.
Saat
orientasi Mahasiswa baru biasanya mereka akan dibentuk kelompok kecil (halaqah)
dan ikhwah PKS akan berperan sebagai mentor. Kegiatan ini akan berlanjut rutin
selama masa perkuliahan di mana halaqah ini akan berkumpul 1 minggu sekali.
Dari sinilah biasanya akan terjaring orang-orang yang kemudian akan menjadi
ikhwah militan, bahkan orang yang sebelumnya tidak pakai jilbab dan sangat gaul
bisa menjadi seorang akhwat yang sangat pemalu namun juga sangat militan.
Agenda
utama kami adalah membentuk Manhaj Islamiyah di Indonesia menuju Daulah
Islamiyah (mirip dengan sistem Khilafah Islamiyah dari HTI). Doktrin utama
dalam sistem jamaah PKS yang juga menamakan dirinya sebagai jamaah Ikhwanul
Muslimin ini adalah “nahnu du’at qobla kulli sya’i” dan“sami’na wa ata’na”. Dua
doktrin inilah yang membuat kami semua menjadi orang yang sangat loyal dan
militan. Setiap instruksi yang diberikan dari mas’ul (ah) ataupun murabbi (ah)
kami akan kami pasti patuhi meskipun kami tidak benar-benar paham tujuannya.
Seperti menyumbang, mengikuti demonstrasi, meskipun harus bolos kuliah, dll.
Selama
saya aktif di pergerakan ini, saya melihat banyak sekali teman-teman saya yang
berhenti menjadi Aktivis Dakwah Kampus (ADK). Dulu saya merasa kasihan dengan
mereka, karena yang saya tahu – diberitahu oleh murabbi kami dan juga
seringkali dibahas dalam taujih atau tausiyah (semacam kultum) – bahwa dalam
jalan dakwah ini selalu akan ada orang-orang yang terjatuh di jalan dakwah,
mereka adalah orang-orang futur (berbalik ke belakang). Orang-orangini biasanya
kami labeli sebagai anggota “basah” (barisan sakit hati). Saya mempercayai
semuanya sampai akhirnya saya pun merasa tidak cocok lagi untuk berada di sana
dan memutuskan untuk keluar dari ADK, padahal saya dulu sudah diproyeksikan
sebagai ADK abadi (orang yang akan menjadi aktivis dakwah kampus selamanya
dengan cara menjadi dosen atau karyawan tetap di kampus).
Ada
beberapa alasan yang membuat saya mengambil keputusan untuk keluar, antara
lain: Adanya ekslusivisme antara kami para ADK dengan orang-orang di luar ADK.
Kami para ADK adalah orang-orang khos (orang khusus) dan mereka adalah adalah
orang ’amah (orang umum). Orang khos adalah orang yang sudah mengikuti tarbiyah
dan mengikuti liqo’at (semacam halaqah tapi lebih khusus lagi) dan orang ’amah
adalah orang yang belum mengenal tarbiyah. Para ikhwah, terutama para ADK,
tidak akan mau menikah dengan ’amah karena mereka dapat membuat orang khos
seperti kami menjadi futur, bahkan bisa membuat kami terlempar dari jalan
dakwah. Istilah khos dan a’amah ini membuat saya merasa tidak natural dan tidak
manusiawi dalam menghadapi teman saya yang ’amah. Saya diajarkan bahwa mereka
adalah mad’u (objek dakwah) saya. Jika saya bisa menarik mereka ke dalam sistem
kami apalagi bisa menjadi ADK, maka kami akan mendapat pahala yang sangat
besar. Saya merasa menjadi berdagang dengan teman saya yang dulunya sebelum
menjadi ADK adalah sahabat saya. Saya merasa tidak memanusiakan teman saya dan
lebih memandang mereka sebagai objek dakwah.
