oleh David Ransom
“Kejadian di Indonesia
tahun 1965 merupakan kejadian terbaik bagi kepentingan Amerika sejak perang
dunia kedua”, demikian kata seorang pejabat Bank Dunia. Sebagaimana dapat
diikuti dalam cerita-cerita tentang Indonesia di masa lalu, Indonesia adalah
kawasan yang paling menggoda bagi para petualang dan pencari kekayaan. Mereka
menganggap Indonesia sebagai “hadiah terbesar” bagi penjajah di dunia. Presiden
Amerika Richard Nixon pada tahun 1967 mengatakan bahwa Indonesia adalah “hadiah
terbesar” di wilayah Asia Tenggara.
Pada awal tahun 1960-an,
Amerika merasa kehilangan kekayaan yang tak ternilai karena pada waktu itu
Indonesia berada di bawah kekuasaan seorang nasionalis progressif, yaitu
Soekarno, yang dicap Amerika sebagai berorientasi Peking dan didukung oleh
Partai Komunis Indonesia dengan 3.000.000 lebih massa anggotanya yang siap-siap
menunggu kesempatan berkuasa.
Pada bulan Oktober 1965
terjadilah kudeta yang dilakukan seorang kolonel. Pada saat itu beberapa
jenderal Indonesia segera bertindak menggagalkan kudeta tersebut, dan secara
bersamaan membuka pintu bagi perusahaan-perusahaan Amerika untuk mengeruk
kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya dengan melumpuhkan kekuasaan
kepala negara pada saat itu, yaitu Presiden Soekarno.
Para penguasa militer pada
saat itu juga membiarkan terjadinya pembunuhan massal yang terbesar dalam sejarah
modern negeri ini, di mana kurang lebih antara 500.000 hingga 1.000.000 orang
yang dianggap komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia yang tidak
bersenjata, juga petani-petani yang dianggap simpatisan PKI, dibunuh secara
keji oleh militer Indonesia. Setelah pembantaian tersebut, lenyaplah semangat
nasionalisme yang berkobar-kobar sebelumnya, yang telah dikobarkan selama
sepuluh tahun sebelumnya.
Dengan jatuhnya Soekarno
yang memiliki nasionalisme tinggi itu, pemerintah baru (Orde Baru Soeharto) berkesempatan
membuka lebar-lebar kekayaan alam Indonesia yang luas dan besar itu bagi
perusahaan-perusahaan Amerika. Untuk memuluskan masuknya perusahaan-perusahaan
Amerika tersebut, dibentuk “tim istimewa” dalam pemerintahan Indonesia yang
terdiri dari menteri-menteri yang menguasai bidang perekonomian, yang oleh
orang-orang Indonesia sendiri dikenal sebagai para “Mafia Berkeley”.
Para ahli dan sarjana
lulusan Universitas California, yang kelak dikenal sebagai Mafia Berkeley itu,
berfungsi sebagai kelompok yang duduk di dewan penguasa (Orde Baru Soeharto).
Orang-orang inilah (yang sadar atau tanpa sadar menjadi Kuda Troya bagi
kepentingan ekonomi dan politik Amerika) yang kemudian membentuk politik
nasional baru Indonesia di masa rezim Orde Baru Soeharto.
Pertanyaannya adalah:
mengapa hal yang demikian bisa terjadi? Untuk memahami masalah ini secara baik,
kita harus menoleh ke jaman kekuasaan Soekarno kala itu dan apa yang
berlangsung di dalamnya –tetapi tidak tampak dari luar. Di balik kekuasaan
Soekarno yang menonjol kala itu, di dalamnya sesungguhnya berlangsung suatu
perang intrik intelektual internasional, suatu rencana perebutan kekuasaan
terselubung, yang bahkan barangkali melampaui khayalan Cecil Rhodes,
bersembunyi di balik proyek kemanusiaan dan universitas. Mereka ini terdiri
dari para jenderal, mahasiswa, dosen, dekan, dan tentu saja, politisi.
Begitu Jepang keok dalam
perang dunia kedua, terjadilah gerakan-gerakan revolusioner di Asia, dari India
di Barat hingga Korea di Timur, serta dari Cina di Utara sampai Filipina di
Selatan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan ancaman bagi rencana Amerika untuk
membentuk Pan-Pasifik. Indonesia, meskipun sebelumnya dengan gigih berperang
melawan Belanda, tetapi kemerdekaannya tidak diperoleh melalui perjuangan besar
seluruh rakyat, melainkan melalui kesepakatan para pemimpinnya.
Saat itu, para pemimpin
yang dekat dengan Barat “mengatur” kemerdekaan Indonesia di gedung-gedung mewah
di Washington dan New York. Di antara orang-orang Indonesia yang menjalankan
manuver-manuver diplomatik pada saat itu adalah: [1] Soedjatmoko yang akrab
dipanggil Koko, dan [2] Soemitro Djojohadikusumo, seorang doktor ekonomi dan
diplomat (kesayangan Amerika).
Dua orang tersebut adalah
anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebuah partai kecil yang berorientasi
ke Barat (Amerika), di antara sekian banyak partai di Indonesia. Di New York,
dua orang ini namanya dibesarkan oleh suatu elit yang berhubungan erat dengan
yang biasa dikenal sebagai “Vietnam Lobby”, yang tidak lama kemudian menempatkan
Ngo Dinh Diem sebagai kepala negara Vietnam yang sesuai dengan selera politik
Amerika. Golongan elit itu, yang di dalamnya juga termasuk Norman Thomas,
terdiri dari anggota-anggota komite kemerdekaan untuk Vietnam dan Liga India.
Mereka adalah pelopor kaum SOSKA (Sosialis Kanan).
