(Foto: Hugo Chavez
mengutip buku Noam Chomsky dalam pidato di PBB)
Jika merujuk pada
tema-tema yang diangkat oleh Chomsky dalam bukunya yang bertajuk Hegemony or
Survival itu, maka ada beberapa ‘aparatus ideologis’ yang digunakan oleh kelas
berkuasa di Amerika Serikat untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya
pada seluruh warga negara Amerika Serikat sehingga nilai-nilai, pandangan
hidup, dan sistem kapitalis diterima sebagai wajar dan normal.
Jalur pertama dari
aparatus ideologis yang digunakan adalah pendidikan. Di Amerika, jauh dari
gambaran demokratis yang selama ini dicitrakan, pendidikan digunakan sebagai
media untuk menanamkan kesadaran palsu, dan diciptakan sebagai
institusi-institusi yang bertanggung jawab untuk mengindoktrinasi anak-anak
muda.
Hal ini dilakukan
sejak bangkitnya gerakan-gerakan kerakyatan yang menentang imperialisme,
menuntut hak-hak sipil-politik, dan perlindungan ekonomi serta ekologi pada
tahun 60-70an.
Sebagai cara untuk
membendung gerakan-gerakan rakyat itu, maka pemerintahan di AS mendirikan
Komisi Trilateral yang berfungsi “untuk menanamkan kepatuhan, untuk menghalangi
kemungkinan lahirnya pemikiran yang mandiri, dan (dengan demikian) sekolah
memainkan suatu peran kepranataan (institutional role) dalam suatu sistem
kontrol dan koersi”.
Komisi Trilateral itu,
menurut Noam Chomksy, bertugas untuk mencari cara-cara yang efektif untuk
mempertahankan hegemoni kapitalisme Barat dan dominasi elit-elit berkuasa
sembari terus mengkondisikan agar kalangan kelas menengah yang terdiri atas
ilmuwan, para profesional dan pakar, melalui suatu sistem penggajian
terus-menerus mendakwahkan mitos tentang kebajikan nilai-nilai Amerika.
Hasilnya, pendidikan di Amerika Serikat:
“Jauh dari pendidikan
demokratik, apa yang sesungguhnya kita [Amerika Serikat] miliki ialah suatu
model pendidikan kolonial yang dipercanggih yang dirancang terutama untuk
mendidik guru-guru dengan cara-cara dimana dimensi intelektual pengajaran
seringkali diabaikan.
Tujuan utama dari
pendidikan kolonial ini ialah untuk semakin melenyapkan keterampilan guru-guru
dan siswa-siswa dan membuat mereka semakin pandai mengikuti secara otomatis
labirin prosedur dan teknik…”
Pendidikan yang
berwatak penjajah ini tentu merupakan hal yang sangat dimusuhi oleh Noam
Chomksy. Sebab menurutnya hakikat pendidikan mestinya adalah untuk menstimulasi
‘kesadaran kritis’ dan mengajarkan peserta didik untuk menemukan kebenaran bagi
dirinya sendiri.
Noam Chomksy
berpendapat bahwa hakikat pendidikan mestinya adalah bukan untuk menanamkan
kepatuhan, melainkan untuk mendidik manusia dalam kemerdekaan, kesetaraan
kebersamaan dan kerjasama, agar dapat mencapai tujuan-tujuan bersama yang telah
disepakati secara demokratis. Dengan mengutip ungkapan indah Bertrand Russell,
Chomsky menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang sejati mestinya adalah:
“Untuk menghayati
nilai-nilai selain dari dominasi, untuk menciptakan warga negara-warga negara
dari suatu komunitas yang merdeka, untuk mendorong terciptanya suatu kombinasi
antara kewarganegaraan yang bebas dan melahirkan kreativitas individual…”
Ada dua hal yang
terjadi sebagai akibat dari pengingkaran atas pendidikan yang demokratis dan
setara.
Pertama, kalangan
kelas menengah dan terdidik di Amerika Serikat tidak membiasakan dirinya dengan
model pendidikan kritis yang berupaya membongkar segala macam kekuasaan dan
hegemoni. Dengan bertumpu pada kemampuan teknik, maka model pendidikan di
Amerika Serikat tak diajarkan untuk membangun kesadaran kritis, membongkar
kekuasaan, dan membangun kemanusiaan.
Kedua, dan sebagai
akibat sampingannya, Amerika Serikat menjelmakan dirinya sendiri sebagai sebuah
negara imperialis utama yang berhak untuk mendikte, mendisiplinkan dan
‘memperadabkan’ negara lain.
Model pendidikan
doktriner dan tak demokratis yang bersenyawa dengan politik tiranik dan
aristokratik yang telah tertancap-dalam pada dasarnya telah memiliki preseden
yang lama dalam sekujur sejarah negeri itu.
Amerika Serikat,
demikian menurut Noam Chomksy, didirikan di atas protes-protes kaum buruhnya,
penindasan terhadap masyarakat kelas bawahnya, serta penggantian demokrasi
dengan aristokrasi. Permbajakan demokrasi oleh elit oligarkhis dan kapitalis
sebenarnya telah diingatkan oleh Thomas Jefferson yang membedakan antara “kaum
demokrat” dengan ‘kaum aristokrat”.
Kaum demokrat, bagi
Jefferson, “mengidentikkan dirinya dengan masyarakat, memercayai mereka,
menghormati dan mendengarkan mereka sebagai pemangku kepentingan publik yang
jujur dan bisa dipercaya”. Sementara kaum aristrokrat “mereka yang merasa takut
dan tak percaya kepada masyarakat, dan ingin mengambil alih semua kekuasaan
dari tangan mereka dan menyerahkannya ke tangan kelas-kelas atas” yang menjadi
pendukung utama negara kapitalis.
Kultur politik di
Amerika Serikat pada akhirnya memenangkan kaum aristokrat ini. Hal ini utamanya
ditunjukkan oleh pandangan para elit dan teoretisi politiknya yang cenderung
menghindari dan tidak menyukai gerakan-gerakan kerakyatan.
Alexander Hamilton
misalnya menjuluki gerakan-gerakan rakyat sebagai “binatang buas yang banyak
jumlahnya” (the great beast). Robert Lansing juga menyebut gerakan buruh sebagai
“massa manusia bodoh dan tak cakap”, dan atau teoretisi demokrasi yang
termasyhur Walter Lippman yang menyebut massa rakyat sebagai “gerombolan liar”.
Sehingga fungsi mereka hanyalah diperlukan sejauh sebagai penonton yang
bersemangat dalam setiap kehidupan publik, bukan sebagai partisipan aktif.
William Shepard lebih
jelas mengartikulasikan hal ini dengan menyatakan bahwa pemerintahan mestinya
berada di tangan aristokrasi akal dan kekuasaan, sementara gerakan-gerakan
sosial dan massa-rakyat “yang bodoh, yang tak berpengetahuan dan anti-sosial”
dilarang untuk terlibat dalam pengurusan politik dan pemerintahan.
Gabungan dari
pendidikan yang doktriner dan politik tiranik itu pada akhirnya menghasilkan
suatu tipe kultur sosial dan politik yang terjinakkan. Hal inilah yang
memungkinkan ketiadaan perlawanan dari kalangan terdidik di Amerika Serikat.
Malahan, tak mengherankan jika kalangan kelas terdidik ini justru
berbondong-berbondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin
menyerukan demokrasi, hak asasi manusia, dan multilateralisme, dan bungkam
seribu bahasa jika kelas berkuasa itu pula melakukan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia dan demokrasi.