Dalam
liqo’at ataupun dauroh saya juga ada beberapa hal yang membuat saya tidak sreg,
seperti bahwa saya harus lebih mengutamakan liqo’at daripada kepentingan orang
tua dan keluarga saya. Bahkan saya pernah diberitahu bahwa bila sudah ada
panggilan liqo’at, meski orang tua saya sakit dan harus menjaganya, maka saya
harus tetap datang liqo (entah mengapa selama beberapa tahun saya bisa menerima
konsep yang kurang manusiawi ini). Ha llain adalah saya tidak boleh mengikuti
kajian di luar liqo saya, padahal setahu saya bahwa kebenaran itu tidak hanya
milik liqo saya, masih banyak sekali kebenaran di luar sana. Bahkan buku bacaan
pun diatur di mana ada banyak buku yang saya sangat berguna untuk menambah
wawasan keislaman saya seperti buku yang mengajarkan tentang hakikat Islam
namun oleh murabbi saya dilarang.
Untuk
hal ini saya membangkang karena seandainya Islam itu memang benar rahmatan lil
alamin maka ilmunya pun pasti sangat luas dan tidak hanya monopoli orang-orang
di PKS semata. Semua ganjalan-ganjalan yang saya rasakan akhirnya meledak ketika
saya kemudian tahu dari sumber yang terpercaya dalam pemerintahan, juga dari
petinggi PKS sendiri, tentang agenda yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya
dan pastinya juga tidak diketahui oleh orang-orang se-level saya atau bahkan
pun pengurus inti PKS.
Agenda
Utama PKS
Agenda
utama PKS adalah menghancurkan budaya Indonesia melalu iinvasi budaya Arab
Saudi. Banyak sekali indikasi yang saya rasakan langsung pada saat menjadi ADK
seperti upaya kami untuk menghalang-halangi acara seni, budaya, dll. Hingga
berbagai upaya kami agar bisa memboikot mata kuliah ilmu budaya dasar (IBD).
Saya ingat dulu, karena saya begitu termakan doktrin bahwa mata kuliah IBD
tidak berguna dan bisa melemahkan iman saya seringkali membolos kalau ada
latihan menari sampai saya sempat dibenci teman-teman saya. Kembali kepada
agenda PKS ini sebagai perpanjangan tangan dari Kerajaan Saudi (kerajaan yang
didirikan Zionist yang juga mendirikan Wahabisme) tujuan utamanya adalah agar
kekuasaan Arab bisa mencapai Indonesia mengingat satu-satunya sumber devisa
Arab adalah minyak yang diperkirakan akan habis pada tahun 2050 dan melalui
jamaah haji.
Indonesia
adalah negara yang sangat kaya sumber daya alam dan merupakan umat muslim
terbesar di dunia. Bahkan jika seluruh umat muslim di Ttimur Tengah disatukan, umat
muslim Indonesia masih jauh lebih banyak. Untuk itu, agar dapat bertahan secara
ekonomi, maka Arab Saudi harus bisa merebut Indonesia dan cara yang paling jitu
adalah melalui invasi kebudayaan.
Islam
dibuat menjadi satu gaya Arab Saudi, sehingga budaya Arab Saudi (yang
sebenarnya tidak Islami itu) akan dianggap Islam oleh masyarakat Indonesia yang
relative masih kurang terdidik dan secara emosional masih sangat fanatik
terhadap agama.
Tidak
banyak orang PKS yang tahu soal ini, hanya segelintir saja yang memahaminya.
Mereka menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan agar dapat lebih
memudahkan agendanya. Sentimen keagamaan terus dipakai untuk meraih simpati
masyarakat. Sehingga berbagai produk kebijakan seperti Perda Syariat, UU APP,
dll. yang rata-rata hanya sekedar mengurus masalah cara berpakaian semata akan
dengan bangganya diterima oleh masyarakat muslim yang naif sebagai keberhasilan
Islam. Orang-orang PKS sebenarnya layak disebut orang yang memperdagangkan
Islam ketika mereka memahami Islam secara labeling semata.