“Kita harus berusaha, agar
usaha-usaha dan kegiatan Amerika untuk membentuk pemerintahan non-komunis di
Asia setelah perang dunia kedua jangan sampai ketahuan”, demikian ditegaskan
Robert Delson, salah-seorang anggota Liga yang menjadi pengacara di Park
Avenue, dan menjadi penasehat hukum bagi Indonesia di Amerika.
Robert Delson selalu
menemani dan membawa Soemitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko dari kota yang
satu ke kota yang lainnya, dan memperkenalkannya kepada kolega-koleganya di
American for Democratic Action (ADA) –sebuah institusi kumpulan orang-orang
Amerika untuk Aksi-aksi Demokratis, dan pemimpin-pemimpin tinggi buruh yang
anti-komunis.
Mereka juga bergerak di
kalangan anggota-anggota dari Lembaga Urusan Luar Negeri, Council of Foreign
Relations atau CFR (suatu badan yang dibiayai yayasan), yaitu suatu badan yang
sangat berpengaruh dalam merumuskan politik Amerika
Karena tidak suka kepada
Soekarno (yang visi nasionalisnya merugikan Amerika) dan kuatnya golongan kiri
dari para pejuang kemerdekaan Indonesia, para elit Amerika melihat
“nasionalisme” ala Soedjatmoko dan Soemitro Djojohadikusumo merupakan
alternatif yang paling cocok bagi (kepentingan) Amerika. Kala itu, menurut
Soedjatmoko yang bicara di hadapan para elit Amerika di New York, strategi
Marshall Plan di Eropa sangat bergantung pada ketersediaan “sumber-sumber daya
di Asia”, dan ia (Soedjatmoko) menawarkan kerjasama yang menguntungkan dengan
Amerika.
Sementara itu, di awal
tahun 1949 yang bertempat di sekolah untuk kajian internasional terkini (School
of Advanced International Studies) yang dibiayai oleh Ford Foundation, Soemitro
Djojohadikusumo menyatakan bahwa sosialisme yang diyakininya termasuk “akses
seluas-luasnya” bagi Amerika ke berbagai sumber daya alam Indonesia dan
insentif yang cukup bagi perusahaan-perusahaan asing (utamanya
perusahaan-perusahaan Amerika).
Sedangkan dalam
pembicaraan-pembicaraan di dewan urusan hubungan luar negeri, kedua orang
Indonesia (yang menjual bangsanya) itu menunjukkan minatnya yang
sungguh-sungguh untuk memodernisasi Indonesia (sesuai kehendak Amerika), dan
bukan untuk merevolusionerkannya (sebagaimana yang diperjuangan Soekarno).
Setelah pengakuan
kedaulatan tahun 1949, Soemitro Djojohadikusumo kembali ke Jakarta dan diangkat
menjadi Menteri Perdagangan dan Industri dalam suatu pemerintahan koalisi (dan
Menteri Keuangan dalam beberapa kabinet berikutnya serta Dekan Fakultas
Ekonomi). Sebagai menteri, Soemitro Djojohadikusumo kala itu berenang melawan
arus. Sebab saat itu, PNI-nya Soekarno, NU, PKI, kecuali PSI dan Masyumi,
sedang bergelora semangat nasionalismenya setelah perang.
Hasilnya, pada Pemilihan
Umum 1955 –pemilihan umum yang pertama dan terakhir di Indonesia di era Orde
Lama itu, PSI hanya meraup suara yang sangat sedikit dan hanya menduduki tempat
kelima. Bahkan lebih tragis lagi, PSI kalah telak dalam pemilihan lokal untuk
melilih anggota-anggota DPRD, di mana yang meraih suara tertinggi dan terkuat
adalah PKI.
Soemitro Djojohadikusumo
pun menentang upaya nasionalisasi perusahaan-perusahaan dan aset-aset milik
Belanda yang dilakukan Soekarno pada tahun 1957, di mana ia bersama para
pemimpin Partai Masyumi serta sejumlah komandan tentara melakukan pemberontakan
di luar Jawa. Pemberontakan ini didukung oleh CIA, namun tak sanggup bertahan
lama dan gagal total. Karena kegagalan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi
(PRRI/PERMESTA) ini, Soemitro Djojohadikusumo mengasingkan diri ke luar negeri
dan menjadi konsultan usaha dan pemerintah di Singapura. Sementara itu, oleh
Bung Karno, setelah tahu bahwa pemberontakan itu ditukangi PSI dan Masyumi
bersama CIA, Masyumi dan PSI dinyatakan sebagai partai terlarang (pengkhianat).
Kelompok-kelompok di
Indonesia yang menjadi sekutu (jongos) Amerika ini telah mengadakan persekongkolan
dengan kekuatan imperialis (Amerika) untuk menggulingkan pemerintahan
nasionalis populer hasil pemilihan rakyat, yang dipimpin oleh seorang yang
dianggap sebagai George Washington-nya Indonesia, yaitu Soekarno, dan mereka
kalah. Reputasi mereka hancur, sehingga hanya keajaiban saja yang bisa membawa
mereka kembali.
Dan memang, keajaiban itu
terjadi 10 tahun kemudian, bukan dengan manuver diplomatik, peran partai
politik atau invasi militer Amerika. Sebab cara-cara itu sudah terbukti gagal
di Indonesia (ketika menghadapi kelihaian Soekarno kala itu). Keajaiban itu
datang melalui dunia pendidikan, dengan bantuan kebaikan para filantropis
(untuk mengkader mereka yang kelak akan menjadi kaki tangan kepentingan
Amerika) melalui pendidikan dan indoktrinasi ideologi ekonomi-politik. Di
situlah Ford Foundation bersama dengan Soemitro Djojohadikusumo bekerja-keras
menjalankan misinya.